BAB III GAMBARAN UMUM PERTUNJUKAN BARONGSAI
3.1 Sejarah Kedatangan Masyarakat Tionghoa ke Kota Sibolga
Kedatangan masyarakat Tionghoa ke Kota Sibolga sangat sulit ditentukan. Akan tetapi menurut sejarah, dalam konteks Sumatera Utara
masa itu Sumatera Timur terdapat orang Cina yang pertama diangkat oleh Belanda sebagai mayor di Tanah Deli, dia adalah Tjong Yong Hian. Selang
beberapa tahun kemudian yang kedua muncul Tjong A Fie yang diangkat sebagai mayor menggantikan Tjong Yong Hian. Kemudian Tjong A Fie
inilah yang menjadi taipan pertama di Sumatera. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, setiap keturunan
Tionghoa kemudian diintegrasikan serta dibaurkan ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia berdasarkan Pancasila. Sejak saat itu,
masyarakat Tionghoa menyebar ke seluruh daerah di Indonesia, termasuk ke daerah Sumatera hingga akhirnya ke Kota Sibolga.
Hingga saat ini jumlah etnik Tionghoa di Kota Sibolga kian bertambah. Berdasarkan sensus yang diadakan oleh biro pusat statistik Kota
Sibolga untuk laporan tahun 2009, penduduk etnik Tionghoa berjumlah 3000 jiwa dari total penduduk Kota Sibolga sebesar 96.341 jiwa.
Dengan demikian keberadaan etnik Tionghoa di Kota Sibolga tidak dapat dilepaskan dengan keberadaannya di Sumatera Utara. Membicarakan
etnik Tionghoa di Sibolga berarti harus melacak keberadaannya yang
Universitas Sumatera Utara
dimulai dari masa-masa Tjong Yong Hian dan kemudian Tjong A Fie. Ini terjadi ketika dibukanya tembakau Deli di penghujung abad ke-19 di
Sumatera Timur. Mereka datang ke Sumatera Timur awalnya sebagai buruh- buruh di perkebunan.
3.2 Asal Usul Barongsai
Banyak cerita yang berkembang di masyarakat berhubungan dengan asal mula Barongsai di masyarakat Tionghoa. Tidak hanya satu versi yang
menceritakannya. Penulis akan menguraikan beberapa versi asal-usul Barongsai yang penulis peroleh dari media massa dan dari masyarakat etnik
Tionghoa itu sendiri. Versi pertama yang berkembang di kalangan etnik Tionghoa adalah
cerita tentang seorang utusan asing dari barat atau lebih tepatnya dari Kerajaan Partia diutus untuk menjalin hubungan perdagangan yang
bersahabat dengan Cina pada masa Dinasti Han. Ia disambut dengan jamuan besar-besaran dan hiburan. Bagian dari hiburan yang ditampilkan adalah
tarian yang menampilkan para penari yang memakai berbagai macam kostum hewan. Utusan tersebut kemudian tidak melihat adanya sosok singa
di antara kostum-kostum yang dipakai oleh penari. Melalui hasil penelusurannya, ia mendapati fakta bahwa bangsa Cina sama sekali belum
pernah melihat singa sebelumnya. Sang utusan kemudian menjelaskan pada anggota dewan kekaisaran bahwa di negaranya singa dianggap sebagai raja
hewan. Waktupun berselang, sang utusan kembali dan membawa singa yang
Universitas Sumatera Utara
dikirim oleh Raja Partia sebagai bagian dari penghormatan kepada kaisar hadiah yang dianggap langka dan eksotis dianggap sebagai penghargaan
tertinggi oleh dewan kekaisaran dan dengan demikian berhasil menjalin hubungan kerjasama yang baik. Sejak saat itu sosok singa diyakini sebagai
simbol keberuntungan karena membawa pembaharuan perdamaian, kebahagiaan, dan kemakmuran bagi masyarakat Tionghoa.
Diyakini bahwa singa yang telah diperkenalkan kepada bangsa Cina sebagai penghargaan kepada kekaisaran kadang-kadang akan dibawa keluar
untuk menjadi tontonan publik. Karena kelangkaan dan kesulitan dalam penanganannya, dimunculkanlah suatu bentuk tarian atau sandiwara yang
menirukan penampilan singa dan gerakannya. Seiring berjalannya waktu, cerita-cerita tentang mitos dan ajaran agama Buddha ditambahkan ke dalam
cerita pertunjukan tersebut. Versi kedua adalah diyakini bahwa seekor singa ditugaskan oleh
Kaisar Langit untuk menjaga bunga keabadian. Namun sang singa tergoda dan akhirnya memakan bunga tersebut. Ketika Kaisar Langit mengetahui
perihal ini, ia marah besar, karena ini bukanlah kecerobohan pertama yang pernah dilakukan oleh sang singa. Kemudian kaisar memerintahkan untuk
memotong tanduknya sumber hidupnya dan mengusirnya dari langit. Dewi Welas Asih, Guan Yin, melihat apa yang terjadi dan merasa kasihan kepada
singa sang singa, meskipun tanduknya telah dipotong, tidak mati karena telah memakan bunga keabadian. Dewi Guan Yin mengikat kembali
tanduknya ke kepala singa dengan pita merah dan dedaunan emas. Sang singa merasa sangat bersyukur dan menyesali tindakan cerobohnya
Universitas Sumatera Utara
kemudian berjanji untuk melakukan perbuatan baik. Oleh karena itu, jika kita melihat singa Barongsai dari dekat, dapat dilihat adanya pita merah
yang melilit pada tanduknya. Versi ketiga adalah suatu saat di masa lalu, ada seorang kaisar yang
memelihara berbagai macam hewan eksotis. Di antara koleksi hewan-hewan itu, favoritnya adalah singa. Hingga pada suatu hari, singa itu jatuh sakit dan
mati tidak lama setelahnya. Dengan kematian singa peliharaan favoritnya, kaisar memutuskan turun dari singgasananya dan jatuh dalam kesedihan
yang mendalam hingga kemudian ia sendiri jatuh sakit. Cemas, para pejabat kekaisaran bingung harus melakukan apa karena tidak ada cara yang
berhasil untuk mengembalikan keceriaan sang kaisar. Akhirnya, seorang anggota kekaisaran mengambil mayat singa dan membuat kostum dari
kulitnya. Dua pemuda yang memiliki badan lentur dan atletis kemudian dilatih untuk menirukan gerakan singa. Berselang beberapa hari kemudian
singa itu diserahkan kepada kaisar. Melihat singa kesayangannya, kaisar segera memperoleh kesenangannya kembali. Pada waktu kejadian itu
tersebar ke publik, mereka pun membuat tiruan kostum singa dan menirukan gerakannya serta menambah unsur musik dan tarian ke dalam
pertunjukannya. Dari wawancara penulis dengan Mestika Nauli selaku sekretaris
komunitas Barongsai di Kota Sibolga, diketahui bahwa masuknya kesenian Barongsai di Kota Sibolga tepatnya di tahun 2008. Awalnya sulit diterima
oleh masyarakat pribumi di Kota Sibolga. Kini, pertunjukan Barongsai di Kota Sibolga merupakan kesenian yang paling ditunggu-tunggu
Universitas Sumatera Utara
penampilannya oleh masyarakat Tionghoa dan masyarakat pribumi. Pertunjukan Barongsai mampu menyatukan berbagai etnik di Kota Sibolga.
3.3 Jenis Barongsai