PERSEPSI ELIT PARTAI POLITIK LAMPUNG TERHADAP WACANA PEMILIHAN GUBERNUR OLEH DPRD PROVINSI

(1)

ABSTRAK

PERSEPSI ELIT PARTAI POLITIK LAMPUNG TERHADAP WACANA PEMILIHAN GUBERNUR OLEH DPRD PROVINSI

Oleh

Aris Ali Ridho

Sejak diberlakukan pada 1 Juni 2005, pelaksanaan pilkada langsung selama ini masih banyak menimbulkan persoalan. Atas dasar tersebut, pemerintah melalui Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) mengusulkan wacana agar gubernur tidak lagi dipilih secara langsung oleh rakyat, melainkan dikembalikan pemilihannya seperti dahulu, yaitu dipilih oleh DPRD Provinsi. Wacana tersebut diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada yang merupakan bagian dari revisi UU nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). Tujuan penelitian untuk mengetahui Persepsi Elit Partai Politik Lampung Terhadap Wacana Pemilihan Gubernur Oleh DPRD Provinsi. Rumusan masalah penelitian ini adalah Bagaimanakah Persepsi Elit Partai Politik Lampung Terhadap Wacana Pemilihan Gubernur Oleh DPRD Provinsi.

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan analisis wacana kritis. Penelitian ini bertujuan untuk membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis, faktual, tajam, dan akurat mengenai fakta-fakta yang sedang diteliti dengan mengungkap kegiatan, pandangan, dan identitas berdasarkan bahasa yang digunakan dalam wacana.

Hasil penelitian yang diperoleh bahwa enam dari sebelas elit partai politik yang diwakili oleh Partai Demokrat, Partai Golkar, PAN, Partai Hanura, PKB, dan PKPB, menyatakan setuju terhadap wacana pemilihan gubernur oleh DPRD Provinsi. Sementara PDI Perjuangan, PKS, Partai Gerindra, dan PPP menyatakan menolak terhadap wacana tersebut. Sedangkan PDK menyatakan netral atas wacana tersebut, karena tidak memiliki kekuatan politik di DPR RI.


(2)

ABSTRACT

PERCEPTIONS OF ELITE POLITICAL PARTIES IN LAMPUNG ABOUT DISCOURSE OF GOVERNOR ELECTION BY

PROVINCIAL PARLIAMENT

By

Aris Ali Ridho

Since held for the first time on June 1, 2005, the implementation of direct elections still cause a lot of problem. From this problem, the government through the Ministry of Home Affairs (MOHA) proposed a discourse that governor is no longer elected directly by the people, but returned as at the first election, which is elected by the Provincial Parliament. The discourse is arranged in the plan of law which is part of the Election Law revision number 32 of 2004 about Regional Government.

The purpose of research is for determining perceptions elite political parties in Lampung about discourse of governor election by provincial parliament. The formulation of this research is how about perceptions of political parties elite in Lampung about discourse of governor election by provincial parliament.

Type of research used in this research is descriptive research with approach critical discourse analysis. This study aims to create a systematical, factual, sharp, and accurate description about the facts that are being studied by exposing the activities, views, and identities based on language used in the discourse.

The results obtained are that six of eleven political parties elite are represented by the Democratic Party, the Golkar Party, PAN, Hanura, PKB, and PKPB, expresing agreement to the discourse of the governor election By provincial parliament. While the Democratic Party of Struggle (PDI-P), PKS, Gerindra and PPP claim to reject the discourse. While the PDK claimed neutrality about the discourse, because it does not have the political power in the House of Representatives.


(3)

PERSEPSI ELIT PARTAI POLITIK LAMPUNG

TERHADAP WACANA PEMILIHAN GUBERNUR

OLEH DPRD PROVINSI

(Skripsi)

Oleh

ARIS ALI RIDHO

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2013


(4)

PERSEPSI ELIT PARTAI POLITIK LAMPUNG

TERHADAP WACANA PEMILIHAN GUBERNUR

OLEH DPRD PROVINSI

Oleh

ARIS ALI RIDHO

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA ILMU PEMERINTAHAN

Pada

Jurusan Ilmu Pemerintahan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2013


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

Daftar isi ... i

Daftar Tabel………..…………....……….. iv

Daftar Gambar ... v

I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C.Tujuan Penelitian ... 12

D.Kegunaan Penelitian ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Persepsi ... 13

B. Konsep Elit Partai Politik... 19

1. Elit…... 19

2. Partai Politik ... 22

3. Elit Partai Politik ...…...…...…………..……….. 26

C. Konsep Wacana ..……….. 28

D. Konsep Demokrasi………... 30

1. Demokrasi Langsung………... 33

2. Demokrasi Tidak Langsung…...……... 35

3. Sistem Pemilu………...………....…...….. 36

E. Konsep Pemilihan Gubernur... 42

1. Pilkada Langsung ... 43

2. Pilkada Tidak Langsung ………….………... 47

F. Kerangka Pikir ... 50

III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian ... 55

B. Fokus Penelitian ... 58

C. Lokasi Penelitian ... 59

D. Jenis Data ... 59

E. Penentuan Informan ... 60

F. Teknik Pengumpulan Data ... 62

G. Teknik Pengolahan Data ... 63

H. Teknik Analisis Data ... 64

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Profil DPRD Provinsi Lampung………. 68

