Hubungan ethnocentrism dan kecenderungan pembelian impulsif pada remaja.

(1)

HUBUNGAN ETHNOCENTRISM DAN KECENDERUNGAN PEMBELIAN IMPULSIF PADA REMAJA

Gretty Henofela Huwae ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan ethnocentrism dan kecenderungan pembelian impulsif pada remaja. Subjek penelitian adalah 161 remaja berusia antara 12 dan 21 tahun, dengan pembagian 12-15 tahun: masa remaja awal, 15-18 tahun: masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun: masa remaja akhir. Hipotesis dalam penelitian ini ada hubungan negatif antara

ethnocentrism dengan kecenderungan pembelian impulsif pada remaja. Semakin tinggi etnosentrisme maka semakin rendah kecenderungan perilaku pembelian impulsif, dan sebaliknya. Metode sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah Convenience Sampling. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif dan Skala Sikap Ethnocentrism dalam model Likert. Skala kecenderungan pembelian impulsif memiliki koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,916 dan skala sikap

ethnocentrism memiliki koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,930. Uji asumsi yang digunakan ialah uji normalitas dan uji linearitas. Hasil menunjukkan bahwa data memiliki distribusi normal, namun tidak memiliki hubungan yang linear antara kecenderungan pembelian impulsif dan ethnocentrism

pada remaja (p = 0,263). Oleh karena itu, hipotesis yang berbunyi ada hubungan negatif antara

ethnocentrism dengan kecenderungan pembelian impulsif pada remaja, ditolak.

Kata kunci :Kecenderungan Pembelian Impulsif, Ethnocentrism, Remaja


(2)

RELATIONSHIP OF ETHNOCENTRISM AND IMPULSIVE BUYING TENDENCIES IN ADOLESCENT

Gretty Henofela Huwae ABSTRACT

This study aims to determine the relationship of ethnocentrism and impulsive buying tendencies in adolescents. The hypothesis in this study that there was a negative relationship between ethnocentrism with impulsive buying tendencies in adolescents. More higher the ethnocentrism, the propensity of impulsive buying behaviour will be more lower, and vice versa. The subjects were 161 adolescents aged between 12 and 21 years, with 12-15 year division: early adolescence, 15-18 years: mid- adolescence, and 18-21 years: late adolescence. The sampling method used in this study is Convenience Sampling. The method used to collect data in this study is Impulsive Buying Tendency Scale and Ethnocentrism Attitudes Scale in Likert’s model. The impulsive buying tendency scale has an Alpha Cronbach coefficient of 0.916 and the ethnocentrism scale has an Alpha Cronbach coefficient of 0.930. The assumption test that used is the normality and linearity test. The results indicate that the data has a normal distribution, but does not have a linear relationship between impulsive buying tendencies and ethnocentrism in adolescents (p = 0.263). Therefore, the hypothesis that there is a negative relationship between ethnocentrism and impulsive buying tendencies in adolescents, was rejected.

Keyword: Impulsive Buying Tendencies, Ethnocentrism,Adolescent


(3)

HUBUNGAN ETHNOCENTRISM DAN KECENDERUNGAN PEMBELIAN IMPULSIF PADA REMAJA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh : Gretty Henofela Huwae

099114018

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

MOTTO

Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu

seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.

(Kolose 3:23)

“Barang siapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar.” (Lukas 16:10a)

Pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat. (Efesus 5:16)

Pencobaan yang ku alami tidak melebihi kemampuanku dan Ia akan memberikan jalan keluar sehingga aku dapat menanggungnya.

(1 Korintus 10:13)

Bila gunung dihadapanku tak jua berpindah, Kau berikanku kekuatan untuk mendakinya. Ku lakukan yang terbaikku Kau yang selebihnya, Tuhan selalu punya cara membuatku menang pada akhirnya..

Ada waktu untuk berduka & ada waktu tuk tertawa, Kau jadikan semuanya indah pada waktunya, Walau kini ku menabur benih sambil mencucurkan air mata ku percaya suatu saat ku kan menuai berkasnya sambil bersorak-sorai..

YA & AMIN


(7)

P

ersembahanku

K

epada

:


(8)

(9)

HUBUNGAN ETHNOCENTRISM DAN KECENDERUNGAN PEMBELIAN IMPULSIF PADA REMAJA

Gretty Henofela Huwae ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan ethnocentrism dan kecenderungan pembelian impulsif pada remaja. Subjek penelitian adalah 161 remaja berusia antara 12 dan 21 tahun, dengan pembagian 12-15 tahun: masa remaja awal, 15-18 tahun: masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun: masa remaja akhir. Hipotesis dalam penelitian ini ada hubungan negatif antara

ethnocentrism dengan kecenderungan pembelian impulsif pada remaja. Semakin tinggi etnosentrisme maka semakin rendah kecenderungan perilaku pembelian impulsif, dan sebaliknya. Metode sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah Convenience Sampling. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif dan Skala Sikap Ethnocentrism dalam model Likert. Skala kecenderungan pembelian impulsif memiliki koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,916 dan skala sikap

ethnocentrism memiliki koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,930. Uji asumsi yang digunakan ialah uji normalitas dan uji linearitas. Hasil menunjukkan bahwa data memiliki distribusi normal, namun tidak memiliki hubungan yang linear antara kecenderungan pembelian impulsif dan ethnocentrism

pada remaja (p = 0,263). Oleh karena itu, hipotesis yang berbunyi ada hubungan negatif antara

ethnocentrism dengan kecenderungan pembelian impulsif pada remaja, ditolak.

Kata kunci :Kecenderungan Pembelian Impulsif, Ethnocentrism, Remaja


(10)

RELATIONSHIP OF ETHNOCENTRISM AND IMPULSIVE BUYING TENDENCIES IN ADOLESCENT

Gretty Henofela Huwae ABSTRACT

This study aims to determine the relationship of ethnocentrism and impulsive buying tendencies in adolescents. The hypothesis in this study that there was a negative relationship between ethnocentrism with impulsive buying tendencies in adolescents. More higher the ethnocentrism, the propensity of impulsive buying behaviour will be more lower, and vice versa. The subjects were 161 adolescents aged between 12 and 21 years, with 12-15 year division: early adolescence, 15-18 years: mid- adolescence, and 18-21 years: late adolescence. The sampling method used in this study is Convenience Sampling. The method used to collect data in this study is Impulsive Buying Tendency Scale and Ethnocentrism Attitudes Scale in Likert’s model. The impulsive buying tendency scale has an Alpha Cronbach coefficient of 0.916 and the ethnocentrism scale has an Alpha Cronbach coefficient of 0.930. The assumption test that used is the normality and linearity test. The results indicate that the data has a normal distribution, but does not have a linear relationship between impulsive buying tendencies and ethnocentrism in adolescents (p = 0.263). Therefore, the hypothesis that there is a negative relationship between ethnocentrism and impulsive buying tendencies in adolescents, was rejected.

Keyword: Impulsive Buying Tendencies, Ethnocentrism,Adolescent


(11)

(12)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan penyertaan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam skripsi ini. Dalam penyusunan skripsi ini, banyak pihak yang telah terlibat dalam memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. C. Siswa Widyatmoko, M.Psi. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

2. Ratri Sunar A., M.Si. selaku Ketua Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. P. Henrietta P.D.A.D.S., M.A. selaku dosen pembimbing skripsi yang bersedia meluangkan banyak waktu dan penuh kesabaran telah membimbing penulis selama penyusunan skripsi serta memberikan inspirasi atas skripsi ini.

4. Dr. Tjipto Susana, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing selama penulis menempuh studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

5. Dewi Soerna Anggraeni, M.Psi. selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan kritik yang membangun.

6. Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si. selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan kritik yang membangun.


(13)

7. Prof. Dr. A. Supratiknya yang memberi masukan dan informasi kepada penulis.

8. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah membimbing dan menambah wawasan yang sangat berguna bagi penulis.

9. Semua Karyawan di Psikologi Universitas Sanata Dharma, khususnya Mas Gandung, ibu Nanik, Mas Mudji, Mas Doni, dan Pak Gie yang telah memberikan pelayanan selama penulis menempuh studi serta Karyawan Perpustakaan USD yang telah memberikan fasilitas dan kemudahan kepada penulis dalam memperoleh informasi yang dibutuhkan.

10.Papa dan Mama yang terkasih atas semangat, doa serta dukungan secara moril maupun materiil.

11.Kakakku Kenny, dan adikku Juan yang selalu memberikan dukungan, doa, serta motivasi.

12.Keluarga besar di Solo yang selalu memberikan dukungan dan doa bagi penulis.

13.SMP Joannes Boscho Yogyakarta, SMA Kristen Immanuel Yogyakarta, SMA Katolik Thomas Aquino Tangeb-Bali, Mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, dan Mahasiswa Sekolah Tinggi Injili Indonesia (STII) Bali atas pasrtisipasi serta bantuannya dalam penelitian skripsi ini.


(14)

14.Segenap jemaat Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Jemaat Kepaon, Denpasar-Bali untuk dukungan doa dan motivasinya kepada penulis dan keluarga penulis.

15.Teman-teman terbaik : Indri Sutrisna, Clara Risti (Riris), Septian Renggi, Rizky Pradita Manafe (Dita), Adi Mahardika, Leo Krista, dan Bang Waldi. Terima kasih karena sudah menemani, mendukung, membantu, dan menjadi tempat curahan hati penulis.

16.Teman-teman Psikologi baik kakak angkatan maupun adik angkatan. 17.Teman-teman kos : Mirsha, Vera, Kak Jane, There, Juli, April, dan Frida.

Terima kasih karena sudah menemani selama suka dan duka serta

memberikan keceriaan. Kalau ga’ ada kalian ga’ rame.

18.Teman-teman Paduan Suara KBU GKI Gejayan yang menjadi sahabat dan keluarga serta yang selalu mendukung dan mendoakan dalam setiap pergumulan.

19.Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Kiranya kasih karunia dan berkat Allah selalu menyertai semua pihak yang telah membantu dan mendukung selama penyusunan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Terimakasih.

