F. Aktivitas antimikroba
Faktor – faktor yang mempengaruhi aktivitas antibakteri antara lain
adalah pH lingkungan pH medium, komponen medium, stabilitas obat senyawa penghambat bakteri, lama inkubasi, dan aktivitas metabolisme
bakteri Jawetz, 1991. Uji aktivitas antibakteri secara in vitro dilakukan dengan 2 metode,yaitu :
1. Metode dilusi Suatu senyawa antibakteri dengan berbagai kadar dimasukkan ke
dalam medium biakan bakteri padat atau cair, kemudian medium diinokulasi untuk uji bakteri dan diinkubasi. Pada hasil akhir dapat
diamati dari kadar senyawa antibakteri yang menghambat atau membunuh bakteri Jawetz, 1991.
2. Metode difusi Metode ini menggunakan kertas saring berbentuk lingkaran atau
silinder tanpa alas yang berisi jumlah obat yang telah ditentukan, ditempatkan dalam medium padat untuk uji bakteri. Setelah inkubasi,
diameter dari zona hambatan di sekitat perlakuan menunjukkan daya hambat obat melawan bakteri Jawetz, 1991.
G. Analisis Gugus Fungsi dengan Spektrofotometri Infra Merah
Spektrofotometri infra-merah adalah sangat penting dalam kimia modern, terutama dalam bidang kimia organik. Instrument ini merupakan
alat rutin dalam penemuan gugus fungsional, pengenalan senyawa, dan analisis campuran. Spektrofotometri infra-merah juga digunakan untuk
penentuan struktur, khususnya senyawa organik dan juga untuk analisis kuantitatif, seperti analisa kuantitatif pencemaran udara, misalnya karbon
monoksida dalam udara dengan teknik non-dispersive Khopkar, 2003. Radiasi gelombang elektromagnetik adalah energi yang dipancarkan
menembus ruang dalam bentuk gelombang-gelombang atau paket-paket energi. Tiap tipe radiasi gelombang elektromagnetik mulai dari radiasi
gelombang radio hingga radiasi gamma dicirikan oleh panjang gelombang λ atau frekuensi υ dari gelombang tersebut. Ketika suatu radiasi
gelombang elektromagnetik mengenai suatu materi, akan terjadi suatu interaksi yang berupa penyerapan energi absorbsi oleh atom-atom atau
molekul-molekul dari materi tersebut Petrucci,1987. Pancaran infra-merah pada umumnya mengacu pada bagian spektrum
elektromagnet yang terletak di antara daerah tampak dan daerah gelombang mikro. Bagi kimiawan organik, sebagian besar kegunaannya terbatas di
antara 4000 cm
-1
dan 666 cm
-1
2,5 – 15,0 m. Akhir-akhir ini muncul
perhatian pada daerah infra-merah dekat, 14.290 – 4000 cm
-1
0,7 – β,5 m
dan daerah infra-merah jauh, 700 – 200 cm
-1
14,3 – 50 m Silverstein.,
1986. Absorbsi sinar ultraviolet dan cahaya tampak oleh suatu materi akan
mengakibatkan tereksitasinya elektron dari tingkat energi orbital rendah ke
tingkat-tingkat energi yang lebih tinggi. Pada absorbsi radiasi infra merah oleh suatu materi, radiasi yang diserap tersebut tidak cukup mengandung
energi untuk
mengeksitasi elektron,
namun akan
menyebabkan membesarnya amplitudo getaran vibrasi dari atom-atom yang terikat satu
sama lain yang membentuk suatu ikatan molekul. Keadaan ini disebut dengan vibrasi tereksitasi Fessenden, 1997.
Salah satu metode spektroskopi yang sangat populer digunakan adalah metode spektroskopi FTIR Fourier Transform Infrared, yaitu metode
spektroskopi inframerah modern yang dilengkapi dengan teknik transformasi Fourier untuk deteksi dan analisis hasil spektrumnya. Dalam hal ini metode
spektroskopi yang digunakan adalah metode spektroskopi absorbsi, yaitu metode spektroskopi yang didasarkan atas perbedaan penyerapan radiasi
inframerah oleh molekul suatu materi. Absorbsi inframerah oleh suatu materi dapat terjadi jika dipenuhi dua syarat, yakni kesesuaian antara
frekuensi radiasi inframerah dengan frekuensi vibrasional molekul sampel dan perubahan momen dipol selama bervibrasi Chatwal, 1985.
Spektroskopi FTIR fourier transform infrared merupakan salah satu teknik analitik yang sangat baik dalam proses identifikasi struktur molekul
suatu senyawa. Komponen utama spektroskopi FTIR adalah interferometer Michelson yang mempunyai fungsi menguraikan mendispersi radiasi
inframerah menjadi
komponen-komponen frekuensi.
Penggunaan interferometer Michelson tersebut memberikan keunggulan metode FTIR
dibandingkan metode spektroskopi inframerah konvensional maupun metode spektroskopi yang lain. Diantaranya adalah informasi struktur molekul dapat
diperoleh secara tepat dan akurat memiliki resolusi yang tinggi. Keuntungan yang lain dari metode ini adalah dapat digunakan untuk
mengidentifikasi sampel dalam berbagai fase gas, padat atau cair. Kesulitan-kesulitan yang ditemukan dalam identifikasi dengan spektroskopi
FTIR dapat ditunjang dengan data yang diperoleh dengan menggunakan metode spektroskopi yang lain Harmita, 2006.