B. Profil Partai Politik………. 71


(6)

ii

a. Sejarah Singkat Partai Demokrat………... 71

b. DPD Partai Demokrat Provinsi Lampung………... 74

2. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)……….. 74

a. Sejarah Singkat PDIP………. 74

b. DPD PDIP Provinsi Lampung……… 78

3. Partai Golkar…...…….………....………. 78

a. Sejarah Singkat Partai Golkar…... 78

b. DPD Partai Golkar Provinsi Lampung………...…. 82

4. Partai Keadilan Sejahtera (PKS)...…….…...…...… 83

a. Sejarah Singkat PKS……….. 83

b. DPW PKS Provinsi Lampung………….……….………….. 84

5. Partai Amanat Nasional (PAN)………...…….…… 85

a. Sejarah Singkat PAN……….. 85

b. DPW PAN Provinsi Lampung…...……….………... 86

6. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)... 87

a. Sejarah Singkat Partai Gerindra………...…...…. 87

b. DPD Partai Gerindra Provinsi Lampung……… 90

7. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)………. 90

a. Sejarah Singkat Partai Hanura……….... 90

b. DPD Partai Hanura Provinsi Lampung……….. 93

8. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)……….……….. 94

a. Sejarah Singkat PKB……….. 94

b. DPW PKB Provinsi Lampung……… 97

9. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)………....…...… 97

a. Sejarah Singkat PPP………... 97

b. DPW PPP Provinsi Lampung………. 99

10.Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB)…....………...…...… 100

a. Sejarah Singkat PKPB………....……… 100

b. DPD PKPB Provinsi Lampung……….. 101

11.Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK)……….. 102

a. Sejarah Singkat PDK………....……….. 102

b. DPP PDK Provinsi Lampung………. 103

C. Keterangan Informan………....………...……..………. 103

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian………. 106

1. Respons………...… 107

a. Aspek Biaya Penyelenggaraan Pilgub Langsung yang Ditanggung Oleh Pemerintah Melalui APBD……….. 108

b. Aspek Biaya Politik yang Dikeluarkan Oleh Para Calon dalam Pilkada Langsung yang Menjadi Salah Satu Faktor Banyaknya Kepala Daerah Tersangkut Kasus Korupsi….. 110

c. Aspek Otonomi Daerah yang Berada di Kabupaten/Kota, Bukan di Provinsi……….…. 113

d. Aspek Demokratis dalam Pemilihan Gubernur Oleh DPRD Provinsi…....……..……....………....……… 117

e. Praktik Money Politic dalam Pemilihan Gubernur oleh Anggota DPRD Provinsi………...…....…… 120

f. Posisi Anggota DPRD Sebagai Representasi dari Rakyat.... 123


(7)

2. Sikap………...…....…....………...…… 127

a. Sikap Partai Politik Lampung Terhadap Wacana Pemilihan Gubernur Oleh DPRD Provinsi…….….…....….. 127

b. Tawaran Solusi Terkait Mahalnya Biaya Penyelenggaraan Pilkada Gubernur yang Dikeluarkan Pemerintah…... 129

c. Tawaran Solusi Terkait Mahalnya Biaya Politik yang Dikeluarkan Para Calon Dan Menjadi Salah Satu Faktor Banyaknya Kepala Daerah Yang Tersangkut Kasus Korupsi…...…...…....…………....… 130

d. Sikap Terhadap Pendapat Bahwa Pemilihan Gubernur Melalui DPRD Adalah Kemunduran Demokrasi…... 134

e. Mengusung Kader Internal Untuk Maju dalam Pemilihan Gubernur………...………... 137

f. Partai Akan Memerintahkan atau Mengintruksikan Kepada Anggota DPRD Untuk Memilih Calon Gubernur yang Akan Diusung Partai……….…...………….…… 140

B. Pembahasan Hasil Penelitian…....…... 142

1. Analisis Pada Aspek Biaya Penyelenggaraan………....…. 148

2. Analisis Pada Aspek Biaya Politik………...………... 158

3. Analisis Pada Aspek Otonomi Daerah…....…....…....………… 170

4. Analisis Pada Aspek Demokrasi…....………..…....…....……... 180

VI. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan………..…….. 193

B. Saran………...………....………...……...……...……… 196

VII.DAFTAR PUSTAKA


(8)

iv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Daftar Anggota DPRD Provinsi Lampung Hasil Pemilu 2009... 69

