Atas uraian diatas, maka penulis merumuskan suatu rumusan masalah, dimana rumusan masalah secara substansi adalah untuk menyatakan secara
tersurat apa yang harus dijawab, dan dengan mengacu pada latar belakang
masalah perumusan masalahnya, yaitu :
1.
Mengapa Mahatma Gandhi memilih atau menerapkan jalur Humanisme dalam perjuangan kemerdekaan India ?
2.
Bagaimana Pemikiran Mahatma Gandhi tentang Humanisme dan Nasionalisme ?
3.
Bagaimana pengaruh Gandhi dan pemikiran Humanisme Gandhi dalam Pemisahan India dan Pakistan ?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian adalah :
1. Untuk mengetahui kenapa Mahatma Gandhi memilih jalur Humanisme
sebagai alat perjuangannya, di tengah-tengah perjuangan dengan senjata yang banyak dipilih oleh penggerak kemerdekaan di negara-negara
kolonial. 2.
untuk mengetahui tentang pemikiran-pemikiran Mahatma Gandhi, terkusus tentang Humanisme dan Nasionalisme.
3. Untuk mengetahui sejauhmana prinsip Humanisme Gandhi mempengaruhi
sikap-sikap nasionalisme Gandhi dalam proses merebut kemerdekaan di India.
4. Untuk mengetahui apakah persoalan India dan Pakistan yang berujung
pada pemisahan kedua daerah menjadi negara yang berbeda adalah kegagalan Gandhi dan pemikirannya atau karena faktor lain yang lebih
dominan.
Universitas Sumatera Utara
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut : 1.
Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi ilmu pengetahuan dan karya ilmiah di Departemen Ilmu Politik khususnya dalam studi pemikiran
global. 2.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi ilmiah dalam memperluas wawasan pemikiran civitas akademika dalam berbagai
tingkatan pendidikan. 3.
Dengan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua kalangan masyarakat yang ingin tahu tentang Humanisme dan terutama bagi para
pengambil kebijakan agar dapat menciptakan kebijakan yang berlandaskan kemanusiaan.
1.5. Kerangka Teori
penulisan sebuah karya ilmiah tidak dapat dilepaskan dari teori-teori, yang secara fungsi akan sangat membantu penulis dalam menganalisa permasalahan
yang akan diteliti. Teori akan menjadi pedoman dasar peneliti untuk menerangkan sebuah fenomen sosia. Sebelum memuli penelitian, penting kiranya penulis
menyusun sebuah kerngka teori, sebagai landasan berfikir yang sistematis. 1.5.1 Teori Humanisme
Istilah “humanisme” sendiri berasal dari kata Latin “humanitas” yang artinya pendidikan manusia, dan dalam bahasa Yunani disebut “paedia” yang
diartikan sebagai pendidikan yang didukung oleh manusia-manusia yang hendak mendapatkan seni liberal sebagai materi atau sarana utamanya. Pemahaman
Humanisme, menempatkan manusia pada posisi yang sangat penting. Humanisme adalah sebagai doktrin yang menekankan bahwa yang terpenting dalam alam
semesta adalah faktor alam semesta itu sendiri.
7
7
Munir,Miftahul.2005. Filsafat Humanisme Theistik Kahlil Gibran. Yogayakarta:Paradigma.Hal.1.
Ajaran humanistik ini sendiri menganggap manusia sebagai subyek dan tentunya mempunyai obyek untuk
Universitas Sumatera Utara
dihadapi. Dari sini dapat diolah bahwa manusia adalah sebagai individu yang menjadi pusat dari segala sesuatu. Sikap individu manusia semakin menonjol
karena manusia berada diatas masyarakat. Tetapi semua manusia mempunyai kedudukan yang sama. Pemikiran humanisme memunculkan ide tentang
kebebasan individu manusia sendiri. Humanisme akan lebih mudah dipahami kalau ditinjau dari dua sisi, yaitu
sisi historis dan sisi-sisi aliran filsafat lainnya. Sisi historis, humanisme adalah suatu gerakan intelektual dan kesusastraan yang pertama kali muncul di Italia
pada paruh kedua abad ke-14 masehi. Gerakan ini boleh dikatakan sebagai motor penggerak kebudayaan modern, khususnya kebudayaan eropa.
