Kebijakan Dalam Negeri Kim Jong Il

2. Kebijakan Dalam Negeri Kim Jong Il

a) Kebijakan di Bidang Politik

Perubahan hubungan politik antarkorea diikuti pula dengan berbagai macam masalah yang besar. Beberapa di antaranya adalah masalah pembentukan struktur kekuatan politik yang baru di sekitar semenanjung Korea, masalah perbedaan pendapat umum terhadap sistem pemerintahan Korea Utara, reunifikasi dan ideologi. Dalam pertemuan puncak antarkorea, empat negara yang ada di sekeliling semenanjung Korea, seperti Amerika Serikat, Jepang, RRC, dan Rusia bersaing untuk memberikan pengaruh terhadap Korea Selatan dan Kotea Utara. Misalnya, presiden RRC, Jiang Jemin mengunjungi kedutaan besar Korea Utara di Beijing, sedangkan presiden Rusia, Vladimir Putin melakukan kunjungan resmi ke Korea Utara. Tawaran kedua presiden tersebut memberi isyarat bahwa Rusia dan Cina mendekati Korea Utara untuk mengadakan kerjasama (KBS World, 2006).

Di lain pihak, Perdana Menteri Jepang, Mori, melalui berbagai saluran komunikasi mencoba mengadakan kontak dengan pemerintah

Utara. Akan tetapi, pemerintah Korea Utara terlebih dahulu menjalin kerjasama dengan Amerika Serikat dengan mengirim Jenderal Korea Utara, Cho Myong Rok untuk berkunjung ke Washington. Kedatangan Jenderal Cho ke Amerika Serikat mendapat tanggapan dari presiden Bill Clinton yang akan mengunjungi Pyongyang pada tahun 2000. Perubahan politik di antara empat negara besar dan dua Korea tersebut membuat pemerintah Seoul tidak memahami keadaan politik di Semenanjung Korea. Pertemuan puncak antarkorea pada bulan Juni 2000, telah memunculkan pertentangan antara golongan konservatif dan reformis di dalam masyarakat Korea Selatan (Seung. Ho. Joo dan Tae. Hwan. K., 2007).

Sekian lama rakyat Korea Selatan hanya diberikan pendidikan mengenai demokrastisme dan kapitalisme tanpa mengenal sosialisme dan komunisme. Keadaan yang sama juga dirasakan oleh masyarakat Korea Utara. Rakyat Korea lebih condong pada ajaran konfusianisme. Mereka tidak berani mengubah dirinya sendiri untuk mancari hal-hal baru. Bukti dari ajaran konfusianisme misalnya, tindakan mantan Presiden Korea Selatan, Young Sam yang menolak kedatangan Kim Jong Il ke Korea Selatan. Masyarakat Korea Selatan menyetujui pendapat mantan presiden tersebut bahwa seharusnya Kim Jong Il meminta maaf terlebih dahulu atas tindakan peledakan bom pesawat Korea Selatan pada tahun 1988 lalu. Akan tetapi, presiden Dae Jung (presiden ke-8 setelah Kim Young Sam) meminta Kim Jong Il untuk berkunjung ke Korea Selatan sebagai tamu kenegaraan (Kim.

H. C., 2001).

Masalah penyatuan Semenanjung Korea menimbulkan perbedaan ideologi di dalam masyarakat Korea. Sejak tahun 1945, kedua negara tersebut mengembangkan kebijakan reunifikasinya masing-masing. Korea Selatan memiliki kebijakan unifikasi konfederasi, sementara Korea Utara menuntut kebijakan unifikasi federasi tingkat rendah. Terhadap kedua kebijakan reunifikasi semenanjung Korea itu, masyarakat Korea mengalami ketidaktahuan mengenai ideologi di negara mereka. Dalam suatu pertemuan Masalah penyatuan Semenanjung Korea menimbulkan perbedaan ideologi di dalam masyarakat Korea. Sejak tahun 1945, kedua negara tersebut mengembangkan kebijakan reunifikasinya masing-masing. Korea Selatan memiliki kebijakan unifikasi konfederasi, sementara Korea Utara menuntut kebijakan unifikasi federasi tingkat rendah. Terhadap kedua kebijakan reunifikasi semenanjung Korea itu, masyarakat Korea mengalami ketidaktahuan mengenai ideologi di negara mereka. Dalam suatu pertemuan