Tabel 2. Keterangan Informan……..…...…... 104

Tabel 3. Tawaran Solusi Mengatasi Biaya Politik…... 134

Tabel 4. Kader Internal Partai yang Akan Diusung Pada Pilgub... 138

Tabel 5. Perbandingan Pilgub Langsung dan Pilgub Oleh DPRD... 145

Tabel 6. Petugas Pemilu Non-Staf Sekretariat…………....………...… 151

Tabel 7. Matriks Aspek Biaya Penyelenggaraan...……..……....….… 155

Tabel 8. Modus Politik Uang Dalam Pilkada…....…………... 160

Tabel 9. Matriks Aspek Biaya Politik….……….…... 166

Tabel 10. Matriks Aspek Otonomi Daerah…... 176


(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Penilaian Atas Pemilihan Gubernur... 7 Gambar 2. Bagan persepsi…...…...… 17 Gambar 3. Kerangka Pikir ... 54 Gambar 4. Perbandingan Jumlah Kepala Daerah Yang Tersangkut


(10)

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:

Abdullah, Rozali. 2011. Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung. PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta.

Aini, Nurul dan Ng. Philipus. 2006. Sosiologi dan Politik. PT Raja Grafindo. Jakarta.

Amal, Ichlasul. 1996. Teori-Teori Mutakhir Partai Politik. PT Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta.

Asshiddiqie, Jimly. 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. PT BIP (Kelompok Gramedia). Jakarta.

Budiardjo, Miriam. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT. Garamedia Pustaka. Jakarta.

Firmanzah. 2008. Mengelola Partai Politik. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. Hakim, Abdul Aziz. 2011. Negara Hukum Dan Demokrasi Di Indonesia. Pustaka

Pelajar. Yogyakarta.

Harris, Syamsudin. 1998. Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Haryanto. 1990. Elit, Massa dan konflik. Pusat Antar Universitas-Studi Sosial. UGM. Yogyakarta

Hasan, I. 2004. Analisis Dana Penelitian Dengan Statistik. Bumi Aksara. Jakarta. Karim, Abdul Gaffar. 2006. Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di

Indonesia. Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UGM – Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Marijan, Kacung. 2010. Sistem Politik Indonesi; Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru. Kencana. Jakarta.


(11)

Moleong, Lexy J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosda Karya. Bandung.

Mulyana, Deddy. 2000. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Nurtjahjo, Hendra. 2006. Filsafat Demokrasi. Bumi Aksara. Jakarta.

Rakhmat, Jalaludin. 2002. Psikologi Komunikasi. Edisi Revisi. PT.Remaja Rosdakarya. Bandung.

Setiyanto, Agus. 2001. Elite Pribumi Bengkulu. Balai Pustaka. Jakarta. Sobur, Alex. 2003. Psikologi Umum. Pustaka Setia. Bandung.

Suharizal. 2011. Pemilukada; Regulasi, Dinamika, dan Konsep Mendatang. PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta.

Sukardi. 2005. Metodelogi Ilmu Pendidikan. Bumi Aksara. Jakarta.

Sumarno, A.P. 1989. Dimensi-dimensi Komunikasi Politik. PT Acitra Aditya Bakti. Bandung.

Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Grasindo. Jakarta.

S.H. Sarundajang. 2012. Pilkada Langsung; Problematika dan Prospek. Edisi Revisi. Kata Hasta Pustaka. Jakarta.

Syafiie, Inu Kencana. 2001. Pengantar Ilmu Pemerintahan. PT Refika Aditama. Bandung

Syarbaini, Syahrial. 2010. Implementasi Pancasila Melalui Pendidikan Kewarganegaraan. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Ibrahim, Abdul Syukur. (Ed.). 2009. Metode Analisis Teks dan Wacana. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Thoha, Miftah. 2000. Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Umar, Husein. 2003. Metode Riset Perilaku Organisasi. Gramedia Pustaka utama. Jakarta

Fatimah, Dati dan Ismail, Ahmad Faisal. 2009. DPR Uncensored. PT Bentang Pustaka. Yogyakarta.


(12)

Sumber Jurnal dan Makalah:

Jainuri. 2011. Orang Kuat Partai Di Aras Lokal : Blater Versus Lora Dalam Percaturan Politik. Jurnal Dosen Ilmu Pemerintahan. UMM. Malang. Syawawi, Reza. dan Agustyati, Khoirunnisa Nur. Membunuh Demokrasi Lokal:

Mengembalikan Pemilihan Gubernur Kepada DPRD Provinsi. Jurnal Pemilu dan Demokrasi, Edisi 4 - November 2012. Perludem.

Widjojanto, Bambang. Pemilihan Langsung Kepala Daerah ; Upaya Mendorong Proses Demokratisasi. Makalah Pada Seminar Nasional Pemilihan Langsung Kepala Daerah Sebagai Wujud Demokrasi Lokal. Adeksi 2003.

Sumber Produk Hukum dan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum.

Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2008 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah.


(13)

Radar Lampung. Hanya Tiga Gubernur di Sumatera Steril Korupsi. Berita Utama, Hal 1. Jumat, 20 April 2012

Lampung Post. 94% Kepala Daerah Pecah Kongsi. Berita Utama, Hal 1. Senin, 26 Desember 2011.