Yogyakarta, 10 Januari 2014 Penulis,

Gretty Henofela Huwae


(15)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAM PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

1. Manfaat Teoretis ... 12

2. Manfaat Praktis ... 12


(16)

BAB II DASAR TEORI ... 13

A. Pembelian Impulsif (Impulsive Buying)... 13

1. Definisi Pembelian Impulsif ... 13

2. Aspek-aspek Pembelian Impulsif ... 15

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembelian Impulsif ... 15

B. Ethnocentrism ... 19

1. Definisi Ethnocentrism ... 19

2. Aspek-aspek Ethnocentrism ... 21

3. Dampak Ethnocentrism ... 22

C. Remaja ... 23

1. Definisi Remaja ... 23

2. Karakteristik Remaja ... 24

D. Dinamika Hubungan Ethnocentrism dan Kecenderungan Pembelian Impulsif pada Remaja ... 26

E. Hipotesis ... 29

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 30

A. Jenis Penelitian... 30

B. Variabel Penelitian ... 30

C. Definisi Operasional ... 30

1. Ethnocentrism... 30

2. Kecenderungan Pembelian Impulsif ... 31

D. Subjek Penelitian ... 32

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 32


(17)

F. Validitas dan Reliabilitas ... 35

1. Validitas ... 35

2. Seleksi Aitem ... 36

3. Reliabilitas ... 39

G. Metode Analisis Data ... 39

1. Uji Asumsi... 39

2. Uji Hipotesis ... 41

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 42

A. Pelaksanaan Penelitian ... 42

B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 42

C. Deskripsi Data Penelitian ... 43

D. Hasil Penelitian ... 45

1. Uji Asumsi... 45

2. Uji Hipotesis ... 46

E. Analisis Tambahan... 47

F. Pembahasan... 52

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 57

A. Kesimpulan ... 57

B. Keterbatasan Penelitian ... 58

C. Saran ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 59

LAMPIRAN ... 64


(18)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Blue Print Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif Sebelum

Seleksi Aitem ... 33

Tabel 2 Blue Print Skala Ethnocentrism Sebelum Seleksi Aitem ... 33

Tabel 3 Skor Favorable Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif dan Skala Ethnocentrism ... 35

Tabel 4 Skor Unfavorable Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif ... 35

Tabel 5 Blue Print Skala Pembelian Impulsif Setelah Uji Coba ... 38

Tabel 6 Blue Print Skala Ethnocentrism Setelah Uji Coba ... 38

Tabel 7 Data Usia Subjek Penelitian ... 43

Tabel 8 Data Jenis Kelamin Subjek Penelitian ... 43

Tabel 9 Data Teoritis dan Empiris ... 44

Tabel 10 Hasil Uji Normalitas ... 45

Tabel 11 Hasil Uji Linearitas ... 46

Tabel 12 Mean Usia dan Jenis Kelamin Subjek pada Variabel Kecenderungan Pembelian Impulsif ... 47

Tabel 13 Data Uji Beda Kelompok Berdasarkan Jenis Kelamin Subjek pada Variabel Kecenderungan Pembelian Impulsif ... 48

Tabel 14 Data Uji Beda Kelompok Berdasarkan Usia Subjek pada Variabel Kecenderungan Pembelian Impulsif ... 48

Tabel 15 Data Uji Beda Kelompok Berdasarkan Jenis Kelamin dan Usia pada Subjek pada Variabel Kecenderungan Pembelian Impulsif .... 49


(19)

Tabel 16 Mean Usia dan Jenis Kelamin Subjek pada Variabel

Ethnocentrism ... 49

Tabel 17 Data Uji Beda Kelompok Berdasarkan Jenis Kelamin Subjek

pada Variabel Ethnocentrism ... 50

Tabel 18 Data Uji Beda Kelompok Berdasarkan Usia Subjek pada Variabel

Ethnocentrism ... 50

Tabel 19 Data Uji Beda Kelompok Berdasarkan Jenis Kelamin dan Usia

pada Subjekpada Variabel Ethnocentrism ... 51


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Skala Try Out ... 65

Lampiran 2 Reliabilitas dan Seleksi Aitem Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif ... 74

Lampiran 3 Reliabilitas dan Seleksi Aitem Skala Ethnocentrism ... 77

Lampiran 4 Hasil Uji Reliabilitas Setelah Seleksi Aitem pada Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif ... 79

Lampiran 5 Skala Penelitian ... 81

Lampiran 6 Uji Normalitas ... 90

Lampiran 7 Uji Linearitas ... 92

Lampiran 8 Mean Empiris ... 94

Lampiran 9 Mean Usia dan Jenis Kelamin Subjek Penelitian ... 96

Lampiran 10 Hasil Uji Beda Kelompok Berdasarkan Jenis Kelamin pada Variabel Kecenderungan Pembelian Impulsif ... 98

Lampiran 11 Hasil Uji Beda Kelompok Berdasarkan Jenis Kelamin pada Variabel Ethnocentrism ... 100

Lampiran 12 Surat Pengantar Penelitian ... 102


(21)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perilaku pembelian impulsif (impulsive buying) pada konsumen menjadi fenomena yang diakui secara luas di Amerika Serikat karena mencapai 80% dari seluruh pembelian dalam kategori produk tertentu (Abrahams & Smith, dalam Kacen & Lee, 2002). Perilaku belanja impulsif juga terjadi di Indonesia, hal ini terlihat dari hasil survei yang menyatakan bahwa 85 persen konsumen ritel modern di Indonesia cenderung untuk berbelanja secara impulsif (majalah Marketing/05/V/2007, dalam Yistiani, 2012).

Pembelian impulsif adalah perilaku berbelanja yang terjadi secara tidak terencana, tertarik secara emosional, serta proses pembuatan keputusan dilakukan dengan cepat tanpa berpikir secara bijak dan adanya pertimbangan terhadap keseluruhan informasi dan alternatif yang ada (Barratt, dalam Alagöz & Ekici, 2011; Beatty & Ferrell, dalam Alagöz & Ekici, 2011; Beatty & Farrell, dalam Ghani, Imran, & Jan, 2011; Kollat & Willet, dalam Ghani, Imran, & Jan, 2011; Rook 1987; Verplanken & Herabadi, 2001; Yang, Huang, & Feng, 2011). Dapat juga dikatakan bahwa pembelian impulsif merupakan salah satu jenis pembelian tidak


(22)

terencana yang perilaku pembeliannya tanpa ada pertimbangan sebelumnya (Rook, 1987).

Rawlings, Boldero, dan Wiseman (dalam Ghani, Imran, & Jan, 2011) menemukan bahwa orang muda menunjukkan kecenderungan impulsivitas lebih dari orang tua. Demikian pula Mai, Jung, Lantz dan Loeb (dalam Ghani, Imran, & Jan, 2011) berpendapat bahwa orang-orang muda lebih mungkin untuk menjadi pelopor dalam mengadopsi gaya hidup baru. Mereka membeli produk baru dan modis, menikmati belanja di pasar dan oleh karena itu, rentan terhadap impuls membeli yang berlebih. Mai et al. (dalam Ghani, Imran, & Jan, 2011), juga berpendapat bahwa di sisi lain, orang-orang tua, cenderung lebih tenang dan stabil karena memiliki kemampuan untuk mengendalikan dorongan mereka untuk membuat keputusan pembelian spontan. Ini berarti bahwa konsumen muda lebih terlibat dalam pembelian impulsif daripada konsumen orang tua. Secara khusus, Lin dan Lin (2005) menyatakan bahwa pembelian impulsif memiliki efek yang signifikan antara usia 15-19 tahun. Hasil penelitian Lin dan Lin (2005) ini menunjukkan bahwa pada usia 19 tahun pembelian impulsif signifikan memiliki skor tertinggi, skor tertinggi kedua pada usia 15 tahun, dan selanjutnya pada usia 17 tahun.

Masa remaja secara global berlangsung antara usia 12 dan 21 tahun (Mönks, Knoers, & Haditono, 1999). Suntein (dalam Santrock, 2012) menyatakan bahwa masa remaja adalah masa di mana seseorang dihadapkan pada situasi yang lebih banyak melibatkan pengambilan


(23)

keputusan. Berdasarkan hasil penelitian Keating (dalam Santrock, 2012), diketahui bahwa remaja yang lebih tua lebih kompeten dibandingkan remaja yang lebih muda, dan remaja yang lebih muda juga lebih kompeten dibandingkan anak-anak.

Penelitian Logue dan Chavarro (dalam Kacen & Lee, 2002) juga menyatakan bahwa orang yang lebih muda kurang memiliki kontrol diri dibandingkan orang dewasa. Impulsif berkaitan dengan rangsangan emosional, karena pada penelitian Lawton, et al., McConatha et al., serta Siegel (dalam Kacen & Lee, 2002) dinyatakan bahwa hubungan antara usia dan impulsif konsisten dengan pembelajaran emosi dan kontrol emosi. Secara sederhana dapat diartikan bahwa setiap tahapan usia memiliki pembelajaran emosi dan kontrol emosi yang berbeda. Orang yang lebih muda memiliki pembelajaran emosi dan kontrol emosi yang belum mantap dibandingkan orang dewasa. Oleh karena itu, orang muda lebih mudah menjadi impulsif dibandingkan orang dewasa dan dapat dikatakan bahwa usia memiliki pengaruh terhadap perilaku impulsif.

Berdasarkan hasil wawancara dengan dua remaja yang berusia 19 tahun (Subjek I) dan 20 tahun (Subjek II), dinyatakan bahwa mereka sering melakukan pembelian di luar perencanaan awal. Subjek II

mengatakan bahwa: “Sebelum belanja buat daftar belanja, namun saat sampai tempat perbelanjaan justru membeli apa yang tidak direncanakan.”

Saat berada pada pusat perbelanjaan, mereka cenderung terpengaruh oleh kondisi emosional bukan rasional. Hal ini sesuai dengan yang


(24)

diungkapkan oleh subjek II, “Lebih banyak yang dibeli itu hanya

kesenangan sesaat karena dibelinya berdasarkan ketertarikan bukan

fungsinya jangka panjang.” Subjek I juga berpendapat bahwa, “... terjadi karena faktor emosi dan menarik yang mengkibatkan belanja.” Tidak

jarang uang yang ditargetkan untuk membeli barang kebutuhan justru terpakai untuk membeli barang yang tidak diperlukan. Ketertarikan sesaat akan benda tersebut membuat mereka sering kali mengalami penyesalan

setelahnya. Seperti yang diungkapkan oleh Subjek I, “Setelah berbelanja

ternyata sadar barang-barang tersebut tidak terlalu penting, dan yang penting dalam daftar belanja justru tidak terbeli dan uang sudah habis.”

Subjek II juga berpendapat sama, yaitu “Kadang ada penyesalan setelah

membeli. Sering kali pengeluaran berlebih dari target karena mata yang

tidak bisa dikontrol.”

