Gambaran Tingkat Stres Orang Tua dengan Anak Tunagrahita dan Tunadaksa di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan Tahun 2013
GAMBARAN TINGKAT STRES ORANG TUA DENGAN ANAK TUNAGRAHITA DAN TUNADAKSA DI YAYASAN PEMBINAAN ANAK
CACAT (YPAC) MEDAN TAHUN 2013
Oleh : PURWANDARI
100100085
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2013
(2)
Gambaran Tingkat Stres Orang Tua dengan Anak Tunagrahita dan Tunadaksa di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan Tahun 2013
Oleh : PURWANDARI
100100085
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2013
(3)
Gambaran Tingkat Stres Orang Tua dengan Anak Tunagrahita dan Tunadaksa di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan Tahun 2013
Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran
Oleh : PURWANDARI
100100085
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2013
(4)
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : GAMBARAN TINGKAT STRES ORANG TUA DENGAN ANAK TUNAGRAHITA DAN TUNADAKSA DI YAYASAN PEMBINAAN ANAK CACAT (YPAC) MEDAN TAHUN 2013
Nama : PURWANDARI
NIM : 100100085
Pembimbing, Penguji I,
dr. Johannes H. Saing, Sp.A(K) dr. Muhammad Rusda, Sp.OG(K) NIP : 19720129 200003 1 001 NIP : 19680520 200212 1 002
Penguji II,
NIP : 19740913 200312 2 001 dr. Sri Amelia, M.Kes
Medan, 8 Januari 2014 Dekan
Fakultas KedokteranUniversitas Sumatera Utara
Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp. PD-KGEH NIP: 1954022019811011001
(5)
ABSTRAK
Orang tua yang memiliki anak dengan keterbatasan, memiliki beban yang dapat memicu stres dan mempunyai dampak negatif terhadap orang tua, hubungan orang tua-anak, dan anak itu sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran dan tingkat stres orang tua dengan anak retardasi mental (tunagrahita) dan anak dengan cacat fisik (tunadaksa) di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang dilaksanakan secara sekat lintang meliputi semua orang tua siswa didik YPAC Medan antara bulan Agustus – September 2013. Penelitian ini menggunakan adaptasi Parenting Stress Scale (PSS) untuk menggambarkan stres pada orang tua. Responden yang diikutsertakan dalam penelitian ini berjumlah 123 orang dengan 67 orang ibu dan 56 orang ayah. Pengumpulan data dilakukan melalui metode kuesioner.
Berdasarkan hasil pengolahan data, penelitian ini menemukan ayah dan ibu yang mengalami stres sedang masing-masing 55,4% dan 52,2%, dan tidak ada orang tua yang mengalami stres berat. Namun tidak ada perbedaan berarti antara nilai mean stres ayah dan ibu, antara tingkat stres orang tua dengan usia, pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan orang tua. Dari hasil analisis data tersebut disimpulkan bahwa mayoritas orang tua mengalami stres tingkat sedang.
(6)
ABSTRACT
Parents of children with limitation of growth and development, bear more problems which can induce stress leading to negative impact to the parents, relationship of parent-children, and the children. The aim of this paper is to investigate the description and level of mental health of parents (parenting stress) of children with mental retardation and physical disabilities at YPAC (Yayasan Pembianaan anak Cacat / Institute for Crippled Children) Medan.
This study is a descriptive study with cross-sectionally conducted involving all parent of YPAC Medan’s students from August to September 2013. This study adapted Parenting Stress Scale (PSS) to measure mental health of parent. Of 123 parents participated in the study consisted of 56 father and 67 mothers. Data collecting was done with questionnaire.
This study found father and mother having medium level of stress respectively 55,4% and 52,2%, and no parent having high level of stress. The study also found no significant differences between parenting stress level and age, education, proffesion, and income. Majority of parents with mental retardation and physical disabilities at YPAC Medan having medium level of stress.
Key words: parenting stress, parents, mental retardation, physical disability, YPAC Medan
(7)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini yang berjudul
“Gambaran Tingkat Stres Orang Tua dengan Anak Tunagrahita dan Tunadaksa di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan Tahun 2013”.
Karya tulis ilmiah ini bisa diselesaikan atas dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan rendah hati peneliti ingin mengucapkan terima kasih sebesarnya kepada:
1. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. dr. Johannes H. Saing, Sp.A(K) selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan saran dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini.
3. dr. M. Rusda, SpOG (K) dan dr. Sri Amelia, M.Kes selaku Dosen Penguji yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berarti dalam penyempurnaan karya tulis ilmiah ini.
4. Bapak Suratno selaku Kepala Sekolah Luar Biasa YPAC Medan, semua guru dan pegawai YPAC Medan yang telah sangat membantu dari awal hingga akhir penelitian ini.
5. Ibu Daryati dan Bapak Purwahedi, rasa hormat serta terima kasih yang tak terhingga untuk kedua orang tua tercinta, atas kasih sayang yang begitu besar dalam mendidik, membesarkan, dan mendoakan peneliti tanpa henti. Om Daryono, Bu Tuti, adik tersayang Purwandita dan Prayogi yang telah memberi semangat dan dukungan besar selama ini. 6. Sahabat seperjuangan Anggi Arum Sari, Indah Sari Atika, Gheavita
Candra Dewi, Dyah Wijiana Heryani, Kevin Dilian S., dan teman-teman seangkatan lainnya yang telah membantu dan memberikan semangat.
(8)
7. Teman-teman FK USU angkatan 2010 dan seluruh pihak yang telah memberikan bantuan kepada peneliti sehingga karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan.
Meskipun berbagai upaya dan kerja keras telah dilakukan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini, peneliti yakin bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat peneliti harapkan guna proses penyempurnaan. Besar harapan peneliti, karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu kedokteran, menjadi masukan yang berarti, khususnya dalam upaya memaksimalkan hasil rehabilitasi bagi anak berkebutuhan khusus.
Medan, 8 Januari 2014 Peneliti
Purwandari NIM : 100100085
(9)
DAFTAR ISI
Halaman
Lembar Pengesahan ... i
Abstrak ... ii
Abstract ... iii
Kata Pengantar ... iv
Daftar Isi ... vi
Daftar Tabel ... viii
Daftar Lampiran ... ix
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 2
1.2. Rumusan Masalah ... 2
1.3. Tujuan Penelitian ... 2
1.4. Manfaat Penelitian ... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Stres ... 4
2.1.1. Pengertian Stres ... 4
2.1.2. Tahapan Stres ... 5
2.1.3. Efek Stres terhadap Psikologis dan Fisiologis ... 6
2.2. Parenting Stress ... 8
2.2.1. Definisi Parenting Stress ... 8
2.2.2. Faktor-faktor Parenting Stress ... 10
2.2.3. Efek Parenting Stress terhadap Orang Tua ... 10
2.3. Tunagrahita ... 11
2.3.1. Definisi Tunagrahita ... 11
(10)
2.4. Tunadaksa ... 14
2.4.1. Definisi Tunadaksa ... 14
2.4.2. Klasifikasi Tunadaksa ... 15
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 19
3.2. Defenisi Operasional ... 19
BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian ... 21
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 21
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian... 21
4.4. Teknik Pengumpulan Data ... 22
4.5. Pengolahan dan Analisa Data ... 23
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 24
5.2. Karakteristik Responden ... 24
5.3. Gambaran Tingkat Stres Orang Tua (Parenting Stress) Responden ... 26
5.4. Perbedaan Parenting Stress Berdasarkan Data Kontrol ... 30
5.5. Pembahasan ... 31
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 35
6.2. Saran ... 36
DAFTAR PUSTAKA ... 37
(11)
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 5.1. Data Karakteristik Responden ... 25
Tabel 5.2. Data Karakteristik Anak Responden ... 26
Tabel 5.3. Distribusi Tingkat Stres Responden ... 26
Tabel 5.4. Nilai Mean Skor Tiap Dimensi ... 27
Tabel 5.5. Gambaran stres Berdasarkan Usia Responden ... 28
Tabel 5.6. Gambaran Stres Berdasarkan Karakteristik Responden... 29
(12)
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN I
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
LAMPIRAN II
INSTRUMEN PENELITIAN
LAMPIRAN III
MASTER DATA
LAMPIRAN IV
ETHICAL CLEARANCE
LAMPIRAN V
SURAT IZIN PENELITIAN
LAMPIRAN VI
(13)
ABSTRAK
Orang tua yang memiliki anak dengan keterbatasan, memiliki beban yang dapat memicu stres dan mempunyai dampak negatif terhadap orang tua, hubungan orang tua-anak, dan anak itu sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran dan tingkat stres orang tua dengan anak retardasi mental (tunagrahita) dan anak dengan cacat fisik (tunadaksa) di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang dilaksanakan secara sekat lintang meliputi semua orang tua siswa didik YPAC Medan antara bulan Agustus – September 2013. Penelitian ini menggunakan adaptasi Parenting Stress Scale (PSS) untuk menggambarkan stres pada orang tua. Responden yang diikutsertakan dalam penelitian ini berjumlah 123 orang dengan 67 orang ibu dan 56 orang ayah. Pengumpulan data dilakukan melalui metode kuesioner.
Berdasarkan hasil pengolahan data, penelitian ini menemukan ayah dan ibu yang mengalami stres sedang masing-masing 55,4% dan 52,2%, dan tidak ada orang tua yang mengalami stres berat. Namun tidak ada perbedaan berarti antara nilai mean stres ayah dan ibu, antara tingkat stres orang tua dengan usia, pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan orang tua. Dari hasil analisis data tersebut disimpulkan bahwa mayoritas orang tua mengalami stres tingkat sedang.
(14)
ABSTRACT
Parents of children with limitation of growth and development, bear more problems which can induce stress leading to negative impact to the parents, relationship of parent-children, and the children. The aim of this paper is to investigate the description and level of mental health of parents (parenting stress) of children with mental retardation and physical disabilities at YPAC (Yayasan Pembianaan anak Cacat / Institute for Crippled Children) Medan.
This study is a descriptive study with cross-sectionally conducted involving all parent of YPAC Medan’s students from August to September 2013. This study adapted Parenting Stress Scale (PSS) to measure mental health of parent. Of 123 parents participated in the study consisted of 56 father and 67 mothers. Data collecting was done with questionnaire.
This study found father and mother having medium level of stress respectively 55,4% and 52,2%, and no parent having high level of stress. The study also found no significant differences between parenting stress level and age, education, proffesion, and income. Majority of parents with mental retardation and physical disabilities at YPAC Medan having medium level of stress.
Key words: parenting stress, parents, mental retardation, physical disability, YPAC Medan
(15)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Orang tua yang memiliki anak dengan keterbatasan dalam pertumbuhan dan perkembangan, memiliki tugas dan tekanan psikologis yang lebih besar dalam membesarkan dan mengasuh anaknya. Beban-beban tersebut dapat memicu timbulnya stres pada orang tua (parenting stress) yang mempunyai dampak negatif terhadap orang tua, hubungan orang tua–anak, dan anak itu sendiri.
Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa orang tua yang memilki anak dengan kebutuhan khusus mengalami peningkatan stres dibandingkan dengan orang tua yang memiliki anak normal. Sekitar 29% ibu yang memiliki anak dengan gangguan pertumbuhan mengalami peningkatan tanda-tanda depresi (Singer, 2006 dan Bailey et al, 2007). Menurut Feldmar (2006), sekitar 20% orang tua dengan anak yang memiliki atau beresiko memiliki gangguan pertumbuhan, mengalami peningkatan tanda-tanda depresi.
