Pembelian Impulsif DASAR TEORI

13

BAB II DASAR TEORI

A. Pembelian Impulsif

Impulsive Buying 1. Definisi Pembelian Impulsif Menurut Barratt dalam Alagöz Ekici, 2011, impulsif adalah sifat kepribadian yang didefinisikan sebagai kecenderungan bertindak tanpa pemikiran, membuat keputusan kognitif yang cepat, dan gagal untuk menghargai keadaan di luar sini dan sekarang. Membeli impulsif dapat juga dikatakan sebagai tindakan melakukan pembelian yang tidak direncanakan atau spontan Rook Fisher, dalam George, Yaoyuneyong, 2010. Rook 1987 mendefinisikan pembelian impulsif sebagai perilaku berbelanja yang terjadi secara tidak terencana, tertarik secara emosional, serta proses pembuatan keputusan dilakukan dengan cepat tanpa berpikir secara bijak dan adanya pertimbangan terhadap keseluruhan informasi dan alternatif yang ada. Secara ringkas Jones, Reynolds, Weun, dan Beatty dalam Niu Wang, 2009 menyatakan bahwa pembelian impulsif adalah perilaku pembelian tanpa merenungkan yang terjadi tanpa pembeli terlibat dalam banyak evaluasi. Rook dan Gardner dalam Kacen Lee, 2002 mendefinisikan pembelian impulsif sebagai pembelian yang tidak direncanakan yang 13 14 ditandai dengan 1 relatif cepat pengambilan keputusan, dan 2 bias subjektif dalam mendukung kepemilikan langsung. Dapat dikatakan juga bahwa membeli impulsif bersifat reaktif dan rawan terjadi pengurangan atas konsekuensi Rook, dalam Alagöz Ekici, 2011. Hal ini sama seperti yang diungkapkan Beatty dan Ferrell dalam Alagöz Ekici, 2011 yaitu, bahwa pembelian impulsif terjadi ketika konsumen tidak merenungkan banyak konsekuensi membeli produk. Pembelian impulsif digambarkan sebagai perilaku pembelian tidak terencana yang tiba-tiba, kuat dan sering gigih mendesak untuk membeli yang dimulai secara spontan pada saat konfrontasi dengan item tertentu, serta disertai dengan perasaan senang dan kegembiraan Rook, dalam Herabadi, Verplanken, Knippenberg, 2009; Rook, dalam Verplanken Herabadi, 2001. Dengan kata lain, pembelian impulsif adalah tindakan tidak disengaja, dan disertai dengan respon emosional yang kuat Rook Gardner, dalam Herabadi, Verplanken, Knippenberg, 2009. Rook dalam Verplanken Sato, 2011 juga memberikan definisi yang komprehensif dari pembelian impulsif, yang mencakup tiga fitur utama, yaitu, pembelian yang tidak direncanakan, sulit untuk mengontrol, dan disertai dengan respons emosional. Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembelian impulsif impulsive buying adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan kegiatan pembelian yang spontan, kurang pertimbangan terhadap keseluruhan informasi dan alternatif yang ada, 15 terjadi ketika ada keterikatan secara emosional perasaan senang dan kegembiraan, bersifat mendesak, sulit untuk dikontrol, serta disertai dengan penyesalan. 2. Aspek-aspek Pembelian Impulsif Verplanken dan Herabadi 2001 mengungkapkan dua aspek dalam pembelian impulsif, yaitu: a. Aspek Kognitif Aspek kognitif yang dimaksud dalam pembelian impulsif adalah kecenderungan tanpa adanya pertimbangan, pemikiran, dan merencanakan ketika membeli produk. b. Aspek Afektif Aspek afektif pembelian impulsif meliputi perasaan senang dan gembira, dorongan untuk membeli dan kesulitan untuk mengontrol, serta penyesalan atau rasa bersalah setelah pembelian. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembelian Impulsif a. Faktor Internal Pada beberapa penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa kepribadian dapat mempengaruhi pembelian impulsif seseorang Lin Chuang, 2005; Lin Lin, 2005; Karbasivar Yarahmadi, 2011; Qureshi, Zeb Saifullah, 2012; Stern, dalam Sun Wu, 2011; Verplanken Herabadi, 2001; Verplanken Herabadi, 16 dalam Herabadi, Verplanken Knippenberg, 2009; Verplanken Sato, 2011;. Sifat kepribadian ini diduga dapat menunjukkan perilaku impulsif lebih dari sifat-sifat yang lainnya seperti regulasi diri, kondisi emosional, suasana hati, dsb, serta mampu membantu seseorang untuk memutuskan tingkat kecenderungan pembelian impulsif Rook Fisher, dalam Karbasivar Yarahmadi, 2011. Hal ini didukung oleh penelitian Qureshi, Zeb, dan Saifullah 2012 yang menunjukkan bahwa individu yang memiliki salah satu faktor dalam Big Five , yaitu openness