8
Pada abad ke-14 humanisme juga mengalami surut, pada saat sastra dan seni Romawi dan Yunani
yang pra-Kristiani ditemukan kembali. Sedangkan puncak humanisme umumnya dianggap Erasmus dari Rotterdam pada abad ke-16. Gelombang kedua
humanisme, sering disebut neo-humanisme berkembang di abad ke 18 ketika para seniman, filsuf dan kaum intelektual berpaling dari zaman klasik Roma dan
Yunani. Cita-cita humanisme dilihat dalam gagasan Yunani kuno tentang pembentukan manusia yang selaras dengan badan dan jiwanya.
9
Pada perkembangan humanisme pada abad 18 atau periode perkembangan ini yang dimasukan kedalam masa pencerahan aufklarung. Tokoh humanis yang
muncul adalah J.J Rousseu. Tokoh ini mengutamakan pandangan tentang perkembangan alamiah manusia sebagai metode untuk mencoba keparipurnaan
tujuan-tujuan pendidikan. Pada perkembangan selanjutnya, pada abad 20 terjadi perkembangan humanistik yang disebut humanisme kontemporer. Humanisme
kontemporer merupakan reaksi protes atau gerakan protes terhadap dominasi kekuatan-kekuatan yang mengancam eksistensi nilai-nilai kemanusiaan yang ada
dalam diri manusia di era modern. Perkembangan lebih lanjut dari filsafat humanis ini adalah berkenaan dengan peran dan kontribusi filsafat
8
Zainal Abidin.2003. Filsafat Manusia, memahami Manusia melalui Filsafat. Bandung: PT Remaja Rosdokarya. Hal 25.
9
Munir, Miftahul. op.cit Hal.3
Universitas Sumatera Utara
eksistensialisme yang cukup memberikan kontribusi dalam filsafat pendidikan humanistik.
Sisi yang kedua adalah Humanisme sering diartikan sebagai paham di dalam filsafat yang menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia sedemikian rupa
sehingga manusia menempati posisi yang sangat sentral dan penting, baik dalam perenungan teoris-falsafati, maupun dalam praktis kehidupan sehari-hari. Pada
pengertian ini manusia dipandang sebagai ukuran bagi setiap penilaian, dan referensi utama dari setiap kejadian di dalam alam semesta ini. Sebab salah satu
asumsi yang melandasi perbedaan filsafat ini adalah bahwa manusia pada prinsipnya merupakan pusat dari realitas. Berbeda pada pandangan filsafat yang
berkembang pada pertengahan, para humanis berpegang teguh pada pendirian, bahwa manusia pada hakikatnya bukan sebagai viator mundi peziarah di muka
bumi, melainkan sebagai vaber mundi pekerja atau pencipta dunia. Oleh sebab itu sudah sepatutnyalah kalau segera ukuran penilaian dan referensi akhir dari
semua kejadian manusia, dikembalikan lagi kepada manusia itu sendiri, bukan kepada kekuatan-kekuatan di luar manusia.
10
Humanisme sebagai suatu gerakan filsafat dan pergerakan kebudayaan berkembang sebagai suatu reaksi terhadap dehumanis yang telah terjadi berabad-
abad. Humanisme hendak menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia, serta menjadikan manusia sebagai ukuran dari segenap penilaian, kejadian, dan gejala
diatas muka bumi. Bukan lagi dogma gereja yang harus dipandang sebagai ukuran bagi segenap kejadian dan penilain manusia, melaiankan manusia itu sendiri yang
harus dijadikan tolak ukur dan referensi akhir dari semua. Otoritas yang berlebihan oleh agama di Eropa sebagai akibat langsung dari kekuasaan para
pemimpin agama yang merasa menjadi satu-satunya yang berwenang dalam memberikan intepretasi terhadap dogma-dogma agama yang kemudian
diterjemahkan kedalam segenap bidang kehidupan di Eropa. Di dalam konteks reaksi ini, pelopor humanisme menjelaskan bahwa manusia dengan segenap
10
Zainal ,Abidin, op. cit, hal. 26
Universitas Sumatera Utara
kebebasan memiliki potensi yang sangat besar dalam menjalankan kehidupan ini secara mandiri untuk mencapai keberhasilan hidup didunia.
