Allah “sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan
manusia” Flp 2:6-7. Untuk menjadi murid Kristus kita dituntut untuk meninggalkan segala
harta milik demi kerajaan Allah. Kerajaan Allah dibandingkan-Nya dengan harta yang tersembunyi di ladang dan dengan intan yang berharga. Nilainya mengatasi
segala-galanya, sehingga untuk memperolehnya orang harus mempertaruhkan segalanya yang dimilikinya Mat 13:44-46. Para Rasul juga meninggalkan segala
harta miliknya demi untuk menjadi murid-Nya Mrk 10: 28. Yang mau diwujudkan dalam kemiskinan oleh para Rasul adalah suatu dasar tuntutan
Kerajaan Allah yang lebih dalam, Yaitu tuntutan untuk “mencari dahulu Kerajaan Allah dan yang lain akan diberikan” Mat 6:24-34.
Mahatma 2013:40, menjelaskan bahwa kemiskinan tidak sama dengan menolak hak milik namun menyediakan segala sesuatu yang dimiliki seperti
barang, tenaga, waktu untuk orang lain. Dalam kerangka ini, barang-barang material dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk mengabdi pada Tuhan dan
sesama, dan bukan demi memuaskan hasrat dan hobi pribadi. Di dalam kehidupan kaum religius, Suparno 2004:37-38 mengingatkan
penjabaran beberapa aturan pokok dari penghayatan kaul kemiskinan yang menyangkut harta benda antara lain:
a Semua uang dan harta yang diperoleh atau diterima oleh anggota dari luar harus diserahkan kepada tarekat atau komunitas.
b Anggota yang membutuhkan sesuatu, entah harta atau uang, akan minta kepada pimpinan komunitas atau Tarekat.
c Harta Tarekat adalah milik bersama yang harus digunakan bersama dan dipertanggungjawabkan dengan sungguh-sungguh. Tidak ada milik pribadi
d Anggota sebaiknya hanya meminta dan menggunakan barang atau harta sejauh diperlukan untuk hidup dan karyanya; dan tidak menumpuk untuk
dirinya sendiri. Inilah semangat lepas bebas pada harta sebagai wujud hidup sederhana hidup dalam kemiskinan.
Sebagai kaum religius perlu untuk mengambil sikap yang wajar dan semestinya terhadap barang-barang. Kemiskinan merupakan suatu sikap dinamis
seseorang, yang mengatur hubungannya dengan alam dan budaya. Untuk lebih mengetahui secara lebih mendalam Darminta menjelaskan sebagai berikut:
“Benda-benda atau barang-barang yang kita temui dalam hidup, ternyata merupakan anugerah dari Allah, yang harus disempurnakan dan digunakan
dengan sikap hormat terhadap arti dan keindahan barang dan dengan sikap hormat kepada siapa barang itu digunakan. Dalam segala kebutuhan, idea-
idea, cita-cita dan daya tangkap manusia kepada barang-barang itu, orang mampu mempunyai sikap hormat kepada benda itu, hanya bila berulang
kali orang mengambil jarak dari dimensi lahiriah barang-barang itu 1975:50-51.
Dari penjelasan ini kita diajak dan diharapkan untuk mampu melihat dan menyadari bahwa barang-barang atau benda-benda yang ada adalah anugerah dari
Allah sehingga kitapun harus menggunakan dengan sikap hormat. Dengan segala kebutuhan hidup, kita juga belajar untuk mengendalikan diri terhadap keinginan-
keinginan dan terlebih mengambil jarak sehingga sikap hormat kita semakin tumbuh dan berdaya guna.
Semangat kemiskinan sejati dapat membuat kita Menahan diri untuk cepat-cepat mendapatkan hasil menurut keinginan kita sendiri, cepat-cepat
mengadakan perombakan, atau cepat-cepat menutup diri kepada perubahan. Selain itu juga semangat kemiskinan sejati akan memberi kesabaran, penuh
pengertian dan tahu menggunakan bakat-bakat atau anugerah-anugerah yang dimilikinya, demi kemajuan manusia dan bukannya kemajuan sendiri Darminta,
1975:52
2 Kemiskinan Sebagai Sikap Batin
Hidup dan karya Yesus untuk manusia ialah bahwa Ia menjadi miskin sekalipun Ia kaya, supaya kita menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya 2 Kor
8:9. Maksudnya bahwa bukan pertama-tama kemiskinan ekonomis, tetapi mengenai penghampaan Diri-Nya dengan menjadi manusia. Ia melepaskan
kemuliaan ilahi yang merupakan milik-Nya dan dengan itu Ia melengkapi manusia yang miskin dengan kekayan ilahi, yaitu diterima sebagai anak Allah
Daminta, 1983:48-49. Kemiskinan sebagai sikap batin lebih menekankan pada sikap percaya
sepenuh-penuhnya kepada penyelanggaraan ilahi. Sikap seperti ini harus dimiliki oleh para pengikut Kristus yang pola hidupnya ditentukan oleh hadirnya Allah
dan Kerajaan-Nya. Pada dasarnya bahwa manusia adalah seorang miskin yang tidak dapat hidup sendiri dan mencukupi kebutuhannya sendiri. Dengan demikian
kemiskinan religius mengungkapkan satu kenyataan dasar pada manusia yang
sepenuh-penuhnya bergantung pada Allah. Allah pencipta adalah sumber dan asal segalanya, sedangkan manusia adalah makhluk yang menerima segalanya.
