Oleh karena itu kelima jenis singa ini sering dikenal sebagai “Lima Jenderal Macan Shu”, dan kelimanya juga disebut sebagai perwakilan dari
lima warna oleh kelima elemen.
4.4.2 Makna Kostum Barongsai
1. Tanduk Pada Kepala Singa
Tonjolan pada kepala Singa disebut dengan Jaio Chi 角髻; Jiao berarti tanduk dan Chi berarti kepala. Ada peribahasa Tionghoa yang
bunyinya “Tou Jiao Cheng Yung”, berarti “Tanduk Pada Kepalamu Memberikan Penampilan yang Istimewa”. Ungkapan ‘tanduk’ disini tidak
dimaksudkan sebagai arti harafiah, namun dimaksudkan sebagai gaya rambut atau penutup kepala yang digunakan di atas kepala orang-orang
Tionghoa di masa sebelum datangnya Bangsa Manchu untuk menaklukkan Cina. Sementara ketika masa pemerintahan Manchu, orang-orang disana
dipaksa untuk mennguncir rambut mereka, dan bagi yang menolak untuk memakainya kepala mereka akan dipenggal. Beberapa orang bertanya-tanya
mengapa singa Barongsai memiliki sebuah tanduk di atas kepalanya. Hal ini diduga bermula di awal pemerintahan Dinasti Tang, patung-patung singa
pada saat itu digambarkan memiliki semacam tonjolan di kepalanya, dan banyak orang yang menganggap tonjolan itu sebagai tanduk. Kemudian
dipercayai bahwa tanduk dalam kebudayaan Tionghoa merupakan simbol dari kekuatan supranatural.
Universitas Sumatera Utara
Di awal kedatangannya singa merupakan sebuah hadiah yang langka dari negara lain untuk diberikan kepada pemerintah Cina. Setelah itu
gagasan sosok singa sebagai hewan suci mulai diterapkan seiring dengan pengenalan agama Buddha dimana sosok singa dianggap sebagai penjaga
dari agama Buddha. Dari gambarannya kita dapat menentukan jenisnya, jika memiliki taring yang panjang, maka disebut sebagai seekor hewan
karnivora, jika memiliki tanduk yang lancip, merupakan seekor hewan yang memakan tumbuhan herbivora. Hal yang aneh adalah banyak hewan-
hewan yang dianggap membawa kebaikan bagi bangsa Tionghoa memiliki taring panjang dan tanduk lancip, dipercaya bahwa orang-orang di zaman
dahulu dalam hal menunjukkan keistimewaan status hewan-hewan mulia itu, memberikan gambaran kepada hewan-hewan mulia memiliki tanduk
lancip dan taring panjang, alasannya adalah untuk menggambarkan bahwa hewan-hewan mulia ini memiliki kekuatan dari hewan karnivora dan sifat
mulia dari karakter hewan herbivora yang tidak haus darah. Hal ini sejalan dengan tradisi agama Buddha yang pendiri serta para biksunya merupakan
vegetarian. Dua jenis tanduk yang paling dikenal terdapat pada Singa Selatan
adalah batang bambu di puncak kepala dengan ujung yang runcing dinamakan begitu karena penampilan fisiknya dan biasanya dijumpai pada
kepala Singa Fat San. Kemudian ada tanduk yang bentuk ujungnya menyerupai kepalan tangan biasanya dijumpai namun tidak terbatas pada
kepala Singa Hok San. Dalam masyarakat Tionghoa, bambu merupakan simbol dari panjang umur dan keberanian di tengah-tengah kesulitan serta
Universitas Sumatera Utara
kesopanan. Batang bambu disini merupakan representasi dari jiwa muda serta langkah-langkah yang sigap dari para prajurit muda, sedangkan tanduk
yang menyerupai kepalan tangan menggambarkan tanduk singa tua yang telah menjadi tumpul karena telah melewati banyak waktunya dalam medan
pertempuran. Seiring berjalan waktu tanduk ini kemudian dicat dengan warna
hitam. Warna hitam dikenal sebagai warna langit dalam Yi Jing Kitab Perubahan. Ungkapan yang menyebutkan “langit dan bumi adalah hal yang
misterius dan hitam gelap” berakar dari perasaan orang-orang zaman dahulu ketika melihat langit utara menunjukkan warna hitam misterius
untuk periode waktu yang lama. Mereka mengira bahwa Bintang Utara adalah tempat Tian Di Kaisar Langit bertakhta. Oleh karena itu, warna
hitam dianggap sebagai raja dari semua warna dalam tradisi kuno Tionghoa. Warna hitam juga merupakan satu-satunya warna yang diagungkan dalam
kebudayaan Tionghoa. Dalam diagram Taiji masyarakat Tionghoa, hitam dan putih digunakan untuk melambangkan kesatuan dari Yin dan Yang.