Penjelasan dan fenomena mengenai pembelian impulsif yang telah diungkapkan tersebut menunjukkan bahwa pembelian impulsif dapat terjadi karena faktor internal dan faktor eksternal. Salah satu faktor internal yang dapat mempengaruhi pembelian impulsif ialah kepribadian (Karbasivar & Yarahmadi, 2011; Lin & Chuang, 2005; Qureshi, Zeb & Saifullah, 2012; Stern, dalam Sun & Wu, 2011; Verplanken & Herabadi, dalam Herabadi, Verplanken & Knippenberg, 2009; Verplanken & Herabadi, 2001; Verplanken & Sato, 2011). Penelitian-penelitian sebelumnya menduga bahwa sifat kepribadian dapat menunjukkan perilaku impulsif lebih dari sifat-sifat yang lainnya, seperti regulasi diri,


(25)

kondisi emosional, dan suasana hati. Selain itu, sifat kepribadian ini juga bisa membantu seseorang untuk memutuskan tingkat kecenderungan pembelian impulsif (Rook & Fisher, dalam Karbasivar & Yarahmadi, 2011). Hal ini didukung oleh penelitian Qureshi, Zeb, & Saifullah (2012) yang menunjukkan bahwa individu yang memiliki salah satu faktor dalam

Big Five, yaitu openness to experience (seperti imajinatif, sensitif secara artistik, dan intelektual) akan lebih berperilaku impulsif.

Faktor internal yang lain berdasarkan penelitian Lin dan Chuang (2005) adalah Emotional Intelligence. Lin danChuang (2005) menyatakan bahwa perilaku pembelian impulsif dapat dipengaruhi oleh Emotional Intelligence dan diduga bahwa orang dengan Emotional Intelligence yang tinggi akan signifikan memiliki perilaku pembelian impulsif yang rendah daripada orang yang memiliki Emotional Intelligence rendah. Selain itu, faktor personal seperti keinginan seseorang untuk menunjukkan identitas diri, suasana hati (mood konsumen atau keadaan emosional), untuk mengatasi ketegangan, untuk menghargai dirinya, untuk bersosialisasi atau melakukan belanja sebagai hobi, serta kurangnya kontrol juga mempengaruhi pembelian (Youn & Faber, dalam Alagöz & Ekici, 2011; Rook, 1987).

Keinginan untuk menunjukkan identitas diri dapat dilihat saat individu berminat pada barang yang menunjang penampilan sesuai dengan karakternya. Faktor personal lainnya yaitu suasana hati (mood konsumen atau keadaan emosional) seperti perasaan senang dan gembira akan


(26)

memberi pengaruh yang lebih besar terhadap pembelian impulsif. Disamping itu, keinginan individu untuk mengatasi ketegangan seperti, memenuhi dorongan untuk membeli suatu barang yang diinginkan juga mampu menyebabkan individu berperilaku impulsif. Keinginan untuk menghargai diri sendiri juga dapat ditunjukkan dengan berpenampilan lebih baik melalui barang-barang yang baik pula atau memanjakan diri dengan barang-barang yang diinginkan. Kebutuhan untuk bersosialisasi dapat dilihat saat indiviu berusaha untuk menyesuaikan dengan teman atau lingkungannya dengan barang-barang yang digunakannya. Melakukan belanja sebagai hobi, bukan berdasarkan kebutuhan serta kurangnya kontrol juga dapat mengakibabkan perilaku impulsif pada individu (Youn & Faber, dalam Alagöz & Ekici, 2011; Rook, 1987).

Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi pembelian impulsif adalah uang saku. Ketika remaja memiliki uang saku yang lebih, pembelian impulsif secara signifikan akan meningkat (Lin & Lin, 2005). Faktor eksternal yang lain adalah lingkungan seperti, atmosfer toko, lokasi rak, kemasan, gambar, warna produk, pemandangan, suara, dan bau juga dapat mempengaruhi pembelian impulsif (Eroglu & Machleit serta Mitchell, dalam Karbasivar & Yarahmadi, 2011; Karbasivar & Yarahmadi, 2011; Youn & Faber, dalam Alagöz & Ekici, 2011). Budaya merupakan salah satu bagian dalam lingkungan yang mampu mempengaruhi pembelian impulsif. Secara lebih spesifik, budaya dapat dilihat dalam kolektivis dan individualis, (Kacen & Lee, 2002; Mihić &


(27)

Kursan, 2010; Rook, 1987; Yang, Huang, & Feng, 2011) serta

ethnocentrism (Shimp & Sharma, dalam Watson & Wright, 2000; Wanninayake & Chovancova, 2012; Worchel & Cooper, dalam Shimp & Sharma, 1987).

Ethnocentrism menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pembelian impulsif (Shimp & Sharma, dalam Watson & Wright, 2000; Wanninayake & Chovancova, 2012; Worchel & Cooper, dalam Shimp & Sharma, 1987). Pernyataan ini didukung oleh penelitian Chen (2008) di Cina dan Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa orang yang memiliki ethnocentrism tinggi akan membeli produk yang dirancang dan dirakit di negara mereka, sedangkan bagi mereka dengan ethnocentrism rendah akan lebih rentan untuk membeli produk yang dirancang dan dirakit di negara luar. Hal ini dikarenakan konsep umum etnosentrisme mengungkap tentang fenomena konsumen yang fokus pada responsibilitas dan moralitas membeli produk buatan asing dan loyalitas konsumen pada produk pabrik negara mereka (Shimp & Sharma, dalam Watson & Wright, 2000). Dapat diartikan bahwa konsumen etnosentrisme berfokus pada rasa tanggung jawab konsumen untuk mengkonsumsi produk negara mereka dan penilaian baik atau tidaknya saat konsumen mengkonsumsi barang impor serta mengenai kesetiaan konsumen pada produk lokal.

Kegemaran seseorang dalam suatu budaya akan berbeda satu dengan lainnya dan kegemaran mereka dipengaruhi oleh budaya setempat (Kacen & Lee, 2002). Sebagai contoh, Korea yang dijuluki sebagai Negara


(28)

Gingseng memiliki budaya cinta terhadap produk lokal. Banyak alasan untuk warga Korsel menggunakan barang buatan dalam negeri dan mencintai produk nasional mereka. Mereka terkenal unggul dalam produksi gadget saat ini. Terlebih lagi, operator telekomunikasi Korsel juga memberi persyaratan ketat sebelum memasarkan sebuah smartphone

buatan brand asing (Kristo, 2012). Warga Seoul hampir semua menggunakan produk gadget lokal seperti Samsung ataupun LG. Demikian juga piranti rumah tangga ataupun kelengkapan lainnya. Sementara di jalanan kota Seoul, mobil didominasi oleh Hyundai. Nyaris tidak ada mobil pabrikan Jepang. Kalaupun ada mobil dari luar negeri, warga Seoul lebih memilih buatan Eropa seperti Mercy, Jeep atapun Porche. Dengan catatan, jumlahnya pun sangat sedikit (Saputra 2012).

Perilaku tersebut adalah bentuk dari ethnocentrism konsumen yang fokus pada responsibilitas dan moralitas membeli produk buatan asing dan loyalitas konsumen pada produk pabrik negara mereka (Shimp & Sharma, dalam Watson & Wright, 2000). Konsumen etnosentris melihat grup mereka sendiri sebagai pusat universal, menginterpretasi bagian sosial lain dengan perspektif grup mereka, dan menolak grup yang berasal dari budaya yang berbeda dengan mereka (Worchel & Cooper, dalam Shimp & Sharma, 1987). Mooij (2003) mengungkapkan bahwa ketika konsumen lebih memilih produk atau merek dari negara mereka sendiri dibandingkan produk atau merek dari negara lain, disebut dengan konsumen etnosentris. Shimp dan Shin (1995) menyatakan bahwa konsep umum ethnocentrism


(29)

mengungkap tentang fenomena konsumen untuk produk domestik, atau prasangka terhadap impor, ekonomi nasionalisme, serta bias budaya terhadap impor. Secara sederhana dapat diartikan bahwa ethnocentrism

berkaitan tentang sikap positif konsumen terhadap produk lokal dan pandangan negatif konsumen terhadap barang impor serta pengaruh budaya lokal (seperti, sikap nasionalis) terhadap barang asing.

Ethnocentrism juga dapat didefinisikan sebagai kecenderungan individu yang menganggap kebudayaannya sendiri sebagai superior dan merendahkan kebudayaan lainnya (Wanninayake & Chovancova, 2012).

Kecintaan akan produk lokal di Korea berbeda dengan di Indonesia. Perajin sepatu dan sandal di Desa Mojosantren, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarko, Jawa Timur, mengatakan bahwa nilai jual sepatu dan sandal yang mereka produksi akan memiliki nilai jual rendah bila diberi

merek “Made in Indonesia”. Mengatasi permasalahan ini, agar produk mereka laku di pasaran, para perajin akan memasang merek “Made in Singapore” atau “Made in Japan” (Prasetyo, 2008a). Contoh lainnya yang menunjukkan sikap antusias masyarakat Indonesia pada produk luar ialah, ketika ratusan orang rela antri untuk membeli sepatu “Crocs” merek Amerika Serikat buatan China yang sedang dijual sepertiga harga normalnya di Jakarta Convention Center (Listiyorini, 2009). Menteri perdagangan Mari Elka Pangestu memahami produk dalam negeri sering kalah bersaing dengan produk impor. Mari Elka Pangestu juga


(30)

menyatakan bahwa benar seringkali produk Indonesia tidak mampu bersaing dengan produk murah dari Tiongkok (Nuria, 2008).

Kasus lainnya, Indonesia sebenarnya memiliki dua jenis mobil buatan dalam negeri yakni mobil nasional Esemka dan Tawon. Mobil Esemka dibuat dalam dua tipe yakni, Rajawali untuk tipe SUV (sport utility vehicle). Namun, pada kenyataannya tiap menteri dan pejabat setingkat menteri di Kabinet Indonesia Bersatu II justrus diberi fasilitas mobil Toyota Crown Royal Saloon buatan Jepang oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Hal ini sangat berbeda dengan yang terjadi di negara lain. China misalnya, mereka memilih mobil buatan sendiri dibanding membeli mobil BMW atau Mercedes-Benz yang biasa dipakai sebagai kendaraan resmi pejabatnya. Sementara, Perdana Menteri Italia lebih suka menggunakan mobil Maserati yang juga merupakan produk dalam negeri. Perdana Menteri Malaysia menggunakan mobil Proton Chancellor meskipun dia juga mendapat fasilitas mobil kenegaraan BMW 740Li. Jajaran kabinet di Malaysia juga diwajibkan menggunakan mobil nasional Proton Perdana Executives (Ferdinan, 2010).