Menurut Schieve (2007) dalam penelitiannya pada 78.305 orang tua di Amerika, didapatkan orang tua yang memiliki anak dengan gangguan perkembangan mental memiliki tingkat kemarahan dan stres lebih tinggi (44%) daripada orang tua dengan anak berkebutuhan khusus tanpa gangguan perkembangan (12%) dan orang tua dengan anak normal (11%).
Perhatian besar yang dibutuhkan oleh anak dengan keterbatasan dalam jangka waktu yang lama akan berdampak pada kesehatan psikologis dari orang tua (Seltzer et al, 2009), padahal orang tua memainkan peranan penting dalam kesuksesan rehabilitasi anak mereka (Hung et al, 2010). Masalah psikologis yang dialami orang tua antara lain depresi dan distres emosional (Hung et al, 2010). Menurut Swartz (2005), tanda-tanda stres pada orang tua akan menurunkan ketanggapan dan sensitivitas terhadap isyarat anak, sehingga akan memperburuk kondisi anak dan mengganggu hasil dari terapi pada anak. Deteksi awal orang tua yang berisiko kesehatan mental rendah adalah penting untuk dapat memberikan
(16)
pertolongan lebih dini pada orang tua tersebut, sehingga diharapkan hasil terapi pada anak dan juga kulaitas hidup keluarga dapat lebih baik.
Penelitian ini dilakukan pada orang tua dengan anak berkebutuhan khusus yang dididik di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan. Peserta didik di YPAC Medan terdiri atas anak tunadaksa (cacat tubuh) dan tunagrahita (retardasi mental) yang membutuhkan perhatian dan pembinaan lebih kompleks dan waktu yang lama. Menurut Sensus Nasional Biro Pusat Statistik tahun 2006, sebanyak 0,7% atau 2.810.212 jiwa adalah penyandang cacat (Depkes, 2012). Prevalensi anak tunagrahita di negara berkembang berkisar 4,6% dengan angka kejadian berkisar 19 per 1000 kelahiran hidup (Sularyo & Kadim, 2000). Menurut data Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial (2011), jumlah anak tunadaksa di Indonesia 1.652.741 jiwa.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimanakah gambaran tingkat stres pada orang tua dengan anak tunagrahita dan tunadaksa di Yayasan Pembinaan Anak Cacat Medan?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat dan distribusi stres pada orang tua dengan anak tunagrahita dan tunadaksa.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi mengenai parenting stress yang dialami orang tua dengan anak berkebutuhan khusus, khususnya tunagrahita dan tunadaksa, sehingga dapat diberikan intervensi dini melalui bantuan para tenaga profesional.
2. Memberikan masukan dan pengetahuan kepada tenaga profesional yang bekerja untuk keluarga dengan anak berkebutuhan khusus bahwa tingkat parenting stress sangat berpengaruh terhadap optimalisasi terapi, sehingga penanganan dapat diberikan secara tepat.
(17)
3. Memberikan informasi dalam pengasuhan anak berkebutuhan khusus bagi orang tua guna mengoptimalkan perkembangan anak di berbagai aspek kehidupan mendatang.
4. Menjadi bahan kepustakaan bagi institusi Universitas Sumatera Utara agar dapat digunakan sebagai bahan penelitian selanjutnya.
5. Menjadi persyaratan kelulusan bagi mahasiswa kedokteran USU untuk mengambil gelar sarjana kedokteran.
(18)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. STRES
2.1.1. Pengertian Stres
Stres menurut Hans Selye (1950) adalah respon tubuh yang sifatnya non spesifik tehadap setiap tuntutan beban atasnya. Misalnya bagaimana respon tubuh seseorang jika mengalami beban pekerjaan yang berlebihan. Bila ia sanggup mengatasinya artinya tidak ada gangguan pada fungsi organ tubuh, maka ia dikatakan tidak mengalami stres. Tetapi sebaliknya bila ternyata ia mengalami gangguan pada satu atau lebih organ tubuh sehingga yang bersangkutan tidak lagi dapat menjalankan fungsi pekerjaannya dengan baik, maka ia disebut mengalami distres (Hawari, 2011).
Menurut Mason secara jelas menggambarkan stres dengan mengutip beberapa cara berbeda istilah stres digunakan (Greenberg, 2004):
1. Stimulus. Didefinisikan segabai stresor.
2. Respon. Didefinisikan sebagai reaksi terhadap stres.
3. Seluruh spektrum faktor yang saling berinteraksi, definisi menurut Lazarus.
4. The stimulus-response interaction (interaksi stimulus-respon).
Dalam perkembangan selanjutnya ternyata dampak stres ini tidak hanya mengenai gangguan fungsional hingga kelainan organ tubuh, tetapi juga berdampak pada bidang kejiwaan (psikologik/psikiatrik) misalnya kecemasan atau depresi. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak bisa lepas dari stres, namun permasalahannya adalah bagaimana harus hidup beradaptasi dengan stres tanpa harus mengalami distres.
Tidak semua bentuk stres itu mempunyai konotasi negatif, cukup banyak yang bersifat positif, misalnya promosi jabatan. Jabatan yang lebih tinggi membutuhkan tanggung jawab yang lebih berat merupakan tantangan bagi yang bersangkutan. Dan, bila ia sanggup menjalankan tugas jabatan yang baru ini
(19)
dengan baik tanpa ada keluhan baik fisik maupun mental serta merasa senang, maka ia dikatakan tidak mengalami stres, melainkan disebut eustres.
Berbagai macam permasalahan kehidupan pada sebagian orang dapat merupakan beban atau tekanan mental yang disebut sebagai stresor psikososial. Stresor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang sehingga orang tersebut terpaksa mengadakan adaptasi atau penyesuaian diri untuk menanggulanginya.
Dari sekian banyak jenis stresor psikososial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, para pakar memberikan beberapa contoh antara lain perkawinan; problem orang tua, termasuk karena kondisi tatanan sosial, ekonomi, dan kualitas dari anak yang diasuhnya; hubungan interpersonal (antar pribadi); pekerjaan; lingkungan hidup; keuangan; hukum; perkembangan; penyakit fisik atau cedera; faktor keluarga; dan trauma. Stresor psikososial sepeti yang dicontohkan di atas ternyata erat hubungannya dengan 6 penyebab kematian utama di Amerika Serikat, yaitu penyakit jantung koroner, kanker, paru-paru, kecelakaan, dan bunuh diri (Hawari, 2011).
2.1.2. Tahapan Stres
Stres dimulai dengan adanya situasi kehidupan yang mengetuk seseorang (baik secara lembut atau tiba-tiba) keluar dari keseimbangan. Kemudian orang tersebut terdorong ke ketidakseimbangan dan butuh membetulkan dirinya sendiri. Bagaimanapun, situasi yang sama dipresentasikan pada orang yang berbeda dapat menunjukkan reaksi yang berbeda. Hal ini dikarenakan orang lain akan menginterpretasikan situasi tersebut secara berbeda. Hal ini diistilahkan dengan cognitive appraisal (penilaian kognitif), yang selanjutnya dapat dikontrol oleh penerima stresor (Wade & Travis, 2007).
Hans Selye (1907 – 1928) dalam bukunya The Stress of Life (1956) menggambarkan respons tubuh terhadap segala jenis stresor eksternal sebagai sindrom adaptasi umum (general adaptation syndrome), yaitu serangkaian reaksi fisiologis yang terjadi dalam 3 tahapan (Wade & Travis, 2007):
(20)
1. Fase alaram (the alarm phase): fase saat tubuh menggerakkan sistem saraf simpatetik untuk menghadapi ancaman langsung. Pelepasan hormon adrenal yaitu epinephrine dan norepinephrin terjadi saat munculnya emosi kuat. Hormon-hormon ini menghasilkan lonjakan energi, ketegangan otot-otot, berkurangnya sensitivitas terhadap rasa sakit, berhentinya kerja sistem pencernaan, dan meningkatnya tekanan darah. Oleh Walter Cannon (1929) menggambarkan perubahan-perubahan ini sebagai respons “fight-or-flight” (melawan atau melarikan diri).
2. Fase penolakan (the resistance phase): saat tubuh berusaha menolak atau mengatasi stresor yang tidak dapat dihindari. Selama fase ini, respon fisiologis yang terjadi pada fase alaram terus berlangsung, namun respon-respon tersebut membuat tubuh lebih rentan terhadap stresor-stresor lain. 3. Fase kelelahan (the exhaustion phase): saat stres yang berkelanjutan
menguras energi tubuh, meningkatkan kerentanan terhadap masalah fisik pada akhirnya akan memunculkan penyakit. Reaksi yang sama, yang memampukan tubuh merespons tantangan secara efektif pada fase alaram, akan merugikan apabila berlangsung secara terus menerus.
2.1.3. Efek Stres terhadap Psikologis dan Fisiologis
Menurut The American Institute of Stress (2012), efek stres dapat mempengaruhi psikologis dan fisiologis tubuh seseorang.
a. Pengaruh pada psikologis:
1) Meningkatnya kecemasan, kekhawatiran, rasa bersalah, dan gugup 2) Meningkatnya kemarahan, frustasi, permusuhan
3) Depresi, suasana hati sering berubah 4) Meningkat atau menurunnya rasa lapar
5) Insomnia, mimpi buruk, mimpi yang mengganggu 6) Sulit berkonsentrasi, pikiran yang bercampur aduk 7) Kesulitan mengolah informasi baru
8) Pelupa, disorganisasi, kebingungan 9) Kesulitan mengambil keputusan
(21)
10) Sering menangis atau pikiran bunuh diri 11) Merasa kesepian dan tidak berharga
12) Meningkatnya frustasi, mudah tersinggung, dan kegelisahan 13) Perilaku obsesif atau kompulsif
14) Menurunnya efikasi kerja atau produktivitas 15) Gangguan dalam berkomunikasi dan berbagi 16) Penarikan diri dari sosial dan isolasi
17) Kelelahan, lemas, capek yang menetap
18) Lebih sering menggunakan obat-obatan, dan lain-lain. b. Pengaruh pada fisiologis tubuh:
1) Sistem saraf
Ketika stres, fisik dan psikologis akan mengubah sumber energi ke posisi persiapan menghadapi ancaman, dikenal dengan respon “fight or flight” (melawan atau lari). Saraf simpatis akan merangsang kelenjar adrenal untuk melepaskan adrenalin dan kortisol. Hormon-hormon ini akan menyebabkan jantung berdetak lebih kencang, meningkatkan tekanan darah, mengubah proses pencernaan dan kadar glukosa dalam darah. 2) Sistem muskuloskeletal
Pada keadaan stres, tonus otot meningkat. Kontraksi otot dapat memicu sakit kepala, migrain, dan berbagai kondisi muskuloskeletal lainnya. 3) Sistem pernafasan
Stres dapat menyebabkan bernafas lebih berat dan lebih cepat atau hiperventilasi. Hal ini dapat memicu serangan panik lebih cepat pada beberapa orang.
4) Sistem kardiovaskular
Stres akut menyebabkan peningkatan denyut jantung dan kontraksi lebih kuat dari otot jantung. Pembuluh darah yang menuju otot besar dan jantung dilatasi untuk meningkatkan suplai darah. Episode berulang dari stres akut dapat menyebabkan inflamasi pada arteri koroner sehingga menjadi serangan jantung.
(22)
5) Sistem endokrin
Kelenjar adrenal menghasilkan kortisol dan epinefrin yang sering disebut “hormon stres”. Ketika kortisol dan epinefrin dilepaskan, hepar menghasilkan lebih banyak glukosa untuk energi pada respon stres.