Sumber Internet:

Cermin Politik Perawat Indonesia. Komunikasi Politik. Makalah. http://titin-ums.blogspot.com/2009/06/komunikasi-politik.html. Diakses pada 10 Juni 2012. 20.13 WIB.

Denara, Eldo. 2010. Mengenal Impeachment Di Indonesia. Matahati FH Unnes. http://matahatifh.wordpress.com/2010/01/24/mengenal-impeachment-di-indonesia-oleh-eldo-denara/. Diakses pada 13 Juli 2012, 20.37 WIB. Detik News. Ini Alasan Pemerintah Mengapa Gubernur Tak Perlu Lagi Dipilih

Langsung. Jumat, 08 Juni 2012. http://news.detik.com/read/2012/06/08/081311/1935904/10/?992204topne ws . Diakses pada 5 Juni 2012. 18:04 WIB.

Kementrian Dalam Negeri RI. Pilgub Oleh DPRD Lebih Efektif. Berita. Kamis, 07 Juni 2012. http://www.depdagri.go.id/news/2012/06/07/pilgub-oleh-dprd-lebih-efektif . Diakses pada 5 Juni 2012. 18:00 WIB.

Kementrian Dalam Negeri RI. Keterangan Pemerintah Atas Rancangan Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah. Berita. Selasa, 03 April 2012. http://www.depdagri.go.id/news/2012/04/03/keterangan-pemerintah-atas-rancangan-undang-undang-tentang-pemerintahan-daerah. Diakses pada 5 Juni 2012. 18:10 WIB.

Kementrian Dalam Negeri RI. Dipilih DPRD, Kewenangan Gubernur Diperkuat.

Berita. Rabu, 24 Agustus 2011.

http://www.depdagri.go.id/news/2011/08/24/dipilih-dprd-kewenangan-gubernur-diperkuat. Diakses pada 5 Juni 2012. 18:05 WIB.

Kementrian Dalam Negeri RI. ADPSI Usul Gubernur Dipilih DPRD. Berita. Kamis, 10 Maret 2011. http://www.depdagri.go.id/news/2011/03/10/adpsi-usul-gubernur-dipilih-dprd. Diakses pada 5 Juni 2012. 18:16 WIB.

Kompas Online. Biaya Pilkada Rp 15 Triliun. Sabtu, 24 Juli 2010. http://nasional.kompas.com/. Diakses pada 12 Desember 2012. 14:35 WIB.


(14)

LSI Netrwork – Linkaran Survei Indonesia. Evaluasi Pelaksanaan Pilkada di Mata Publik. Kajian Bulanan. Sabtu, 5 Maret 2011. http://lsinetwork.co.id/publikasi/kajian-bulanan/evaluasi-pelaksanaan-pilkada-di-mata-publik-2.html. Diakses pada 9 Juli 2012, 14.57 WIB. Marwanto, Eko. Pemilihan Kepala Daerah Sesuai Dengan Konteks Zaman,

http://www.ekomarwanto.com/2011/12/emilihan-kepala-daerah-sesuai-dengan.html. Diakses pada 7 Juli 2012, 13.57 WIB.

Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI. Pernyataan pers hasil survei Ealuasi Pilkada 2010-2011 Pada 11 Oktober 2012. www.politik.lipi.go.id. Diakses pada 5 November 2012, 13.20 WIB.

Republika Online. Seperti Zaman Orba, Kepala Daerah Kembali Dipilih DPRD.

Berita. Rabu, 30 November 2011.

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/11/30/lvgrtz-seperti-zaman-orba-kepala-daerah-kembali-dipilih-dprd. Diakses pada 5 Juni 2012. 18: 20:03 WIB.

Riduan. NPM : 2009130011. Sistem Pemilu. Makalah. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik – Universitas Muhamadiyah Jakarta. 2010. http://www.slideshare.net/reedwaan/sistem-pemilu. Diakses pada 5 Juni 2012. 14.13 WIB.

Sigit Sumarhaen Yanto. Pilkada Langsung Dan Tidak Langsung Terhadap Proses Demokratisasi. Artikel. http://sigitmarhaen.blogspot.com/2011/05/pilkada-langsung-dan-tidak-langsung.html. Diakses pada 10 Juni 2012. 20.37 WIB.

Suara Publik. Kontroversi Gubernur Dipilih DPRD. Minggu, 27 Oktober 2011. http://www.suarapublik.co.id/index.php?option=com_content&view=articl

e&id=96:kontroversi-gubernur-dipilih-dprd&catid=41:pemilukada&Itemid=177 . Diakses pada 9 Juni 2012. 15.12 WIB.

Zik Afrihadi. Pengantar Politik - Elit Politik. Materi Kuliah. http://zikafrihadi.blogspot.com/2012/03/pengantar-politik-elit-politik.html. Diakses pada 10 Juni 2012. 20.30 WIB.