Tidak hanya dalam hal produksi mobil, Indonesia sebenarnya memiliki produk fashion yang berkualitas dengan desain beraneka ragam yang bersumber pada kearifan lokal dan budaya yang tinggi. Bertitik tolak dari keunggulan tersebut, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengungkapkan bahwa seharusnya masyarakat Indonesia bangga, mencintai serta menggunakan produk fashion Indonesia (Utami, 2012)


(31)

Korea dan beberapa negara lain mampu memiliki rasa cinta mereka terhadap produk lokal, namun di Indonesia justru sebaliknya. Walaupun produk luar berusaha masuk kedalam pasar lokal Korea, namun para konsumennya tidak menunjukkan minat mereka untuk membeli produk asing tersebut. Konsumen akan lebih selektif dalam memilih produk yang akan digunakan, sehingga pengontrolan perilaku membeli berdasarkan kebutuhan (tidak spontan) dapat terjadi. Sebaliknya di Indonesia, konsumen justru menunjukkan antusiasme yang besar untuk mengkonsumsi produk-produk buatan asing atau non-lokal yang membanjiri pasar Indonesia. Begitu banyak tawaran produk asing dapat mengakibatkan konsumen tidak selektif dalam memilih produk dan berakibat munculnya perilaku berbelanja yang terjadi secara tidak terencana, tertarik secara emosional, serta proses pembuatan keputusan dilakukan dengan cepat tanpa berpikir secara bijak dan adanya pertimbangan. Selain itu, perilaku pembelian impulsif tersebut juga dapat terjadi pada remaja yang sedang mengalami masa pergolakan yang penuh dengan konflik dan perubahan suasana hati.


(32)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan tersebut maka permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara

ethnocentrism dan kecenderunganpembelian impulsifpada remaja?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan

ethnocentrism dan kecenderunganpembelian impulsifpada remaja.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memperluas atau menambah khasanah ilmu pengetahuan psikologi konsumen dan psikologi perkembangan khususnya mengenai hubungan

ethnocentrism dan kecenderungan pembelian impulsif pada remaja.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai umpan balik dan bahan evaluasi bagi remaja berkaitan dengan pelaku pembelian impulsifnya. Evaluasi ini dapat berbentuk penilaian atau refleksi terhadap pribadi masing-masing remaja.


(33)

BAB II DASAR TEORI

A. Pembelian Impulsif (Impulsive Buying)

1. Definisi Pembelian Impulsif

Menurut Barratt (dalam Alagöz & Ekici, 2011), impulsif adalah sifat kepribadian yang didefinisikan sebagai kecenderungan bertindak tanpa pemikiran, membuat keputusan kognitif yang cepat, dan gagal untuk menghargai keadaan di luar sini dan sekarang. Membeli impulsif dapat juga dikatakan sebagai tindakan melakukan pembelian yang tidak direncanakan atau spontan (Rook & Fisher, dalam George, & Yaoyuneyong, 2010). Rook (1987) mendefinisikan pembelian impulsif sebagai perilaku berbelanja yang terjadi secara tidak terencana, tertarik secara emosional, serta proses pembuatan keputusan dilakukan dengan cepat tanpa berpikir secara bijak dan adanya pertimbangan terhadap keseluruhan informasi dan alternatif yang ada. Secara ringkas Jones, Reynolds, Weun, dan Beatty (dalam Niu & Wang, 2009) menyatakan bahwa pembelian impulsif adalah perilaku pembelian tanpa merenungkan yang terjadi tanpa pembeli terlibat dalam banyak evaluasi.

Rook dan Gardner (dalam Kacen & Lee, 2002) mendefinisikan pembelian impulsif sebagai pembelian yang tidak direncanakan yang


(34)

ditandai dengan (1) relatif cepat pengambilan keputusan, dan (2) bias subjektif dalam mendukung kepemilikan langsung. Dapat dikatakan juga bahwa membeli impulsif bersifat reaktif dan rawan terjadi pengurangan atas konsekuensi (Rook, dalam Alagöz & Ekici, 2011). Hal ini sama seperti yang diungkapkan Beatty dan Ferrell (dalam Alagöz & Ekici, 2011) yaitu, bahwa pembelian impulsif terjadi ketika konsumen tidak merenungkan banyak konsekuensi membeli produk.

Pembelian impulsif digambarkan sebagai perilaku pembelian tidak terencana yang tiba-tiba, kuat dan sering gigih mendesak untuk membeli yang dimulai secara spontan pada saat konfrontasi dengan item tertentu, serta disertai dengan perasaan senang dan kegembiraan (Rook, dalam Herabadi, Verplanken, & Knippenberg, 2009; Rook, dalam Verplanken & Herabadi, 2001). Dengan kata lain, pembelian impulsif adalah tindakan tidak disengaja, dan disertai dengan respon emosional yang kuat (Rook & Gardner, dalam Herabadi, Verplanken, & Knippenberg, 2009). Rook (dalam Verplanken & Sato, 2011) juga memberikan definisi yang komprehensif dari pembelian impulsif, yang mencakup tiga fitur utama, yaitu, pembelian yang tidak direncanakan, sulit untuk mengontrol, dan disertai dengan respons emosional.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembelian impulsif (impulsive buying) adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan kegiatan pembelian yang spontan, kurang pertimbangan terhadap keseluruhan informasi dan alternatif yang ada,


(35)

terjadi ketika ada keterikatan secara emosional (perasaan senang dan kegembiraan), bersifat mendesak, sulit untuk dikontrol, serta disertai dengan penyesalan.

2. Aspek-aspek Pembelian Impulsif

Verplanken dan Herabadi (2001) mengungkapkan dua aspek dalam pembelian impulsif, yaitu:

a. Aspek Kognitif

Aspek kognitif yang dimaksud dalam pembelian impulsif adalah kecenderungan tanpa adanya pertimbangan, pemikiran, dan merencanakan ketika membeli produk.

b. Aspek Afektif

Aspek afektif pembelian impulsif meliputi perasaan senang dan gembira, dorongan untuk membeli dan kesulitan untuk mengontrol, serta penyesalan atau rasa bersalah setelah pembelian.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembelian Impulsif a. Faktor Internal

Pada beberapa penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa kepribadian dapat mempengaruhi pembelian impulsif seseorang (Lin &Chuang, 2005; Lin & Lin, 2005; Karbasivar & Yarahmadi, 2011; Qureshi, Zeb & Saifullah, 2012; Stern, dalam Sun & Wu, 2011; Verplanken & Herabadi, 2001; Verplanken & Herabadi,


(36)

dalam Herabadi, Verplanken & Knippenberg, 2009; Verplanken & Sato, 2011;). Sifat kepribadian ini diduga dapat menunjukkan perilaku impulsif lebih dari sifat-sifat yang lainnya (seperti regulasi diri, kondisi emosional, suasana hati, dsb), serta mampu membantu seseorang untuk memutuskan tingkat kecenderungan pembelian impulsif (Rook & Fisher, dalam Karbasivar & Yarahmadi, 2011). Hal ini didukung oleh penelitian Qureshi, Zeb, dan Saifullah (2012) yang menunjukkan bahwa individu yang memiliki salah satu faktor dalam Big Five, yaitu openness to experience (seperti imajinatif, sensitif secara artistik, dan intelektual) akan berperilaku impulsif.

Emotional Intelligence dapat mempengaruhi pembelian impulsif. Hal ini diduga bahwa orang dengan Emotional Intelligence yang tinggi akan signifikan memiliki perilaku pembelian impulsif yang rendah daripada orang yang memiliki

Emotional Intelligence rendah (Lin & Chuang, 2005). Selain itu, faktor pribadi juga dapat mempengaruhi pembelian impulsif. Faktor pribadi dapat berupa keinginan seseorang untuk menunjukkan identitas sendiri, suasana hati (mood konsumen atau keadaan emosional), untuk mengatasi ketegangan, untuk menghargai dirinya sendiri, untuk bersosialisasi atau melakukan belanja sebagai hobi, serta kurangnya kontrol (Rook, 1987; Youn & Faber, dalam Alagöz & Ekici, 2011).


(37)

Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa faktor internal yang mempengaruhi pembelian impulsif ialah sifat kepribadian, Emotional Intelligence, serta faktor personal, seperti keinginan seseorang untuk menunjukkan identitas sendiri, suasana hati, cara untuk mengatasi ketegangan, untuk menghargai dirinya sendiri, untuk bersosialisasi atau melakukan belanja sebagai hobi, dan kurangnya kontrol, juga merupakan faktor internal pembelian impulsif.

b. Faktor Eksternal

Penelitian Lin dan Lin (2005) pada remaja di Taiwan mengungkapkan bahwa jumlah uang saku yang lebih dapat mengakibatkan pembelian impulsif pada remaja. Ketika remaja memiliki uang saku yang lebih, pembelian impulsif secara signifikan akan meningkat. Selain itu, lingkungan seperti, atmosfer toko, lokasi rak, kemasan, gambar, warna produk, pemandangan, suara, dan bau juga dapat mempengaruhi pembelian impulsif (Eroglu & Machleit serta Mitchell, dalam Karbasivar & Yarahmadi, 2011; Karbasivar & Yarahmadi, 2011; Mihić & Kursan, 2010; Youn & Faber, dalam Alagöz & Ekici, 2011). Budaya merupakan salah satu bagian dalam lingkungan yang mampu mempengaruhi pembelian impulsif. Secara lebih spesifik, budaya dapat dilihat dalam kolektivis dan individualis (Mihić &


(38)

Kursan, 2010; Kacen & Lee, 2002; Rook, 1987; Yang, Huang, & Feng, 2011). Pada penelitian Kacen dan Lee (2002) diungkapkan bahwa seseorang dari budaya individualis akan memiliki kecenderungan pembelian impulsif yang lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang dari budaya kolektivis. Budaya juga dapat dilihat dalam ethnocentrism (Shimp & Sharma, dalam Watson & Wright, 2000; Wanninayake & Chovancova, 2012; Worchel & Cooper, dalam Shimp & Sharma, 1987). Ethnocentrism dapat memberikan efek pada niat beli konsumen. Pada penelitian Chen (2008) di Cina dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa konsumen yang memiliki ethnocentrism tinggi akan membeli produk yang dirancang dan dirakit di negara mereka, sedangkan bagi mereka dengan ethnocentrism rendah akan lebih rentan untuk membeli produk yang dirancang dan dirakit di negara luar.

Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dilihat pengaruh budaya (khususnya ethnocentrism) terhadap pembelian impulsif.

Ethnocentrism memiliki konsep umum yang mengungkap tentang fenomena konsumen yang fokus pada responsibilitas dan moralitas membeli produk buatan asing dan loyalitas konsumen pada produk pabrik negara mereka (Shimp & Sharma, dalam Watson & Wright, 2000). Dapat juga diartikan bahwa konsumen etnosentris berfokus pada 3 hal, yaitu: 1). rasa tanggung jawab konsumen untuk mengkonsumsi produk negara mereka, 2). penilaian baik atau


(39)

tidaknya saat konsumen mengkonsumsi barang impor serta 3). kesetiaan konsumen pada produk lokal. Konsep inilah yang dapat mengarahkan ethnocentrism menjadi faktor dalam pembelian impulsif terhadap impor.