Kebijakan politik Korea Utara menggunakan ideologi Juche. Ideologi ini dicetuskan oleh Kim Il Sung dan bertahan sampai kepemimpinan Kim Jong Il. Juche mempunyai arti mandiri, di mana seluruh masyarakat Korea Utara harus bisa hidup secara mandiri tanpa bantuan internasional. Akan tetapi, semboyan tersebut tidak berlaku lama. Korea Utara tanpa bantuan produk luar negeri membuat rakyatnya menjadi sengsara. Kondisi Korea Utara yang memprihatinkan mendapat respon baik dari Korea Selatan. Saat ini pemerintah Korea Utara masih menggunakan ideologi Juche dan mulai membuka kerjasama dengan berbagai negara di dunia.

b) Kebijakan di Bidang Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi mengalami pertumbuhan lebih dari 15% per tahun, dengan tenaga nuklir sebagai kebutuhan yang penting sejak tahun 1970. Namun, keadaan ekonomi Korea Utara mengalami keadaan buruk di tahun 1990an. Selain itu, Korea Utara mengalami bencana banjir, pengelolaan lahan yang buruk dan ketidakmampuan untuk mengimpor barang yang diperlukan untuk mempertahankan industri. Keadaan yang memburuk terebut membuat Kim Jong Il melakukan perubahan kebijakan ekonomi yang digabung dengan kebijakan militer untuk memperkuat negara. Menurut pemerintah Korea Utara, kebijakan ini dapat menghasilkan tingkat pertumbuhan yang positif meskipun bahan makanan bergantung pada bantuan asing (KunMo Chung, 1990).

Pemerintahan Kim Jong Il menghadapi masalah serius dibidang ekonomi. Di era globalisasi yang semakin maju, pemerintah Korea Utara masih menerapkan politik isolasi terhadap warga negaranya. Rakyat tidak Pemerintahan Kim Jong Il menghadapi masalah serius dibidang ekonomi. Di era globalisasi yang semakin maju, pemerintah Korea Utara masih menerapkan politik isolasi terhadap warga negaranya. Rakyat tidak

Korea Utara merupakan salah satu negara komunis yang mengatur dan merencanakan perekonomiannya sendiri. Komite Perencanaan Sentral mempersiapkan, mengawasi dan melaksanakan rencana ekonomi, sementara Biro Umum Industri Provinsi di setiap daerah bertanggungjawab atas pengelolaan fasilitas manufaktur lokal, produksi, alokasi sumber daya dan penjualan. Sistem kekuasaan Kim Jong-il tidak segera mencapai kestabilan dan pertumbuhan ekonomi. Pembatasan struktur sistem domestik masih berlaku dan lingkungan eksternal juga memburuk, sehingga dapat mengisolasi perekonomian negara komunis itu. Rencana pembangunan masa transisi 3 tahun yang berlaku pada tahun 1994, tidak mendapat hasil. Korea Utara masih bergantung pada bantuan asing untuk memenuhi permintaan pangan domestik, sedangkan porsi ketergantungan ekonominya pada Cina dan Korea Selatan dalam perdagangan semakin besar. Kekurangan dana, teknologi dan informasi membuat Korea Utara sulit mencapai pertumbuhan ekonomi mandiri mereka (Kim. H., 1994: 53).

Untuk memperbaiki perekonomian negara, Korea Utara menjalankan reformasi dengan meluaskan kegiatan ekspor, mengadakan forum penarikan investasi asing dan pembukaan jembatan penyeberangan untuk perdagangan internasional. Sebuah proyek telah dikembangkan untuk membangun Zona Perdagangan Bebas di pelabuhan Najin dan daerah Seonbong, di propinsi Hamkyeong. Pengembangan ini dilaksanakan pada tahun 1991, dengan tujuan mengubah zona ini menjadi pusat logistik internasional, pusat ekspor untuk produk olahan, dan sebagai tempat wisata. Walaupun upaya legislasi dan institusional dikerjakan, namun lingkungan negara sosialis yang tertutup dan terbatas, infrastruktur yang belum memadai dan rendahnya tingkat kepercayaan dari luar negeri mengakibatkan gagalnya proyek tersebut. Kemudian, zona ekonomi khusus Shineuiju diusulkan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi kesulitan tersebut.

