membantu, kerelaan berbagi menjadi inspirasi dalam kehidupan bersama Bab II hal.44.
Deskripsi data aspek memahami sesama dengan
mean
16,95 dari 60 suster menunjukkan bahwa sebanyak
28 suster 47 sangat mampu memahami sesama. Sedangkan, mampu sebanyak 32 suster 53. Hal ini menunjukkan bahwa suster
mampu untuk memahami sesama. Sebagai suster-suster MASF, tentulah suster-
suster memiliki sikap saling memahami sesama untuk menjaga dan mengatasi
salah paham dan konflik dalam hidup bersama. Kekurangan dan kelebihan bukan menjadi perbedaan melainkan untuk saling melengkapi satu dengan yang lainnya,
sehingga mencerminkan pribadi yang menghidupi persaudaraan. Pedoman kita adalah sikap menghargai, memahami perbedaan, dan menciptakan kedamaian.
Kita berpangkal pada Yesus Kristus yang melimpahkan Roh-Nya bagi kita Konst.13.
Deskripsi data aspek menerima satu sama lain dengan
mean
16,32 dari 60 suster menunjukkan bahwa sebanyak 20 suster 33 sangat mampu menerima
satu sama lain, mampu sebanyak 40 suster 67. Hal ini menunjukkan bahwa suster mampu menerima satu sama lain khususnya sesama dalam komunitas.
Perbedaan yang ada dilihat sebagai sesuatu yang membuat persaudaraan semakin indah dan juga merupakan bagian dari hidup sebagai religius yang dipanggil dan
dipilih untuk saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Deskripsi data aspek memaafkan dengan
mean
18,92 dari 60 suster menunjukkan bahwa sebanyak 22 suster 37 sangat mampu memaafkan
sedangkan, mampu sebanyak 38 suster 63. Hal ini menunjukkan bahwa suster
juga mampu untuk memaafkan sesamanya. Setiap masalah yang ada diusahakan dan tidak dibiarkan berlarut-larut sehingga relasi dengan sesama terjalin baik
bahkan persaudaraan semakin erat. Pengalaman memaafkan ini bisa terjadi karena adanya kerendahan hati dan kesediaan dari setiap pribadi untuk memaafkan.
Deskripsi data aspek melayani dengan
mean
18,60 dari 60 suster menunjukkan bahwa sebanyak 18 suster 30 sangat mampu melayani
sedangkan, mampu melayani 42 suster 70. Hal ini menunjukkan bahwa suster mampu melayani. Kesediaan bekerja tanpa pamrih merupakan sikap yang
dibangun dalam komunitas, dalam bekerja yang diutamakan bukan upah melainkan pelayanan. Dikatakan oleh Yesus sendiri Aku datang bukan untuk
dilayani melainkan melayani dan untuk memberikan-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang Mat 20:28, kata Yesus ini menjadi suatu inspirasi dalam seluruh
hidup dan pelayanan sebagai suster MASF. Deskripsi data aspek cinta yang mengabdi dengan
mean
16,75 dari 60 suster menunjukkan bahwa sebanyak 26 suster 44 sangat setuju dengan cinta
yang mengabdi sedangkan, setuju dengan cinta yang mengabdi 43 suster 56. Hal ini menunjukkan bahwa suster setuju dengan adanya cinta yang mengabdi.
Cinta yang mengabdi dalam arti bahwa cinta kepada Allah lebih diutamakan oleh mereka dibandingkan dengan memikirkan harta benda.
Dipertegas oleh Darminta bahwa harta benda dilihat sebagai sarana yang membantu dan mendukung dalam
tugas pelayanan BAB II hal.39. Deskripsi data aspek kebersamaan dengan
mean
16,5 menunjukkan bahwa sebanyak 24 suster 40 memilih sangat setuju dengan kebersamaan, memilih
setuju sebanyak 36 suster 60. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar suster setuju dengan adanya kebersamaan dalam komunitas sehingga
persaudaraan semakin terbangun dan terpelihara dengan baik. Selain itu, dengan
adanya kebersamaan, semua barang-barang yang ada dalam komunitas menjadi milik bersama entah itu hasil kerja sendiri mau pun hasil kerja bersama.
B. Keterbatasan Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini penulis mengalami beberapa hambatan, kekurangan dan keterbatasan yaitu:
1. Apabila responden mengisi kuesioner kurang sesuai dengan realitas dan pengalaman yang sebenarnya, sehingga kebenaran tidak dapat diukur dan
juga beberapa item dibuang karena nilai validitasnya kurang dari standar yang ditentukan yakni 0,254.