Dilain pihak, terminologi humanisme juga mempunyai perluasan pemahaman seiring dengan rekam sejarah dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Sebagaimana disebut oleh Frederick Edword dalam What is Humanism? yang membuat ringkasan mengenai pengertian-pengertian humanisme, sebagai berikut:
1. Humanisme Renaisans; sebagai semangat belajar yang mulai berkembang pada akhir abad Pertengahan, ditandai dengan bangkitnya kembali karya-karya klasik
dan keyakinan yang diperbaharui atas kemampuan manusia untuk menentukan kebenaran dan kepalsuan bagi diri mereka sendiri.
2. Humanisme literer, yakni penyerahan kepada budaya humanitas atau literer. 3. Humanisme budaya, yakni budaya rasional dan empiris, khususnya yang
berasal dari Romawi dan Yunani Kuno, dan berevolusi sepanjang sejarah Eropa. Sekarang ini menjadi bagian yang mendasar dari pendekatan Barat terhadap ilmu
pengetahuan, teori politik, etika dan hukum. 4. Humanisme filsufis, yakni pengekspresian cara hidup yang dipusatkan pada
kebutuhan dan minat manusia, yang meliputi humanisme Kristiani dan Humanisme modern.
5. Humanisme Kristiani, yakni filsafat yang menekankan pemenuhan diri dalam rangka prinsip-prinsip Kristiani.
6. Humanisme modern, yakni sebuah pemikiran filsafat yang menolak hal-hal supranatural. Pemikiran bersandar pada kemampuan akal dan ilmu pengetahuan,
demokrasi dan kasih sayang manusia. Humanisme modern mempunyai sifat; sekuler dan religius.
7. Humanisme sekuler, adalah perkembangan lanjutan dari era pencerahan abad ke-18 dan abad ke-19, serta,
8. Humanisme Religius sebagai humanisme yang muncul dari budaya etis, utilitarianisme dan universalisme.
11
11
Dikutpi dari Jurnal Filsafat, Santoso2003 Lestiyono.Patologi Humanisme Modern. Jilid 33. No 1, Hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
1.5.1.1. Aliran Humanisme
Humanisme sebagai sebuah filsafat telah berkembang dengan pesat dalam dunia sebagai sebuah solusi dan jawaban atas penindasan yang terjadi oleh
manusia terhadap manusia lainnya, yang terjadi terus-menerus tanpa mengenal batasan waktu. Humanisme telah terbagi dalam dua aliran besar yang
berkembang. Pertama adalah humanisme religius, yang mendasarkan ajarannya pada nilai-nilai agama. Penanaman moral yang sangat tinggi dengan pondasi nilai-
nilai keagaamaan menjadi cirri utama dari aliran ini. Aliran ini adalah aliran yang sifatnya mengedepankan ide aliran idiealisme. Dalam epistimologinya, paham
ini menyatakan bahwa ide-ide adalah faktor dalam pengetahuan metafisik dan semua realitas adalah jiwaroh, sedangkan doktrin etikanya; cita-citanya adalah
obyek yang harus dicapai dalam tindakan.
12
Bisa dikatakan bahwa idealisme menurukan seluruh kenyataan atau realitas pada suatu bentuk yang disebut jiwa atau roh, serta memandang realitas roh.
Pertama kali ia harus dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam diri manusia yang menghasilkan kebudayaan yang masuk dalam dirinya.
13
Bagi aliran religius mereka tetap mempercayai Tuhan sebagai sumber dari segala sumber yang ada,
dan yang ada atau yang transedental itulah sebagai dasarnya. Seperti pendapat Kierkegaard, berpendapat bahwa manusia itu berdosa, dia ada, dia hidup, sebagai
ketakukan batin. Maka dia belajar mengenal ampunan Tuhan di dalam apa yang menjadi kepercayaannya, dan semua itu bukanlah kebenaran umum yang dapat
dipahami oleh manusia dengan jalan berpikir.