(15)

(16)

Judul Skripsi : PERSEPSI ELIT PARTAI POLITIK LAMPUNG TERHADAP WACANA

PEMILIHAN GUBERNUR OLEH

DPRD PROVINSI

Nama Mahasiswa : ARIS ALI RIDHO

Nomor Pokok Mahasiswa : 0816021023

Jurusan : Ilmu Pemerintahan

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Dr. Pitojo Budiono, M.Si. Darmawan Purba, S.IP., M.IP.

NIP. 19640508199303 1 004 NIP. 19810601201012 1 003

2. Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan

Drs. Aman Toto Dwijono, M.H.


(17)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Dr. Pitojo Budiono, M.Si. ________________

Sekretaris : Darmawan Purba, S.IP., M.IP. ________________

Penguji

Bukan Pembimbing : Dr. Syarief Makhya. ________________

2. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Drs. Agus Hadiawan, M.Si.

NIP. 19580109 198603 1 002


(18)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak reformasi, Indonesia telah dua kali membentuk Undang-Undang tentang pemerintahan daerah dengan beberapa kali perubahan.1 Perubahan UU Nomor 22 Tahun 1999 menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 melahirkan beberapa perubahan yang signifikan yang pada dasarnya ditujukan untuk meredakan konflik kewenangan antara pusat dengan daerah dan juga ketegangan yang timbul antara hubungan kepala daerah dengan DPRD yang sangat diwarnai oleh nuansa legislative heavy. 2 Nuansa ini dapat terlihat khususnya terkait dengan Laporan Pertanggung Jawaban Kepala Daerah kepada DPRD yang sering dijadikan instrumen untuk melakukan ancaman

impeachment 3 terhadap kepala daerah yang sering kemudian diakhiri dengan

1

Yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 2

legislative heavy adalah dominasinya kekuatan politik oleh lembaga legislatif atau DPR/DPRD. Kondisi ini memungkinkan menguatnya kekuatan politik parlemen untuk memonitor dan meminta pertanggungjawaban dari pemerintah. Pada masa Orde Baru, parlemen tak ubahnya stempel karet bagi kebijakan pemerintah. Dahulu DPR/DPRD hanya mengesahkan saja usulan kebijakan, tanpa kritik dan bahkan tanpa perubahan. Saat itu, walaupun DPR/DPRD memiliki peran legislasi, pengawasan, dan anggaran, dalam pelaksanaannya tidak bisa berjalan. Arah kebijakan DPR/DPRD, bukanlah ditentukan dalam ruang sidang, tetapi tergantung arah angin yang ditiupkan dari ekskutif. Baca, Dati Fatimah dan Ahmad Faisal Ismail. 2009. DPR Uncensored. PT Bentang Pustaka. Yogyakarta. hal. 26.

3

Istilah impeachmentberasal dari kata “to impeach”, yang berarti meminta pertanggungjawaban. Jika tuntutannya terbukti, maka hukumannya adalah “removal from office”, atau pemberhentian

dari jabatan. Dengan kata lain, kata “impeachment” itu sendiri bukanlah pemberhentian, tetapi baru bersifat penuntutan atas dasar pelanggaran hukum yang dilakukan. Oleh karena itu, dikatakan


(19)

berbagai kompromi politik yang kurang ada kaitannya dengan peningkatan kinerja kepala daerah.

Sejak diberlakukannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, banyak aspek positif yang diharapkan dalam pemberlakuan undang-undang tersebut. Otonomi daerah memang dapat membawa perubahan positif di daerah dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena sistem pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku pembangunan yang tidak begitu penting atau sebagai pelaku pinggiran. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah sangat baik, yaitu untuk memberdayakan daerah, termasuk masyarakatnya, mendorong prakarsa dan peran serta masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan.

Pada masa lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih pemerataan pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah justru mengalami proses pemiskinan yang luar biasa. Adanya kewenangan yang di dapat daerah dari pelaksanaan otonomi daerah, banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah keadaan yang tidak menguntungkan tersebut.

Perubahan signifikan lainnya dalam koridor UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah diterapkannya pemilihan langsung oleh rakyat terhadap pemilihan

Charles L. Black, “Strictly speaking, „impeachmentmeans ‘accusating’ or ‘charge’.” Artinya,

kata impeachment itu dalam bahasa Indonesia dapat kita alih bahasakan sebagai dakwaan atau tuduhan. Dikutip dari, Eldo Denara. 2010. Mengenal Impeachment Di Indonesia. Matahati FH Unnes. http://matahatifh.wordpress.com/2010/01/24/mengenal-impeachment-di-indonesia-oleh-eldo-denara/


(20)

3

kepala daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. Beralihnya pemilihan kepala daerah (pilkada) dari di pilih melalui DPRD sebagaimana diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 menjadi dipilih langsung rakyat menyebabkan beralihnya pertanggung jawaban kepala daerah dari tadinya kepada DPRD menjadi kepada rakyat.