Kaum religius perlu hidup dalam kebebasan batin artinya keadaan batin yang tidak terikat kepada sesuatu yang bukan dari Tuhan. Batinnya tidak lekat
pada banyak hal seperti: kekayaan, harta, kekuasaan, keserakahan, gengsi, ketakutan dan manusia. Berkaitan dengan sikap batin ini Suparno 2011:199-120
menegaskan kembali bahwa: “Orang yang sungguh lepas bebas hanya demi Tuhan, akan lebih merasa
gembira melepaskan segala sesuatu yang tidak diperlukan dalam mengabdi Tuhan. Akibatnya, ia menjadi orang yang gembira di manapun karena
tidak terikat pada hal dan barang lain, kecuali Tuhan. Ia dapat gembira pada waktu sakit, mengalami kegagalan, bahkan juga dijatuhkan orang
lain”.
Dalam urain ini mau dikatakan bahwa orang yang hidup dalam kebebasan batin terdalam lebih dikuasai oleh Tuhan. Tuhan menjadi satu-satunya andalan
dan pegangannya. Bahkan yang diutamakan adalah mencari kehendak Tuhan dalam seluruh hidupnya seperti: dalam pekerjaan, perutusan, dan pergaulan.
Kebebasan batin mengantar seseorang untuk dapat menghadapi siapapun tanpa
takut, tanpa kekhawatiran, karena Tuhan menjadi pegangannya.
b. Kaul Kemiskinan Kenabian
Seorang nabi dipahami sebagai pribadi yang kuat dan berani berkorban untuk membantu orang lain. Dia memiliki relasi yang istimewa dan baik dengan
Tuhan, sebagai utusan Allah yang membawa pembebasan dan keselamatan dari Allah sendiri bagi banyak orang. Darminta 1994:32, mengatakan seorang nabi
adalah pertama seorang utusan Allah dan kedua berperan untuk menyatakan bahwa Allah sungguh memperhatikan kemalangan manusia dan bertekad
membebaskan. Peranan dari nabi sendiri adalah mengingatkan Israel agar kembali kepada hidup menurut hukum Tuhan, kasih, keadilan dan kebenaran dan
persaudaraan
bdk
.Ams 2:6-16.
c. Kemiskinan Salib
Salib biasa dihubungkan dengan suatu kesulitan atau kesukaran hidup yang dialami oleh manusia. Kesukaran menantang kita untuk mengubah situasi
atau memperbaiki diri. itu bukan salib. Selain itu juga kalau ada hal yang perlu dilepaskan atau dikorbankan, tetapi demi sesuatu yang dianggap lebih bernilai
meskipun berat, namun ada motif jelas tidak bisa dikatakan salib. Salib itu tidak dapat kita hindari, tetapi kita pikul Verbeek, 1981:60.
Belajar dari pengalaman Yesus dalam menerima salib, meskipun sulit dan berat namun demi kesetiaan dan ketaatan-Nya kepada Bapa dan cinta-Nya kepada
manusia sehingga Dia berani untuk mengorbankan seluruh hidup-Nya dikayu salib. Bapa menghendaki, agar Yesus tetap setia dan taat kepada panggilan-Nya:
mewartakan kebaikan dan kerahiman Bapa. Ketaatan ini dihendaki Bapa, ketaatan yang tidak tahu batas. “Taat sampai mati, sampai mati disalib” Flp 2:8.
Dipaparkan oleh Verbeek 1981:63 kalau dalam bahasa pengalaman kita sendiri, Yesus berani melepaskan SEGALA pegangan untuk masa depan karena
Bapa menantikan-Nya. Namun dalam pengalaman-Nya sendiri salib itu begitu berat dan sukar diterima, sehingga saat Ia bergantung pada salib, Ia berseru
kepada Bapa,“Ya Allah-Ku, Ya Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Daku?” Mrk 15:34. Ia berani mempercayakan Diri selalu kepada Bapa.
Berkaitan dengan salib, Verbeek 1981:64 membuat kesimpulan yang perlu diperhatikan sebagai berikut:
1 Bukan Bapa yang menghendaki salib itu, Bapa menghendaki kataatan Putera- Nya meskipun berkonsekuen salib.
2 Salib itu merupakan kemenangan dari kejahatan yang tidak dapat dibenarkan dan tidak mungkin diberi arti dengan sendirinya. Demi keadilan orang tidak
dapat menerima salib ini, sejauh itu didirikan oleh manusia bagi salah seorang saudara yang tidak bersalah.