6) Sistem pencernaan
Lambung menjadi tidak nyaman yang dapat memicu mual dan muntah, bahkan nyeri. Pada usus dapat terjadi gangguan penyerapan dan peristaltik sehingga menimbulkan konstipasi atau diare.
7) Sistem reproduksi
Pada pria, stres dapat mengganggu produksi testosteron, produksi sperma, dan impoten. Pada wanita, stres dapat menyebabkan siklus menstruasi tidak teratur atau nyeri. Stres juga dapat menurunkan keinginan seksual.
2.2. Parenting Stress
2.2.1. Definisi Parenting Stress
Menurut L. G. Anthony et al (2005), parenting stress atau stres pada orang tua adalah stres yang timbul ketika orang tua mengalami kesulitan dalam memenuhi tuntutan menjadi orang tua yang mempengaruhi perilaku, kesejahteraan, dan penyesuaian diri terhadap anak. Menurut Deater Deckard (2004), parenting stress adalah bentuk proses yang mengakibatkan reaksi psikologis dan fisiologis yang tidak baik yang berasal dari keharusan untuk memenuhi kewajiban sebagai orang tua. Menurut Abidin (1992), stressor pada parenting stress adalah multidimensi berdasarkan sumber dan jenisnya. Terdapat 3 sumber utama, yaitu karakteristik orang tua, karakteristik anak, dan faktor kontekstual.
Terdapat empat teori utama telah diajukan oleh McCleary (2002) mengenai parenting stress dalam keluarga dengan anak berkebutuhan khusus (Theule, 2010), yaitu:
(23)
a. Parent-Child Interactive Stress Model (Model Stres Interaktif Orang tua-Anak) oleh Mash dan Johnston (1990) menyatakan bahwa karakteristik anak adalah kontributor utama dalam stres orang tua-anak, tapi faktor lingkungan juga mempunyai pengaruh langsung terhadap stres. Pada model ini, pengaruh stresor anak dan lingkungan dimediasi oleh karakteristik orang tua yaitu pengetahuan, persepsi dan ikatan dengan anak, kepribadian, perilaku, dan kesehatan.
b. Webster-Stratton (1990) menyatakan bahwa stresor di luar keluarga (extrafamilial), stresor dalam pribadi orang tua (interpersonal), dan stresor anak mempengaruhi pengasuhan (parenting). Stresor di luar keluarga antara lain pengangguran dan status ekonomi rendah. Stresor interpersonal antara lain tekanan dalam pernikahan dan perceraian. Stresor anak yang paling berpengaruh adalah gangguan perilaku.
c. Lazarus dan Folkman (1984) mengajukan teori mengenai stres, penilaian, dan cara mengatasi sebagai poin awal, sebagaimana faktor pengetahuan sebagai pusat teori ini. Pengetahuan dan penilaian orang tua terhadap kebutuhan atau perilaku anak didasari atas nilai-nilai, kepercayaan, komitmen yang dianut oleh orang tua, juga oleh keuangan dan dukungan sosial.
d. Abidin (1976, 1995) adalah pembuat alat pengukuran stres pada orang tua yaitu Parenting Stress Index (PSI; 1983/1995). Teori ini adalah yang terlama namun paling sering dianut dalam berbagai literatur. Abidin mengajukan bahwa parenting stress berasal dari faktor orang tua, faktor anak, dan faktor situasi. Faktor orang tua adalah rasa keterikatan, kemampuan, dan depresi. Faktor anak adalah kemampuan adaptasi, penerimaan, tuntunan, suasana hati atau mood, hiperaktivitas, dan menjadi penguat orang tua. Dan faktor situasi sebagai pembatas (dampak terhadap peran kehidupan lain orang tua), kesehatan, dukungan sosial/isolasi, dan hubungan dengan pasangan. Dalam teori ini, stres pada orang tua diusulkan pada pengaruh negatif dalam pengasuhan orang tua (perilaku) yang selanjutnya mempengaruhi kualitas anak kedepannya.
(24)
2.2.2. Faktor-faktor Parenting Stress
Stres yang dialami orang tua atau parenting stress diartikan oleh Richard Abidin (1995) sebagai kecemasan atau ketegangan berlebihan yang secara khusus berkaitan dengan peran orang tua dan interaksi orang tua dengan anak. Dalam modelnya, stresor yang dialami oleh orang tua berpengauh dengan perilaku orang tua yang selanjutnya akan berdampak pada adaptasi psikososial dari anak. Stresor yang dihadapi antara lain stigma masyarakat, biaya perawatan, dan harus bernegosiasi dengan sistematis kerja yang bermacam-macam (Hung et al, 2010).
Faktor-faktor yang meningkatkan resiko stres pada orang tua banyak dikemukakan. Gerstein et al (2009) mengemukakan terdapat tiga faktor yang khususnya menonjol dan dapat disesuaikan yaitu: kesehatan psikolohgis orang tua, pasangan yang suportif atau mesra, dan hubungan positif orang tua-anak. Beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa semakin parah gangguan psikomotorik anak, maka semakin rendah kesehatan mental orang tua, antara lain dalam Arnaud et al (2008), Hung et al (2010), Seltzer (2009), dan Mobarak (2000). Faktor lain yang sangat berperan adalah status sosioekonomi rendah dalam penelitian Hung et al (2010), Arnaud et al (2008), dan Eisenhower et al (2009); tingkat edukasi orang tua (Eisenhower et al, 2009), agama (Hung et al, 2010), kehilangan kontrol diri, dukungan pasangan dan sosial, dan latar belakang budaya (Eisenhower et al, 2009; Gupta & Singhal, 2005). Dari penemuan-penemuan tersebut menunjukkan bahwa stres psikososial lebih berdampak signifikan terhadap tingkat stres daripada gangguan fungsional pada anak itu sendiri (Hung et al, 2010).
2.2.3. Efek Parenting Stress terhadap Orang Tua
Parenting stress dialami hampir oleh semua orang tua dengan anak cacat, dan sebagian dengan anak normal. Tingkat stres yang tinggi dijumpai pada 70% ibu dan 40% ayah dengan anak cacat parah (Gupta & Singhal, 2005). Padahal, orang tua dari anak dengan keterbatasan memainkan peranan penting dalam kesuksesan rehabilitasi anak mereka (Hung et al, 2010). Perhatian besar yang
(25)
dibutuhkan oleh anak dengan keterbatasan dalam jangka waktu yang lama, akan berdampak pada kesehatan psikologis dari orang tua (Seltzer et al, 2009). Masalah psikologis yang dialami orang tua antara lain depresi, distres emosional (Hung et al, 2010).
Efek psikologis yang sering muncul adalah perasaan sedih dan putus asa yang berkepanjangan, berkurangnya nafsu makan dan kesenangan, lesu, dan juga pikiran untuk bunuh diri. Tanda-tanda tersebut sering bersamaan dengan kecemasan, bentuk psikopatologis lain, dan perilaku antisosial seperti penggunaan obat-obatan dan alkohol. Distres emosional pada orang tua dapat berkontribusi pada distres emosi dan psikiatri anak dan bisa berdampak pada kemampuan keluarga mengatasi penyakit tersebut (Deckard, 2004).
Menurut Swartz (2005), terbentuknya tanda-tanda stres pada orang tua akan menurunkan ketanggapan dan sensitivitas terhadap isyarat anak sehingga akan memperburuk kondisi anak dan mengganggu hasil dari terapi pada anak. Parenting stress tidak hanya berdampak pada hubungan orang tua-anak saja, namun juga pada kesehatan orang tua itu sendiri. Stres berdampak pada fungsi fisiologis tubuh orang tua, dari penuaan dan gangguan pada produksi hormon kortisol (Seltzer et al, 2009) dan meningkatkan angka perselisihan antara orang tua yang berujung perpisahan atau perceraian yang dilaporkan lebih sering terjadi pada keluarga dengan keterbatasan yang parah (Risdal & Singer (2004) dalam Gerstein, et al (2009)).
2.3. Tunagrahita
2.3.1. Definisi Tunagrahita
Tuna grahita merupakan kata lain dari retardasi mental (mental retardation) atau Intellectual Disability. “Tuna” berarti merugi dan “grahita” berarti pikiran. American Association on Intellectual and Developmental Disabilities (2013) mendefinisikan retardasi mental sebagai kecacatan yang ditandai dengan keterbatasan signifikan baik dalam fungsi intelektual dan perilaku adaptif (kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar) yang dimulai sebelum umur 18 tahun.
(26)
Fungsi intelektual didapatkan dengan test fungsi kecerdasan dan hasilnya dinyatakan sebagai suatu taraf kecerdasan atau IQ (Intelegence Quotient) (Soetjiningsih, 1995).
��= ���������
�ℎ��������������× 100%
Mental Age : umur mental yang didapat dari test
Chronological Age : umur berdasarkan perhitungan tanggal lahir
Fungsi intelektual di bawah normal yaitu apabila IQ di bawah 70. Anak tersebut tidak dapat mengikuti pendidikan sekolah biasa karena cara berpikir yang terlalu sederhana, daya tangkap dan daya ingat lemah, dan pengertian bahasa dan perhitungan sangat lemah (Martin & Volkmar, 2007).
Perilaku adaptif sosial adalah kemampuan seseorang untuk mandiri, menyesuaikan diri, dan mempunyai tanggung jawab sosial yang sesuai dengan kelompok umur dan budayanya. Penderita retardasi mental memiliki gangguan perilaku adaptif paling sedikit 2 dari area berikut: komunikasi, self-care, home living, kemampuan sosial/interpesonal, menggunakan sumber komunikasi, self-direction, kemampuan fungsi akademik, pekerjaan, kesehatan, dan keselamatan (Martin & Volkmar, 2007).
2.3.2. Klasifikasi Tunagrahita
The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, edisi keempat (DSM-IV) klasifikasikan dalam empat derajat dari retardasi mental, yaitu (Shapiro & Batshaw, 2007):
a. Mild mental retardation
Dimiliki sekitar 85% dari populasi retardasi mental di Amerika. Nilai IQ berkisar antara 50-55 sampai ≈ 70.
b. Moderate mental retardation
Dimiliki sekitar 10% dari populasi retardasi mental di Amerika. Nilai IQ berkisar antara 35-40 sampai 50-55.
(27)
c. Severe mental retardation
Dimiliki sekitar 3-4% dari populasi retardasi mental di Amerika. Nilai IQ berkisar 20-25 sampai 35-40.
d. Profound mental retardation
Dimiliki hanya 1-2% dari populasi retardasi mental di Amerika. Nilai IQ berkisar < 20-25.
e. Mental retardation, severity unspecified
Ditegakkan saat ada dugaan kuat retardasi mental namun kecerdasan seseorang tersebut tidak dapat diukur menggunakan tes standar.
Menurut Budhiman (1991) dalam Soetjiningsih (1995), retardasi ditinjau dari gejalanya dibagi menjadi:
1. Tipe klinik
Retardasi tipe klinik mudah dideteksi sejak dini karena kelainan fisik dan mental cukup berat. Penyebab tersering kelainan organik. Anak tersebut membutuhkan perawatan terus-menerus dan dapat terjadi pada kelas sosial tinggi ataupun rendah. Orang tua dari anak retardasi mental tipe ini cepat mencari pertolongan oleh karena mereka melihat sendiri kelainan pada anaknya.
