Penyelesaian Masalah Pengembangan Nuklir Korea Utara

3. Penyelesaian Masalah Pengembangan Nuklir Korea Utara

a) Proses Perundingan

Krisis nuklir Semenanjung Korea terjadi setelah Perang Dingin berakhir. Kedua negara Korea menandatangani Treaty of Reconciliation and Nonaggression pada 13 Desember 1991. Pada perjanjian itu, Seoul dan Pyongyang sepakat untuk menghentikan hubungan permusuhan dan bekerjasama dalam bidang keamanan. Pada September 1991, Amerika Serikat menyatakan akan memindahkan seluruh senjata nuklir taktis yang ditempatkan di Korea Selatan dan pada tanggal 18 Desember 1991, Presiden Korea Selatan Roh Tae-woo turut mendeklarasikan bahwa tidak ada senjata nuklir di Korea Selatan (Wicahyani, 2010).

Pada 19 Februari 1992, Korea Utara menerima perjanjian pengawasan yang disyaratkan oleh NPT (Perjanjian nonproliferasi nuklir) untuk menerima inspeksi atas instalasi nuklir oleh organisasi energy atom internasonal (The International Atomic Energy Agency, IAEA). Perjanjian ini bernama Joint Declaration of Denuclearization of the Korean Peninsula. Deklarasi ini berisi bahwa kedua negara Korea setuju untuk tidak melakukan ujicoba, membuat, memproduksi, menerima, memiliki, menyimpan, menempatkan atau menggunakan senjata nuklir. Kesepakatan ini juga mengikat dua negara untuk tidak lagi memiliki fasilitas pengelolaan nuklir dan pengayaan uranium. Sesuai dengan perjanjian, IAEA akan melakukan enam kali inspeksi di Korea Utara. Korea Utara juga harus menginformasikankan kepemilikan material nuklir sesuai yang disyaratkan

Amerika Serikat yang memperlihatkan bahwa Korea Utara memiliki jumlah plutonium lebih banyak dari yang diinformasikan. Dengan hasil inspeksi itu, pihak IAEA meminta pemeriksaan khusus tetapi ditolak oleh Korea Utara (Park. K.Y., 2009: 99).

Adanya informasi tersebut, membuat perselisihan yang dihadapi IAEA dan Pyongyang terus berlanjut. IAEA meminta Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) untuk mendapatkan izin inspeksi khusus. Korea Utara merasa tersinggung dan mengancam untuk menarik keanggotaannya dari NPT pada tahun 1993. Usaha negosiasi pertama antara Amerika Serikat-Korea Utara terjadi pada tahun 1994 ketika IAEA melaporkan bahwa Korea Utara gagal memenuhi peraturan dan prosedur inspeksi. Setelah sejumlah pembicaraan antara Washington dan Pyongyang, Korea Utara akhirnya mengumumkan untuk menunda penarikan keanggotaanya dari NPT. Namun, Korea Utara tetap menolak akan adanya inspeksi yang ingin dilakukan oleh IAEA (Han. T. Y. 2004).

Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton mengumumkan bahwa Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan akan menjatuhkan sanksi bagi Korea Utara jika Korea Utara bersikeras untuk memproduksi plutonium. Korea Utara menafsirkan sanksi tersebut sebagai pernyataan perang dan mengancam untuk membumihanguskan Korea Selatan. Kegiatan ujicoba peluncuran senjata nuklir jarak pendek yang dilakukan Korea Utara membuat pemerintah Clinton merencanakan operasi serangan preemptive terhadap fasilitas program nuklir yang ada di Yongbyon. Serangan tersebut akan menghancurkan seluruh fasilitas dan materi nuklir di Yongbyon. Namun, rencana ini dikhawatirkan akan mengakibatkan serangan satu juta pasukan Korea Utara terhadap Korea Selatan. Untuk menghindari hal tersebut, maka Amerika Serikat menambah pasukan yang ditempatkan di Korea Selatan.