Pilihan berdemokrasi secara langsung ternyata tidaklah mudah diterapkan. Pilkada langsung hampir selalu menimbulkan konflik, meskipun sebagian dapat diselesaikan melalui prosedur hukum, tetapi sebagian tidak jarang berdampak komunal, vertikal, dan atau horizontal. Sebagian konflik disebabkan ketidaksiapan elit politik menerima kekalahan, tetapi sebagian besar karena politik uang maupun kecurangan incumbent.4 Kemudian, pada umumnya calon incumbent juga sering melakukan kecurangan berupa penyalahgunaan fasilitas, dana, dan kepegawaian termasuk penyelenggara pilkada.

Faktor money politic, biaya pilkada langsung yang cukup tinggi, dan biaya penyelenggaraan pemilihan gubernur bisa menghabiskan dana ratusan miliar serta implikasi politiknya cukup tinggi inilah yang kemudian menjadi salah satu catatan penting yang perlu di jadikan pekerjaan rumah bersama bangsa ini.

Biaya politik yang mencapai ratusan miliar rupiah dalam pilkada gubernur menurut Kementrian Dalam Negeri juga merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan banyaknya kepala daerah yang tersangkut korupsi.

4

Calon incumbent adalah seseorang yang masih memiliki jabatan sebagai pejabat publik (presiden, gubernur, bupati/walikota) dan ingin mencalonkan kembali untuk periode berikutnya.


(21)

Kementrian Dalam Negeri mencatat, selama tahun 2012 sebanyak 173 kepala daerah tersangkut kasus korupsi, terdiri dari beberapa status mulai dari saksi, tersangka, terdakwa hingga terpidana.5

Biaya penyelenggaraan pilkada gubernur secara langsung, selama ini juga terhitung sangat mahal. Pada pelaksanaan pilkada Gubernur Lampung tahun 2008 yang lalu, anggaran yang dikeluarkan untuk biaya penyelenggaraan pilkada gubernur mencapai Rp 95,8 miliar.6 Sedangkan menurut informasi dari Kementrian Dalam Negeri, pada pilkada Gubernur Jawa Timur tahun 2008, biaya penyelenggaraannya menghabiskan Rp 970 miliar, biaya tersebut hanya sebatas biaya penyelenggaraan pilkada, belum termasuk biaya politik yang dikeluarkan masing-masing calon kepala daerah yang nilainya mencapai puluhan bahkan ratusan miliar. 7

Menurut Kementrian Dalam Negeri, biaya pemilihan langsung gubernur dan wakil gubernur yang terlampau mahal, mencapai ratusan miliar rupiah, tentunya sama sekali tidak berkorelasi dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Kondisi demikian, yang pada gilirannya berdampak kepada masyarakat semakin jenuh, apatis dengan politik, dan tidak percaya pada sistem demokrasi.8 Beberapa fenomena seperti yang telah diuraikan diatas tersebut memunculkan wacana dari pemerintah tentang pemilihan gubernur

5

Radar Lampung. Hanya Tiga Gubernur di Sumatera Steril Korupsi. Berita Utama, Hal 1. Jumat, 20 April 2012

6

Data KPUD Provinsi Lampung tahun 2008 tetang anggaran penyelenggaraan Pilgub tahun 2008. (Rician dana terlampir).

7

Republika Online. Seperti Zaman Orba, Kepala Daerah Kembali Dipilih DPRD. Rabu, 30/11/2011 http://www.republika.co.id/ .

8 Ibid.


(22)

5

melalui DPRD provinsi, seperti yang pernah dipraktikkan pada masa lalu dengan penyesuaian seperlunya.

Pemerintah melalui Kementrian Dalam Negeri, telah mengajukan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemillihan Kepala Daerah. RUU tersebut merupakan bagian dari revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) yang di dalamnya mengatur pemilihan gubernur secara langsung. Subtansi dari RUU Pilkada di antaranya diatur tentang pemilihan gubernur yang dilaksanakan oleh DPRD Provinsi.9

Paling tidak ada tiga argumentasi yang dikemukakan oleh Menteri Dalam Negeri berkaitan dengan ide agar gubernur tidak lagi dipilih secara langsung.10

1. Untuk mengeliminasi keletihan psiko-politik rakyat, di mana hal ini menjadi wajar apabila kita simulasikan secara maksimal seorang yang telah memiliki hak pilih di Indonesia akan melakukan pemilihan sebanyak 7 (tujuh) kali dalam rentang waktu 5 (lima) tahun, di mana jumlah tersebut belum termasuk pelaksanaan pilkada ulang yang terjadi di beberapa daerah. Kondisi ini pada gilirannya menyebabkan tumbuhnya gejala pragmatisme di tengah masyarakat.

2. Untuk mereduksi praktik politik uang yang menyebabkan dekadensi moral masyarakat dan degradasi kualitas demokrasi kita.