2. Tipe sosiobudaya
Tipe ini diketahui biasanya setelah anak masuk sekolah dan ternyata tidak dapat mengikuti pelajaran. Penampilan seperti anak normal, sehingga disebut juga retardasi mental 6 jam. Hal ini dikarenakan begitu mereka keluar sekolah, mereka dapat bermain seperti anak-anak normal lainnya. Tipe ini umumnya berasal dari golongan sosio ekonomi rendah. Para orang tua dari anak tipe ini tidak melihat adanya kelainan pada anaknya dan mengetahuinya setelah diberi tahu oleh guru atau psikolog karena beberapa kali tidak naik kelas. Pada umumnya anak tipe ini mempunyai taraf IQ golongan borderline dan retardasi mental ringan.
(28)
Gejala dari retardasi mental dalam Soetjiningsih (1995) dibagi menjadi: 1. Retardasi tipe ringan
Bagian terbesar dari retardasi mental, berkisar 80%, termasuk dalam tipe sosial budaya. Golongan ini termasuk mampu didik dan mampu latih, artinya dapat diajar baca tulis sampai kelas 4 – 6 SD dan bisa dilatih keterampilan tertentu. Tetapi umumnya kurang mampu menghadapi stres sehingga tetap membutuhkan bimbingan dari keluarganya.
2. Retardasi mental sedang
Kelompok ini berkisar 12% dari seluruh penderita retardai mental. Mereka mampu latih tetapi tidak mampu didik. Taraf kemampuan intelektualnya hanya dapat sampai kelas 2 SD, tetapi dapat dilatih menguasai suatu keterampilan tertentu. Mereka juga perlu dilatih bagaimana cara mengurus diri dan pengawasan jika mengalami stres.
3. Retardasi mental berat
Kelompok ini berkisar 7% dan tipe klinik. Diagnosis mudah ditegakkan secara dini, karena adanya kelainan fisik juga keterlambatan motorik dan bahasa yang sejak awal dapat diamati oleh orang tua. Mereka dapat dilatih higiene dasar saja dan kemampuan berbicara yang sederhana, tidak dapat dilatih keterampilan kerja, dan memerlukan pengawasan dan bimbingan seumur hidup.
4. Retardasi mental sangat berat
Kelompok ini berkisar 1% dan termasuk dalam tipe klinik. Diagnosis mudah dibuat karena gejala mental dan fisik sangat jelas. Kemampuan berbahasanya sangat minimal. Mereka sangat tergantung pada orang di sekitarnya.
2.4. Tunadaksa
2.4.1. Definisi Tunadaksa
Istilah tunadaksa berasal dari kata “tuna” yang berarti rugi atau kurang, dan “daksa” yang berarti tubuh. Menurut Depdikbud (1996), istilah tunadaksa maksudnya sama dengan istilah yang berkembang seperti cacat tubuh, tuna tubuh, tuna raga, cacat anggota badan, cacat orthopedic, crippled, dan orthopedically
(29)
handicapped. Menurut The Individuals with Disabilities Education Act atau IDEA (2008), orthopedic impairments adalah kelainan ortopedik, dapat disebabkan oleh kelainan kongenital, penyakit, dan penyebab lain, yang mengganggu proses pembelajaran anak. Orthopedic dalam Dorland’s Medical Dictionary (2007) berhubungan dengan sistem muskuloskeletal yang terdiri atas tulang, otot, sendi, ligamentum, dan jaringan ikat. Kesimpulannya adalah anak tunadaksa dapat didefinisikan sebagai penyandang bentuk kelainan atau kecacatan pada sistem otot, tulang, dan persendian yang dapat mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan perkembangan keutuhan pribadi.
2.4.2. Klasifikasi Tunadaksa
Klasifikasi anak tunadaksa didasari untuk kemudahan dalam pemberian layanan. Salah satu sistem klasifikasi dilihat dari sistem kelainannya, antara lain (Hallahan & Kauffman, 2006):
1. Kelainan pada sistem neurologis (neurological impairments) a. Palsi serebral (Cerebral palsy)
Palsi serebral menurut Mutch L. (1992) adalah sekelompok gangguan yang tidak progresif, tapi sering berubah, sindrom gangguan motorik yang bersumber dari lesi atau anomali pada otak yang timbul pada fase awal perkembangannya. Walaupun lesi inisial dan anomali pada otak tetap, namun tampilan klinis dapat berubah seiring waktu dikarenakan pertumbuhan dan perkembangan dan kematangan dari sistem saraf pusat (Sankar & Mundkur, 2005). Palsi serebral adalah masalah umum dengan insiden 2 sampai 2.5 setiap 1000 kelahiran hidup (Rosen MG. & Dickinson JC., 1992).
Keterbatasan yang dimiliki oleh anak palsi serebral antara lain retardasi mental (60%) yang sering terjadi pada palsi serebral dengan spastic hemiplegia, gangguan visual dan pergerakan okular (28%), gangguan pendengaran (12%), dan epilepsi (35% - 62%). Kemampuan berbicara terpengaruh oleh karena disfungsi kortikobulbar bilateral dan
(30)
oromotor. Gangguan artikulasi dan berbicara didapati pada 38% anak palsi serebral.
Klasifikasi palsi serebral terbagi atas topografi dan kelainan neuromuskular. Klasifikasi topografi dari palsi serebral adalah monoplegi, mengenai 1 tungkai gerak badan; hemiplegi, mengenai 1 tungkai atas dan 1 tungkai bawah pada sisi yang sama; diplegi, mengenai 2 tungkai atas atau 2 tungkai bawah; dan quadriplegi, mengenai keempat tungkai gerak tubuh. Namun monoplegi dan triplegi jarang ditemukan.
Menurut kelainan neuromuskular, cerebral palsy dibedakan atas: (1) spastik, dengan ciri-ciri terdapat kekakuan pada sebagian atau seluruh ototnya; (2) diskenesia, yang meliputi athetosis (penderita memperlihatkan gerak yang tidak terkontrok), rigid (kekakuan pada seluruh tubuh sehingga sulit untuk dibengkokkan, tremor (getaran kecil yang terus menerus pada mata, tangan, atau kepala); (3) ataksia yaitu adanya gangguan keseimbangan, jalannya gontai, koordinasi mata dan tangan tidak berfungsi; serta (4) jenis campuran yaitu apabila seorang anak memiliki kelainan dua atau lebih dari tipe-tipe di atas (Sankar & Mundkur, 2005).
b. Penyakit Kejang (Epilepsi)
Seseorang terserang kejang saat terdapat letupan energi listrik abnormal pada sel-sel otak tertentu. Letupan tersebut menyebar ke sel-sel terdekat dan dapat menyebabkan kehilangan kesadaran, gerakan involunter (di luar sadar), atau fenomena sensori abnormal. Efek akibat kejang tergantung pada lokasi letupan berawal dan seberapa jauh letupan menyebar (Hallahan & Kauffman, 2006).
c. Spina bifida
Spina bifida adalah kelainan kongenital pada tulang vertebra yang membentuk kolumna spinalis akibat kegagalan menutup sempurna selama proses perkembangan. Kelainan dapat terjadi dari kepala sampai
(31)
ujung bawah tulang belakang. Karena kolumna spinalis tidak menutup, spinal cord (serabut saraf di dalam kolumna spinalis) dapat keluar yang mengakibatkan kerusakan saraf dan kelumpuhan dan/atau kehilangan sensasi di bawah tempat kerusakan. Spina bifida sering bersamaan dengan hidrosefalus, yaitu pembesaran kepala karena tekanan berlebihan cairan serebrosinalis (dapat berakibat retardasi mental); meningitis, infeksi pada selaput otak dan spinal cord; dan kelainan kongenital lainnya (Hallahan & Kauffman, 2006).
d. Poliomielitis
Poliomielitis adalah suatu infeksi pada sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh virus polio yang mengakibatkan kelumpuhan dan sifatnya menetap. Pada poliomielitis yang paralitik, berdasarkan sel-sel mototrik yang rusak kelumpuhan anak polio dapat dibedakan menjadi (Simoes, 2007):
i. Tipe spinal, yaitu kelumpuhan pada otot-otot leher, sekat dada, tangan, dan kaki;
ii. Tipe bulbair, yaitu kelumpuhan fungsi motorik pada satu atau lebih saraf tepi ditandai dengan adanya gangguan pernafasan; iii. Polioennsefalitis (peradangan pada jaringan otak) yang biasanya
disertai dengan demam, kesadaran menurun, tremor, dan terkadang kejang;
iv. Poliomielitis dengan ganguan ventilasi, akibat dari
ketidakmampuan beberapa komponen yang bekerja untuk ventilasi (mekanisme bernafas) sehingga menyebabkan hipoksia (kurangnya oksigen ke jaringan) dan hiperkapnia (jumlah karbon dioksida yang terlalu banyak di darah).
Kelumpuhan pada polio sifatnya layu dan biasanya tidak menyebabkan gangguan kecerdasan atau alat-alat indra. Akibat penyakit poliomyelitis adalah atropi otot (pengecilan otot) karena kerusakan sel
(32)
saraf, kekakuan sendi (kontraktur), pemendekkan anggota gerak, pelengkungan susunan tulang belakang ke satu sisi seperti huruf S (scholiosis), kelainan telapak kaki yang membengkok ke luar atau ke dalam, dislokasi sendi (sendi yang keluar dari dudukannya), dan lutut yang melenting ke belakang (genu recorvatum) (Simoes, 2007).
e. Multipel Sklerosis
Multipel sklerosis adalah penyakit kronis, progresif lambat di sistem saraf pusat dengan pengerasan pada selaput myelin (selaput yang melapisi saraf). Penyakit ini umumnya muncul pada usia remaja dan dewasa. Gejala klinis antara lain gangguan sensoris (terutama penglihatan), tremor, kelemahan otot, kaku, gangguan berbicara, pusing, gangguan berjalan, dan gangguan emosi (Hallahan & Kauffman, 2006).
2. Kelainan pada muskuloskeletal (Musculoskeletal Conditions) a. Distrofi otot (Muscular dystrophy)
Penyakit herediter dengan kelemahan otot yang progresif akibat degenerasi serat-serat otot. Kelemahan otot bersifat simetris dan berhubungan dengan genetik.
b. Artritis
Artritis adalah rasa nyeri pada sendi yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor penyakit atau kondisi tertentu. Penyakit yang umum menyebabkan artritis adalah reumatoid artritis (penyakit autoimun yang sistemik) dan osteortritis (kerusakan pada tulang rawan sendi dan merapatnya jarak antara tulang).
(33)
BAB III
KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:
Variabel Independen Variabel Dependen
3.2. Definisi Operasional
3.2.1. Tingkat stres adalah tingkat tekanan dan beban yang dialami oleh orang tua yang memiliki anak tunadaksa dan tunagrahita yang diukur menggunakan kuesioner Parental Stress Scale (PSS).
Cara Ukur
Pengukuran dilakukan dengan mengisi kuesioner. Kuesioner yang digunakan adalah Parental Stress Scale (PSS).
Alat Ukur
Penelitian ini menggunakan PSS yang diadopsi dari Muninggar (2008) dalam penelitian Hubungan parenting stress dengan persepsi terhadap pelayanan family-centered care pada orangtua anak tunaganda-netra. Jumlah pertanyaan setelah validasi adalah 17 pernyataan dengan skala ordinal 5 poin skala tipe Likert.
Skala ini menunjukkan validitas konvergen yang baik pada pengukuran stres, emosi, dan kepuasan. Termasuk stres yang didapat, strek keluarga/pekerjaan, kesendirian, kecemasan, rasa bersalah, pernikahan, kepuasan kerja, dan dukungan sosial. Anak tunagrahita
dan tunadaksa Stres pada orang tua
(34)
Analisis diskriminasi menunjukkan kemampuan skala ini untuk membedakan antara orang tua dengan anak normal dan orang tua dengan anak bermasalah (Berry dan Jones, 1995).