3 Baru sekarang di tengah-tengah kegelapan ketidakadilan dan kedurhakaan salib itu nampaklah arti “kehendak Bapa” dengan segala konsekuensinya
dalam hidup Yesus. Di situ jugalah kita harus mencari arti salib dalam hidup kita, yang sebagai murid Yesus disuruh: “memanggul salib setiap hari” Luk
9:23. 4 Ketaatan Yesus sampai mati-Nya di salib diganjar Bapa dengan kemuliaan
yang mengatasi segala kemuliaan; karena ketaatan-Nya Ia meniadakan kedurhakaan dosa manusia.
2. Makna Kaul Kemiskinan
Masing-masing kaul yang telah diikrarkan oleh kaum religius memiliki suatu makna, yang mengajak setiap anggota kongregasi untuk dengan tekun dan
setia menghidupinya dalam seluruh kehidupannya.
Kaul kemiskinan adalah sarana dalam menjalin kesatuan dengan orang- orang miskin. Sarana bagi kaum religius untuk lebih mampu menghayati kaul
kemiskinan, sehingga dalam seluruh kehidupannya lebih melihat segala pengalaman yang dialami sebagai suatu berkat, dan terlebih bisa bersyukur atas
apa yang dialami dan diperoleh. Hidup dijalaninya dengan penuh kebebasan dan syukur. Sabda Yesus sendiri meneguhkan dan memberikan keberanian kepada
kita, “Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari” Luk
6:34. Soenarjo 1984:93-96 menguraikan makna kaul kemiskinan dalam hidup
kaum religius sebagai berikut: 1 Kaul Sebagai Ikatan Ke Dalam
“Kaul merupakan penyucian diri kepada Tuhan dalam hidup bakti, dan dimaksud untuk membebaskan manusia dari ikatan dan kelekatan pada
milik harta dunia, hingga ia bebas menyerahkan diri dalam pengabdian kepada Tuhan. Yang menjadi dasar bagaimana kaul merupakan ikatan ke
dalam ditegaskan bahwa lembaga Tarekat harus mencukupi para anggotanya dengan segala sesuatu, yang menurut konstitusi diperlukan
untuk melaksanakan tuj
uan mereka dipanggil KHK. 670”
Bukan anggota yang menuntut, melainkan Tarekat yang memenuhi wajibnya atas dasar hukum Gereja, yang mengatur hubungan antara Tarekat
dengan anggota yang menyerahkan diri dengan ikatan kaul kepadanya. Isi kaul kemiskinan untuk setiap Kongregasi diatur oleh kebijaksanaan
Konstitusi, yang paling kurang akan minta pertanggungjawaban atas penggunaan harta-dunia; dan demi kepentingan lembaga, anggota dan kerasulannya dapat
menterapkan peraturan atau pembatasan seperlunya.
2 Kaul Sebagai Pembangkit Semangat “Semangat kemiskinan sungguh nampak, kalau orang berusaha mencari
kebersihan dan kemurniannya, meningkatkan perjuangan dan pengurbanan dengan menggunakan perlengkapan sesederhana mungkin, diambil
secukupnya, dengan rasa syukur, sambil menghasilkan buah yang sama atau yang lebih, karena perjuangan, keterlibatan dan keprihatinan akhirnya
demi cinta akan panggilan, akan kong
regasi dan demi kemuliaan Tuhan”.
Kaul kemiskinan mengarahkan orang untuk bersikap efisien terhadap segala sesuatu yang dihadapinya. Selalu berusaha untuk mampu mensyukuri dan
menerima apapun yang terjadi dalam hidupnya. Pendapat ini mendukung sikap ini yaitu:
“Semangat kemiskinan menolak mentah-mentah setiap sikap aji mumpung, panggilan dijadikan jalan untuk mencapai kemajuan material
pada tetangga masyarakat. Semangat kemiskinan tidak menggerutu, tidak menuntut, tetapi merasa senang dan puas, sekali-kali meskipun biasanya
dalam perkara kecil saja mengalami akibat kemiskinan, menderita
kekurangan, dan mungkin menanggung ejekan juga” Soenarja, 1984: 95.
Sikap yang menjunjung tinggi nilai material tidak cocok dengan kaul kemiskinan. Orang seperti ini akan selalu mencari dan mencari bahkan tidak
pernah puas dengan apa yang ada. Untuk menjaga pengalaman seperti ini maka diharapkan untuk secara sungguh-sungguh menghayati kaul kemiskinan.
Ditegaskan lagi bahwa mereka yang sudah menjalani dan menghidupi kaul kemiskinan akan berusaha untuk bisa:
“Menolak mengikuti arus konsumatip dalam masyarakat, yang ingin membeli dan memiliki yang serba mewah, serba lux, model yang paling
baru. Ia lebih senang memilih yang kuat, sederhana dan sudah mencukupi keperluannya. Ia tidak serakah mencari yang lebih, tetapi sedia dan iklas
melepaskan yang tidak diperlukan, puas dengan yang paling sederhana. Soenarja, 1984: 95
3 Kaul Kemiskinan Sebagai Kesaksian “Kaul kemiskinan juga diwarnai oleh kondisi waktu, tempat dan keadaan
masyarakat. Maka sebelum menerjunkan religius muda dalam karya kerasulan, perasaan dan keadaan masyarakat, dan penyesuain diri sebagai
“saksi kemiskinan” harus sudah dilatih. Religius dalam masa pembentukan harus disiapkan untuk menghadap kemiskinan dalam masyarakatnya
sebagai saksi Kristus yang bersabda: “Berbahagialah orang yang miskin di
hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga Mat 5: 3”.