Pada tahun 1998, Korea Utara telah merancang dua senjata jarak jauh yang dapat mencapai sebagian wilayah Amerika Serikat dan Jepang.

satu misilnya dengan jangkauan jelajah 1700-2200 km yang melewati wilayah Jepang dan mendarat di bagian barat Hawaii, Samudera Pasifik. Ujicoba misil ini membuat Amerika Serikat dan Jepang ingin berhenti mendukung Agreed Framework. Namun, jika Agreed Framework tidak terlaksana, maka Korea Utara akan bereaksi dengan membuka kembali fasilitas nuklir di Yongbyon. Melihat keadaan ini bukan hanya Amerika Serikat dan Jepang saja yang merasa terancam tetapi seluruh negara yang berada di Asia Timur merasa harus memperkuat sistem pertahanan agar tidak menjadi sasaran rudal Korea Utara (Wicahyani, 2010).

Keadaan ini membuat Presiden Clinton melakukan peninjauan kebijakan yang dilaksanakan bersama Jepang dan Korea Utara. Peninjauan tersebut menghasilkan kesimpulan dan rekomendasi bahwa Korea Utara sedang mengalami situasi ekonomi yang sulit, kelaparan di mana-mana, namun kondisi tersebut tidak membuat rezim pemerintahannya hancur. Rekomendasi yang dihasilkan berisi dua strategi alternatif menghadapi Korea Utara. Pertama, jika Korea Utara tidak menjalankan program senjata nuklir jangka panjang, maka Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan perlahan-lahan akan melakukan normalisasi hubungan politik dan ekonomi, termasuk menciptakan perdamaian. Kedua, jika Korea Utara tidak menunjukkan kemauan untuk menghentikan pengembangan nuklir, maka Amerika Serikat, Jepang dan Korea Selatan akan mengambil tindakan yang diperlukan untuk menangkal ancaman (Han. T. Y. 2004).

Pada bulan Mei 1999, delegasi Amerika Serikat berkunjung ke Pyongyang untuk memberikan kedua rekomendasi tersebut. Selama perundingan, Korea Utara tertarik dengan rekomendasi dari Amerika Serikat. Korea Utara melihat bahwa rencana ini akan membuka jalan pembangunan ekonomi yang memang dibutuhkan Korea Utara. Namun, Korea Utara juga takut bahwa kontak ekonomi dengan dunia luar akan menimbulkan destabilisasi kontrol rezim dalam negeri.

berjalan lancar. Korea Selatan dan Jepang masing-masing melaksanakan pertemuan yang pertama dengan Korea Utara. Dua bulan setelah pelantikan George W. Bush, Presiden Korea Selatan mengunjungi Amerika Serikat untuk meminta konfirmasi bahwa kebijakan dengan Korea Utara selama ini akan dilanjutkan. Presiden Bush menyatakan akan membuat kebijakan baru. Kesepakatan tersebut kemudian berhenti karena pemerintah Amerika Serikat dan Korea Utara tidak melakukan pertemuan dan selama satu setengah tahun, tidak ada dialog ataupun kebijakan baru dengan Korea Utara.

Pada bulan Juni 2003, Pyongyang membangun penangkal nuklir, kecuali Amerika Serikat menghentikan kebijakan yang bersifat permusuhan terhadap Korea Utara. Untuk mengatasi masalah tersebut, Washington kemudian mengusulkan Six Party Talks yang melibatkan Korea Selatan, Korea Utara, Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Rusia. Pada putaran pertama tahun 2003, diplomat Korea Utara menyatakan bahwa Pyongyang tidak memiliki pilihan selain melakukan ujicoba senjata nuklir. Ujicoba ini akibat dari sikap Amerika Serikat yang tidak bersedia melakukan pertemuan dengan Korea Utara. Pertemuan yang tertunda ini dikarenakan saling menyalahkan antara pemerintah Amerika Serikat dengan Korea Utara tentang pelanggaran kesepakatan pemberhentian pengembangan nuklir (Kompas, 9 Oktober 2006).