2. Penulis memiliki keterbatasan waktu dalam penelitian sehingga kuesioner yang diberikan kepada responden bersifat uji terpakai. Dengan demikian
peneliti tidak bisa melakukan perbaikan nomor butir pernyataan yang tidak valid untuk kemudian dicoba lagi.
3. Penulis mengalami keterbatasan dalam mencari buku-buku acuan yang mendukung khususnya yang berkaitan dengan variabel persaudaraan, apalagi
kongregasi memiliki buku yang terbatas. 4. Penulis memiliki keterbatasan pengetahuan dan kemampuan dalam membuat
pernyataan kuesioner yang baik.
C. Refleksi
1. Penghayatan kaul kemiskinan
Berdasarkan hasil data yang diperoleh dari 60 responden suster-suster MASF berkaitan dengan penghayatan kaul kemiskinan para suster dalam
meningkatkan persaudaraan mengalami perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan masing-masing suster, baik sebagai komunitas maupun sebagai
Kongregasi secara umum. Dengan penghayatan kaul kemiskinan semakin
meningkatkan persaudaraan yang sejati dalam kehidupan dan tugas pelayanan suster-suster MASF, kemiskinan telah dihidupi bahkan menjadi sesuatu yang
melekat dalam hidup dan diwujudkan dalam sikap dan cara hidup sehari-hari. Berdasarkan pada kemiskinan harta benda bahwa untuk menjadi murid Kristus
diharapkan mampu meninggalkan harta milik demi kerajaan Allah, artinya bahwa Allah menjadi segala-galanya dalam perjalanan hidup ini. Allah yang menjadi
tujuan akhir Bab II hal.14 Penghayatan kaul kemiskinan dalam hal ini memang telah diwujudkan
oleh para suster MASF dengan lebih memperhatikan dan terlibat secara langsung dengan kehidupan orang-orang kecil, lemah dan tersingkir. Kongregasi MASF
sendiri memiliki sasaran utama dalam pelayanan yakni pelayanan terhadap kaum miskin. Berdasarkan keprihatinan dari pendiri kongregasi suster MASF; Pater
Antonius Maria Trampe sehingga didirikannya kongregasi Suster MASF untuk menjawab dan menanggapi kerinduan umat. Karya pelayanan kongregasi MASF
salah satunya di bidang sosial yang menangani anak-anak yang kurang mampu dan kurang mendapat perhatian, sehingga didirikan panti asuhan dan asrama
sebagai tempat tinggal. Asrama dan panti asuhan inilah menjadi tempat mereka untuk belajar dan menimba ilmu demi masa depan mereka.
Dari segi penghayatan kaul kemiskinan yang terdiri dari enam aspek yakni partisipasi dalam kemiskinan Kristus, beradaptasi, hidup sederhana, membatasi
diri dalam penggunaan harta benda, tanggung jawab dan solider menunjukkan bahwa secara keseluruhan suster-suster mampu untuk membangun penghayatan
kaul kemiskinan dalam hidup sehari-hari secara baik. Bahkan suster-suster
menyadari bahwa bentuk dari penghayatan kaul kemiskinan adalah bersedia dan mau seperti Yesus sendiri yang telah rela mengorbankan seluruh hidup-Nya demi
keselamatan banyak orang. Dengan keenam aspek ini masing-masing memberi gambaran yang baik bagi suster-suster dalam melihat dan merefleksikan tentang
penghayatan kaul kemiskinan terhadap persaudaraan. Dengan demikian dari variabel penghayatan kaul kemiskinan secara
keseluruhan suster-suster mampu dalam penghayatan kaul kemiskinan terhadap persaudaraan secara sungguh-sungguh dan lebih baik. Dari pernyataan yang
diberikan melalui kuesioner rata-rata menjawab bahwa mereka mampu untuk menghayati hidup
sebagai seorang religius terlebih dalam penghayatan kaul kemiskinan terhadap persaudaraan yang menjadi bagian dan tujuan dari kehidupan
religius. Penghayatan kaul kemiskinan terhadap persaudaraan mampu dihayati
dengan baik dalam kongregasi karena adanya keberanian dan kesediaan untuk sungguh-sungguh mengembangkan sikap penghayatan. Penghayatan untuk
melihat setiap motivasi dan tujuan dari pilihan hidup yang telah dipilih yakni sebagai suster MASF. Kemiskinan yang dihayati bertujuan untuk meneladan
hidup Yesus Kristus, yang “meskipun kaya, Ia rela menjadi miskin karena kita manusia”Kor 8:9. Kemiskinan Yesus merupakan gaya hidup yang didasarkan
atas cinta-Nya yang tanpa batas terhadap manusia. Penghayatan terlihat dengan adanya kesediaan dan usaha untuk
menghayati kemiskinan; kemiskinan pribadi mengajak untuk berani lepas bebas serta yakin dengan pilihan hidup yang telah diambil, kemiskinan pribadi sangat
penting bagi seorang religius untuk semakin memantapkan panggilannya dalam mengikuti Kristus dengan sungguh-sungguh.