Kesimpulannya, faktor eksternal yang mempengaruhi pembelian impulsif antara lain, jumlah uang saku yang lebih serta lingkungan (atmosfer toko, lokasi rak, kemasan, gambar, warna produk), dan budaya.

B. Ethnocentrism

1. Definisi Ethnocentrism

Ethnocentrism adalah sebuah konsep yang pertama diperkenalkan oleh Sumner pada tahun 1906. Sumner mengidentifikasi ethnocentrism

sebagai kecenderungan yang menganggap kepercayaan, standar, dan kode perilaku kelompok lebih unggul dari kelompok lainnya (dalam Silva, 2010). Wanninayake dan Chovancová (2012) mendefinisikan

ethnocentrism sebagai kecenderungan individu yang menganggap kebudayaan mereka sendiri sebagai superior dan merendahkan kebudayaan lainnya. Menurut para peneliti sebelumnya seperti Luque-Martinez, Ibanez-Zapata, dan del Barrio-Garcia (dalam Silva, 2010), konsep ethnocentrism merupakan representasi dari universalitas, kecenderungan untuk melihat sendiri kelompok individu sebagai pusat alam semesta, untuk menafsirkan unit sosial lainnya dari perspektif


(40)

kelompok dan untuk menolak orang-orang yang secara budaya berbeda, membabi buta menerima mereka dari budaya yang sama. Menurut Heine (2008), ethnocentrism dapat menyebabkan orang untuk berasumsi bahwa cara hidup budaya mereka sendiri dalam beberapa hal lebih baik atau lebih alami daripada yang lain.

Secara umum, konsep ethnocentrism ialah melihat grup sebagai pusat universal, menginterpretasi bagian sosial lain dengan perspektif grup, dan menolak orang yang berasal dari budaya yang berbeda (Worchel & Cooper, dalam Shimp & Sharma, 1987). Lebih spesifik,

ethnocentrism termasuk kecenderungan untuk (1) membedakan berbagai kelompok, (2) melihat kejadian-kejadian di hal kepentingan kelompok (ekonomi, politik, dan sosial), (3) melihat kelompok sendiri sebagai pusat alam semesta dan menganggap cara hidupnya sebagai superior untuk semua lain, (4) menjadi curiga dan meremehkan kelompok lain; (5) melihat kelompok sendiri sebagai superior, kuat, dan jujur; (6) melihat kelompok lain sebagai inferior, lemah, dan jujur pengacau (LeVine & Campbell, dalam Shimp & Shin, 1995).

Shimp dan Sharma (dalam Watson & Wright, 2000) mengungkapkan bahwa konsumen etnosentris fokus pada responsibilitas dan moralitas membeli produk buatan asing dan loyalitas konsumen pada produk pabrik negara mereka. Dapat juga diartikan bahwa konsumen yang etnosentris memiliki rasa tanggung jawab untuk mengkonsumsi produk negara mereka, memiliki penilaian


(41)

baik atau tidaknya saat mengkonsumsi barang impor dan mengenai kesetiaan konsumen pada produk lokal. Menurut Silva (2010),

ethnocentrism juga dapat dikatakan sebagai istilah yang digunakan untuk mengidentifikasikan konsumen yang memposisikan superior terhadap produk dan jasa pilihan yang dipercaya berasal dari negara mereka. Mooij (2003) menyatakan bahwa ketika konsumen lebih memilih produk atau merek dari negara mereka sendiri dibandingkan produk atau merek dari negara lain, maka konsumen tersebut disebut konsumen etnosentris

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa

ethnocentrism merupakan kecenderungan konsumen untuk menganggap kebudayaan mereka sendiri sebagai superior dan merendahkan kebudayaan lainnya, atau kecenderungan konsumen memposisikan produk dan jasa pilihan yang dipercaya berasal dari negara mereka sebagai superior.

2. Aspek-aspek Ethnocentrism

Ethnocentrism dapat dilihat melalui tiga aspek yaitu, aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek konatif. Aspek kognitif berkaitan dengan pemikiran, aspek afektif berkaitan dengan perasaan, dan aspek konatif berkaitan dengan tindakan (Maio & Haddock, 2010).


(42)

3. Dampak Ethnocentrism

Penelitian Chen (2008) di Cina dan Amerika Serikat menemukan bahwa ethnocentrism memiliki efek pada niat beli. Tujuan penelitian Chen ini ialah untuk menguji efek negara asal (Country of Origin), efek keakraban merek, dan efek ethnocentrism di dua pasar berbeda yaitu Cina dan Amerika Serikat yang menggunakan

laptop sebagai stimulus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk orang yang memiliki ethnocentrism tinggi (subjek Amerika Serikat) akan membeli laptop yang dirancang dan dirakit di negara mereka (Amerika Serikat), sedangkan bagi mereka dengan

ethnocentrism rendah (subjek Cina) akan lebih berniat untuk membeli

laptop yang dirancang dan dirakit di negara Amerika Serikat.

Pernyataan tersebut juga didukung oleh hasil penelitian Chakrabarty dan Conrad (1995) yang menemukan adanya hubungan antara niat ethnocentrism dan pembelian yang dimodifikasi oleh persepsi terhadap kualitas. Hasil penelitian Chakrabarty dan Conrad menunjukkan bahwa semakin tinggi persepsi kualitas produk Amerika, semakin rendah niat pembelian produk asing. Temuan ini memberikan dukungan pada produsen barang elektronik untuk meningkatkan kualitas barang elektronik di Amerika dibandingkan dengan produsen asing.


(43)

C. Remaja

1. Definisi Remaja

Adolescence berasal dari bahasa Latin “adolescere” (kata

bendanya adolescentia = remaja), yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa (Desmita, 2007; Jahja, 2011; Steinberg, 2002). Dapat diartikan masa remaja (adolescence) ialah periode perkembangan transisi dari masa anak-anak hingga masa awal dewasa, yang memasuki pada usia kira-kira 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun (Santrock, 2002). Mönks, Knoers, dan Haditono (1999) mengungkapkan bahwa masa remaja secara global berlangsung antara usia 12 dan 21 tahun, dengan pembagian 12-15 tahun: masa remaja awal, 15-18 tahun: masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun: masa remaja akhir.

Menurut Steinberg (2002), masa remaja merupakan masa pertumbuhan, bergerak dari ketidakmatangan anak ke kedewasaan dewasa, serta masa persiapan untuk masa depan masa remaja yaitu masa transisi: biologis, psikologis, sosial, dan ekonomi. Dapat juga dikatakan bahwa remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence) pada orang tua ke arah kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral (Salzman, dalam Jahja, 2011).


(44)

Berdasarkan beberapa definisi yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan bahwa masa remaja (adolescence) ialah periode perkembangan transisi dari masa anak-anak hingga masa awal dewasa, yang memasuki usia 12 hingga 21 tahun, dengan pembagian 12-15 tahun: masa remaja awal, 15-18 tahun: masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun: masa remaja akhir.

2. Karakteristik Remaja

Seorang sarjana Psikologi Amerika Serikat G.S. Hall (dalam Sarwono, 2011; Santrock, 2012) yang disebut sebagai bapak psikologi remaja mengungkapkan bahwa, pada tahap perkembangan manusia: Masa remaja (adolence) : 12-23 tahun, yaitu masa badai dan stres (stress-and-stress view) yang mencerminkan kebudayaan modern yang penuh gejolak akibat pertentangan nilai-nilai. Dengan kata lain masa remaja adalah masa pergolakan yang penuh dengan konflik dan perubahan suasana hati (Hall dalam Santrock, 2002; Santrock, 2012).

Erik H. Erikson adalah ahli psikoanalisa yang menjadi salah satu ahli teori pertama yang mengajukan pendekatan rentang kehidupan terhadap psikologi perkembangan. Menurut Erikson, perkembangan individu melalui 8 tahapan, yaitu kepercayaan dan ketidakpercayaan, otonomi dengan rasa malu dan keragu-raguan, inisiatif dan perasaan bersalah, kompetensi dan inferiorotas, identitas dan kebingungan identitas, keintiman dan keterkucilan, bangkit dan mandeg, serta


(45)

integritas ego dan kekecewaan (Santrock, 1995, Wade & Tavris, 2008b). Menurut Erikson (1989), tahap kelima (12-23 tahun) merupakan konflik psikososial yang muncul pada mula pubertas.

Konflik psikososial ini adalah “identitas” melawan “kekacauan

identitas”. Pemuda ditimpa oleh sekian banyak masalah yang berasal dari proses fisiologis dan seksualnya.

Remaja juga mengalami perkembangan pada aspek kognisi sosialnya. Menurut Dacey dan Kenny (dalam Desmita, 2007), yang dimaksud dengan kognisi sosial adalah kemampuan untuk berpikir secara kritis mengenai isu-isu dalam hubungan interpersonal, yang berkembang sejalan dengan usia dan pengalaman, serta berguna untuk memahami orang lain dan menentukan bagaimana melakukan interaksi dengan mereka. Santrock (2007; Santrock 2012) menyatakan bahwa egosentrisme remaja (adolescent egocentrism) merupakan kesadaran diri pada remaja yang meningkat, yang tercermin dalam keyakinan mereka bahwa orang lain berminat terhadap diri mereka seperti halnya mereka terhadap dirinya sendiri.

Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa selain mengalami perubahan fisiologis, remaja juga mengalami perkembangan pada aspek kognisi sosialnya (kemampuan untuk berpikir secara kritis mengenai isu-isu dalam hubungan interpersonal), serta perkembangan pada aspek sosio-emosi (seperti, konflik


(46)

D. Dinamika Hubungan Ethnocentrism dan Kecenderungan Pembelian Impulsif pada Remaja

Remaja merupakan masa di mana seseorang dihadapkan pada situasi yang lebih banyak melibatkan pengambilan keputusan (Suntein, dalam Santrock, 2012). Termasuk untuk menentukan menggunakan produk lokal ataupun non-lokal. Kalangan remaja merupakan pengguna produk impor yang paling mencolok saat ini. Maka dari itu, Kementerian Perdagangan RI, terus membangun kesadaran dengan memberikan program sosialisasi produk Indonesia yang digelar di Balikpapan dan beberapa kota lain. Minat para remaja pada produk impor memang sulit diatasi, ditambah lagi dengan adanya tradisi latah yang umumnya melanda para remaja tersebut (Balikpapan Pos, 2012). Hal ini dapat terjadi karena kurang adanya

ethnocentrism dalam diri remaja saat ini.