Pengakuan Korea Utara tentang kepemilikan program senjata nuklir, membuat Amerika Serikat menolak mengadakan pembicaraan bilateral. Ketika tuntutan ini ditolak Washington, Korea Utara menarik diri dari perjanjian nonproliferasi nuklir (NPT), setelah tiga kali putaran Six Party Talks antara bulan Agustus 2003 dan Juni 2004. Korea Utara dan Amerika Serikat memiliki perbedaan cara pandang dalam memecahkan krisis nuklir Korea Utara. Akibatnya, Six Party Talks tidak memperoleh banyak kemajuan hingga putaran keempat. Beberapa kemajuan baru tercipta dalam memecahkan masalah ambisi nuklir Korea Utara di tahun 2005 seperti Pengakuan Korea Utara tentang kepemilikan program senjata nuklir, membuat Amerika Serikat menolak mengadakan pembicaraan bilateral. Ketika tuntutan ini ditolak Washington, Korea Utara menarik diri dari perjanjian nonproliferasi nuklir (NPT), setelah tiga kali putaran Six Party Talks antara bulan Agustus 2003 dan Juni 2004. Korea Utara dan Amerika Serikat memiliki perbedaan cara pandang dalam memecahkan krisis nuklir Korea Utara. Akibatnya, Six Party Talks tidak memperoleh banyak kemajuan hingga putaran keempat. Beberapa kemajuan baru tercipta dalam memecahkan masalah ambisi nuklir Korea Utara di tahun 2005 seperti

Pada tanggal 19 September, Six Party Talks mencapai kejelasan ketika keenam negara mengeluarkan kesepakatan. Kesepakatan tersebut berisi denuklirisasi Semenanjung Korea secara damai, di mana Pyongyang harus menghentikan program nuklirnya, bergabung kembali dengan NPT dan mengizinkan IAEA untuk memeriksa kembali senjata nuklir Korea Utara. Sebagai imbalannya, Korea Utara akan menerima bantuan makanan, ekonomi, jaminan keamanan, dan energi dari anggota lain. Pernyataan ini juga membuka jalan bagi Pyongyang untuk menormalkan hubungan dengan Amerika Serikat dan Jepang, dan untuk negosiasi perjanjian perdamaian bagi Semenanjung Korea. Prospek pemecahan masalah dibuat rumit oleh Amerika Serikat yang pada September 2005 melakukan pembatasan aktivitas ekonomi dan perdagangan Korea Utara. Dengan adanya sanksi tersebut, Korea Utara justru meluncurkan rudalnya, melakukan ujicoba bom, dan melanjutkan program senjata nuklirnya (Wicahyani, 2010).

Menurut Tae-Hwan Kwak and Seung-Ho Joo, eds. (2003), adapun tujuan negara-negara yang terlibat dalam Six Party Talks yaitu, bagi Amerika Serikat perundingan Enam Pihak berfungsi sebagai alat untuk membuat Korea Utara menghentikan program senjata nuklir. Sedangkan bagi Jepang berfungsi sebagai forum untuk menegosiasikan pengakuan bersalah Pyongyang pada 1970-an dan 1980-an mengenai penculikan warga Jepang oleh mata-mata Korea Utara. Bagi Korea Selatan perundingan ini berfungsi untuk reunifikasi semenanjung Korea.

Bagi Korea Utara perundingan Six Party Talks tersebut untuk mencari sebuah janji keamanan dari Amerika Serikat. Korea Utara menginginkan bantuan ekonomi dari negara Six Party lainnya dan harapan untuk menyelesaikan dua reaktor air ringan yang dijanjikan dalam Agreed Framework 1994. Dalam hal ini, Cina memegang peranan penting dalam perundingan enam pihak. Cina berfungsi sebagai sekutu lama dan mitra dagang Pyongyang dan menggunakan pengaruhnya dengan rezim Kim Bagi Korea Utara perundingan Six Party Talks tersebut untuk mencari sebuah janji keamanan dari Amerika Serikat. Korea Utara menginginkan bantuan ekonomi dari negara Six Party lainnya dan harapan untuk menyelesaikan dua reaktor air ringan yang dijanjikan dalam Agreed Framework 1994. Dalam hal ini, Cina memegang peranan penting dalam perundingan enam pihak. Cina berfungsi sebagai sekutu lama dan mitra dagang Pyongyang dan menggunakan pengaruhnya dengan rezim Kim

Menurut Ministry of Foreign Affairs of Japan (1997), Jepang dan Amerika Serikat secara konsisten telah memberikan sanksi sebagai tanggapan terhadap uji senjata nuklir Korea Utara. Sementara Cina, Korea Selatan, dan Rusia tidak memberikan bantuan ekonomi karena jika terjadi perang maka mengakibatkan arus pengungsian besar dari penduduk Korea Utara. Pada bulan Februari 2007, Six Party Talks putaran kelima diakhiri dengan tindakan Korea Utara yang menutup dan melumpuhkan fasilitas nuklir dengan imbalan lima peserta akan bekerjasama untuk memberikan bantuan ekonomi, energi dan kemanusian ke Korea Utara. Namun terdapat perselisihan dalam perjanjian tersebut, Korea Utara menginginkan penyediaan bantuan energi diterima selama proses penghentian reaktor, sedangkan Amerika Serikat mensyaratkan agar penghentian reaktor dilakukan terlebih dahulu baru kemudian Korea Utara menerima bantuan energi.