Gambar 6.1 : Tanduk Kepalan Tangan
Universitas Sumatera Utara
Gambar 6.2 : Tanduk Batang Bambu
2. Bunga Pita Merah
Warna merah bagi masyarakat Tionghoa dianggap sebagai simbol pembawa keberuntungan. Warna merah merupakan warna yang mewakili
matahari melambangkan kekuatan yang warnanya sama dengan warna api yang digunakan untuk melawan hewan buas. Selain itu, warna merah juga
dianggap memancarkan perasaan kehangatan dan kebahagiaan. Kemudian, warna merah juga adalah metafora dari warna darah, darah sendiri
merupakan kekuatan hidup yang mendorong semua kehidupan. Dalam bahasa Tionghoa untuk kata-kata “besar” 宏 dan “luas” 洪
pengucapannya mirip dengan kata merah 红, oleh karena itu setiap hal yang mengandung warna merah memiliki kekuatan yang besar.
Sebagai tambahan, kata “pita” dalam bahasa Tionghoa adalah dai 带 yang juga memilki arti lain yakni “membawa”. Karakter huruf Tionghoa
lainnya yang memiliki pengucapan yang sama yakni “generasi” 代. Ketika sebuah pita terlihat mengikat dua atau lebih benda-benda yang membawa
kebaikan, makna yang tersirat tentang pita merah ini adalah “membawa sifat-sifat baik seperti nasib baik, keberuntungan kepada tiap generasi”.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 7 : Bunga Pita Merah
3. Cermin
Pada kostum Barongsai tepatnya didahi terdapat sebuah piringan besi yang melambangkan Cermin Pencerahan Nirwana. Cermin berbentuk
bulat ini dimaksudkan untuk melambangkan keabadian, tapi lebih khususnya adalah pencerahan dan kebijaksanaan yang abadi. Cermin
diletakkan di atas kepala singa karena dalam kebudayaan Tionghoa cermin melambangkan dengan apa yang disebut dengan “mata ketiga”, “mata
Buddha”, “mata kahyangan”, “mata batin”, atau “mata dewa”. Dalam kebudayaan kuno agama Buddha dan Hindu, cermin ini menjadi simbol dari
bentuk pencerahan dan disebut juga sebagai “mata kebijaksanaan”. Diyakini ketika seseorang mengasah mata batin mereka, maka mereka juga
membangun intuisi mereka serta membangun kemampuan untuk menggunakan indra subjektif mereka.
Cermin berbentuk bulat dimaksudkan untuk melambangkan keabadian, tapi lebih khususnya adalah pencerahan dan kebijaksanaan yang
abadi. Cermin ini dimaksudkan untuk menyerap tiga sumber cahaya, yakni matahari, bulan, dan bintang. Namun, cermin ini tidak hanya digunakan
Universitas Sumatera Utara
untuk hanya menerima ketiga sumber cahaya ini untuk meningkatkan kekuatan, namun juga dapat melepaskan kekuatan baik dari cahaya-cahaya
ini untuk menyingkap, menangkal, menekan, dan menghilangkan sifat-sifat jahat. Diyakini pada saat roh-roh jahat melihat bayangan mereka di cermin
itu akan kekejian mereka sendiri. Hal ini sama ibaratnya ketika seseorang telah melakukan suatu tindakan yang salah, kemudian melihat bayangan
dirinya sendiri di cermin lalu tidak dapat menghadapainya karena dia melihat sikap jahat dan buruk yang terpancar ke luar.
Gambar 8 : Cermin pada dahi Barongsai
4.4.3 Makna Pertunjukan Musik