14
Kedua adalah aliran humanisme sekuler. Aliran ini sering dianggap dengan aliran yang ateis, karena memang secara fundamental perbedaan paling mencolok
dari aliran ini adalah meniadakan unsure-unsur yang metafisik atau hal-hal yang irasional. Karena segala hal adalah terjadi karena sebuah proses ilmiah.
12
H. Muzairi.2002. Eksistensialieme Jean Paul Sarte, Sumur Tanpa Kebebasan Manusia. Yogyakarta: Pustaka Belajar.Hal. 18.
13
Ibid
14
Ibid, hal. 51
Universitas Sumatera Utara
Humanisme yang sekuler memang memporoskan diri pada manusia seutuhnya, bagaimana manusia menunjukan eksistensi dirinya, bagaimana ia berekspresi, dan
berkarya untuk menjaga kelangsungan hidupnya, bertolak belakang dengan yang religius yang nilai-nilai agama menjadi acuan sementara manusia menjadi
pelaksana aturan-autran yang telah diciptakan agama untuk menjaga keberlangsungan hidup dari manusia itu sendiri.
Kata humanisme bisa jadi merupakan ungkapan yang bisa disebutsebagai ambivalen. Meskipun kata ini terkadang memiliki makna yang positif dalam segi
pandang tertentu, namun pada dasarnya kata humanisme lebih berada pada posisi sikap seseorang yang melihat dirinya sebagai subyek yang berdiri sendiri dan
terpisah, bukan saja dari legitimasi penguasa ataupunkekuasaan saja, tetapi bahkan juga terpisah dari Tuhan.
15
Konsekuensi dari pandangan tersebut, jika diterapkan pada manusiaakan berarti, bahwa jiwa, raga, kemanuan dan kehendak manusia, serta hidup dan
matinya, semuanya adalah proses kebendaan. Tiap persoalan, benda adalah hal yang paling primer bagi keyakinan aliran-aliran tersebut, yaitu segala sesuatu
yang harus dikembalikan ke benda. Pikiran, gerak-gerik manusia, cinta, rasa keadialan, dan seluruh ungkapan manusia semauanya dipecahkan dalam proses-
proses benda atau materi. Aliran ini sifatnya adalah meterialistik dalam artian adalah kebendaan, yang
menentang keberadaan Tuhan. Banyak tokoh-tokkoh yang berpandangan materialism yang muncul sudah sejak lama. Mulai dari pikiran Epikirus 341-210
S.M, yang menyatakan realitas pokok itu tersusun dari yang dinamakan dengan materi. Sebelum epirikus telah muncul Thales, Anaximandros 610-547 S.M
dengan paham appiron, Anaximenes 585-528 S.M yang berkeyakinan bahwa segala pokok penciptaan dari hakikat alam adalah hawa, dan Demokretos 450-
360 S.M dengan teori atomnya.
16
15
Suseno, Frans Magnis.2007.Humanisme religius vs Humanisme Sekuler, dalam Islam dan Humanisme, Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal .Yogyakarta:PustakaPelajar.Hal.208.
16
H, Muzairi,Op.cit. Hal 11.
Hal ini juga dipertegas oleh Jean P. Sarte, yang
Universitas Sumatera Utara
berpegang pada eksistensi manusia, bahwa manusia menghadapi dirinya sebagai suatu masalah, merencanakan diri sebagai suatu masalah, merencanaka dirinya
dengan kebebasan yang dimutlakkan, menciptakan diri dengan kebebasan yang dimutlakkan, menciptakan diri sendiri dan nilai-nilainya, kemudian berfungsi
sebagai Tuhan.
17
17
Ibid, hal.52
Terlepas dari paradoks antara religius yang idiealis dan sekuler yang materialis, keduanya adalah dua aliran yang sama-sama berfokus pada manusia
sebagai obyek yang dikaji dalam penjabaran teorinya. Berpatok pada ini, maka dapat diolah bahwa manusia adalah sebagai individu yang menjadi pusat dari
segala sesuatu.