Dalam kesepakatan September disebutkan bahwa Korea Utara dan Amerika Serikat memulai pembicaraan bilateral yang bertujuan untuk memecahkan masalah bilateral yang selama ini tertunda dan melaksanakan hubungan diplomatik penuh. Terlepas dari kesuksesan yang dihasilkan dari Six Party Talks , terdapat beberapa kegagalan Amerika Serikat dalam menghadapi Korea Utara. Pertama, Amerika Serikat tidak berhasil mencegah Korea Utara memperoleh dan melakukan uji coba senjata nuklir dengan usaha-usaha diplomatik dan strategi penangkalan. Kedua, Amerika Serikat tidak berhasil mencegah Korea Utara mentransfer teknologi nuklirnya ke Iran, Pakistan, dan Syiria. Korea Utara juga diketahui telah

Pakistan yang kemudian menjualnya kepada Libia. Iran juga telah membayar Korea Utara untuk melakukan pertukaran teknologi, peralatan dan pengayaan uranium. Seluruh aktivitas ini adalah bukti kegagalan dari kebijakan Amerika Serikat terhadap Korea Utara.

Ketika putaran kelima Six Party Talks berlangsung pada tahun 2005, Kementerian Keuangan Amerika Serikat menyatakan Banco Delta Asia (BDA), sebuah bank di Macau di mana Korea Utara memiliki rekening bank yang diduga melakukan atau menerima dana hasil pencucian uang Korea Utara. Macau merespon dugaan tersebut dengan membekukan sekitar $24 juta dana yang dimiliki Korea Utara. Sebagai salah satu syarat untuk melanjutkan Six Part Talks, Korea Utara meminta agar pembekuan rekening tersebut dibatalkan terlebih dahulu. Jika pembekuan terjadi maka program nuklir Korea Utara berlanjut dan mengalami peningkatan.

Amerika Serikat memiliki informasi mengenai program senjata berbahan dasar plutonium yang diyakini dapat membuat delapan hingga sepuluh bom nuklir. Situasi semakin rumit ketika pada tanggal 4 Juli 2006 Korea Utara melakukan ujicoba sedikitnya enam rudal, termasuk rudal jarak jauh Taepodong-2. Dewan Keamanan PBB memutuskan untuk menjatuhkan sanksi kepada Korea Utara atas ujicoba rudalnya. Resolusi PBB tersebut berisi larangan ekspor dan impor materi rudal Korea Utara (Ward. A., 2003).

Korea utara menginformasikan kepada Cina pada bulan Oktober 2006, bahwa mereka mungkin akan membatalkan rencana uji coba senjata nuklir jika Amerika Serikat mau melakukan perundingan bilateral dengan Korea Utara. Hal itu disampaikan seorang mantan anggota parlemen Korea Selatan, Jang Sung Min. Pemerintahan Korea Utara terus berupaya untuk membuka komunikasi langsung dengan Amerika Serikat daripada melanjutkan perundingan dengan lima pihak lainnya (Cina, Jepang, Korea Selatan, Rusia, Amerika Serikat). Akan tetapi, Amerika Serikat terus menolak untuk berunding langsung dengan Korea Utara. Di samping itu, tersiar kabar bahwa Korea Utara juga memperingatkan Cina bahwa mereka Korea utara menginformasikan kepada Cina pada bulan Oktober 2006, bahwa mereka mungkin akan membatalkan rencana uji coba senjata nuklir jika Amerika Serikat mau melakukan perundingan bilateral dengan Korea Utara. Hal itu disampaikan seorang mantan anggota parlemen Korea Selatan, Jang Sung Min. Pemerintahan Korea Utara terus berupaya untuk membuka komunikasi langsung dengan Amerika Serikat daripada melanjutkan perundingan dengan lima pihak lainnya (Cina, Jepang, Korea Selatan, Rusia, Amerika Serikat). Akan tetapi, Amerika Serikat terus menolak untuk berunding langsung dengan Korea Utara. Di samping itu, tersiar kabar bahwa Korea Utara juga memperingatkan Cina bahwa mereka