to experience seperti imajinatif, sensitif secara artistik, dan intelektual akan berperilaku impulsif. Emotional Intelligence dapat mempengaruhi pembelian impulsif. Hal ini diduga bahwa orang dengan Emotional Intelligence yang tinggi akan signifikan memiliki perilaku pembelian impulsif yang rendah daripada orang yang memiliki Emotional Intelligence rendah Lin Chuang, 2005. Selain itu, faktor pribadi juga dapat mempengaruhi pembelian impulsif. Faktor pribadi dapat berupa keinginan seseorang untuk menunjukkan identitas sendiri, suasana hati mood konsumen atau keadaan emosional, untuk mengatasi ketegangan, untuk menghargai dirinya sendiri, untuk bersosialisasi atau melakukan belanja sebagai hobi, serta kurangnya kontrol Rook, 1987; Youn Faber, dalam Alagöz Ekici, 2011. 17 Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa faktor internal yang mempengaruhi pembelian impulsif ialah sifat kepribadian, Emotional Intelligence, serta faktor personal, seperti keinginan seseorang untuk menunjukkan identitas sendiri, suasana hati, cara untuk mengatasi ketegangan, untuk menghargai dirinya sendiri, untuk bersosialisasi atau melakukan belanja sebagai hobi, dan kurangnya kontrol, juga merupakan faktor internal pembelian impulsif. b. Faktor Eksternal Penelitian Lin dan Lin 2005 pada remaja di Taiwan mengungkapkan bahwa jumlah uang saku yang lebih dapat mengakibatkan pembelian impulsif pada remaja. Ketika remaja memiliki uang saku yang lebih, pembelian impulsif secara signifikan akan meningkat. Selain itu, lingkungan seperti, atmosfer toko, lokasi rak, kemasan, gambar, warna produk, pemandangan, suara, dan bau juga dapat mempengaruhi pembelian impulsif Eroglu Machleit serta Mitchell, dalam Karbasivar Yarahmadi, 2011; Karbasivar Yarahmadi, 2011; Mihić Kursan, 2010; Youn Faber, dalam Alagöz Ekici, 2011. Budaya merupakan salah satu bagian dalam lingkungan yang mampu mempengaruhi pembelian impulsif. Secara lebih spesifik, budaya dapat dilihat dalam kolektivis dan individualis Mihić 18 Kursan, 2010; Kacen Lee, 2002; Rook, 1987; Yang, Huang, Feng, 2011. Pada penelitian Kacen dan Lee 2002 diungkapkan bahwa seseorang dari budaya individualis akan memiliki kecenderungan pembelian impulsif yang lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang dari budaya kolektivis. Budaya juga dapat dilihat dalam ethnocentrism Shimp Sharma, dalam Watson Wright, 2000; Wanninayake Chovancova, 2012; Worchel Cooper, dalam Shimp Sharma, 1987. Ethnocentrism dapat memberikan efek pada niat beli konsumen. Pada penelitian Chen 2008 di Cina dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa konsumen yang memiliki e thnocentrism tinggi akan membeli produk yang dirancang dan dirakit di negara mereka, sedangkan bagi mereka dengan ethnocentrism rendah akan lebih rentan untuk membeli produk yang dirancang dan dirakit di negara luar. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dilihat pengaruh budaya khususnya ethnocentrism terhadap pembelian impulsif. Ethnocentrism memiliki konsep umum yang mengungkap tentang fenomena konsumen yang fokus pada responsibilitas dan moralitas membeli produk buatan asing dan loyalitas konsumen pada produk pabrik negara mereka Shimp Sharma, dalam Watson Wright, 2000. Dapat juga diartikan bahwa konsumen etnosentris berfokus pada 3 hal, yaitu: 1. rasa tanggung jawab konsumen untuk mengkonsumsi produk negara mereka, 2. penilaian baik atau 19 tidaknya saat konsumen mengkonsumsi barang impor serta 3. kesetiaan konsumen pada produk lokal. Konsep inilah yang dapat mengarahkan ethnocentrism menjadi faktor dalam pembelian impulsif terhadap impor. Kesimpulannya, faktor eksternal yang mempengaruhi pembelian impulsif antara lain, jumlah uang saku yang lebih serta lingkungan atmosfer toko, lokasi rak, kemasan, gambar, warna produk, dan budaya. B. Ethnocentrism 1. Definisi Ethnocentrism Ethnocentrism adalah sebuah konsep yang pertama diperkenalkan oleh Sumner pada tahun 1906. Sumner mengidentifikasi ethnocentrism sebagai kecenderungan yang menganggap kepercayaan, standar, dan kode perilaku kelompok lebih unggul dari kelompok lainnya dalam Silva, 2010. Wanninayake dan Chovancová 2012 mendefinisikan ethnocentrism sebagai kecenderungan individu