1.5.1.2 Implementasi Humanisme
Dasar humanisme yang meletakkan manusia pada posisi subjek atau objek penelitian memang melahirkan banyak penerapan humanisme. Ideologi populer
seperti Marxisme, Sosialisme, Eksistensialisme, Stalinisme, Komunis, Liberalisme bahkan sampai pada agama yang perdebatannya apakah itu idilogi
atau tidak, semua menggunakan label humanisme. Ragam humanisme ini disatukan dalam kepercayaan mereka mendasari beragamnya pengalaman
manusia. Hal ini adalah mungkin pertama untuk melihat sifat alami manusia yang universal, kedua untuk menemukan dalam bahasa umum rasionalitas. Hal ini
berarti humanisme dapat diimplemantasikan dalam pada berbagai aliran filsafat. Humanisme sebagai sebuah idiologi memang muncul sebagai sebuah
jawaban atas pembelengguan yang terjadi pada masa renaisans. Doktrin yang berkembang pada masa renaisans yang memberikan keleluasaan pada manusia
untuk bereksperimen, lepas dari doktrin dan pengaruh gereja memungkinkan berkembangnya humanisme yang dikedepankan, yaitu bertumbuh dengan panca
indra dan berjiwa dengan akal budinya, manusia kemudian mampu menemukan ilmu pengetahuan yang sifatnya empiris dan rasional.
Universitas Sumatera Utara
Kemunculan humanisme sebagai gerakan pemikiran bersumberkan pada keinginan manusia untuk mengembalikan fitrah dasar manusia, sebagai mahluk
otonom dengan kemampuan rasionalitasnya dan kemerdekaan berpikirnya, humanisme juga lahir sebagai sebuah semangat perlawanan terhadap setiap
kekuatan yang memasung kemampuan dasar alami manusia. Humanism kemudian pada dasarnya terlahir dari keinginan untuk memanusiakan manusia sebagai
manusia sebagai subjek dengan kesadarannya, bukan sebagai objek tanpa kesadaran.
18
Pemahaman atas manusia sebagain individu yang berhak untuk menentukan nasibnya sendiri, untuk membuat sejarahnya sendiri adalah sikap humanistis yang
menjadi roh bagi gerakan pemikiran filsafat lainnya. Hal ini berarti dari humanisme lahir sejumlah pemikiran yang menjadi simbol bagi gerakan
kefilsafatan modern. Dalam konteks ini berarti humanisme telah berimplikasi positif dalam bagi tumbuh kembangnya filsafat modern yang memberikan
perubahan secara revolusioner bagi wajah peradaban manusia. Implikasi positif itu tentu saja terletak pada aspek humanisasi atas diri manusia untuk secara sadar
menemukan menemukan potensi kemanusiaannya.
19
Teori yang dikemukakannya, Krierkagaard banyak menekankan tentang kebebasan dan tanggung jawab dalam banyak tulisannya. Masalah kebebasan dan
tanggung jawab adalah hal yang fundamental dan krusial. Kebebasan dan perjuangan menjadi sesuatu yang selalu yang diperjuangkan oleh setiap individu
manusia. Menurut pendapatnya yang dibutuhkan dalam hidup ini adalah , passion, antusiasme, gairah, semangat, dan keyakinan yang dilandasi oleh kehendak bebas
dan afeksi emosi.
1.5.1.3 Teori Tahap Eksistensi Manusia
20
18
Dikutpi dari Jurnal Filsafat, Santoso, Lestiyono. Patologi Humanisme Modern, 2003, Jilid 33, hal. 34
19
ibid. Hal 37.
20
Zainal Abidin, op. cit. Hal 134.
Universitas Sumatera Utara
Tahap eksistensi manusia yang dikemukakan oleh Kierkagaard adalah bentuk pembuktiannya tentang apa yang diyakininya tentang kebebasan dan
tanggung jawab. Tahap eksistensi manusia dibagi dalam tiga tahapan, yaitu : 1. Tahap Estetis
Tahap estetis adalah tahap dimana orientasi hidup manusia sepenuhnya diarahkan untuk mendapatkan kesenangan. Pada tahap ini manusia dikuasai
oleh naluri-naluri seksual, dan prinsip-prinsip yang hedonistik, dan biasanya bertindak menurut suasana hati.
2. Tahap Etis Hidup etis berarti mengubah pola hidup yang awalnya estetis menjadi etis.
Individu mulai menerima kebajikan-kebajikan moral dan memilih untuk mengikatkan diri kepadanya. Prinsip kesenangan dan naluri seksual sudah
diproyeksikan untuk tugas-tugas kemanusiaan. Manusia etis tidak hidup untuk kepentingan pribadinya, tetapi lebih kepada kepentingan umum.