Hasil penelitian Amerka Serikat menunjukkan telah terjadi getaran seismik buatan manusia di wilayah Korea Utara yang berkekuatan 4,2 skala richter. Ketua badan tenaga atom internasional yang mengetahui ujicoba tersebut mulai mengambil tindakan dan mengungkapkan bahwa tes nuklir Korea Utara merupakan ancaman yang serius bagi masyarakat Asia Timur dan masyarakat internasional. Oleh karena itu, tindakan pencegahan penyebaran senjata nuklir harus dilakukan.

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pun langsung bergerak cepat untuk mengadakan pertemuan darurat untuk menyikapi perkembangan nuklir Korea Utara. Kantor berita resmi Korea Utara (KCNA) menginformasikan bahwa uji coba nuklir tersebut dilakukan di bawah pengetahuan keilmuan dan perhitungan yang matang oleh ahli ilmu Korea Utara. Keputusan Korea Utara terhadap ujicoba nuklir ternyata disambut dengan kecaman dan protes keras dari banyak negara khususnya negara-negara dikawasan Asia Timur dan Asia Tenggara serta negara-negara barat. Keberhasilan Korea Utara melakuakn uji coba senjata nuklir itu memunculkan kembali keyakinan sejumlah pihak mengenai kemampuan nuklir negara komunis tersebut. Korea Utara memilki sejumlah plutonium untuk membuat belasan senjata nuklir. Meski demikian masih diragukan negara tersebut mampu membuat hulu ledak nuklir yang bisa ditempatkan di

Taehwan, K. 2007). Reaksi dari Dewan Keamanan PBB atas uji coba nuklir Korea Utara yaitu mengeluarkan resolusi 1718 yang menjatuhkan sanksi keuangan dan senjata terhadap Korea Utara. Secara spesifik, resolusi tersebut meminta Korea Utara untuk mengeliminasi seluruh senjata nuklirnya, senjata pemusnah masal, dan rudal balistik. Pertemuan Six Party Talks di Beijing pada bulan Februari menghasilkan perjanjian Initial Actions for the Implementation of the Joint Statement. Perjanjian ini berisi penutupan dan penyegelan fasilitas Yongbyon dan mendikusikan daftar-daftar seluruh program nuklir Korea Utara.

Menurut Wicahyani (2010), perjanjian ini juga merupakan langkah awal bagi pembicaraan bilateral Korea Utara dengan Amerika Serikat dan Jepang, penyediaan 50.000 ton bahan bakar minyak bagi Korea Utara dalam jangka waktu 60 hari dan pembentukan kelompok kerja guna mendiskusikan implementasi perjanjian tersebut. Lima kelompok kerja tersebut adalah Normalisasi Hubungan Korea Utara-Amerika Serikat, Denuklirisasi Semenanjung Korea, Normalisasi Hubungan Korea Utara-Jepang, Kerjasama Ekonomi dan Energi, Mekanisme Perdamaian dan Keamanan Asia Timur.

Anggota Six Party Talks bertemu kembali pada 19 Maret 2007 guna melakukan evaluasi tiga puluh hari pertama. Pembicaraan tersebut terhenti pada 22 Maret dikarenakan Korea Utara menolak melakukan negosiasi hing tanggal 28 Mei 2007 Korea Utara melakukan uji coba beberapa rudal jarak dekatnya. Pemerintah Korea Selatan dan Amerika Serikat melaporkan bahwa uji coba rudal itu merupakan kegiatan rutin yang tidak akan memengaruhi Six Party Talks.