bebas Najin Seonbong. Keadaan ini meniru dari Cina yang melakukan reformasi lokal dan kerjasama di berbagai bidang dengan negara lain. Zona ekonomi khusus Shineuiju merupakan proyek ambisius yang datang saat rencana pembangunan nasional selama masa transisi mengalami kegagalan. Zona ini menjadi negara di dalam negara, hampir sama dengan Hong Kong, yang menjamin kegiatan bisnis dan hak properti swasta. Posisinya yang terletak di dekat Cina dan Laut Barat, memudahkan untuk diakses oleh orang dan modal asing. Di saat itu, pebinis Cina, Yang Bin dilantik sebagai Menteri Administrasi zona Shineuiju. Beberapa waktu kemudian, proyek Shineuiju ditimpa masalah saat Yang Bin ditangkap oleh kepolisian Cina dengan tuduhan korupsi, dan sampai sekarang tidak berkembang lagi. Sampai saat ini Korea Utara masih membutuhkan bantuan dari negara tetangganya (Hastuti. W., 2005).

c) Kebijakan di Bidang Pertahanan dan Keamanan

Tentara Rakyat Korea merupakan sebutan untuk pasukan bersenjata kolektif dari militer Korea Utara. Ada lima cabang tentara yaitu Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Operasi Khusus dan Angkatan Rocket. Menurut Departemen Luar Negeri Ameika Serikat, Korea Utara memiliki 1,21 juta personil yang bersenjata, dengan sekitar 20% pria berusia 17-54 dalam angkatan bersenjata reguler. Jumlah tentara Korea Utara yang banyak membuat persentase personil militer Korea Utara menjadi tertinggi perkapita dari personil militer setiap bangsa di dunia (Korean Broadcasting, 2006).

Jumlah peralatan operasi militer Tentara Rakyat Korea di antaranya 4.060 tank, 2.500 APC, 17.900 buah artileri, 11.000 senjata pertahanan udara dan tank anti peluru kendali dalam angkatan darat, 915 kapal pada Angkatan Laut dan 1.748 pesawat di Angkatan Udara dengan 478 adalah pejuang dan 180 adalah pembom. Peralatan di Korea Utara merupakan peralatan campuran dari Perang Dunia II yaitu kendaraan vintage dan Jumlah peralatan operasi militer Tentara Rakyat Korea di antaranya 4.060 tank, 2.500 APC, 17.900 buah artileri, 11.000 senjata pertahanan udara dan tank anti peluru kendali dalam angkatan darat, 915 kapal pada Angkatan Laut dan 1.748 pesawat di Angkatan Udara dengan 478 adalah pejuang dan 180 adalah pembom. Peralatan di Korea Utara merupakan peralatan campuran dari Perang Dunia II yaitu kendaraan vintage dan

H. J., 1997).

Kim Jong Il menggunakan strategi nasional dengan semboyan politik yang mengutamakan militer dengan bertujuan untuk memelihara rejim keluarga Kim. Pemerintah Korea Utara mementingkan militer untuk memperkuat pertahanan dari serangan negara lain. Pertahanan Korea Utara sangat penting, karena pemerintah telah membuka program pengembangan nuklir yang memerlukan penjagaan ekstra.

Korea Utara mempunyai alasan dalam mengembangkan nuklir, yaitu untuk menjaga keamanan negara dari negara adikuasa seperti Amerika Serikat. Tujuan akhir kebijakan politik tersebut adalah membangun negara yang kuat, yang tidak dapat diancam oleh invasi asing. Runtuhnya Uni Soviet membuat Korea Utara terisolasi dari segi politik dan ekonomi dengan negara lain. Pada waktu itu, masalah paling serius di Korea Utara adalah kekurangan pangan. Penduduk Korea Utara banyak yang meninggal akibat kelaparan dan hal itu memaksa Korea Utara meminta bantuan kepada masyarakat internasional. Pada Oktober 2000, keadaan Korea Utara mulai membaik karena pemerintah mulai melakukan kerjasama dengan negara China (Suisheng. Z., 2006).