Manusia etis juga mampu menolak tirani atau kuasa dari luar, baik itu yang bersikap represif atau nonrepresif selama tirani atau kuasa itu tidak
sejalan dengan apa yang diyakininya. 3. Tahap Religius
Tahapan terakhir dalam tiga tahapan eksistensi manusia adalah menjadi tahapan yang lebih sulit. Pada tahapan estetis ke tahapan etis kita
mempertimbangkan kita akan mempertimbangkan segala konsekuensi yang mungkin akan kita hadapi, sedangkan lompatan etis ke religius nyaris
tanpa pertimbangan-pertimbangan rasional. Pada tahapan ini yang diperlukan justru keyakinan subjektifitas yang berdasarkan pada iman.
21
21
Ibid, hal. 134-136
Universitas Sumatera Utara
1.5.2 Teori Nasionalisme
Defenisi nasionalisme telah banyak dikemukakan dengan berbagai pemahaman yang sangat diferensiatif. Ada kecenderungan setiap defenisi dapat
saling mendukung ataupun ada yang saling tumpang tindih antara satu dengan yang lainnya. Tapi semua bermuara pada satu tema utama yaitu tentang negara.
Nasionalime adalah suatu idiologi yang meletakkan bangsa dipusat masalahnya dan berupaya mempertinggi keadaanya.
Benedict Anderson sendiri mendefiniskan bangsa sebagai Imagined Community dalam pengertian bahwa bangsa adalah komuniti yang dibayangkan
oleh kolektifnya. Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang memiliki batas-batas dan berkedaulatan. Lanjutnya, kata ‘isme’ dalam nasionalisme jangan dikacaukan
dengan pengertian isme sebagai ideologis. “Isme” di sini lebih tepat sebagai suatu analogi yang berkaitan dengan elemen kultural seperti kekerabatan atau agama,
sebab nasionalisme sendiri lebih merupakan ‘nasib’ daripada suatu ‘pilihan’ yang diterima oleh warga suatu kedaulatan. Studi nasionalisme mungkin sebenarnya
lebih tepat nationality bagi Anderson memungkinkan kita untuk mengerti mengapa melakukan pengorbanan, menahan penderitaan, bahkan rela
mengorbankan nyawa sendiri termasuk juga melakukan pertumpahan darah dan mengesahkan pembunuhan-pembunuhan atas nama identitas kebangsaannya.
22
Secara spesifik istilah imagined dibayangkan ini penting, menurut Anderson, mengingat bahwa anggota-anggota dari bangsa ini kebanyakan belum
pernah bertemu satu sama lain, tetapi pada saat yang sama dibenak mereka hidup suatu bayangan bahwa mereka berada dalam suatu komuniter tertentu. Karena
hidup dalam bayangan dalam arti posisitif manusia yang juga hidup dan berdinamikna, nasionalisme disini dimengerti sebagai sesuatu yang hidup, yang
terus secara dinamis mengalami proses pasang surut, naik turun. Pandangan yang demikian ini mengandai bahwa nasionalisme merupakan sesuatu yang hidup, yang
22
Tulisan dari A. Reid 1985 yang me-rifiew buku dari Benedict Anderson yang berjudul Imagined Communities. Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, hal 497-499
Universitas Sumatera Utara
secara dinamis berkembang serta mencari bentuk-bentuk baru sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
23
1. Suatu proses pembentukan, atau pertumbuhan bangsa – bangsa.
Perkembangan studi tentang nasionalisme telah berkembang dengan pengertian yang secara general dapat kita mengerti sekarang ini. Di antara
penggunaan-penggunaan itu, yang paling penting adalah :