Korea Utara menembakkan kembali dua tambahan rudal jarak pendeknya yang menuai kritik dari Gedung Putih. Dana BDA akhirnya ditransfer kepada Korea Utara pada 25 Juni 2007. Esoknya, para inspektor

MW dan melakukan inspeksi pabrik bahan bakar nuklir serta dua reaktor yang sedang dibangun di Yongbyon. Seperti yang telah disepakati dari perjanjian, Korea Selatan mengirimkan bagian pertama 50.000 ton bahan bakar minyak kepada Korea Utara pada 12 Juli 2007. Tanggal 15 Juli 2007, IAEA mengkonfirmasi penutupan fasilitas nuklir di Yongbyon. Sebelumnya, pada 19 Maret 2007 fase pertama dari putaran keenam Six Party Talks dimulai. Mereka setuju bahwa laporan lengkap seluruh program nuklir diserahkan pada 31 Desember 2007 dan penutupan program nuklir Korea Utara juga dilakukan pada tanggal tersebut. Keenam pihak bertemu lagi untuk melanjutkan fase kedua putaran keenam pada tanggal 12 Juli 2008 yang menghasilkan beberapa hal yaitu, 6 perserta setuju melakukan tindakan untuk melumpuhkan fasilitas nuklir Korea Utara dan menyelesaikan pemasokan bantuan energi ke Korea Utara sampai akhir Oktober, maupun membangun mekanisme untuk memverifikasi laporan nuklir Korea Utara (KBS World, 2012).

Untuk meyakinkan Korea Utara, pada tanggal 1 Desember 2007 Presiden Amerika Serikat, George W. Bush menulis surat pribadi kepada pemimpin Korea Utara Kim Jong Il yang isinya akan melakukan normalisasi hubungan bila Korea Utara bersedia memperlihatkan program nuklirnya dan mulai membekukannya, memperlihatkan segala jenis material, peralatan atau ahli nuklir yang mungkin telah ditransfer ke negara-negara lain.

Awal tahun 2008, Korea Utara menyatakan telah memberikan laporan yang sebenar-benarnya pada bulan November 2007. Di lain pihak Amerika Serikat menyatakan bahwa laporan yang diserahkan pada bulan November tersebut tidak lengkap. Asisten Menteri Luar Negeri Christoper Hill telah mengunjungi Korea Utara pada akhir November 2007 dan memeriksa laporan tersebut. Dia melaporkan telah menemukan ketidaksesuaian dalam tiga hal yaitu: program pengayaan uranium, jumlah plutonium yang sebenarnya dimiliki, dan perluasan di mana Korea Utara membantu Syria. Pada bulan Mei 2008, Pyongyang akhirnya mengeluarkan Awal tahun 2008, Korea Utara menyatakan telah memberikan laporan yang sebenar-benarnya pada bulan November 2007. Di lain pihak Amerika Serikat menyatakan bahwa laporan yang diserahkan pada bulan November tersebut tidak lengkap. Asisten Menteri Luar Negeri Christoper Hill telah mengunjungi Korea Utara pada akhir November 2007 dan memeriksa laporan tersebut. Dia melaporkan telah menemukan ketidaksesuaian dalam tiga hal yaitu: program pengayaan uranium, jumlah plutonium yang sebenarnya dimiliki, dan perluasan di mana Korea Utara membantu Syria. Pada bulan Mei 2008, Pyongyang akhirnya mengeluarkan

Amerika Serikat dan Korea Utara memiliki ketidaksepakatan dalam hal verifikasi. Penyebabnya adalah Amerika Serikat ingin melakukan inspeksi seluruh dugaan fasilitas nuklir yang ada. Akan tetapi Korea Utara tidak menafsirkan hal yang sama. Korea Utara hanya mengizinkan inspeksi dilakukan terhadap fasilitas yang memang sudah diketahui. Pada bulan April 2009, Korea Utara meluncurkan roket yang diklaim sebagai satelit komunikasi. Roket ini melewati wilayah udara Jepang. Dengan adanya pelucuran roket ini, diperkirakan Korea Utara telah memproduksi 40-50 kilogram plutonium dan memiliki lima hingga sepuluh senjata nuklir. Diperkirakan pula bahwa Korea Utara telah memproduksi 75 kilogram HEU (highly enriched uranium) sejak tahun 2005. Pada tanggal 25 Mei, Korea Utara memutuskan untuk melaksanakan uji coba nuklir yang diikuti oleh uji coba tambahan beberapa misil jarak dekat. Komunitas internasional mengidentifikasi aksi Korea Utara ini sebagai tindakan provokatif (Seung.