3. Dapat mengefisienkan dana penyelenggaraan pemilihan gubernur, yang dalam catatan Kementerian Dalam Negeri pernah mencapai besaran Rp 1 triliun rupiah dalam pemilihan gubernur Jawa Timur yang berlangsung dalam 2 putaran dan diulang pelaksanaannya di sejumlah daerah.

9

Salah satu kesepakatan yang telah ditetapkan oleh DPR dan Pemerintah adalah memecah UU Pemerintahan Daerah kedalam 3 (tiga) undang-undang yaitu Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang tentang Desa dan Undang-Undang tentang Pilkada. Kemudian pada 24 Januari lalu pemerintah melalui Kementrian Dalam Negeri, telah mengajukan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemillihan Kepala Daerah

10

Detik News. Ini Alasan Pemerintah Mengapa Gubernur Tak Perlu Lagi Dipilih Langsung. Jumat, 08 Juni 2012.


(23)

Meski demikian tidak semua setuju dengan ide pemilihan gubernur secara langsung. Ada ahli dan pengamat yang tetap setuju agar pemilihan gubernur bisa dipilih secara langsung seperti halnya pemilihan bupati/walikota. Mereka yang setuju beralasan bahwa dengan pilkada langsung rakyat/pemilih mempunyai kesempatan untuk memilih calon yang diinginkan dan dianggap terbaik.11

Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada bulan Oktober 2010 yang lalu pernah melakukan survei khusus mengenai bagaimana publik menilai ide pemilihan gubernur secara tidak langsung. Dari survei tersebut diperoleh hasil bahwa meski publik kecewa terhadap hasil pilkada tetapi publik masih menginginkan agar kepala daerah tetap dipilih secara langsung. Publik menganggap bahwa pemilihan langsung adalah cara terbaik untuk memilih kepala daerah. Survei ini dilakukan dengan menggunakan metode penarikan sampel Multistage Random Sampling (MRS). Jumlah sampel sebanyak 1.000 orang responden dengan tingkat kesalahan sampel (sampling error) sebesar plus minus 4%. Hasil survei yang dilakukan oleh LSI memperlihatkan mayoritas publik tetap menginginkan agar pemilihan gubernur dipilih secara langsung. Sebanyak 66,2% menginginkan agar gubernur dipilih langsung. Sebanyak 13% publik setuju jika gubernur dipilih oleh DPRD, dan 9,7% setuju jika gubernur dipilih oleh presiden.12

11

Suara Publik. Kontroversi Gubernur Dipilih DPRD. Minggu, 27 Oktober 2011. 12

LSI Netrwork – Linkaran Survei Indonesia. Evaluasi Pelaksanaan Pilkada di Mata Publik. Kajian Bulanan. Sabtu, 5 Maret 2011.


(24)

7

Hasil Survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Tentang Evaluasi Pilkada di Mata Publik Tahun 201013

Gambar 1. Penilaian Atas Pemilihan Gubernur

Dalam Undang–Undang Dasar (UUD) 1945, memang disebutkan bahwa gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.14Frasa “dipilih secara

demokratis” bersifat luwes, sehingga mencakup pengertian pemilihan kepala daerah langsung maupun oleh DPRD. UUD ini tidak ada mewajibkan pemilihan gubernur dipilih secara langsung oleh rakyat seperti DPR-RI, DPD-RI, DPRD, dan Presiden. Gubernur sebagai kepala daerah sebenarnya kekuasaannya sangat kecil, gubernur banyak mengerjakan tugas-tugas limpahan pusat. Gubernur sebagai kepala daerah berfungsi selaku wakil

13

LSI Netrwork – Linkaran Survei Indonesia. Evaluasi Pelaksanaan Pilkada di Mata Publik. Kajian Bulanan. Sabtu, 5 Maret 2011.

14

Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.

0

10

20

30

40

50

60

70

Gubernur sebaiknya dipilih langsung oleh rakyat Gubernur sebaiknya dipilih oleh DPRD Gubernur sebaiknya dipilih oleh presiden

Tidak tahu / tidak jawab


(25)

pemerintah di daerah yang menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah pusat dalam pembinaan dan pengawasan urusan pusat pada strata pemerintahan kabupaten dan kota. Sifatnya hanya pembinaan, pengawasan, koordinasi, dan fasilitasi.

Rencana pengembalian mekanisme pemilihan gubernur kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau ditunjuk oleh Presiden, menurut pemerintah tidak hanya sekadar persoalan menghemat biaya tetapi bagaimana mengubah titik berat otonomi daerah yang kini di kabupaten/kota menjadi di provinsi. Titik berat di provinsi akan mempengaruhi mekanisme pemilihan gubernurnya.

Pelaksanaan otonomi daerah selama ini di titikberatkan di kabupaten/kota, hal ini sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sejak dulu atau sebelum otonomi daerah diberlakukan tahun 1999, UU Pemerintahan Daerah selalu mengatur titik berat otonomi daerah di kabupaten/kota. Hal tersebut mengingat daerah kabupaten/kota merupakan pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat. Berbeda dengan DKI Jakarta yang berstatus khusus yang merupakan otonomi di provinsi sesuai dengan kekhususan daerah. UU Nomor 22 Tahun 1999 yang telah di revisi menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tetap mengatur otonomi luas di kabupaten/kota.