Dengan kaul kemiskinan, kita sungguh-sungguh berkeinginan untuk mengungkapkan hadirat Allah dengan mengambil sikap yang wajar kepada
barang-barang itu. Dengan demikian barang kita letakkan dalam tempatnya di dalam kerangka hidup manusia, yang harus bergaul dengan Allah. Maka kita ingin
mengungkapkan makna dan nilai benda itu dalam rangka keseluruhan dan dasar hidup manusia. Dan pengungkapan itu kita nyatakan dengan suatu kaul, yang
disebut kemiskinan, yang berarti kita mencoba melihat barang itu dalam arti dan nilai yang dalam, sebagai sarana untuk bertemu dengan Allah Darminta,
1975:55. Semangat kemiskinan sangat ditekankan oleh Santo Lukas sampai kepada
pelaksanaan konkret yakni: a Amanat kemiskinan
Semangat kemiskinan mengandaikan semangat iman, yang mampu mengadakan penegasan tentang harta kekayaan sejati. Orang harus memilih antara
Tuhan dan uang Luk 16:1-3. Yang dimaksud dari kalimat ini adalah bahwa
sesudah kematian orang tidak membawa kekayaannya, maka orang harus menggunakan kekayaan itu dalam terang kehendak Tuhan. Pilihan yang harus
dilakukan dalam ini ialah antara kerajaan Allah dan kekayaan Luk 18:18-28. Dia juga menekankan pengikraran akan harta kekayaan Luk 12: 13-21.
b Menghayati hidup miskin Kesaksian kemiskinan tidak hanya bahwa itu dapat dilihat oleh mereka
yang berada disekitarnya, tetapi harus pula merupakan suatu kemauan untuk masuk ke dalam situasi kesaksian kemiskinan tanpa mau menghindarkan diri dari
corak kemiskinan apostolos. Seorang religius diharapkan untuk menghayati hidup yang keras, atau dapat dikatakan meletakkan kemiskinan pada kesaksian apotolos.
Secara singkat orang menghayati kemiskinan berarti orang yang mencintai hidup sederhana dan hidup kerja, menerima kemiskinan riil, dan mengarahkan
penggunaan segala miliknya, pendidikannya, sarana kerjanya untuk berhasilnya kerasulan Darminta, 1981:47.
3. Penghayatan Secara Kongregational
Penghayatan dalam hidup membiara membantu kaum religius untuk semakin mencintai dan setia dalam menjalani panggilannya sebagai imam, bruder
dan suster. Dewasa ini tidak jarang suatu keputusan yang telah dipilih secara matang namun pada akhirnya kandas atau berhenti ditengah jalan, dalam arti
bahwa kaum religius memilih untuk keluar dari biara.
Dalam situasi seperti ini hal-hal yang diperlukan adalah keberanian, kemauan dan kesediaan untuk sungguh-sungguh mengembangkan dan memiliki
sikap penghayatan. Penghayatan untuk melihat setiap motivasi dan tujuan dari pilihan hidup yang telah dipilih yakni sebagai seorang Imam, Bruder dan Suster.
Menurut Madya Utama 2001:7 penghayatan kaul kemiskinan secara otentik juga menuntut adanya pengalaman pertobatan pribadi yang terus menerus.
Tanpa adanya pertobatan, untuk memahami arti dari kemiskinan religius di tengah-tengah dunia yang begitu didera oleh kemiskinan, realitas kemiskinan akan
tinggal semata-mata sebagai suatu mitos keagamaan yang tanpa wajah dan tanpa nama.
Secara singkat, bila kaul kemiskinan tidak membawa kaum religius berpihak pada orang-orang miskin dan tertindas, kaul kemiskinan hanya akan
berhenti pada penghayatan terhadap istilah-istilah pra-Vatikan II yang menjadi corak khas dari kaul kemiskinan; seperti
”ketidaklekatan”, sudah mendapatkan izin, tidak memiliki harta kekayaan secara pribadi. Akibatnya, kaul kemiskinan
hanya akan berurusan dengan hal-hal yang remeh-remeh dan membuat kaum religius menjadi pribadi-pribadi yang bergantung pada izin pembesar dan terus
menerus hanya memikirkan kepentingannya sendiri Madya Utama, 2001:7. Kaul kemiskinan yang dihayati dan dihidupi oleh kaum religius bertujuan
untuk meneladani hidup Yesus Kristus, yang “meskipun kaya, Ia rela menjadi miskin karena kita man
usia” 2 Kor 8:9. Kemiskinan Yesus merupakan gaya hidup yang didasarkan atas cinta-Nya yang tanpa batas terhadap manusia. Cinta-
Nya luar biasa bagi manusia, apapun dilakukan untuk kita. Kesediaan dan
kerelaan menjadi bukti nyata pengorbanan- Nya, yakni “sama seperti anak
manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-
Nya menjadi tebusan bagi banyak orang”Mat 20:28.