Sistim optik Spektrofotometer FT-IR seperti pada gambar 2 dilengkapi dengan cermin yang bergerak tegak lurus dan cermin yang diam. Dengan
demikian radiasi infra-merah akan menimbulkan perbedaan jarak yang ditempuh menuju cermin yang bergerak M dan jarak cermin yang diam
F. Perbedaan jarak tempuh radiasi tersebut adalah 2 yang selanjutnya disebut sebagai retardasi δ . Hubungan antara intensitas radiasi IR yang
diterima detektor terhadap retardasi disebut sebagai interferog. Sistem optik dari Spektrofotometer IR yang didasarkan atas bekerjanya interferometer
disebut sebagai sistim optik Fourier Transform Infra Red.
Gambar 6. Sistem optik Fourier Transform Infra Red Harmita, 2006.
Pada sistim optik FT-IR digunakan radiasi LASER Light Amplification by Stimulated Emmission of Radiation
yang berfungsi sebagai radiasi yang diinterferensikan dengan radiasi infra merah agar sinyal radiasi
infra-merah yang diterima oleh detektor secara utuh dan lebih baik. Detektor yang digunakan dalam Spektrofotometer FT-IR adalah TGS Tetra
Glycerine Sulphate atau MCT Mercury Cadmium Telluride. Detektor
MCT lebih banyak digunakan karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan detektor TGS, yaitu memberikan respon yang lebih baik pada
frekwensi modulasi tinggi, lebih sensitif, lebih cepat, tidak dipengaruhi oleh temperatur, sangat selektif terhadap energi vibrasi yang diterima dari radiasi
infra-merah Harmita, 2006.
Gugus fungsional dalam molekul dianalisis secara kualitatif dengan melihat bentuk spektrumnya yaitu dengan melihat puncak spesifik yang
menunjukkan jenis gugus funsgional. Analisis secara kuantitatif dilakukan berdasarkan hukum Lambert-Beer, ditunjukkan pada Persamaan 2.
A = log IoI = a c l …………………………………………………..….. β Keterangan :
A = absorbansi Io = intensitas sinar masuk
I = Intensitas sinar yang ditransmisikan a = koefisien absorpsi M
-1
cm
-1
c = konsentrasi zat M l = panjang lintasan cm.
Untuk mengoreksi kesalahan yang timbul akibat adanya overlap puncak absorpsi, maka garis dasar base line dalam spektrum infra merah
harus dibuat seperti ditunjukkan pada Gambar 4, I dan Io ditentukan sebagai intesitas transmisi pada garis dasar. Absorbansi A pada frekuensi yang
diberikan dalam cm
-1
terlihat pada Persamaan 3. Absorbansi A
= log IoI = log ACAB …………..………………….. γ
Keterangan : AC = Io = intensitas sinar masuk
AB = I = intensitas sinar yang ditransmisikan Gambar 7 menunjukkan karakteristik serapan dari selulosa bakteri
menunjukkan puncak di sekitar daerah 3350 cm
-1
yang menunjukkan O-H stretching
dan di sekitar daerah 2916,81 cm
-1
yang menunjukkan CH stretching
. Adanya pita di sekitar daerah 1649,8 cm
-1
yang menunjukkan deformasi vibrasi dari molekul air yang terabsorbsi Wonga, Kasapis dan
Tan, 2009. Adapun karakteristik serapan dari kitosan ditunjukkan dengan puncak di sekitar 1559,17 cm
-1
yang menunjukkan vibrasi stretching dari gugus amino kitosan dan di sekitar daerah 1333,5 cm
-1
yang menunjukkan vibrasi dari C-H. Adanya pita di sekitar 3367,1 cm
-1
menunjukkan vibrasi simetrik dari amina NH. Adanya puncak disekitar daerah 2927,41 cm
-1
menunjukkan vibrasi C-H. Adanya puncak disekitar daerah 896,73 cm
-1
dan 1154,19 cm
-1
berkaitan dengan struktur sakarida dari kitosan. Adanya puncak yang melebar di sekitar daerah 1080,91 cm
-1
menunjukkan vibrasi stretching
C-O de Souza Costa-Junior, Pereira dan Mansur, 2009; Rao,
Naidu, Subha, Sairam dan Aminabhavi, 2006. Gambar 7. menunjukkan contoh spektra inframerah dari selulosa bakteri dan kitosan.
Gambar 7. Spektra inframerah dari selulosa bakteri dan kitosan Anicatura, Dobre, Stroescu dan Jipa, 2010
Berdasarkan Gambar 7, maka perlu dibuat suatu tabel korelasi serapan dari spektra IR. Korelasi ini perlu dibuat untuk memudahkan dalam
menginterpretasikan gugus-gugus fungsi dari spektra IR yang didapatkan. Hasil korelasi dari gugus-gugus fungsi ini disajikan pada Tabel II.
Tabel II. Hasil korelasi dari serapan inframerah pada selulosa dan kitosan
Bilangan Gelombang
Selulosa cm
-1
Keterangan kode dari
pembacaan gelombang
selulosa Bilangan
Gelombang Kitosan
cm
-1
Keterangan kode dari
pembacaan gelombang
kitosan Referensi
3430 -OH
stretching 3430
-OH and –NH
stretching
Stefanescu, Daly,
Negulescu 2011
2919 -CH
stretching 2919
-CH stretching
1659 C=O
stretching 1637
C=O stretching
- -
1597 -NH bending
amide II 1422
-CH bending
vibration 1422
-CH and –NH
bending vibrations
1374 -CH
bending vibration
1378 -CH bending
vibrations
1158 Anti-
symetric stretching
of the
C-O- C bridge
1154 Anti-symetric
stretching of the
C-O-C bridge
1067 Skeletal
vibrations involving
the
C-O stretching
1072 Skeletal
vibrations involving the
C-O stretching
H. Analisis Kristalinitas dengan Difraksi Sinar X XRD