Ethnocentrism merupakan kecenderungan untuk menganggap kebudayaan mereka sendiri sebagai superior dan menurunkan kebudayaan lainnya (Wanninayake & Chovancová, 2012). Ethnocentrism juga dapat digunakan untuk mengidentifikasikan konsumen yang memposisikan superior terhadap produk dan jasa pilihan yang dipercaya berasal dari negara mereka (Silva, 2010). Shimp dan Sharma (dalam Watson & Wright 2000) mengungkapkan bahwa konsumen etnosentris fokus pada responsibilitas dan moralitas membeli produk buatan asing dan loyalitas konsumen pada produk pabrik negara mereka. Dapat diartikan bahwa


(47)

konsumen etnosentris berfokus pada rasa tanggung jawab konsumen untuk mengkonsumsi produk negara mereka, memiliki penilaian baik atau tidaknya saat mengkonsumsi barang impor, dan mengenai kesetiaan konsumen pada produk lokal.

Ethnocentrism secara tidak langsung memberikan dampak pada niat beli konsumen lokal. Konsumen ethnocentrism akan lebih selektif atau mampu berpikir secara bijak dan penuh pertimbangan dalam memilih produk yang akan mereka gunakan. Sebaliknya, apabila konsumen tidak memiliki ethnocentrism, maka konsumen justru lebih rentan terhadap produk-produk buatan asing. Hal ini didukung dengan hasil penelitian Chen (2008) yang menunjukkan bahwa orang yang memiliki ethnocentrism tinggi akan membeli produk yang dirancang dan dirakit di negara mereka, sedangkan bagi mereka dengan ethnocentrism rendah akan lebih rentan untuk membeli produk yang dirancang dan dirakit di negara luar. Dalam hal ini, konsumen akan tidak selektif lagi dalam mempertimbangkan banyaknya tawaran produk buatan asing yang masuk ke dalam pasar lokal. Dengan demikian, niat beli konsumen terhadap produk asing pun tidak dapat terkendalikan lagi. Hal ini dapat mengakibatkan munculnya kecenderungan pembelian impulsif pada konsumen.

Rook (1987) mendefinisikan pembelian impulsif sebagai perilaku berbelanja yang terjadi secara tidak terencana, tertarik secara emosional, serta proses pembuatan keputusan dilakukan dengan cepat tanpa berpikir


(48)

secara bijak dan adanya pertimbangan terhadap keseluruhan informasi dan alternatif yang ada. Dapat juga dikatakan bahwa membeli impulsif digambarkan sebagai perilaku pembelian yang tidak direncanakan yang ditandai oleh, tiba-tiba, kuat dan sering gigih mendesak untuk membeli yang dimulai secara spontan pada saat konfrontasi dengan aitem tertentu, dan disertai dengan perasaan senang dan kegembiraan (Rook, dalam Herabadi, Verplanken, & Knippenberg, 2009; Rook, dalam Verplanken & Herabadi, 2001).

Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa

ethnocentrism dapat memberikan dampak terhadap pembelian impulsif pada konsumen yang secara khusus dalam penelitian ini ialah remaja. Hal ini didukung juga dengan karakteristik remaja yang memasuki masa pergolakan yang penuh dengan konflik dan perubahan suasana hati.

Bagan Hubungan Ethnocentrism dan Kecenderungan Pembelian Impulsif

Remaja ethnocentrism

tinggi

selektif terhadap produk impor

niat dan kecenderungan

pembelian impulsif terhadap


(49)

E. Hipotesis

Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan, maka hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan negatif antara ethnocentrism dengan kecenderungan pembelian impulsif pada remaja. Semakin tinggi

ethnocentrism, maka semakin rendah kecenderungan perilaku pembelian impulsif. Sebaliknya, semakin rendah ethnocentrism justru semakin meningkatkan kecenderungan perilaku pembelian impulsif.


(50)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasi. Penelitian korelasi bertujuan untuk mendeskripsikan kekuatan relasi antara minimal dua peristiwa atau karakteristik. Semakin kuat korelasi (atau hubungan) antara dua peristiwa, maka semakin efektif dalam memprediksikan suatu peristiwa berdasarkan peristiwa lainnya (Whitley, dalam Santrock, 2007; Santrock, 2012). Menurut Azwar (2009), penelitian korelasional bertujuan menyelidiki sejauh mana variasi pada satu variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau lebih variabel lain, berdasarkan koefisien korelasi.

B. Variabel Penelitian

Variabel Bebas (Independent) : Kecenderungan Pembelian Impulsif Variabel Tergantung (Dependent) : Ethnocentrism

C. Definisi Operasional

1. Ethnocentrism

Ethnocentrism merupakan kecenderungan pada remaja untuk menganggap kebudayaan sendiri sebagai superior dan menurunkan kebudayaan lainnya, atau kecenderungan remaja memposisikan produk dan jasa pilihan yang dipercaya berasal dari negara mereka


(51)

sebagai superior. Pengukuran Ethnocentrism ini menggunakan skala

ethnocentrism yang terdiri dari tiga aspek yaitu, aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek konatif. Skor rendah yang diperoleh dalam skala tersebut menunjukkan bahwa subjek memiliki ethnocentrism yang rendah. Sebaliknya, skor tinggi pada skala ethnocentrism

menunjukkan bahwa subjek memiliki ethnocentrism yang tinggi.

2. Kecenderungan Pembelian Impulsif

Kecenderungan pembelian impulsif (impulsive buying) adalah kecenderungan remaja untuk melakukan kegiatan pembelian yang spontan, kurang pertimbangan terhadap keseluruhan informasi dan alternatif yang ada, terjadi ketika ada keterikatan secara emosional (perasaan senang dan kegembiraan), bersifat mendesak, sulit untuk dikontrol, serta disertai dengan penyesalan. Pengukuran kecenderungan pembelian impulsif ini menggunakan skala kecenderungan pembelian impulsif yang terdiri dari aspek kognitif dan aspek afektif. Kecenderungan pembelian impulsif diukur dengan skala kecenderungan pembelian impulsif. Skor rendah yang diperoleh dalam skala tersebut menunjukkan bahwa subjek memiliki kecenderungan pembelian impulsif yang rendah. Sebaliknya, jika skor tinggi yang diperoleh pada skala kecenderungan pembelian impulsif, maka dapat dikatakan bahwa subjek memiliki kecenderungan pembelian impulsif yang tinggi.


(52)

D. Subjek Penelitian

Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja berusia antara 12 dan 21 tahun, dengan pembagian 12-15 tahun: masa remaja awal, 15-18 tahun: masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun: masa remaja akhir (Mönks, Knoers, & Haditono, 1999).

Metode sampling yang digunakan pada penelitian ini ialah

Convenience Sampling, yaitu pemilihan sampel dilakukan peneliti berdasarkan pada ketersediaan sampel atau kemudahan sampel untuk diperoleh (Kountur, 2003).

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah metode penskalaan model Likert. Alat pengumpulan data yang digunakan untuk mengukur kecenderungan pembelian impusif adalah skala pembelian impulsif. Skala pembelian impulsif ini dikembangkan berdasarkan aspek kognitif dan aspek afektif dalam teori Verplanken dan Herabadi (2001).

Pengukuran Ethnocentrism dalam penelitian ini menggunakan skala

ethnocentrism. Pada penelitian ini, pengukuran ethnocentrism diukur melalui tiga aspek, yaitu aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek konatif.

Pada skala pembelian impulsif, peneliti menyusun 40 butir pernyataan yang terdiri 20 butir pernyataan favorable dan 20 butir


(53)

pernyataan unfavorable. Sedangkan pada skala ethnocentrism, peneliti menyusun 15 butir pernyataan favorable. Penggunaan 15 aitem ini ditujukan untuk mengefektifkan waktu pengerjaan skala. Pernyataan-pernyataan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 1

Blue Print Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif Sebelum Seleksi Aitem

No. Aspek Nomer Aitem Jumlah Bobot

Favorable Unfavorable

1. 2.

Aspek Kognitif Aspek Afektif

1, 2, 3, 4, 5, 1, 22, 23, 23, 25

11, 12, 13, 14, 15, 31, 32, 33, 34, 35

6, 7, 8, 9, 10, 26, 27, 28, 29, 30 16, 17, 18, 19, 20, 36, 37, 38, 39, 40

20 20

50% 50%

Total 40 100%

Tabel 2

Blue Print Skala Ethnocentrism Sebelum Seleksi Aitem

No. Aspek No. Aitem Favorable Jumlah Bobot

1. 2. 3. Aspek Kognitif Aspek Afektif Aspek Konatif

1, 4, 7, 10, 13 2, 5, 8, 11, 14 3, 6, 9, 12, 15

5 5 5 33,3% 33,3% 33,3%

Total 15 100%

Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif terdiri dari pernyataan

favorable dan unfavorable. Sedangkan Skala Ethnocentrism hanya terdiri dari pernyataan favorable, dengan pertimbangan bahwa pernyataan

favorable sudah mampu mewakili pernyataan unfavorable serta menghindari terjadinya negasi pada pernyataan favorable. Pernyataan

favorable adalah pernyataan yang mendukung objek sikapnya sedangkan pernyataan unfavorable adalah pernyataan yang tidak mendukung objek sikapnya (Supratiknya, 1998b). Dalam menjawab pernyataan-pernyataan


(54)

tersebut, subjek diberi 4 kategori respon yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Penggunaan 4

kategori respon tanpa adanya kategori respon “netral” digunakan dengan

pertimbangan bahwa penyajian titik tengah hanya memberikan kemudahan bagi subjek yang tidak bersedia mengerjakan tugas dengan serius atau yang defensif dalam menunjukkan karakteristik pribadinya (Friedenberg, 1995).

Pada pernyataan favorable, jawaban Sangat Sesuai (SS) akan mendapat skor 4, jawaban Sesuai (S) akan mendapat skor 3, jawaban Tidak Sesuai (TS) akan mendapat skor 2, dan jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS) akan mendapat skor 1. Pada pernyataan favorable skor tinggi mengindikasikan bahwa subjek memiliki kecenderungan pembelian impulsif pada skala pembelian impulsif. Sedangkan jawaban rendah mengindikasikan bahwa subjek cenderung tidak memiliki kecenderungan pembelian impulsif pada skala pembelian impulsif. Pada Skala

Ethnocentrism, dapat mengindikasikan bahwa subjek akan memiliki kecenderungan etnosentris bila subjek memilih dua kategori respon dengan skor tinggi yaitu Sangat Sesuai (SS) dengan skor 4 dan Sesuai (S) dengan skor 3. Sedangkan bila subjek memilih dua kategori respon dengan skor rendah yaitu Tidak Sesuai (TS) dengan skor 2 dan Sangat Tidak Sesuai (STS) dengan skor 1, maka hal ini dapat mengindikasikan bahwa subjek tidak memiliki kecenderungan etnosentris.