a. Kemiskinan Pribadi
Ketika seorang suster MASF berani untuk mengambil keputusan dan memilih untuk bergabung dalam Kongregasi MASF serta menyadari bahwa Allah
adalah segalanya, maka dengan kerelaan hati dan berani untuk meninggalkan kekayaan dan kesenangan duniawi. Kesadaran bahwa sebagai seorang suster yang
hanya mengandalkan Allah dalam hidupnya akan membantu untuk semakin setia dalam pelayanan serta panggilan. Kemiskinan pribadi seorang suster mengajak
untuk berani lepas bebas serta yakin dengan pilihan hidup yang telah diambil. Penghayatan kaul kemiskinan seorang religius harus muncul dari kedalaman hati
bukan hanya karena taat pada peraturan atau takut pada dewan pimpinan. Seorang suster dalam seluruh hidupnya berusaha untuk semakin dewasa
dalam penghayatan kaul sebagai konsekuensi dari pilihan hidup. Dalam Konstitusi no. 26 dikatakan:
“pilihan untuk hidup miskin dan sederhana dalam kebersamaan, kita wujudkan dalam ketergantungan pada komunitas, di mana kita berada.
Kita adalah manusia bebas, yang berusaha mempertaruhkan diri lewat kesetiaan dan tanggung jawab pribadi dalam hidup bersama. Oleh karena
itu, dalam hidup bersama kita diberi ruang gerak untuk prakarsa dan
tanggung jawab pribadi”.
Pilihan hidup miskin dan sederhana para suster MASF, menuntut sebuah kesetiaan dan tanggung jawab pribadi, dengan demikian kemiskinan pribadi
menjadi daya dorong dalam hidup para suster MASF untuk semakin mencintai
dan terlebih mensyukuri berkat dan anugerah Tuhan yang dialami dalam panggilan.
Kaul kemiskinan yang dihayati oleh seorang suster menyatakan kesanggupan dirinya untuk menjalankan tugas dan hidup secara bertanggung
jawab, terlebih terpanggil untuk terlibat dalam hidup orang lain dengan menaruh perhatian kepada kebutuhan banyak orang tanpa melihat status seseorang. Dan
yang lebih penting bahwa penggunaan harta benda bukan karena menjadi kesenangan melainkan karena memang diperlukan untuk menunjang hidup.
Sebagai kaum religius yang menyatakan diri untuk hidup secara miskin dengan menghayati kaul kemiskinan maka seorang suster harus mengerti sungguh
dan sanggup hidup apa adanya, tidak mencari-cari apa yang tidak ada. Hidup harus disyukuri dan dijalani dengan sebaik mungkin. Dengan penggunaan harta
benda yang tepat serta kesediaan untuk tidak lekat dengan harta benda, menunjukkan adanya penghayatan kemiskinan yang nyata dari seorang religius.
Pribadi yang dewasalah yang sanggup untuk menghayati kemiskinan secara lebih baik, karena diharapkan untuk bisa melihat apa yang terpenting dalam hidup.
Menjadi hak kodrat sebagai manusia sehingga pertumbuhan dan perkembangan mereka tergantung atas harta benda. Tetapi lain halnya dengan
kehidupan para religius, kemiskinan pribadi sangat penting bagi seorang religius untuk semakin memantapkan panggilannya dalam mengikuti Kristus dengan
sungguh-sungguh. Dengan demikian apa yang menjadi tujuan hidup mereka bisa tercapai yakni pengabdian diri dan hidup kepada Tuhan dan sesama.
Kemiskinan pribadi akan nampak sejauh mana kita mampu melepaskan hubungan dan tidak memperpanjang kepribadian kepada harta benda. Darminta
1981:52 menegaskan bahwa kemiskinan merupakan hak istimewa dari seorang yang sangat dewasa, yang tidak memerlukan untuk memperpanjang
kepribadiannya kepada harta benda. Mereka sudah sampai kepada taraf, dimana mereka merasa sudah penuh dan lengkap dal
am hidupnya sendiri”. Kemiskinan pribadi dibedakan dengan adanya tanda-tanda nampak secara
lahiriah, sehingga kemiskinan diartikan tidak memiliki hubungan moral pada harta benda. Tetapi tetap bisa menggunakan barang untuk menyempurnakan
kepribadian. Disini kemiskinan dilihat sebagai sarana untuk hidup dan pelayanan. Jadi inti dari kemiskinan hidup religius yaitu harus bekerja untuk hidup. Tidak
juga berlebihan, punya cukup untuk tugasnya, bukan untuk dimiliki. Sebagai seorang religius yang berkaul tentunya memiliki konsekuensi
untuk rela memberi dan berbagi hasil yang diperolehnya untuk keperluan sesama dalam komunitas maupun sesama yang dilayaninya. Dengan pemberian dana dari
personal kepada kumunitas atau kepada yang membutuhkan akan lebih terasa bahwa kita sanggup melepaskan apa yang ada pada diri kita demi kepentingan
orang lain yang lebih membutuhkannya. Keputusan
dan keinginan
untuk lebih
memperhatikan sesama
mengandaikan keputusan pribadi bukan hanya keputusan bersama sehingga terbangunlah persaudaraan di dalam komunitas dan lingkungan, karena
kenyamanan dan damai yang dibangun dalam hidup bukan terletak pada milik dan
harta kekayaan melainkan pada persaudaraan yang dibangun melalui harta benda tersebut.