Kategori
• Stres ringan, dengan nilai Total Stress < 29 • Stres sedang, dengan nilai Total Stres 29-58 • Stres berat, dengan nilai Total Stres ≥ 59-85
Skala Pengukuran
Skala pengukuran adalah ordinal dengan tipe 5-point Likert-type scale. Sistem penilaian pada pernyataan dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Pernyataan positif (pernyataan 1, 2, 4, 5, 6, 7, 16, 17) : a. “Sangat setuju” = 1;
b. “Setuju” = 2; c. “Ragu-ragu”= 3; d. “Tidak setuju” = 4; e. “Sangat tidak setuju”= 5.
2. Pernyataan negatif (pernyataan 3, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15) : a. “Sangat setuju” = 5;
b. “Setuju” = 4; c. “Ragu-ragu”= 3; d. “Tidak setuju” = 2; e. “Sangat tidak setuju”= 1.
3.2.2. Anak tunadaksa adalah anak yang memiliki bentuk kelainan atau kecacatan pada sistem otot, tulang dan persendian yang dapat mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan perkembangan keutuhan pribadi.
3.2.3. Anak tunagrahita adalah anak yang memiliki hambatan atau keterlambatan dalam perkembangan mental (fungsi intelektual di bawah teman-teman seusianya) disertai dengan ketidakmampuan / kekurangmampuan untuk belajar dan untuk menyesuaikan diri.
(35)
BAB IV
Metodologi Penelitian
4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode survei deskriptif dengan pendekatan cross-sectional (sekat lintang) dengan tujuan untuk mengetahui tingkat stres orang tua dengan anak tunagrahita dan tunadaksa.
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian
4.2.1. Waktu
Penelitian dilakukan mulai bulan Agustus sampai September 2013 4.2.2. Lokasi
Lokasi dilakukannya penelitian di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan yang berada di Jln. Adinegoro No. 2, Kec. Medan Timur, Medan.
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh orang tua (ayah dan ibu) dengan anak tunagrahita dan tunadaksa di YPAC Medan 4.3.2. Sampel
Sampel adalah orang tua (ayah dan ibu) dengan anak tunagrahita dan tunadaksa di YPAC Medan yang berkisar 240 orang. Metode dalam penarikan sampel yang digunakan adalah total sampling.
Kriteria inklusi:
• Orang tua yang memiliki anak tunagrahita dan/atau tunadaksa. • Orang tua yang bersedia menjadi responden penelitian ini. Krteria eksklusi:
(36)
4.4. Teknik Pengumpulan Data
4.4.1. Data primer
Variabel dependen adalah tingkat stres pada orang tua dengan anak tunagrahita dan tunadaksa yang diukur menggunakan kuesioner Parental Stress Scale (PSS) yang telah diterjemahkan dan divalidasi dalam bahasa Indonesia.
Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1) Mengajukan permohonan izin pelaksanaan penelitian pada
institusi pendidikan (Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara).
2) Mengirimkan permohonan izin pengambilan data yang diperoleh dari fakultas ke tempat penelitian (YPAC Medan). 3) Setelah mendapat persetujuan YPAC Medan, peneliti
melaksanakan pengumpulan data penelitian.
4) Melakukan sosialisasi pada para orang tua yang hadir di YPAC Medan tentang tujuan, manfaat, dan proses pengisian kuesioner.
5) Calon responden yang bersedia diminta untuk menandatangani Informed consent (surat persetujuan).
6) Peneliti membagikan kuesioner ke orang tua yang hadir dan menyesuaikan dengan data siswa dari YPAC Medan untuk menentukan nomor kuesioner. Selama pengisian, responden boleh bertanya pada peneliti bila ada pertanyaan yang tidak dipahami.
7) Bagi orang tua yang tidak dapat hadir, akan dilakukan home visite oleh peneliti berdasarkan alamat yang dimiliki yayasan. Calon responden akan dihubungi terlebih dahulu sebelum dikunjungi menanyakan kesediaannya untuk dikunjungi oleh peneliti melalui pihak yayasan.
(37)
8) Calon responden yang bersedia dikunjungi akan dijelaskan tentang tujuan, manfaat, dan proses pengisian kuesioner. Proses selanjutnya sama dengan responden yang hadir di YPAC Medan.
9) Selanjutnya data yang diperoleh dikumpulkan untuk dianalisa.
4.4.2. Data sekunder
Data mengenai kategori keterbatasan pada anak (tunagrahita, tunadaksa, atau gabungan) berasal dari data siswa di YPAC Medan.
4.5. Pengolahan dan Analisa Data
Pengolahan data dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu: 1. Editing
Meneliti kembali kelengkapan data yang telah terkumpul dari setiap jawaban kuesioner dan apakah data telah terisi dengan lengkap dan jelas.
2. Coding
Mengklasifikasikan data dan memberikan kode untuk untuk masing-masing kelas sesuai dengan tujuan dikumpulkannya data.
3. Entry
Memasukkan data dari kuesioner ke dalam program komputer. 4. Cleaning
Meneliti kembali data yang telah di-entry untuk mengetahui ada kesalahan atau tidak (Wahyuni, 2007).
(38)
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan yang berlokasi di Jalan Adinegoro No. 2, Kec. Medan Timur, Medan. YPAC Medan merupakan sekolah yang dikhususkan untuk anak berkebutuhan khusus dengan spesialisasi tunagrahita (retardasi mental) dan tunadaksa (cacat fisik). Pelayanan mulai dari kelas terapi, TKLB, SDLB, SMPLB, dan SMALB, kelas keterampilan, dan Seltered Workshop. YPAC Medan juga menyediakan kegiatan ekstrakulikuler untuk para siswa antara lain kelas seni dan musik, olahraga, dan kegiatan lainnya.
Pelayanan rehabilitasi anak yang tersedia di YPAC Medan antara lain fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara, pelayanan pemeriksaan dan konsultasi psikologi, pembuatan alat bantu. Pelayanan sekolah aktif pada hari Senin sampai Sabtu. Senin sampai Kamis dilakukan kegiatan sekolah dengan proses belajar di kelas sesuai dengan tingkatan masing-masing. Jumat merupakan hari olahraga di mana semua siswa, guru, bahkan orang tua dapat berpartisipasi dalam kegiatan olahraga di lapangan sekolah. Sabtu diadakan kegiatan ekstrakulikuler sesuai dengan minat dan bakat siswa didik .
5.2. Karakteristik Responden
Penelitian dilakukan pada orang tua (ayah dan ibu) siswa didik YPAC Medan. Pada awalnya penelitian dilakukan secara total sampling pada seluruh orang tua siswa didik YPAC Medan dan direncanakan untuk melakukan home visit ke rumah orang tua setiap siswa didik. Namun dikarenakan keterbatasan waktu, tenaga, dan masalah etik terhadap orang tua yag memiliki anak berkebutuhan khusus, maka home visit tidak dapat dilakukan. Pada awalnya kuesioner telah diberikan pada 144 orang tua yang bersedia (dari 72 siswa), namun hanya 123 orang tua yang mengembalikan kuesioner (dari 67 siswa).
(39)
Karakteristik responden dibagi berdasarkan jenis kelamin orang tua, usia orang tua, pendidikan terakhir orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan orang tua, jenis kelamin anak, tipe kelainan anak, dan pendidikan anak.
5.2.1. Data Karakteristik Responden
Tabel 5.1. Data Karakteristik Responden 1. Responden
Ayah (N) 56 (46%)
Ibu (N) 67 (54%)
2. Usia Responden
Ayah (mean) 46
Ibu (mean) 44
3. Pendidikan Responden
SMA/SMK (N) 73 (59,3%)
Diploma (N) 15 (12,1%)
S1 (N) 33 (27%)
S2 (N) 2 (1,6%)
S3 (N) 0 (0%)
4. Pekerjaan Responden
Profesional (N) 4 (3,2%)
Pegawai negeri/swasta (N) 28 (22,8%)
Wiraswasta (N) 39 (31,7%)
Ibu Rumah Tangga (N) 52 (42,3%)
5. Penghasilan Responden
< Rp 1.000.000 (N) 44 (35,8%)
Rp 1.000.000 – Rp 5.000.000 (N) 64 (52%)
Rp 5.000.000 – Rp 10.000.000 (N) 9 (7,3%)
> Rp 10.000.000 (N) 6 (4,9%)
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa responden ibu lebih banyak berpartisipasi dalam penelitian ini sejumlah 67 orang (54%) dibandingkan responden ayah sejumlah 56 orang (46%). Usia responden ayah berada pada rerata usia 46 tahun, dan responden ibu berada pada rerata usia 44 tahun. Responden mayoritas berpendidikan terakhir SMA/SMK sejumlah 73 orang (59,3%). Pekerjaan responden mayoritas adalah ibu rumah tangga bagi responden ibu sejumlah 52 orang (42,3%) dan minoritas adalah bekerja sebagai profesional sejumlah 4 orang
(40)
(3,2%). Penghasilan responden mayoritas adalah berkisar Rp 1.000.000 – Rp 5.000.000 sejumlah 64 orang (52%).
5.2.2. Data Karakteristik Anak Responden
Tabel 5.2. Data Karakteristik Anak Responden 1. Jenis kelamin Anak
Laki-laki (N) 59 (48%)
Perempuan (N) 64 (52%)
2. Tipe Kelainan Anak
Tunagrahita (N) 98 (80%)
Tunadaksa (N) 25 (20%)
3. Pendidikan Anak
TK – SD (N) 85 (69%)
SMP (N) 23 (19%)
SMA (N) 11 (9%)
Terapi (N) 4 (3%)
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa mayoritas jenis kelamin anak responden adalah perempuan sejumlah 64 orang (52%) sedagkan laki-laki sejumlah 59 orang (48%). Tipe kelainan anak responden mayoritas adalah tunagrahita sejumlah 98 orang (80%) sedangkan tunadaksa sejumlah 25 orang (20%). Mayoritas pendidikan anak responden adalah TK-SD sejumlah 85 orang (69%).
5.3. Gambaran Tingkat Stres Orang Tua (Parenting Stress) Responden
5.3.1. Distribusi Tingkat Stres
Tabel 5.3. Distribusi Tingkat Stres Responden
Tingkat Stres Orang Tua Ayah Ibu
N % N %
Stres Ringan 25 44.6 32 47.8
Stres Sedang 31 55.4 35 52.2
Stres Berat 0 0 0 0
(41)
Tabel di atas menunjukkan tingkat stres terbanyak yang dialami oleh responden Ibu dan responden Ayah adalah stres sedang dengan jumlah responden Ibu 35 orang (52.2%) dan responden Ayah 31 orang (55.4%). Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa para orang tua tidak ada yang mengalami stres berat.
Penelitian ini juga dapat memperlihatkan perbandingan mean dimensi mana yang paling tinggi pada responden penelitian yang diambil dari nilai rerata skor berdasarkan dimensi pertanyaan. Berikut ini adalah hasil perhitungan mean terhadap kedua dimensi tersebut.