2. Suatu sentimen atau kesadaran memiliki bangsa yang bersangkutan. 3. Suatu bahasa dan simbolisme bangsa.
4. Suatu gerakan sosial dan politik demi bangsa bersangkutan.
5. Suatu doktrin danatau idiologi bangsa, baik yang umum maupun yang khusus.
24
Pendefenisian istilah nasionalisme telah melalui proses panjang yang dalam setiap perumusannya selalu parsial dan mengacu pada kondisi sosial politik yang
dicakupnya. Nasionalisme selalu berupaya menempatkan negara sebagai pusat dari pembahasaannya ataupun dalam tahap lebih lanjut mempertinggi derajat
bangsanya. Sasaran umum ini ada tiga : otonomi nasional, kesatuan nasional, dan identitas nasional. Melihat sudut pandang para nasionalis, suatu bangsa tidak bisa
melangsungkan hidupnya kalau ketiga sasaran ini dalam derajat yang memadai, yang kemudian dari sini muncullah defenisi kerja nasionalisme suatu gerakan
idiologis untuk mencapai, mempertahankan otonomi, kesatuan, dan identitas bagi suatu populasi, yang sejumlah anggotanya bertekad untuk membentuk suatu
“bangsa” yang aktual atau “bangsa” yang potensial. Bergerak dari pembahasan nasionalisme, unsur yang tidak bisa dilepaskan
dari penetapan ide-ide nasionalisme adalah tentang etnik dan bangsa. Terdapat perbedaan yang mendasar dan cenderung tumpang tindih antara bangsa dan
komunitas etnik ataupun tidak dapat dipisahkan dan cenderung saling melengkapi. Bangsa bukanlah komunitas etnik yang, karena biasanya komunitas etnik, karena
23
Dikutip dari jurnal Iman, Ilmu dan Budaya. Baskara Wardaya. 2002, Nasionalisme Universal : Menjawab Ajakan Pasca Nasionalisnya Romo Mangun, vol 3.
24
Anthony Smith.2002. Nasionalisme, Teori, idiologi, sejarah.Jakarta :Erlangga. Hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
biasanya komunitas etnik tidak mempunyai rujukan politik, dan dalam banyak hal juga kekurangan budaya public, bahkan kekurangan dimensi territorial, karena
komunitas etnik belum tentu memerlukan kepemilikan fisik di dalam suatu wilayah historisnya.
Pada praktek, perumusannya, dan pendefenisian, etnik dan bangsa tidak memiliki sekat yang kuat. Seperti konsepsi yang diajukan David Miller tentang
bangsa, ada kecenderungan saling mendukung walaupun memang kedua topik ini bisa dipisahkan. Defenisinya tentang bangsa adalah sebagai komunitas yang
1terbentuk dari keyakinan bersama dan komitmen yang saling menguntungkan, 2mempunyai latar belakang sejarah, 3berkarakter aktif, 4berhubungan
dengan suatu wilayah tertentu, dan 5dibedakan dari komunitas lain melalui budaya publik yang khas.
Anthony D. Smith juga memberikan penjabaran tentang bagaimana mendefenisikan konsep bangsa sebagai suatu komunitas manusia yang memiliki
nama, yang menguasai suatu tanah air serta memiliki mitos-mitos dan sejarah bersama, budaya publik bersama, perekonomian tunggal. Sementara ituk konsep
entnik dapat didefenisikan sebagai suatu komunitas manusia yang memiliki nama, yang berkaitan dengan satu tanah air, memiliki mitos leluhur bersama, kenangan
bersama, satu atau beberapa unsure budaya bersama, dan solidaritas tertentu, paling tidak diantara elit-elitnya.
25
25
Ibid, hal. 15
Perbedaan pendefenisian yang terjadi antara entik dan bangsa pada tahapan lebih lanjut adalah pada substansinya adalah mendukung sebuah konsepsi
nasionalisme yang lebih konkrit dan jelas. Argumentasi yang coba membatasi kedua hal ini memang tidak lantas membentuk konsepsi-konsepsi nasionalisme
yang berbeda. Bangsa dan etnik adalah bagian penting yang dalam perumusan ciri khas dari sebuah nasionalisme dari sebuah kondisi sosial yang terjadi, tidak bisa
dihilangkan ataupun dilupakan dalam menemukan konsepsi nasionalisme yang coba diformulasikan.