b. Kemiskinan Karya
Kongregasi MASF memiliki sasaran utama dalam pelayanan yakni pelayanan terhadap kaum miskin. Kaul kemiskinan yang dihayati oleh para suster
MASF mendorong untuk terlibat dengan kaum miskin. Dalam menjalankan tugas setiap harinya para suster selalu menyerahkan segalanya dihadapan Tuhan,
percaya bahwa Tuhan selalu terlibat dalam setiap tugas dan hidup para suster. Menghayati kaul kemiskinan bagi para suster MASF bukan hanya
diwujudkan dengan hidup ditengah kaum miskin. Kemiskinan itu lebih utama dihayati ditengah Komunitas para suster MASF. Setiap para suster mengambil
bagian untuk bisa menghidupi kelangsungan hidup dengan terlibat dalam karya Kongregasi sehingga keterlibatan tersebut bisa menopang kebutuhan hidup
masing-masing Komunitas. Sejak dalam perjanjian lama, Allah menyatakan diri sebagai Allah kaum miskin. Yesus juga mengutamakan kaum miskin. Kita
mewujudkan sikap hidup ini dengan memperhatikan kaum miskin dan bersikap sederhana. Kekayaan jasmani dan rohani, kita gunakan bersama bagi orang lain.
Kita terbuka menerima tamu dan berani melepaskan apa saja yang menghambat kehidupan sejati. Dengan demikan, Allah melimpahkan berkat-Nya kepada kita
Konst. No.24.
c. Kemiskinan Komunitas
Penghayatan kemiskinan pribadi juga menjadi sikap kemiskinan Komunitas. Kemiskinan Komunitas bukan hanya dilihat pada harta benda yang
dimiliki oleh Komunitas, pada zaman ini kemiskinan diletakkan pada perspektif hubungan antara pribadi yang menuntut sikap rendah hati, pelayanan, hamba dan
pengosongan diri. Sikap seperti ini diharapkan suatu saat akan memberi dampak dalam kehidupan Komunitas untuk lebih menemukan bentuk yang sesuai dengan
kesadaran akan nilai kaul kemiskinan. Perlu diperhatikan dan direfleksikan lebih dalam lagi pendapat dari Darminta 1981:54 yang mengatakan:
“ada hal yang tidak dapat ditawarkan lagi, ialah bahwa Komunitas sendiri harus merupakan komunitas yang ramah, rendah hati, mengundang orang
yang lewat dan melihatnya; ramah tidak hanya pada orang-orangnya, tetapi juga gaya hidup didalamnya, bahkan sampai pada bentuk rumahnya
pula”. Berdasarkan pendapat di atas, sejauh ini banyak Komunitas yang sudah
nampak punya perubahan, sehingga Komunitas religius maupun biara bukan lagi menjadi sesuatu yang asing bagi yang lain khususnya bagi kaum awam,
melainkan semakin terbuka akan kehadiran orang lain. Di dalam Komunitas, para suster harus saling melengkapi dan saling
berbagi serta dengan rendah hati mengakui keterbatasan. Darminta 1975:60 menegaskan:
“pengakuan keterbatasan diri sendiri dan orang lain akan membawa sikap tidak tegang dalam hidup dan gembira dan tidak muram, sebab hilanglah
kekhawatiran, yang membuat kita takut untuk berbuat sesuatu, karena ada prasangka jangan-jangan orang lain aka
n terlukai atau tersinggung”.
Dengan demikian kita sadar bahwa masing-masing suster mempunyai arti dan nilai sehingga satu dengan yang lainnya saling menghormati. Kita terbuka
terhadap orang lain dengan memberi perhatian dan pengertian terhadap mereka. Kemiskinan Komunitas mengajak para suster untuk semakin mampu
menumbuhkan rasa solider dan terlibat dalam kehidupan orang lain sebagaimana dikatakan dalam Konstitusi sebagai Kongregasi Misi, kita mempunyai tugas lebih
dari yang lain, yakni menjadi lebih solider dengan semua orang di dunia, dengan mereka yang hidup dalam kemiskinan dan kekurangan. Oleh karena itu, kita harus
hidup sederhana serta membatasi keinginan-keinginan kita Konst.no.112 Dari pernyataan di atas jelas bahwa para suster MASF memiliki tugas
yang lebih penting yang berguna bagi kehidupan orang lain demi terwujudnya kerajaan Allah. Solider lebih diungkapkan dengan hidup sederhana dan
membatasi apa
yang menjadi
keinginan-keinginan, misalnya
dengan menggunakan barang seperlunya, tidak lagi terikat dengan barang dan harta benda
yang ada.