Tabel 5.4. Nilai Mean Skor Tiap Dimensi
Dimensi Mean Skor Tiap Dimensi
Ayah Ibu
1. Pleasure 11.86 11.46
2. Strain 17.93 17.93
3. Total Mean Skor 29,79 29,37
Tabel di atas menunjukkan bahwa mean skor pada dimensi strain lebih besar dibandingkan mean skor pada dimensi pleasure. Berdasarkan hasil tersebut, disimpulkan bahwa responden penelitian cenderung menunjukkan komponen negatif parenting stress yang melibatkan tuntutan akan berbagai sumber seperti waktu, tenaga, dan uang, serta adanya larangan, perasaan malu, dan kontrol.
5.3.2. Gambaran Stres Responden
Tabel-tabel di bawah ini menunjukkan distribusi tingkat stres orang tua berdasarkan karakteristik responden yaitu usia, pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan responden. Selanjutnya berdasarkan karakteristik anak responden yaitu jenis kelamin, tipe kelainan, dan pendidikan anak responden.
(42)
Tabel 5.5. Gambaran Stres Berdasarkan Usia Responden Rentang
Usia
Ayah
Rentang Usia
Ibu Stres
Ringan
Stres Sedang
Stres Ringan
Stres Sedang 34 – 38 4 (40%) 6 (60%) 32 – 36 5 (36%) 9 (64%)
Mean 30,40 30,93
39 – 43 7 (50%) 7(50%) 37 – 41 9 (47%) 10 (53%)
Mean 30,43 29,68
44 – 48 5 (39%) 8 (61%) 42 – 46 4 (36%) 7 (64%)
Mean 31,15 31,18
49 – 53 2 (33%) 4 (68%) 47 – 51 7 (58%) 5 (42%)
Mean 27,50 28,08
54 – 58 3 (60%) 2 (40%) 52 – 56 3 (43%) 4 (57%)
Mean 27,80 28,29
59 – 63 3 (60%) 2 (40%) 57 – 61 2 (100%) 0 (0%)
Mean 28,60 22,50
64 – 68 1 (33%) 2 (67%) 62 – 66 1 (100%) 0 (0%)
Mean 28,67 23,00
67 – 71 1 (100%) 0 (0%)
Mean 25,00
Total 25 (45%) 31(55%) Total 32 (48%) 35 (52%) Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah terbanyak responden ayah yang mengalami stres sedang adalah dengan rentang umur 49 - 53 tahun (68%). Jumlah terbanyak responden ibu yang mengalami stres sedang adalah dengan rentang umur 32 - 36 tahun dan 42 – 46 (64%). Nilai rerata total skor yang ditampilkan dalam bentuk nilai mean menunjukkan bahwa tingkat stres yang paling tinggi pada responden ayah dengan rentang umur 44- 48 tahun (31,15) dan responden ibu dengan rentang umur 42 – 46 tahun (31,18).
(43)
Tabel 5.6. Gambaran Stres Berdasarkan Karakteristik Responden
Ayah Ibu Mean
Stres Ringan
Stres Sedang
Stres Ringan
Stres
Sedang Ayah Ibu 1. Pendidikan
SMA/SMK 16 (53%) 14 (47%) 21 (49%) 22 (51%) 29,27 29,84
Diploma 2 (33%) 4 (67%) 5 (56%) 4 (44%) 30,00 26,11
S1 7 (35%) 13 (65%) 5 (39%) 8 (61%) 30,50 30,15
S2 0 (0%) 0 (0%) 1 (50%) 1 (50%) - 29,00
2. Pekerjaan
Profesional 2 (67%) 1 (33%) 1 (100%) 0 (0%) 29,33 28,00 Pegawai
negeri/swasta 8 (40%) 12 (60%) 3 (38%) 5 (62%) 29,70 29,38 Wiraswasta 15 (46%) 18 (54%) 2 (33%) 4 (67%) 29,88 30,67 Ibu Rumah
Tangga - - 26 (50%) 26 (50%) - 29,25
3. Penghasilan
< Rp 1 juta 8 (57%) 6 (43%) 16 (53%) 14 (47%) 26,79 27,77 Rp 1 juta –
Rp 5 juta 13 (38%) 21 (62%) 11 (37%) 19 (63%) 31,21 31,60 Rp 5 juta –
Rp 10 juta 2 (40%) 3 (60%) 2 (50%) 2 (50%) 29,80 28,00 > Rp 10 juta 2 (67%) 1 (33%) 3 (100%) 0 (0%) 27,67 25,00
Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah responden Ayah terbanyak yang mengalami stres sedang adalah dengan pendidikan terakhir S1 (65%), pekerjaan wiraswasta (60%), dan penghasilan Rp 1 juta – Rp 5 juta (62%). Jumlah responden Ibu terbanyak yang mengalami stres sedang dengan pendidikan terakhir SMA/SMK (51%), ibu rumah tangga (50%), dan penghasilan Rp 1 juta – Rp 5 juta (63%).
Nilai rerata total skor yang ditampilkan dalam bentuk nilai mean menunjukkan bahwa tingkat stres yang paling tinggi pada responden ayah dengan pendidikan S1 (30,50), pekerjaan wiraswasta (29,88), dan penghasilan Rp 1 juta – Rp 5 juta (31,21). Responden ibu dengan pendidikan S1 (30,15), pekerjaan wiraswasta (30,67) dan penghasilan Rp 1 juta – Rp 5 juta (31,60).
(44)
Tabel 5.7. Gambaran Stres Berdasarkan Karakteristik Anak Responden
Ayah Ibu Mean
Stres Ringan
Stres Sedang
Stres Ringan
Stres
Sedang Ayah Ibu 1. Kelamin
Laki-laki 11 (38%) 18 (62%) 12 (40%) 18 (60%) 30,45 30,80
Perempuan 14 (52%) 13 (48%) 20 (54%) 17 (46%) 29,07 28,22 2. Tipe Kelainan
Tunagrahita 17 (38%) 28 (62%) 26 (49%) 27 (51%) 30,13 29,60
Tunadaksa 8 (72%) 3 (27%) 6 (43%) 8 (57%) 28,36 28,50
3. Pendidikan
TK – SD 18 (45%) 22 (55%) 18 (40%) 27 (60%) 30,13 30,47
SMP 5 (50%) 5 (50%) 9 (69%) 4 (31%) 27,90 26,92
SMA 1 (25%) 3 (75%) 4 (57%) 3 (43%) 30,25 27,29
Terapi 1 (50%) 1 (50%) 1 (50%) 1 (50%) 31,50 28,00
Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah responden Ayah terbanyak yang mengalami stres sedang adalah dengan anak berjenis kelamin laki-laki (62,1%), tipe kelainan tunagrahita (62%), dan pendidikan anak TK-SD (71%). Jumlah responden Ibu terbanyak yang mengalami stres sedang adalah dengan anak berjenis kelamin laki-laki (60%), tipe tunagrahita (51%), dan pendidikan anak TK-SD (55%).
Nilai rerata total skor yang ditampilkan dalam bentuk nilai mean menunjukkan bahwa tingkat stres yang paling tinggi pada responden ayah dengan jenis kelamin anak laki-laki (30,45), tipe tunagrahita (30,13), dan anak terapi (31,50). Responden ibu dengan jenis kelamin anak laki-laki (30,80), tipe tunagrahita (29,60), dan pendidikan anak TK-SD (30,47).
5.4. Perbedaan Parenting Stress Berdasarkan Data Kontrol
Analisis data penelitian ini berupa ada tidaknya perbedaan parenting stress yang ditinjau berdasarkan nilai rerata total skor yang ditampilkan dalam nilai mean pada setiap data kontrol. Perhitungan statistik yang digunakan antara lain one way ANOVA dan independent t-test. Berdasarkan hasil dari perhitungan tersebut didapatkan nilai p > 0,05 dari setiap perhitungan nilai mean yang
(45)
menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan di antara setiap kategori data kontrol.
5.5. Pembahasan
Responden penelitian ini adalah orang tua dengan anak tunagrahita dan tunadaksa yang ada di Yayasa Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan tahun 2013 dengan responden ibu sebanyak 67 orang dan responden ayah 56 orang.
Dari seluruh responden diperoleh jumlah responden Ibu dengan tingkat stres sedang sebanyak 35 orang (52,2%). Selain itu, jumlah responden Ayah dengan tingkat stres sedang sebanyak 31 orang (55,4%). Orang tua dengan anak berkebutuhan khusus akan mengalami tingkat stres yang lebih tinggi daripada orang tua dengan anak normal sesuai dengan pendapat Arnaud et al (2008), Seltzer (2009), dan Mobarak (2000) menyatakan bahwa semakin parah gangguan psikomotorik anak, akan semakin rendah kesehatan mental orang tua.
Tabel 5.4 pada nilai total mean skor dari parenting stress menunjukkan bahwa Ayah lebih tinggi menderita stres daripada Ibu. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Gupta dan Singhal (2005) bahwa tingkat stres lebih tinggi dijumpai pada Ibu daripada Ayah. Hal ini mungkin karena pengaruh orang tua dengan dukungan sosial sesuai dengan pendapat Eisenhower (2009) dan Gupta & Singhal (2005) bahwa semakin tinggi dukungan sosial maka semakin rendah tingkat stres yang dialami orang tua. Penelitian ini mengambil responden yang mayoritas menemani anak selama bersekolah di YPAC Medan, dan sebagian besar adalah Ibu. Menurut pengamatan, mereka selalu berkumpul untuk berbagi pengalaman dan memberikan dukungan satu sama lain, membentuk arisan, dan kegiatan bersama secara rutin. Hal ini yang mungkin tidak dialami oleh Ayah di lingkungan kerjanya sehingga responden Ayah memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan responden ibu.
Gerstein et al (2009) berhipotesis bahwa adanya efek silang (crossover) yang dapat berpengaruh pada ayah dan ibu, di mana faktor ayah dapat mempengaruhi kesehatan mental ibu dan faktor ibu dapat mempengaruhi kesehatan mental ayah. Mereka menemukan bahwa hal ini dominan muncul pada
(46)
keluarga yang memiliki anak berusia muda dengan gangguan intelektual, bahkan lebih penting dalam meningkatkan ketabahan dibandingkan proses dalam masing-masing orang tua. Menurut Larson & Almeida (1999) dalam Gerstein et al (2009), koneksi crossover ini sejalan dengan proses transmisi emosional antara suami dan istri, begitu juga bahwa emosi atau pemikiran pada salah satu anggota keluarga dapat mempengaruhi emosi atau pemikiran anggota keluarga yang lain.
Penelitian ini tidak menemukan adanya perbedaan proporsi yang berarti antara distribusi stres berdasarkan usia yang dapat dilihat dari tabel 5.5. Sebagaimana dalam penelitian Mobarak (2000) dan Hung et al (2010) yang menyatakan bahwa tidak ada pengaruh usia tua terhadap kesehatan mental mereka. Tabel 5.5 menunjukkan bahwa nilai mean relatif lebih tinggi pada rentang usia yang rendah. Hal ini dapat dikaitkan dengan mayoritas orang tua tersebut memiliki anak yang masih muda dengan rentang pendidikan TK-SD. Hal ini sejalan dengan pendapat Mesh & Johnston (1983) bahwa stres dialami oleh ibu lebih tinggi dengan anak yang lebih muda (preschool) dan menyebabkan gangguan dalam hubungan orang tua-anak. Tabel 5.7 menunjukkan bahwa proporsi stres sedang dan nilai mean tinggi pada ibu dengan anak TK-SD, yang sejalan dengan pendapat di atas.