H. J dan Tae. H. K., 2007).

b) Dampak Positif Nuklir

Senjata nuklir, selain digunakan untuk militer juga mempunyai beberapa manfaat. Menurut sebuah artikel komahi UMY (2011), salah satu pemanfaatan energi nuklir secara besar-besaran adalah dalam bentuk pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Energi nuklir di sini digunakan untuk membangkitkan tenaga listrik. PLTN adalah pembangkit tenaga listrik tenaga nuklir yang merupakan kumpulan mesin untuk pembangkit tenaga listrik yang memanfaatkan tenaga nuklir sebagai tenaga awalnya. Prinsip kerjanya seperti uap panas yang dihasilkan untuk menggerakkan mesin yang disebut turbin. Secara ringkas, rancangan PLTN terdiri dari air mendidih, boild water reactor , yakni setelah ada reaksi nuklir fisi di dalam reaktor, Senjata nuklir, selain digunakan untuk militer juga mempunyai beberapa manfaat. Menurut sebuah artikel komahi UMY (2011), salah satu pemanfaatan energi nuklir secara besar-besaran adalah dalam bentuk pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Energi nuklir di sini digunakan untuk membangkitkan tenaga listrik. PLTN adalah pembangkit tenaga listrik tenaga nuklir yang merupakan kumpulan mesin untuk pembangkit tenaga listrik yang memanfaatkan tenaga nuklir sebagai tenaga awalnya. Prinsip kerjanya seperti uap panas yang dihasilkan untuk menggerakkan mesin yang disebut turbin. Secara ringkas, rancangan PLTN terdiri dari air mendidih, boild water reactor , yakni setelah ada reaksi nuklir fisi di dalam reaktor,

Nuklir digunakan dalam dunia kesehatan sebagai alat untuk mendiagnosa penyakit sekaligus dapat pula memberikan terapi. Henry Bacquerel, penemu radioaktivitas telah membuka cakrawala nuklir untuk kesehatan. Di bidang kedokteran menggunakan radioisotop radium untuk pengobatan kanker yang dikenal dengan nama Brakiterapi. Radioisotop digunakan untuk mendiagnosa penyakit yang memanfaatkan instrumen disebut dengan Pesawat Gamma Kamera atau SPECT (Single Photon Emission Computed Thomography ). Untuk aplikasi terapi sumber radioisotop terbuka seringkali para pakar menyebutnya sebagai Endoradioterapi. Perawatan pasien bervariasi, tergantung pada apakah mereka berada di daerah perkotaan yang berpenduduk padat atau jarang penduduknya. Untuk menghindari efek yang tidak diinginkan, otoritas kesehatan masyarakat bekerjasama dengan Komisi Energi Atom Nasional (CNEA) untuk tindakan pencegahan pengobatan apabila terjadi kesalahan dalam perawatan pasien (Kremenchuzky dan Degrosi, O. J., 1991).

Keberadaan uranium dikerak bumi 2-3 kali lebih banyak dibandingkan emas. Jumlah uranium yang didapatkan biasanya diukur dengan biaya yang digunakan untuk memperoleh uranium. Biaya untuk mendapatkan uranium yakni $165/Kg, merupakan harga yang sangat kecil untuk sebuah pembangkit tenaga listrik. Bahan baku uranium seharga ratusan dolar, dapat digunakan PLTN yang mampu memasok listrik selama

85 tahun. Selain itu, teknologi baru terus dikembangkan untuk mendapatkan alat yang jauh lebih efisien dalam penggunaan uranium atau memanfaatkan torium yang jumlahnya 3 kali lebih banyak dari uranium (Blix, Hans., 1992).

c) Dampak Negatif Nuklir

Menurut artikel kedokteran (2011), radiasi dari senjata nuklir membahayakan keselamatan manusia. Radiasi yang diakibatkan oleh Menurut artikel kedokteran (2011), radiasi dari senjata nuklir membahayakan keselamatan manusia. Radiasi yang diakibatkan oleh

Seluruh masyarakat di dunia menggunakan energi listrik secara berlebihan. Untuk masa yang akan datang pasti akan membutuhkan energi yang lebih banyak. Oleh karena itu, dibuatlah suatu antisipasi apabila kekurangan energi, yaitu dikembangkannya energi nuklir. Saat ini energi nuklir telah dipersiapkan di sebagian negara maju sebagai pengganti energi listrik (Soetrisnanti, A. Y. 2001). Namun, ada beberapa negara yang memanfaatkan energi nuklir untuk hal-hal yang merugikan manusia lainnya. Jika pemerintah suatu negara pengembang nuklir tidak bisa mengendalikan kekuasaannya terhadap negara lain maka suatu saat akan terjadi perang nuklir. Sedangkan akibat dari radiasi nuklir tersebut yaitu dapat memusnahkan semua benda dan dalam jangka panjang akan merusak kelangsungan hidup makhluk hidup.