B. Persaudaraan MASF
Para suster MASF sebagai Kongregasi yang menghayati semangat keluarga kudus Nasareth, oleh sebab itu sangat menjunjung tinggi rasa
persaudaraan. Persaudaraan
MASF ini
yang telah
membangun dan
mempersatukan segala perbedaan yang ada, seperti perbedaan sikap, budaya, suku dan bahasa. Persaudaraan juga mendorong satu sama lain saling terbuka,
memahami dan merasa nyaman berelasi dengan para suster dalam hidup berkomunitas dan karya.
1. Spiritualitas Persaudaraan MASF
Bagi para suster MASF untuk menciptakan dan menumbuhkembangkan rasa persaudaraan dalam hidup bersama maka pentingnya menghayati visi misi
dan kharisma Kongregasi. a. Visi dan Misi
Demi terwujudnya persaudaraan, maka Kongregasi secara bersama-sama menghidupi dan berpedoman pada arah dan tujuan yang jelas kumpulan doa
MASF 2012:
iv
, sehingga dirumuskanlah Visi dan Misi Kongregasi MASF: Visi : Wanita religius yang dijiwai oleh semangat Keluarga Kudus, Adorasi, dan
misi dipanggil Tuhan untuk mewujudkan kerajaan Allah di dunia ini. Misi : Menghadirkan Kristus dalam pelayanan kepada mereka yang miskin dan
lemah, terutama kaum wanita dan anak-anak. Dengan adanya Visi dan Misi ini maka masing-masing anggota
Kongregasi mengusahakan untuk semakin mampu mencipta dan membangun persaudaraan dalam Kongregasi dan terlebih dalam Komunitas. Sebagai suatu
Kongregasi sudah jelas memiliki tujuan yang sama untuk lebih menghayati dan mendalami apa yang menjadi kesepakatan bersama dalam Kongregasi. Visi Dan
Misi menjadi suatu aturan yang mengedepankan tujuan yang sama dalam menjalani seluruh hidup dan karya dalam Kongregasi.
b. Kharisma Masing-masing Kongregasi memiliki kharisma yang sesuai dengan
kharisma pendiri. Kharisma pendiri harus dihidupi dan dihayati oleh setiap
anggota. Kharisma dari Kongregasi MASF yaitu daya kekuatan kasih Kristus yang mengosongkan diri dan kasih keibuan Maria menggerakkan kita untuk
mengembalikan harkat dan martabat manusia lemah dan tak berdaya, sebagai citra Allah.
Dalam usaha mewujudkan kharisma tersebut maka para suster MASF melakukannya dengan cara:
1 Memberdayakan INKARNASI 2 Menyembuhkan dan membebaskan MISIONER
3 Merelakan diri untuk memberi hidup bagi orang lain EKARISTI dengan kepenuhan hati
4 Masing-masing membawa pergumulannya bersama anggota komunitas ke hadirat Bapa ADORASI
“
Hatiku untukmu-untuk-Mu
” sehingga dapat menampakkan kehadiran kerahiman Allah yang berbelarasa.
Adapun wujud konkret dari kharisma itu diungkapkan dan nampak dalam kerasulan dibidang : pendidikan, kesehatan, pastoral dan sosial. Dengan demikian
nampak jelas, bahwa kharisma itu bersifat fungsional, karena diwujud nyatakan dalam konteks gerakan Allah demi pembangunan Gereja dan pengabdian kepada
umat manusia.
2. Penghayatan Persaudaraan Dalam Komunitas MASF
Bagi Kongregasi MASF persaudaraan sangat ditekankan dalam hidup bersama, baik dalam Kongregasi maupun di tempat karya. Keluarga kudus
menjadi inspirasi serta teladan hidup para suster MASF. Keluarga yang sederhana dan hidup dalam kerukunan antara satu dengan yang lainnya. Keluarga kudus
Yesus, Maria dan Yusuf hidup bertahun-tahun lamanya secara tersembunyi dengan sikap taat, patuh dan rela melayani. Dalam setiap Komunitas, antar
Komunitas dan antar tingkat pimpinan, hendaknya ada tukar pikiran dengan semangat kerjasama yang baik, juga di luar lembaga resmi dengan menghormati
hak dan wewenang masing-masing Konst.no.107. Bertolak dari spiritualitas Pater pendiri Kongregasi Suster Misi dan
Adorasi dari Santa Familia Antonius Maria Trampe maka persaudaran dapat didasarkan pada tiga tonggak, yakni misi perutusan, adorasi dan santa familia.
a. Misi perutusan Seperti yang ditekankan dalam konstitusi no.13 tentang perutusan sebagai
anggota MASF: “Kita mengabdikan diri untuk hidup menggereja lokal maupun universal
yang berarti kita peka terhadap dambaan umat akan kesatuan dan persaudaraan. Pedoman kita adalah sikap menghargai, memahami
perbedaan, dan menciptakan perdamaian. Kita berpangkal pada Yesus Kristus yang melimpahkan Roh-
Nya bagi kita”.