Distribusi gambaran stres berdasarkan pendidikan terakhir orang tua pada tabel 5.6 menunjukkan dari responden ayah dengan pendidikan akhir S1 dan responden ibu dengan dengan pendidikan akhir SMA/SMK mengalami stres sedang terbanyak (65% dan 51,2%). Namun didapatkan nilai mean stres pada responden ayah dan ibu paling tinggi pada orang tua berpendidikan terakhir S1. Hal ini sejalan dengan pendapat Arnaund (2008) bahwa orang tua yang berkualifikasi pendidikan tinggi dengan anak berkebutuhan khusus memiliki kualitas hidup yang lebih rendah pada pihak orang tua. Pendidikan yang tinggi menunjukkan tingkat sosial yang lebih tinggi sehingga pengharapan pada anak lebih besar, namun dengan kondisi anak yang terbatas dapat membuat tingkat stres orang tua yang lebih tinggi sesuai dengan pendapat Gupta & Singhal (2005).
Distribusi gambaran stres dengan pekerjaan orang tua menunjukkan bahwa stres sedang paling banyak dialami oleh responden ayah yang berwiraswasta
(47)
(54,5%). Responden ibu yang paling banyak mengalami stres sedang paling banyak adalah ibu rumah tangga (50%), namun tidak ada perbedaan signifikan pada nilai mean stres di antara tiap kelompok. Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa status sosioekonomi yang rendah adalah salah satu faktor peningkatan tingkat stres orang tua (Arnaud, 2008; Mobarak, 2000; Hung et al, 2010; dan lain-lain). Namun berdasarkan penghasilan, stres sedang dan nilai mean tertinggi paling banyak dialami orang tua dengan penghasilan Rp 1.000.000 – Rp 5.000.000 (38% dan 62%, mean 31,21 dan 31,60). Hal ini kemungkinan selain adanya bantuan dari pihak keluarga sendiri, mungkin karena adanya program bantuan dana bagi siswa didik YPAC Medan yang tidak mampu, sehingga biaya sekolah dan terapi dibantu dari donatur-donatur yang rutin menyumbang ke pihak YPAC Medan.
Distribusi gambaran stres berdasarkan jenis kelamin anak didapatkan pada responden ayah dan responden ibu yang mengalami stres sedang paling banyak adalah yang memiliki anak berjenis kelamin laki-laki (62% dan 60%, mean 30,45 dan 30,80). Walaupun tidak ada literatur yang menyebutkan adanya pengaruh jenis kelamin anak terhadap stres orang tua, namun hal ini mungkin diakibatkan lebih aktifnya anak laki-laki daripada perempuan dan juga masalah budaya masyarakat di mana laki-laki sebagai penerus nama keluarga. Hal ini sesuai dengan pendapat Hung dkk. (2010) dan Gupta & Singhal (2005) bahwa stigma masyarakat dan latar belakang budaya adalah faktor yang mempengaruhi tingkat stres orang tua.
Distribusi gambaran stres responden berdasarkan tipe kelainan anak pada tabel 5.10 menunjukkan bahwa stres sedang paling banyak dialami responden ayah dan ibu yang memiliki anak tipe tunagrahita (62,2% dan 50,9%, mean 30,13 dan 30,13). Namun tidak ada perbedaan signifikan di antara kedua tipe kelainan. Mayoritas responden memiliki anak tunagrahita sehingga relatif lebih besar nilai proporsi pada anak tunagrahita. Namun hal ini dapat didukung dengan pendapat Kersh, et al (2006) bahwa tingkah laku anak lebih berpengaruh pada stres orang tua daripada bentuk kelainannya, dan hal tersebut tergantung pada tingkat keparahan gangguan pertumbuhan dan status mentalnya. Anak tunadaksa
(48)
memiliki keterbatasan fisik yang membatsi pergerakannya, lain dengan anak tunagrahita yang memiliki keterbatasan dalam fungsi intelektual dan fungsi adaptinya namun tidak berkebatasan dalam fisiknya sehingga membutuhkan perhatian lebih besar dari orang tua.
Pada analisis data berdasarkan nilai mean skor parenting stress berdasarkan tiap data kontrol, didapatkan tidak adanya perbedaan yang signifikan pada tiap karakteristik (p>0,05). Maka dalam penelitian ini disimpulkan tidak ada pengaruh yang signifikan dari usia responden, pendidikan terakhir responden, pekerjaan responden, penghasilan responden, jenis kelamin anak, tipe kelainan anak, dan pendidikan anak terhadap tingkat stres orang tua.
(49)
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, responden ibu lebih banyak berpartisipasi dalam penelitian ini sejumlah 67 orang (54%) dibandingkan responden ayah sejumlah 56 orang (46%). Usia responden ayah berada pada rerata usia 46 tahun, dan responden ibu berada pada rerata usia 44 tahun. Responden mayoritas berpendidikan terakhir SMA/SMK sejumlah 73 orang (59,3%) dan minoritas berpendidikan S2 sejumlah 2 orang (1,6%). Pekerjaan responden mayoritas adalah ibu rumah tangga bagi responden ibu sejumlah 52 orang (42,3%) dan minoritas adalah bekerja sebagai profesional sejumlah 4 orang (3,2%). Penghasilan responden mayoritas adalah berkisar Rp 1.000.000 – Rp 5.000.000 sejumlah 64 orang (52%0 dan minoritas dengan penghasilan > Rp 10.000.000 sejumlah 6 orang (4,9%).
2. Karakteristik anak responden mayoritas berjenis kelamin perempuan sejumlah 64 orang (52%) sedagkan laki-laki sejumlah 59 orang (48%). Tipe kelainan anak responden mayoritas adalah tunagrahita sejumlah 98 orang (80%) sedangkan tunadaksa sejumlah 25 orang (20%). Mayoritas pendidikan anak responden adalah TK-SD sejumlah 85 orang (69%).
3. Penelitian ini menunjukkan bahwa responden ayah dan responden ibu memiliki tingkat stres yang relatif sama. Jumlah responden yang mengalami stres sedang dari responden ayah sebanyak 31 orang (55,4%) dan dari responden ibu sebanyak 35 orang (52,2%). Menurut perhitungan nilai mean stres pada responden ayah dan responden ibu, didapatkan mean stres ayah 29,79 dan mean stres ibu 29,39. Tidak ada perbedaan signifikan antara setiap data responden terhadap nilai mean stres responden.
(50)
6.2. Saran
1. Diharapkan adanya penelitian yang lebih lanjut tentang hubungan antara pola asuh anak dan lingkungan keluarga dengan tingkat parenting stress orang tua karena menurut penelitian ini tidak adanya perbedaan signifikan dari data orang tua, dan kemungkinan cara asuh anak dapat mempengaruhi tingkat parenting stress orang tua.
2. Diharapkan juga adanya pendekatan kepada pengasuh yang mempunyai kontak relatif lama dan sering dengan anak berkebutuhan khusus untuk mengembangkan pengetahuan mengenai bidang ini dan juga peningkatan pelayanan pada anak berkebutuhan khusus.
(51)
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, R. R. (1992). The determinants of parenting behaviour. Journal of Clinical Child Psychology, 21, 407-412.
Anthony, L. G., et al (2005). The relationships between parenting stress, parenting behaviour and preschoolers’ social competence and behaviour problems in the classroom. Infant andChild Development, 14, 133-154.
American Association on Intellectual and Developmental Disabilities, 2013. Definition of Intellectual Disability. Washington D.C.: American Association on Intellectual and Developmental Disabilities. Available
from:
tanggal 10 Mei 2013].
American Institute of Stress, 2012. Stress Effects.Texas: The American Institute
of Stress. Available from
[Diakses tanggal 10 Mei 2013].
Arnaud, C., et al (2008). Parent-Reported Quality of Life of Children With Cerebral Palsy in Europe. American Academy of Pediatrics 121;54.
Available from:
http://pediatrics.aappublications.org/content/121/1/54.full.html
[Diakses tanggal 12 April 2013].
Bailey, Golden, Roberts & Ford, 2007. Maternal depression and developmental disability: Research critique. Mental Retardation and Developmental Disabilities Research Review (13), 321-329.
Berry, J. O., & Jones, W. H. (1995). The Parental Stress Scale: Initial psychometric evidence. Journal of Social and Personal Relationships
(12): 463-472. Available from:
Deater-Deckard, K., 2004. Parenting stress. USA: Yale University Press.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2012. Anak Dengan Tunagrahita Perlu Pendekatan Khusus.Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia. Tersedia dari:
(52)
Eisenhower, A.S., et al. 2009. Children’s delayed development and behavior problems: Impact on mothers’ perceived physical health across early childhood. Soc Sci Med. Author Manuscript, 68 (1): 89 – 99. Available
from:
[Diakses tanggal 20 April 2013].
Feldman, McDonald, Serbin, Stack, Secco & Yu, 2006. Predictors of depressive symptoms in primary caregivers of young children with or at risk for developmental delay. Journal of Intellectual Disability Research, (51) 606-619.
Gerstein, E. D., Crnic, K.A., Blacher, J., Baker, B.L., 2009, Resilience and the course of daily parenting stress in families of young children with intellectual disabilities. Journal of Intellectual Disability Research,
(53): 981-997. Available from:
[Diakses
tanggal 20 Oktober 2013]
Greenberg, J.S., 2004. Comprehensive Stress Management. 8th ed. USA: McGrawl-Hill.
Hallahan, DP. & Kauffman, JM., 1988, Exceptional Learners: Introduction to Special Education, Boston: Pearson, 464 – 477.
Hawari, D., 2006. Manajemen Stres, Cemas, dan Depresi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Kersh, J., et al. 2006. The contribution of marital quality to the well-being of parents of children with developmental disabilities. Journal of
Intellectual Disability research. Available from:
September 2013].
Johnston, MV., 2007. Encephalopathies: Cerebral Palsy. In: Kliegman, R.M. et al. (eds), Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2494 - 2495.
Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal, and coping. New York: Springer.
Hung, J., et al. 2010. Mental Health of Parents Having Children with Physical Disabilities. Chang Gung Medical Journal. Available from:
(53)
Martin, A. & Volkmar, F., 2007. Mental Retardation. In: Lewis's Child and Adolescent Psychiatry: A Comprehensive Textbook, 4th Edition. Connecticut: Lippincott Williams & Wilkins.
Mash, E. J., & Johnston, C. (1983). Parental perceptions of child behavior problems, parenting self-esteem, and mothers' reported stress in younger and older hyperactive and normal children. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 51, 86-99. Available from: psycnet.apa.org/journals/ccp/51/1/86.pdf . [Diakses tanggal 20 April 2013].
Mobarak, R., et al. 2000. Predictors of Stress in Mothers of Children With Cerebral Palsy in Bangladesh. Journal of Pediatric Psychology 26 (6):
427-433. Available from:
[Diakses tanggal 14 April 2013].
Muninggar, K.D., 2008. Hubungan parenting stress dengan persepsi terhadap pelayanan family-centered care pada orangtua anak tunaganda-netra. Skripsi pada FPSI Universitas Indonesia: tidak diterbitkan.
Sankar, C. & Mundkur, N., 2005. Cerebral Palsy – Definition, Classification, Etiology, and Early Diagnosis. Indian Journal of Pediatrics 72 (10):
865-868. Available from:
April 2013].
Schieve, L.A., et al, 2007. The Relationship Between Autism and Parenting Stress. The American Academy of Pediatrics DOI: 10.1542. Available from:
Seltzer, M.M., et al. 2009. Psychosocial and Biological Markers of Daily Lives of Midlife Parents of Children with Disabilities. J Health Social
Behaviour 50 (1): 1-15. Available from:
tanggal 12 April 2013].
Shapiro, B.K. & Batshaw, M.L. 2007. Mental Retardation (Intellectual Disability). In: Kliegman, R.M. et al. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier, 191-197.