Seperti yang dikatakan oleh Darminta bahwa kemiskinan merupakan hak istimewa dari seorang yang sangat
dewasa, yang tidak memerlukan untuk memperpanjang kepribadiaannya kepada harta benda. Mereka sudah sampai kepada taraf, dimana mereka merasa sudah
penuh dan lengkap dalam hidupnya sendiri Bab II hal.27. Dalam kemiskinan karya menekankan adanya sikap yang mau terlibat
dalam kehidupan kaum miskin, dan yang lebih penting yakni kemiskinan itu lebih utama dihayati ditengah komunitas suster MASF Bab II hal.29. Sedangkan
kemiskinan komunitas dikatakan bahwa kemiskinan komunitas bukan hanya dilihat pada harta benda yang dimiliki oleh komunitas, pada zaman ini kemiskinan
diletakkan pada persepektif hubungan antara pribadi yang menutut sikap rendah hati, pelayanan, hamba dan pengosongan diri Bab II hal.29.
2. Persaudaraan
Dari 60 suster-suster yang dijadikan sampel dalam penelitian ini menunjukkan bahwa mereka juga mampu untuk menjunjung tinggi nilai
persaudaraan dalam relasi dengan sesama terlebih dengan suster-suster yang hidup satu komunitas dan juga dalam kongregasi secara luas. Dalam hal ini keluarga
kudus menjadi inspirasi bagi suster-suster MASF. Keluarga kudus menjadi teladan hidup suster-suster MASF. Keluarga yang sederhana dan hidup dalam
kerukunan antara satu dengan yang lainnya. Susah dan senang dipikul secara bersama-sama sebagai satu keluarga Besar Suster-suster MASF.
Kebersamaan sangat ditekankan dari masing-masing suster MASF untuk lebih menumbuhkembangkan rasa persaudaraan antara satu dengan yang lainnya.
Dengan demikan tidak akan ada persaingan dalam kehidupan religius, melainkan yang ada yakni mau memahami sesama, menerima satu sama lain, memaafkan,
melayani, cinta yang mengabdi, dan kebersamaan dalam kongregasi suster-suster MASF. Keenam aspek yang diteliti ini sangat membantu suster-suster untuk
semakin memperjelas nilai-nilai persaudaraan dalam relasi dengan sesama yang berbeda namun disatukan dalam ikatan dengan menyatakan diri untuk menjadi
anggota suster-suster MASF. Persaudaraan dalam perbedaan sangat indah selain kita bisa belajar banyak
hal dari mereka kita juga bisa menjadi berkat bagi orang lain, artinya bahwa satu dengan yang lainnya tidak bisa dipisahkan karena sebagai makhluk sosial kita
saling membutuhkan dan saling melengkapi. Dikatakan bahwa perbedaan yang
ada bukan menjadi sesuatu yang menghambat kita dalam hidup bersama dengan yang lain melainkan menjadi suatu kesempatan yang baik untuk saling belajar.
Perbedaan memberi kekayaan untuk semakin menghargai dan menghormati sesama Bab II hal.38.
Dengan adanya keenam aspek ini mau mengajak dan menyadarkan bahwa betapa pentingnya arti persaudaraan dalam hidup bersama. Persaudaraan yang
mau menerima teguran dan kritik yang membangun, tidak dendam, kesediaan bekerja tanpa pamrih, mengutamakan cinta Allah dan harta benda yang ada
menjadi milik bersama sebagai satu saudari dalam kongregasi suster-suster MASF. Persaudaraan menciptakan kerukunan, kedamaian dan kesatuan dengan
sesama. Variabel Y yakni Persaudaraan secara keseluruhan menunjukkan bahwa
suster-suster mampu untuk hidup dalam persaudaraan bersama dengan yang lainnya. Sejauh ini perbedaan yang ada, baik dari suku, bahasa, sikap dan karakter
tidak lagi menjadi masalah bagi suster-suster MASF dalam hidup bersama. Dengan menghidupi cara dan sikap hidup dari keluarga kudus sendiri yang
sederhana tetapi hidup dalam kerukunan antara yang satu dengan yang lainnya. Persaudaraan juga menjadi dasar yang memang harus dimiliki dan dihidupi oleh
suster-suster MASF yang menjadikan keluarga kudus sebagai pelindung dan teladan hidup.
Spiritualitas persaudaraan MASF tercipta dengan memperhatikan unsur- unsur yang ada seperti visi dan misi yang mengedepankan tujuan yang sama