Sel-sel tubuh bila tercemar radio aktif maka terjadi ionisasi akibat radiasi yang dapat merusak hubungan antara atom dengan molekul-molekul sel kehidupan, juga dapat mengubah kondisi atom itu sendiri, mengubah fungsi asli sel atau bahkan dapat membunuhnya. Menurut Blix (1992), menyatakan bahwa ada tiga akibat radiasi yang dapat berpengaruh pada sel. Pertama, sel akan mati. Kedua, terjadi penggandaan sel, pada akhirnya dapat menimbulkan kanker, dan ketiga, kerusakan dapat timbul pada sel telur atau testis, yang akan memulai proses bayi-bayi cacat.

Menurut artikel Mengenep mengenai manfaat dan dampak nuklir bagi manusia (mengutip dari David J. Brenner) (2009), bahwa dampak radiasi nuklir pada manusia tidak mudah dideteksi. Dampak radiasi pada tubuh tergantung pada bahan radioaktif yang dilepaskan dan durasi paparan.

kematian. Sindrom tersebut akan menyebabkan gejala mual, muntah, kelelahan, rambut rontok, dan diare. Radiasi nuklir akan mengganggu kemampuan membelah dan menghasilkan sel. Sel-sel di usus besar biasanya merupakan bagian dari tubuh yang paling cepat membelah. Demikian pula, sel-sel darah yang terbentuk di tulang sumsung sangat rentan terhadap radiasi. Selain pada manusia, nuklir juga membawa pengaruh pada keamanan dunia internasional.

Pengembangan nuklir Korea Utara dapat berdampak luas bagi stabilitas keamanan regional Asia Timur. Dampak dari pengembangan senjata nuklir Korea Utara menimbulkan perlombaan senjata nuklir di antara negara tetangga khususnya di Asia Timur. Perlombaan senjata seperti itu dapat meningkatkan ketertarikan nuklir di antara negara-negara yang belum bersenjata nuklir. Salah satu contohnya yaitu Jepang, yang saat ini menahan diri untuk tidak menjalankan program nuklir yang dapat menghasilkan plutonium tingkat tinggi, tidak meningkatkan kapabilitas peluncuran missil balistik yang dimilikinya, dan tidak berusaha mengembangkan senjata nuklir yang canggih. Namun, apabila Jepang semakin merasa terancam akan krisis yang terjadi di Korea Utara, Jepang akan turut mengembangkan nuklir untuk melawan Korea Utara (Kremenchuzky dan Degrosi, O. J., 1991).

Pada tahun 1970, Korea Selatan berusaha mengembangkan senjata nuklir namun dihentikan oleh tekanan Amerika Serikat. Akan tetapi pada bulan Juli 2003 Korea Utara telah melakukan uji coba tujuh buah missilnya, termasuk satu kali kegagalan terhadap missil jarak jauh Taepodong-2 yang dapat menjangkau wilayah Amerika Serikat. Sehingga pada tahun 2004, para ilmuwan Korea Selatan menyatakan telah melanjutkan penelitian plutoniumnya dan pengayaan uranium.

Itulah sebabnya, disamping telah membuka babak baru yang cukup berbahaya di dalam pengembangan senjata nuklir, uji coba yang dilakukan oleh Korea Utara dianggap telah menciptakan ancaman yang sangat serius bagi Jepang, Amerika serikat serta negara-negara lain di kawasan Asia

Amerika Serikat dengan Korea Selatan ataupun Jepang semakin kuat. Mereka juga mempererat komitmen untuk melakukan penelitian, pengembangan, dan bahkan mungkin peningkatan teknologi militer untuk menangkal nuklir Korea Utara.