Universitas Sumatera Utara
Antonhy Smith dalam perkembangan konsep nasionalisme memang menjadi salah satu tokoh yang teorinya banyak menjadi acuan. Menurut Smith, proposisi-
propisisi dasar nasionalisme adalah sebagai berikut:
•
Dunia ini dibagi menjadi bangsa-bangsa yang masing-masing memiliki karakter, sejarah, dan takdir sendiri-sendiri
•
Bangsa adalah satu-satunya sumber kekuasaan politik
•
Kesetiaan kepada bangsa adalah prioritas utama
•
Agar menjadi bebas, individu harus menjadi bagian dari suatu bangsa
•
Setiap bangsa menuntut ekspresi diri dan otonomi
•
Pedamaian dan keadilan global menuntut adanya dunia yang terdiri atas bangsa-bangsa yang otonom
Dilain sisi, menurut smith pergerakan menuju sebuah ide nasionalisme, perlu didasari atas tiga aspek yang penting seperti yang diungkap oleh Anthony D.
Smith, yaitu : 1. Kebahuruan Idiologis
Pada aspek ini semua gerakan harus berbasi idiologi, sehingga bangsa- bangsa yang tercipta berbasis idiologi pula. Ini diperlukan dalam
penyeragaman nilai-nilai yang ditanamkan, sehingga ada acuan untuk dinilai dan menilai sesuai dengan doktrin nasionalisme tersebut.
2. Pentingnya basis Etnik Ikatan etnik menjadi sangat penting. Penggunaan ikatan dan sentimen
etnik menjadi pendukung sebuah konsep nasionalisme. Karena memang menolak etnisitas dalam menggalang upaya menciptakan sebuah sikap
yang nasionalis, akan menjadi sebuah tindakan yang sia-sia. 3.Dunia dalam inner world dari entik dan bangsa
Aspek ini menekankan akan pentingnya penemuan dan penggunaan kembali kenangan, symbol, mitos, nilai dan tradisi kolekstif rakyat. Upaya
menganalisis unsur-unsur etno-simbolik ditujukan untuk membangun
Universitas Sumatera Utara
sebuah mental yang kuat, membangun sikap yang mampu memperhitungkan perkembangan masa depan ke era yang lebih maju.
26
Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diteliti dengan menggambarkanmelukis keadaan subjekobjek penelitian
seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain, pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagai mana adanya.
1.6. Metodologi Penelitian
Menyelesaikan sebuah tulisan ilmiah adalah proses dengan mengedepankan sebuah tahapan-tahapan yang sistematis dan cara apa yang dipergunakan untuk
memproses dan mempermudah penulisan dalam melakukan penelitian dengan. Cara-cara ini dikelompokkan dalam sebuah metodologi, yang tujuaanya adalah
untuk mencari titik pemecahan dari masalah yang akan diteliti.
1.6.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah Deskriptif Analitif. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi sesuatu fenomena atau
kenyataan sosial dengan menggunakan analisa tertentu. Penelitian ini juga digunakan sebagai suatu cara pemecahan masalah yang diteliti dengan
menggunakan analisa mendalam terhadap objek yang akan diteliti.
27
1.6.2 Teknik pengumpulan data
Dalam menyusun sebuah penelitian akan menjadi penting memilih sebuah teknik pengumpulan data yang tepat, yang akan sangat berpengaruh terhadap hasil
penelitian. Teknik pengumpulan data akan memungkinkan dicapainya pemecahan masalah secara valid dan reliabel, yang pada gilirannya akan memungkinkannya
dirumuskannya generalisasi yang objektif.
28
26
Ibid, hal 146-147
27
Hadari, Nawawi.2003.Metode Penelitian Bidang Sosial.Yogyakarta: Gadjah Mada University Pers.hal.63.
28
Ibid, Hal.94.
Universitas Sumatera Utara
Adapun teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam melakukan penelitian ini adalah dengan melakukan pengumpulan data kepustakaan library
search. Bahan-bahan yang diambil sebagai data-data untuk penulisan tulisan ilmiah berasal dari tulisan-tulisan, maupun artikel yang terdapat dalam buku-
buku, jurnal, makalah, media cetak, internet dan sejenisnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
1.6.3 Teknik analisis data
Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data deskriptif kualitatif, dimana teknik ini melakukan analisa atas
masalah yang ada sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang objek yang akan diteliti dan kemudian dilakukan penarikan kesimpulan.
1.7. Sistematika Penulisan BAB I