(55)

Tabel 3

Skor Favorable Skala Kecenderungan

Pembelian Impulsif dan Skala Ethnocentrism

Respon Skor

Sangat Sesuai 4

Sesuai 3

Tidak Sesuai 2

Sangat Tidak Sesuai 1

Pada pernyataan unfavorable, jawaban Sangat Setuju (SS) akan mendapat skor 1, jawaban Sesuai (S) akan mendapat skor 2, jawaban Tidak Sesuai (TS) akan mendapat skor 3, dan jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS) akan mendapat skor 4. Pada pernyataan unfavorable skor tinggi mengindikasikan bahwa subjek tidak memiliki kecenderungan pembelian impulsif pada Skala Pembelian Impulsif. Sedangkan jawaban rendah mengindikasikan bahwa subjek memiliki kecenderungan pembelian impulsif pada Skala Pembelian Impulsif.

Tabel 4

Skor Unfavorable Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif

Respon Skor

Sangat Sesuai 1

Sesuai 2

Tidak Sesuai 3

Sangat Tidak Sesuai 4

F. Validitas dan Reliabilitas

1. Validitas

Penelitian ini menggunakan validitas isi yang diselidiki melalui analisis rasional terhadap isi tes serta didasarkan penilaian (judgement) yang bersifat subjektif (Supratiknya, 1998a). Penyusunan


(56)

instrumen berupa Skala Pembelian Impulsif dan Skala Ethnocentrism

didasarkan pada aspek-aspek dalam teori yang ada. Pengujian validitas dilakukan oleh ahli (experts judgment) yaitu dosen pembimbing skripsi. Penilaian ini dilakukan berdasarkan kesesuaian aitem-aitem dalam tes dengan aspek-aspek yang hendak diungkap serta kesesuaian dengan blue print. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memilih aitem-aitem yang representatif dari keseluruhan bahan yang berkenaan dengan aspek yang hendak diukur (Nasution, 2011).

2. Seleksi Aitem

Seleksi aitem dilakukan dengan cara menguji kesesuaian karakteristik masing-masing aitem dengan aspek yang mewakili setiap variabel. Pada penelitian ini, seleksi aitem dilakukan berdasarkan daya diskriminasi atau daya beda. Suatu aitem dikatakan memilliki daya diskriminasi tinggi bila semua atau sebagian Kelompok Tinggi menjawab dengan hasil besar dan semua atau sebagian Kelompok Rendah mendapat nilai rendah. Semakin besar proporsi penjawab tinggi dari Kelompok Tinggi dan Kelompok Rendah, semakin besarlah daya diskriminasi suatu aitem (Supratiknya, 1998b).

Kesesuaian fungsi aitem dengan fungsi skala dalam mengungkap individual dapat ditunjukkan oleh parameter daya beda aitem yang berupa koefisien korelasi antara distribusi skor aitem dengan distribusi skor total skala (rix). Besarnya koefisien korelasi


(57)

aitem-total bergerak dari 0 - 1,00 dengan tanda positif atau negatif. Semakin baik daya deskriminasi aitem maka koefisien korelasinya semakin mendekati angka 1,00. Sebaliknya, koefisien yang mendekati angka 0 atau yang memiliki tanda negatif mengindikasikan bahwa aitem tersebut tidak memiliki daya deskriminasi. Batasan rix ≥ 0,30

biasanya digunakan sebagai kriteria pemilihan aitem berdasarkan korelasi aitem-total. Aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,30 daya bedanya dianggap memuaskan. Sebaliknya, aitem yang memiliki harga rix kurang dari 0,30 dapat dinyatakan sebagai aitem

yang memiliki daya beda rendah (Azwar, 2013).

Peneliti melakukan uji coba Skala Pembelian Impulsif dan Skala Ethnocentrism pada 202 subjek (Siswa SMA Katolik Thomas Aquino Tabanan-Bali, Mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, dan Mahasiswa Sekolah Tinggi Injili Indonesia-Bali) yang berusia antara 12 – 21 tahun. Skala yang terkumpul kemudian diproses dan diseleksi menggunakan batas kriteria indeks daya beda aitem yakni 0,30. Pada Skala Pembelian Impulsif menunjukkan bahwa dari 40 aitem terdapat 35 aitem yang baik dan 5 aitem yang kurang baik. Jumlah aitem yang kurang baik belum mampu menyeimbangkan komposisi tiap aspeknya. Oleh karena itu, peneliti melakukan penyeleksian kedua secara manual dengan melihat skor terendah lainnya pada tiap aspek, kemudian peneliti melakukan pengguguran pada skor rendah tersebut sehingga komposisi pada tiap aspek sama.


(58)

Setelah melalui proses penyeleksian kedua, maka ditetapkan jumlah aitem yang tidak lolos adalah 8 aitem. Jadi, jumlah aitem yang lolos adalah 32 aitem.

Tabel 5

Blue Print Skala Pembelian Impulsif Setelah Uji Coba

No. Aspek Nomer Aitem Jumlah Bobot

Favorable Unfavorable 1. 2. Aspek Kognitif Aspek Afektif

1, 2, 3, 4, 5, 21,

22, 23, 24, 25 11, 12, 13,14, 15, 31, 32, 33, 34, 35

6, 7, 8, 9, 10, 26, 27, 28, 29, 30 16, 17, 18, 19, 20, 36, 37, 38,

39, 40

16 16

50% 50%

Total 32 100%

Ket. : Angka yang dicetak tebal adalah aitem yang gugur dalam penelitian

Pada Skala Ethnocentrism menunjukkan bahwa dari 15 aitem tidak terdapat aitem yang kurang baik karena semua aitem memiliki nilai diatas 0,30 (> 0,30). Dengan kata lain, semua aitem adalah baik dan dapat langsung dipergunakan.

Tabel 6

Blue Print Skala Ethnocentrism Setelah Uji Coba

No. Aspek No. Aitem Favorable Jumlah Bobot

1. 2. 3. Aspek Kognitif Aspek Afektif Aspek Konatif

1, 4, 7, 10, 13 2, 5, 8, 11, 14 3, 6, 9, 12, 15

5 5 5 33,3% 33,3% 33,3%


(59)

3. Reliabilitas

Sinonim atau kata lain dari reliabilitas adalah konsistensi dan stabilitas (Supratiknya, 1998a). Artinya, suatu alat pengukur dikatakan

reliable bila alat ukur itu dalam mengukur suatu gejala pada waktu yang berlainan senantiasa menunjukkan hasil ukur yang sama (Nasution, 2011). Penelitian ini menggunakan pendekatan konsistensi internal yang bertujuan untuk melihat konsistensi antar aitem atau antar bagian dalam tes (Azwar, 2007). Rumus yang digunakan untuk mencari estimasi reliabilitas konsistensi internal dalam penelitian ini adalah Alpha (α) Cronbach.

Berdasarkan hasil perhitungan, Skala Pembelian Impulsif pada penelitian ini memiliki koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,916. Hal ini menunjukkan bahwa Skala Pembelian Impulsif tersebut sangat reliabel. Sedangkan Skala Ethnocentrism memiliki koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,930. Hasil koefisien tersebut menunjukkan bahwa Skala Ethnocentrism tersebut sangat reliabel (Sarwono, 2006).

G. Metode Analisis Data

1. Uji Asumsi a. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengecek apakah data penelitian berasal dari populasi yang sebarannya normal. Uji ini perlu dilakukan karena semua perhitungan statistik parametrik


(60)

memiliki asumsi normalitas sebaran (Santoso, 2010). Uji normalitas dilakukan dengan Kolomogorov-Smirnov. Jika nilai sig. atau p > 0,05 maka dapat disimpulkan hipotesis nol gagal ditolak, yang berarti data yang diuji memiliki distribusi yang tidak berbeda dari data yang normal, atau data yang diuji memiliki distribusi normal. Sebaliknya, jika p < 0,05 maka dapat disimpulkan hipotesis nol ditolak, yang berarti data yang diuji memiliki distribusi yang berbeda dari data yang normal, atau data yang diuji memiliki distribusi tidak normal (Santoso, 2010).

b. Uji Linearitas

Uji linearitas menyatakan bahwa hubungan antar variabel yang hendak dianalisis itu mengikuti garis lurus. Oleh karenanya, peningkatan atau penurunan kuantitas pada satu variabel, akan diikuti secara linear oleh peningkatan atau penurunan kuantitas pada variabel lainnya. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa uji lineritas digunakan untuk melihat kekuatan hubungan antara dua variabel. Jika nilai sign. atau p > 0,05 maka terdapat hubungan tidak linear atau hubungan antara dua variabel lemah (Santoso, 2010).


(61)

2. Uji Hipotesis

Analisis penelitian ini menggunakan metode Product Moment Pearson. Uji korelasi Product Moment Pearson digunakan dengan alasan untuk melihat apakah ada hubungan antara ethnocentrism dan kecenderungan pembelian impulsif pada remaja. Koefisien yang dihasilkan bernilai -1 hingga +1, yang menunjukkan apakah hubungan tersebut positif atau negatif (Prasetyo, 2008b). Jika nilai sig. (p) < 0,05 maka H0 ditolak atau ada hubungan yang signifikan antara dua variabel. Sebaliknya, jika nilai sig. (p) > 0,05 maka H0 gagal ditolak atau tidak ada hubungan yang signifikan antara dua variabel (Trihendradi, 2009).


(62)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilaksanakan di tiga tempat yang berbeda, yaitu di SMP Joannes Boscho Yogyakarta, SMA Kristen Immanuel Kalasan, dan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pelaksanaan penelitian di SMP Joannes Boscho dilaksanakan pada tanggal 2 September 2013 dengan subjek terdiri dari 3 kelas yaitu kelas XI Cooperation, kelas XIII Simplicity, dan kelas XII Peace. Sedangkan pemberian skala di SMA Kristen Immanuel dilaksanakan pada tanggal 3 September 2013 dan pengambilan kembali skala pada tanggal 9 September 2013. Penyebaran skala pada mahasiswa Universitas Sanata Dharma berlangsung pada tanggal 6 - 10 September 2013.

B. Deskripsi Subjek Penelitian

Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja laki-laki dan perempuan berusia antara 12 tahun hingga 21 tahun. Jumlah Subjek secara keseluruhan adalah 161 orang dengan jumlah pada masing-masing masa remaja, yaitu 63 remaja awal, 53 remaja pertengahan, dan 45 remaja akhir.