(54)
Simoes, EAF., 2007. Polioviruses. In: Kliegman, R.M. et al. (eds), Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier, 1344-1347.
Singer (2006). Meta-analysis of comparative studies of depression in mothers of children with and without developmental disabilities. American Journal on Mental Retardation [AJMR](111), 155-169.
Soetjiningsih, oleh Ranuh, IG.N Gde (Ed)., 1995. Tumbuh Kembang ANAK. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Swartz, M. K. (2005). Parenting preterm infants: A meta-synthesis. MCN:The American Journal of Maternal/Child Nursing, 30(2), 115-120.
Theule, J., et al (2010). Predicting Parenting Stress in Families of Children with ADHD: Parent and Contextual Factors. Journal of Child and Family Studies (20): 640 - 647. Available from:
Wade, C. & Tavris, C., 2008. Psikologi. Edisi ke-9. Jakarta: Penerbit Erlangga. Wahyuni, A.S., 2007. Statistika Kedokteran (disertai aplikasi dengan SPSS).
Jakarta: Bamboedoea Communication
Webster-Stratton, C. (1990). Stress: A potential disruptor of parent perceptions and family interactions. Journal of Clinical Child Psychology, 19,
302-312. Available from:
Wise, P.H., 2007. Developmental Disabilities and Chronic Illness. In: Kliegman, R.M. et al. (eds), Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier, 187-197.
(55)
LAMPIRAN I
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Purwandari
Tempat/ Tanggal Lahir : Tanjung Gading, 14 Desember 1991
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum menikah
Nama Orang tua (Ayah) : Purwahedi Nama Orang tua (Ibu) : Daryati
Alamat Rumah : Asrama Widuri Blok Perwira No. 5, Marendal,
Medan
Riwayat pendidikan:
1. SD Negeri 016396 Tanjung Gading, Asahan (1998-2000)
2. SD Negeri 064955 Medan (2000-2004)
3. SMP Negeri 2 Medan (2004-2007)
4. SMA Negeri 1 Medan (2007-2010)
(56)
LAMPIRAN II
LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN Kuesioner Penelitian
Selamat pagi/siang/sore/malam,
Saya adalah mahasiswi tingkat akhir Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Saat ini saya sedang melakukan penelitian yang berjudul “Gambaran Tingkat Stres Orang Tua Dengan Anak Tunagrahita dan Tunadaksa di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan Tahun 2013”
Dalam rangka tugas akhir ini, saya memohon kesediaan Bapak/Ibu untuk mengisi kuesioner ini sesuai dengan pendapat pribadi Bapak/Ibu. Tidak ada jawaban benar atau salah. Saya berharap Bapak/Ibu memilih jawaban yang paling sesuai dengan apa yang Bapak/Ibu rasakan dalam peran sebagai orang tua dengan anak Bapak/Ibu. Sebelum mengisi kuesioner ini, Bapak/Ibu diminta untuk mengisi identitas diri sebagai kelengkapan data penelitian ini. Data pribadi Bapak/Ibu akan saya jaga kerahasiaannya.
Bantuan Bapak/Ibu sangat berharga bagi penelitian yang sedang saya lakukan pada khususnya, dan bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran pada umumnya. Atas bantuan dan kerjasama yang Bapak/Ibu berikan, saya mengucapkan terima kasih.
Medan, Juli 2013
(57)
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (INFORMED CONSENT) KESEDIAAN MENGIKUTI PENELITIAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama :
Umur :
Alamat :
Saya telah mendapat penjelasan dengan baik mengenai tujuan dan manfaat penelitian yang berjudul “Gambaran Tingkat Stres Orang Tua Dengan Anak Tunagrahita dan Tunadaksa di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan Tahun 2013”
Saya mengerti bahwa saya akan diminta untuk menjawab kuesioner dan saya menyatakan bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. Semua keterangan yang saya sampaikan adalah benar dan tanpa paksaan dari pihak manapun.
Medan, ...2013
( _____________________________ ) Nama dan Tanda Tangan
(58)
KUESIONER PENELITIAN DATA PRIBADI
*lingkarilah salah satu pilihan jawaban pada setiap nomor dan isilah titik-titik yang tersedia
Orang tua
Jenis kelamin : P / L
Usia : ... tahun
Pendidikan terakhir : a. SMA/SMK b. Diploma c. S1 d. S2 e. S3
Pekerjaan : a. Profesional, sebutkan .... b. Pegawai negeri/swasta c. Wiraswasta
d. Ibu rumah tangga Pendapatan keluarga : a. < Rp 1.000.000
b. Rp 1.000.000 – Rp 5.000.000 c. Rp 5.000.000 – Rp 10.000.000 d. > Rp 10.000.000
Anak
Jenis kelamin : P / L
Tipe kebutuhan khusus : a. Tunagrahita (Retardasi mental, Down Syndrome) b. Tunadaksa (cacat fisik, palsi serebralis, spina bifida) Tingkat pendidikan : a. TK – SD
b. SMP c. SMA
(59)
PENDAHULUAN
Baca setiap pernyataan dengan hati-hati dan beri tanda centang (√) pada penilaian yang sesuai dengan perasaan Anda.
No Pernyataan
SS (Sangat Setuju) S (Setuju) R (Ragu-ragu) TS (Tidak Setuju) STS (Sangat Tidak Setuju) 1. Saya bahagia dengan peran saya sebagai
orang tua.
2. Saya akan melakukan apapun untuk anak saya jika itu penting.
3. Mengasuh anak menghabiskan waktu dan tenaga lebih besar daripada apa yang seharusnya saya berikan.
4. Saya merasa dekat dengan anak saya. 5. Saya senang menghabiskan waktu dengan
anak saya.
6. Anak saya adalah sumber penting kasih sayang bagi saya.
7. Memiliki anak memberikan saya pandangan yang lebih pasti dan optimis tentang masa depan.
8. Sumber stres utama dalam hidup saya adalah anak saya.
9. Memiliki anak mengurangi waktu dan fleksibilitas dalam hidup saya.
10. Memiliki anak adalah beban keuangan. 11. Sulit untuk menyeimbangkan berbagai
tanggung jawab yang berbeda karena kehadiran anak saya.
12. Tingkah laku anak saya membuat saya merasa malu atau stres..
13. Jika dapat kembali ke masa lalu, saya memutuskan untuk tidak memiliki anak. 14. Saya merasa dibebani tanggung jawab
sebagai orang tua.
15. Memiliki anak berarti memiliki pilihan dan kontrol yang terlalu sedikit terhadap hidup saya.
16. Saya merasa puas sebagai orang tua. 17. Saya merasa anak saya menyenangkan.
(60)
1 C112 44 44 - 48 S1 Wiraswasta > Rp 10.000.000 Laki laki Tunagrahita TK-SD 28 Ringan 14 14 2 C50 60 59 - 63 SMA/SMK Wiraswasta < Rp 1.000.000 Perempuan Tunagrahita TK-SD 22 Ringan 10 12 3 C03 32 34 - 38 SMA/SMK Wiraswasta < Rp 1.000.000 Laki laki Tunadaksa TK-SD 18 Ringan 8 10 4 C18 35 34 - 38 SMA/SMK Pegawai negeri/swasta Rp 1.000.000 - Rp 5.000.000 Laki laki Tunagrahita TK-SD 27 Ringan 12 15 5 C103 51 49 - 53 SMA/SMK Wiraswasta < Rp 1.000.000 Laki laki Tunagrahita TK-SD 32 Sedang 13 19 6 D26 42 39 - 43 Diploma Wiraswasta Rp 1.000.000 - Rp 5.000.000 Laki laki Tunadaksa TK-SD 28 Ringan 8 20 7 C02 48 44 - 48 SMA/SMK Profesional < Rp 1.000.000 Laki laki Tunagrahita TK-SD 28 Ringan 12 16 8 C113 64 64 - 68 S1 Pegawai negeri/swasta Rp 1.000.000 - Rp 5.000.000 Perempuan Tunagrahita SMP 34 Sedang 15 19 9 D23 53 49 - 53 Diploma Pegawai negeri/swasta Rp 5.000.000 - Rp 10.000.000 Laki laki Tunagrahita SMA 31 Sedang 12 19 10 C37 41 39 - 43 SMA/SMK Wiraswasta Rp 1.000.000 - Rp 5.000.000 Laki laki Tunagrahita TK-SD 21 Ringan 11 10 11 C105 34 34 - 38 SMA/SMK Wiraswasta Rp 1.000.000 - Rp 5.000.000 Laki laki Tunagrahita TK-SD 23 Ringan 8 15 12 C06 64 64 - 68 S1 Pegawai negeri/swasta Rp 5.000.000 - Rp 10.000.000 Laki laki Tunagrahita terapi 23 Ringan 9 14 13 C07 43 39 - 43 S1 Pegawai negeri/swasta Rp 1.000.000 - Rp 5.000.000 Laki laki Tunadaksa TK-SD 39 Sedang 16 23 14 C107 46 44 - 48 S1 Wiraswasta Rp 1.000.000 - Rp 5.000.000 Perempuan Tunagrahita TK-SD 30 Sedang 12 18 15 C19 40 39 - 43 SMA/SMK Wiraswasta Rp 1.000.000 - Rp 5.000.000 Laki laki Tunagrahita TK-SD 34 Sedang 10 24 16 C35 38 34 - 38 SMA/SMK Pegawai negeri/swasta Rp 1.000.000 - Rp 5.000.000 Perempuan Tunagrahita TK-SD 32 Sedang 14 18 17 D05 45 44 - 48 S1 Pegawai negeri/swasta Rp 5.000.000 - Rp 10.000.000 Perempuan Tunadaksa TK-SD 24 Ringan 13 11 18 C81 50 49 - 53 SMA/SMK Pegawai negeri/swasta < Rp 1.000.000 Perempuan Tunagrahita SMP 18 Ringan 8 10 19 D11 59 59 - 63 S1 Wiraswasta < Rp 1.000.000 Perempuan Tunadaksa TK-SD 27 Ringan 9 18 20 D09 43 39 - 43 SMA/SMK Wiraswasta Rp 1.000.000 - Rp 5.000.000 Laki laki Tunadaksa TK-SD 26 Ringan 8 18 21 C73 38 34 - 38 SMA/SMK Profesional Rp 1.000.000 - Rp 5.000.000 Laki laki Tunagrahita SMP 38 Sedang 10 28 22 C26 39 39 - 43 S1 Profesional > Rp 10.000.000 Perempuan Tunagrahita TK-SD 22 Ringan 8 14 23 C10 34 34 - 38 SMA/SMK Pegawai negeri/swasta Rp 1.000.000 - Rp 5.000.000 Perempuan Tunagrahita TK-SD 28 Ringan 13 15 24 C27 49 49 - 53 SMA/SMK Wiraswasta < Rp 1.000.000 Perempuan Tunagrahita TK-SD 24 Ringan 8 16 25 C88 50 49 - 53 S1 Pegawai negeri/swasta < Rp 1.000.000 Perempuan Tunagrahita TK-SD 29 Sedang 9 20 26 C34 37 44 - 48 SMA/SMK Wiraswasta < Rp 1.000.000 Perempuan Tunagrahita TK-SD 38 Sedang 18 20 27 C78 60 59 - 63 SMA/SMK Wiraswasta < Rp 1.000.000 Perempuan Tunagrahita SMP 25 Ringan 10 15
MASTER DATA AYAH
JK anak Tipe Anak T. skor R. Stres Pleasure Strain
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)