Sikap membuka diri dan siap diutus kemana saja untuk mewartakan kabar gembira, serta selalu berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan dan situasi
zaman di mana kita berada.
b. Adorasi sembah sujud Semangat Adorasi atau sembah sujud diuraikan dalam konstitusi no. 12
13 sebagai berikut: “Kita percaya bahwa Kristus dengan berbagai cara menyatakan kehadiran-
Nya diantara kita, dalam sabda dan sakramen, dalam seluruh kehidupan Gereja dan dimana manusia dapat memancarkan cinta kasih Kristus dalam
cinta kasih kepada sesama. Tetapi puncak kehadiran-Nya diantara kita, kita muliakan didalam perayaan ekaristi. Di situ Ia menyerahkan diri
kepada kita dan mengikutsertakan kita dalam tanda yang merangkum seluruh hidup-
Nya: “Tubuh-Ku, Darah-Ku, Hidup-Ku untukmu.” Maka dari itu ekaristi menjadi pusat hidup kita
”. Ekaristi itu pertama-tama, perayaan dan perbuatan di mana Kristus
menciptakan kita menjadi satu tubuh dalam diri-Nya. Dalam perayaan itu Kristus
juga menjamin kehadiran- Nya yang tetap diantara kita: “siapa makan daging-Ku
dan minum darah- Ku, tetap tinggal didalam Aku, dan Aku didalam dia” Yoh
6:57. Kita dapat menghayati dan mengungkapkan keterikatan yang tetap kepada Kristus dengan pelbagai macam cara, tetapi kita dalam menghayati keterikatan itu
ingin memusatkan pada ekaristi sebagai sakramen tetap, yang dalam tanda Roti Hidup dalam setiap kali menunjukkan pa
da pusat kehidupan kita: “Kristus dalam ungkapan cinta sampai sehabis-habis
nya” Konst. no. 13. Sembah sujud dihadapan Sakramen Maha Kudus merupakan sikap dan penghayatan hidup doa
untuk menimba kekuatan rohani dari Yesus yang hadir dalam Roh dan kebenaran.
c. Santa Familia Keluarga Kudus Nasareth Keluarga Kudus ditandai oleh kesederhanaan, tekun bekerja, cinta dan
selalu berhubungan dengan Bapa. Keluarga kudus hidup dalam ketidakpastian mereka dikejar, diusir dan dianiaya, tetapi mereka tetap bersandar kepada iman
akan Allah. Demikian harusnya hidup kita, berani terlibat dalam realitas kehidupan. Keluarga Kudus dan bersama banyak orang lain merupakan keluarga
besar yang menantikan dengan penuh iman Almasih yang dijanjikan serta harapan akan Yerusalem baru, kota kudus di atas gunung, tujuan segala bangsa dan hanya
di situlah ada kedamaian. Oleh karena itu, kita ingin saling meneguhkan dalam harapan Konst. No.11.
Jadi hubungan Yesus dan Maria dan Yusuf dijadikan sebagai teladan dan menekankan pada semangat kekeluargaan, kesederhanaan, keterbukaan,
mengarahkan hati pada kehendak Allah Bapa dalam doa dan perutusan dan terlibat dalam gerak langkah dunia dan tanda-tanda zaman.
3. Penghayatan Persaudaraan Dalam Gereja
Persaudaraan menjadi salah satu ajaran yang diajarkan Gereja kepada setiap manusia di dunia ini. Gereja itu di dalam Kristus bagaikan sakramen, yakni
tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia LG, 1. Dengan persaudaraan antara sesama, maka akan terciptalah
perdamaian dan kebahagiaan dalam kehidupan kita. Kita sebagai Gereja umat Allah sudah sepantasnya menjadi pelopor untuk menciptakan persaudaraan
dengan siapa saja, tanpa melihat agama, budaya dan status sosial seseorang. Bagi Yesus semua orang sama. Dalam persaudaraan kita perlu saling
melayani, saling membasuh kaki seperti yang telah dilakukan oleh Yesus kepada kedua belas murid-Nya Yoh 13:14:15. Hal ini akan terwujud apabila kita bisa
menghargai yang lain; melayani dalam persaudaraan, menerima kelebihan dan kekurangan sesama. Persaudaraan akan mendukung hidup bersama tugas
pelayanan, hidup doa dan hidup karya. Kaum religius yang hidup dalam suatu komunitas, dipanggil untuk
membangun komunitas persaudaraan. Perbedaan antara satu dengan yang lain,