(63)

Tabel 7

Data Usia Subjek Penelitian

Usia Jumlah

12 – 15 tahun 15 – 18 tahun 18 – 21 tahun

63 orang 53 orang 45 orang

Total 161 orang

Tabel 8

Data Jenis Kelamin Subjek Penelitian

Jenis Kelamin Jumlah

Laki-laki Perempuan

77 orang 84 orang

Total 161 orang

C. Deskripsi Data Penelitian

Peneliti melakukan perbandingan antara mean teoritis dan mean empiris pada data yang peroleh. Jika mean empiris lebih besar daripada mean teoritis maka dapat disimpulkan bahwa subjek penelitian memiliki kecenderungan pembelian impulsif dan ethnocentrism yang tinggi. Sebaliknya, bila mean empiris lebih kecil daripada mean teoritis maka dapat disimpulkan bahwa subjek penelitian memiliki kecenderungan pembelian impulsif dan ethnocentrism yang rendah.

Mean teoritis adalah rata-rata skor alat ukur penelitian yang diperoleh dengan perhitungan manual. Mean empiris adalah rata-rata skor data penelitian yang diperoleh dari deskripsi data di statistik.


(64)

Tabel 9

Data Teoritis dan Empiris

Variabel N P SD Mean Teoritis Mean Empiris

Min. Mak. Mean Min. Mak. Mean

Kecenderungan Pembelian

Impulsif 161

.000 12.210 32 128 80 34 114 68.88

Ethnocentrism .201 7.398 15 60 37,5 15 60 38.25 Hasil dari uji t pada skala kecenderungan pembelian impulsif dan

skala ethnocentrism memiliki nilai p sebesar 0,000 yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara mean empiris dan mean teoritis. Pada tabel 9, skala kecenderungan pembelian impulsif memiliki mean teoritis sebesar 80 dan mean empiris sebesar 68,88. Berdasarkan hasil tersebut, mean teoritis lebih besar dibandingkan mean empiris, maka dapat disimpulkan bahwa subjek penelitian pada kenyataannya memiliki kecenderungan pembelian impulsif yang rendah. Sedangkan pada skala ethnocentrism memiliki mean teoritis yang diperoleh sebesar 37,5 dan mean empiris sebesar 38,25. Hal ini menunjukkan bahwa mean empiris lebih besar daripada mean teoritis, tetapi tidak dapat dikatakan tinggi secara signifikan. Hal ini dikarenakan nilai p sebesar 0,201. Dengan kata lain, subjek penelitian pada kenyataannya memiliki ethnocentrism yang tinggi namun diragukan (karena tidak signifikan).


(65)

D. Hasil Penelitian

1. Uji Asumsi

a. Uji Normalitas

Berdasarkan hasil analisis Kolmogorov-Smirnov

menggunakan SPSS 16.0 For Windows, diperoleh nilai p untuk skala kecenderungan pembelian impulsif sebesar 0,200. Karena nila signifikansi variabel lebih besar dari 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa data pada variabel kecenderungan pembelian impulsif berdistribusi normal. Sama halnya dengan skala

ethnocentrism yang memiliki nilai p sebesar 0,200, maka dapat disimpulkan bahwa data pada variabel ethnocentrism juga memiliki distribusi yang normal.

Tabel 10

Hasil Uji Normalitas

Kolmogorov-Smirnova

Statistic df Sig.

k.p.impulsif .057 161 .200*

etnosentris .063 161 .200*

b. Uji Linearitas

Hasil uji linearitas menunjukkan nilai signifikansi pada Linearity sebesar 0,263. Karena signifikansi lebih besar dari 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa antara variabel kecenderungan pembelian impulsif dan ethnocentrism tidak terdapat hubungan yang linear.


(66)

Tabel 11

Hasil Uji Linearitas

F Sig.

k.p.impulsif * ethnocentrism

(Combined) 2.159 .001

Linearity 1.263 .263

Deviation from Linearity 2.186 .001

Scatter Plot

Berdasarkan bagan 1, scatter plot menunjukkan pola yang tidak mengikuti garis lurus. Hal ini menunjukkan bahwa data tidak linear.

2. Uji Hipotesis

Pada penelitian ini, uji hipotesis tidak dilakukan karena hasil menunjukkan bahwa data tidak linear. Maka dari itu, pengujian korelasi Product Moment Pearson tidak dapat digunakan. Hal ini


(67)

dikarenakan data yang dibutuhkan dalam korelasi product moment

diasumsikan memiliki hubungan yang linear (Santoso, 2010). Maka dari itu dapat dikatakan bahwa tidak ada hubungan antara

ethnocentrism dengan kecenderungan pembelian impulsif pada remaja. Dapat diartikan pula bahwa hipotesis dalam penelitian ini ditolak.

E. Analisis Tambahan

Pada penelitian ini, peneliti melakukan analisis tambahan terhadap data demografis subjek. Peneliti melakukan perbandingan mean pada setiap kelompok usia subjek terhadap variabel kecenderungan pembelian impulsif dan variabel ethnocentrism. Pada variabel kecenderungan pembelian impulsif diperoleh mean antara usia dan jenis kelamin subjek sebagai berikut:

Tabel 12

Mean Usia dan Jenis Kelamin Subjek pada Variabel Kecenderungan Pembelian Impulsif

JK Usia Mean

Laki-laki

12-15 tahun 69.00*

15-18 tahun 65.38

18-21 tahun 68.09

Total 67.51

Perempuan

12-15 tahun 70.19

15-18 tahun 70.33*

18-21 tahun 69.94

Total 70.13*

Total

12-15 tahun 69.49*

15-18 tahun 67.62

18-21 tahun 69.49*


(68)

Peneliti juga melakukan uji beda dengan tujuan untuk membandingkan rata-rata dua populasi (Sarwono, 2006). Berikut merupakan hasil data uji beda kelompok berdasarkan jenis kelamin dan usia subjek penelitian pada variabel kecenderungan pembelian impulsif.

Tabel 13

Data Uji Beda Kelompok Berdasarkan Jenis Kelamin Subjek pada Variabel Kecenderungan Pembelian Impulsif

t df

Sig. (2-tailed) Mean Difference Std. Error Difference 95% Confidence Interval of the

Difference Lower Upper

Equal -1.366 159 .174 -2.624 1.921 -6.419 1.170

Unequal -1.378 157.180 .170 -2.624 1.905 -6.387 1.138

Berdasarkan hasil data pada tabel 13, dapat diketahui signifikansi sebesar 0,174. Karena signifikansi lebih dari 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan kecenderungan pembelian impulsif pada subjek laki-laki dan subjek perempuan.

Tabel 14

Data Uji Beda Kelompok Berdasarkan Usia Subjek pada Variabel Kecenderungan Pembelian Impulsif

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Between Groups 124.072 2 62.036 .413 .662

Within Groups 23729.443 158 150.186

Total 23853.516 160

Tabel 14 menunjukkan signifikansi sebesar 0,662. Karena signifikansi lebih dari 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa kecenderungan pembelian impulsif pada ketiga kelompok usia subjek


(69)

tidak terdapat perbedaan. Selanjutnya perhitungan uji beda antara jenis kelamin dan usia pada subjek laki-laki dan subjek perempuan.

Tabel 15

Data Uji Beda Kelompok Berdasarkan Jenis Kelamin dan Usia pada Subjek pada Variabel Kecenderungan Pembelian Impulsif

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Laki-laki

Between

Groups 217.510 2 108.755 .915 .405

Within Groups 8791.737 74 118.807

Total 9009.247 76

Perempuan

Between

Groups 2.305 2 1.153 .006 .994

Within Groups 14565.254 81 179.818

Total 14567.560 83

Tabel 15 menunjukkan nilai signifikansi pada remaja laki-laki sebesar 0,405. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara remaja laki-laki awal, pertengahan, dan akhir. Sedangkan pada remaja perempuan nilai signifikansi yang diperoleh adalah 0,994. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara remaja awal, remaja pertengahan, dan remaja akhir. Selanjutnya perhitungan mean antara usia dan jenis kelamin subjek dilakukan pada variabel ethnocentrism dengan data sebagai berikut:

Tabel 16

Mean Usia dan Jenis Kelamin Subjek pada Variabel Ethnocentrism

JK Usia Mean

Laki-laki

12-15 tahun 35.84 15-18 tahun 38.59 18-21 tahun 42.45*

Total 37.82


(70)

Pada variabel ethnocentrism, peneliti juga melakukan uji beda dengan tujuan untuk membandingkan rata-rata dua populasi (Sarwono, 2006). Hasil data uji beda berdasarkan jenis kelamin dan usia subjek penelitian pada variabel ethnocentrism adalah sebagai berikut:

Tabel 17

Data Uji Beda Kelompok Berdasarkan Jenis Kelamin Subjek pada Variabel Ethnocentrism

t df Sig.

(2-tailed) Mean Difference Std. Error Difference 95% Confidence Interval of the

Difference Lower Upper

Equal -.705 159 .482 -.825 1.169 -3.133 1.484

Unequal -.698 142.489 .487 -.825 1.182 -3.161 1.512

Hasil pada tabel 17 menunjukkan signifikansi sebesar 0,482. Signifikansi yang lebih dari 0,05 dapat disimpulkan bahwa ethnocentrism

pada ketiga kelompok usia remaja tidak terdapat perbedaan.

Tabel 18

Data Uji Beda Kelompok Berdasarkan Usia Subjek pada Variabel Ethnocentrism

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Between Groups 30.843 2 15.421 .279 .757

Within Groups 8725.220 158 55.223

Total 8756.062 160

15-18 tahun 39.00 18-21 tahun 37.00

Total 38.64*

Total

12-15 tahun 37.75 15-18 tahun 38.77* 18-21 tahun 38.33


(1)

Lampiran 10

Hasil Uji Beda Kelompok

Berdasarkan

Jenis Kelamin pada

Variabel Kecenderungan

Pembelian Impulsif


(2)

F Sig. t df tailed) Difference Difference Lower Upper k.p.impulsif Equal variances

assumed 2.795 .097 -1.366 159 .174 -2.624 1.921 -6.419 1.170 Equal variances


(3)

Lampiran 11

Hasil Uji Beda Kelompok

Berdasarkan

Jenis Kelamin pada

Variabel

Ethnocentrism


(4)

F Sig. t df Sig. (2-tailed) Mean Difference Std. Error

Difference Lower Upper etnosentrisme Equal variances assumed 2.884 .091 -.705 159 .482 -.825 1.169 -3.133 1.484

Equal variances not


(5)

Lampiran 12


(6)