yang menganggap kebudayaan mereka sendiri sebagai superior dan merendahkan kebudayaan lainnya. Menurut para peneliti sebelumnya seperti Luque- Martinez, Ibanez-Zapata, dan del Barrio-Garcia dalam Silva, 2010, konsep ethnocentrism merupakan representasi dari universalitas, kecenderungan untuk melihat sendiri kelompok individu sebagai pusat alam semesta, untuk menafsirkan unit sosial lainnya dari perspektif 20 kelompok dan untuk menolak orang-orang yang secara budaya berbeda, membabi buta menerima mereka dari budaya yang sama. Menurut Heine 2008, ethnocentrism dapat menyebabkan orang untuk berasumsi bahwa cara hidup budaya mereka sendiri dalam beberapa hal lebih baik atau lebih alami daripada yang lain. Secara umum, konsep ethnocentrism ialah melihat grup sebagai pusat universal, menginterpretasi bagian sosial lain dengan perspektif grup, dan menolak orang yang berasal dari budaya yang berbeda Worchel Cooper, dalam Shimp Sharma, 1987. Lebih spesifik, ethnocentrism termasuk kecenderungan untuk 1 membedakan berbagai kelompok, 2 melihat kejadian-kejadian di hal kepentingan kelompok ekonomi, politik, dan sosial, 3 melihat kelompok sendiri sebagai pusat alam semesta dan menganggap cara hidupnya sebagai superior untuk semua lain, 4 menjadi curiga dan meremehkan kelompok lain; 5 melihat kelompok sendiri sebagai superior, kuat, dan jujur; 6 melihat kelompok lain sebagai inferior, lemah, dan jujur pengacau LeVine Campbell, dalam Shimp Shin, 1995. Shimp dan Sharma dalam Watson Wright, 2000 mengungkapkan bahwa konsumen etnosentris fokus pada responsibilitas dan moralitas membeli produk buatan asing dan loyalitas konsumen pada produk pabrik negara mereka. Dapat juga diartikan bahwa konsumen yang etnosentris memiliki rasa tanggung jawab untuk mengkonsumsi produk negara mereka, memiliki penilaian 21 baik atau tidaknya saat mengkonsumsi barang impor dan mengenai kesetiaan konsumen pada produk lokal. Menurut Silva 2010, ethnocentrism juga dapat dikatakan sebagai istilah yang digunakan untuk mengidentifikasikan konsumen yang memposisikan superior terhadap produk dan jasa pilihan yang dipercaya berasal dari negara mereka. Mooij 2003 menyatakan bahwa ketika konsumen lebih memilih produk atau merek dari negara mereka sendiri dibandingkan produk atau merek dari negara lain, maka konsumen tersebut disebut konsumen etnosentris Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa ethnocentrism merupakan kecenderungan konsumen untuk menganggap kebudayaan mereka sendiri sebagai superior dan merendahkan kebudayaan lainnya, atau kecenderungan konsumen memposisikan produk dan jasa pilihan yang dipercaya berasal dari negara mereka sebagai superior. 2. Aspek-aspek Ethnocentrism Ethnocentrism dapat dilihat melalui tiga aspek yaitu, aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek konatif. Aspek kognitif berkaitan dengan pemikiran, aspek afektif berkaitan dengan perasaan, dan aspek konatif berkaitan dengan tindakan Maio Haddock, 2010. 22 3. Dampak Ethnocentrism Penelitian Chen 2008 di Cina dan Amerika Serikat menemukan bahwa ethnocentrism memiliki efek pada niat beli. Tujuan penelitian Chen ini ialah untuk menguji efek negara asal Country of Origin , efek keakraban merek, dan efek ethnocentrism di dua pasar berbeda yaitu Cina dan Amerika Serikat yang menggunakan laptop sebagai stimulus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk orang yang memiliki ethnocentrism tinggi subjek Amerika Serikat akan membeli laptop yang dirancang dan dirakit di negara mereka Amerika Serikat, sedangkan bagi mereka dengan ethnocentrism rendah subjek Cina akan lebih berniat untuk membeli laptop yang dirancang dan dirakit di negara Amerika Serikat. Pernyataan tersebut juga didukung oleh hasil penelitian Chakrabarty dan Conrad 1995 yang menemukan adanya hubungan antara niat ethnocentrism dan pembelian yang dimodifikasi oleh persepsi terhadap kualitas. Hasil penelitian Chakrabarty dan Conrad menunjukkan bahwa semakin tinggi persepsi kualitas produk Amerika, semakin rendah niat pembelian produk asing. Temuan ini memberikan dukungan pada produsen barang elektronik untuk meningkatkan kualitas barang elektronik di Amerika dibandingkan dengan produsen asing. 23

C. Remaja