Berbeda dengan provinsi yang tidak berstatus khusus dan menerapkan titik berat otonomi daerah di kabupaten/kota, dimana gubernurnya dipilih langsung oleh rakyat, padahal kekuasaannya relatif kecil. Peran dan tugas gubernur


(26)

9

selama ini, lebih banyak memposisikan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dengan persentase 70 persen, sedangkan tugas daerah hanya 30 pesen saja. Namun, pada kenyataannya terjadi pengakuan dua tingkatan daerah otonom tetapi tanpa kejelasan titik berat otonomi daerah.

Pelaksanaan pilkada langsung dengan sistem satu paket dengan wakil kepala daerah juga sering menimbulkan konflik antara kepala daerah dan wakil kepala daerah, baik gubernur dan wakil gubernurnya, maupun bupati/walikota dengan wakil bupati/wakil walikota. Data yang dihimpun Pusat Penerangan (Kapuspen) Kementrian Dalam Negeri, pada pilkada tahun 2010 menunjukkan bahwa dari 244 pilkada, sebanyak 164 merupakan incumbent. Tapi, dari jumlah itu, hanya 22 pasangan kepala daerah yang kembali melanjutkan berpasangan dalam pilkada berikutnya.15

Kapuspen Kementrian Dalam Negeri juga menyatakan bahwa disharmonisasi antara kepala daerah dan wakil kepala daerah sudah menjadi fenomena yang hampir terjadi di semua daerah. Oleh sebab itu, pemerintah juga memunculkan wacana untuk kedepannya agar wakil kepala daerah cukup dipilih dari pegawai negeri dan tidak satu paket dengan kepala daerah. Usulan pemerintah yang menginginkan pemilihan gubernur melalui DPRD ini sebenarnya tidak keluar dari konteks UUD dan prinsip-prinsip demokrasi. Sebagai suatu lembaga, DPRD yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum, DPRD bisa saja mewakili untuk menentukan dan memilih gubernur.

15

Lampung Post. 94% Kepala Daerah Pecah Kongsi. Berita Utama, Hal 1. Senin, 26 Desember 2011.


(27)

Pada pemilu 2009 yang lalu, anggota DPRD yang terpilih merupakan hasil pilhan rakyat dengan sistem suara terbanyak. Dalam posisi ini artinya anggota DPRD merupakan representasi rakyat, akan tetapi pada posisi lain anggota DPRD juga merupakan unsur wakil dari partai politik. Sebagai unsur dari partai politik yang berada di dalam lembaga legislatif, anggota DPRD juga mempunyai misi representasi yang diartikan sebagai ekspresi dan artikulasi kepentingan. Anggota DPRD merupakan ekspresi kepentingan partai, dalam artian, fungsi anggota DPRD dalam lembaga legislatif adalah memberikan sarana politik langsung kepada kepentingan partai politik yang diwakilinya. Peran anggota DPRD lebih banyak dikendalikan oleh partai politiknya, ketimbang memainkan perannya dalam kapasitas sebagai wakil rakyat, kebijakan partai adalah adalah rujukan di dalam setiap aktivitasnya di dalam lembaga legislatif.

Elit partai politik sebagai pemegang kekuasaan secara struktural yang memiliki kewenangan dan cukup berpengaruh dalam menentukan kebijakan politik yang akan diikuti dan ditaati oleh anggota ataupun pengurus lainnya, termasuk anggota DPRD yang berasal dari partai politik tersebut. Peran partai politik dalam lembaga legislatif sangatlah dominan hal ini juga sejalan dengan penguatan peran lembaga legislatif khususnya DPR/DPRD. Biasanya kebijakan partai politik di dalam lembaga legislatif direpsentasikan melalui fraksi-fraksi yang ada. 16

16

Dalam Tata Tertib DPR RI pasal 18 ayat (3 dan 4) dijelaskan bahwa fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPR dan fraksi dapat juga dibentuk oleh gabungan dari 2 (dua) atau lebih partai politik.


(28)

11

Eksistensi fraksi dalam perlemen jika dikaji dalam UU Nomor 27 Tahun 2009, dapat disimpulkan bahwa fungsi fraksinya hanya untuk penyederhanaan yang disebut optimalisasi,17 namun hal ini juga berimplikasi pada pembatasan hak-hak anggota legislatif secara pribadi yang membawa pesan dari konstituennya namun harus difilterisasi oleh fraksi terlebih dahulu, dimana menjadi menarik jika dikaitkan dengan domainnya pimpinan atau elit partai politik yang secara langsung dapat mempengaruhi para anggotanya termasuk yang duduk sebagai anggota legislatif sekalipun.

Di sini peran elit partai politik adalah bagaimana mempengaruhi dan mengontrol serta menentukan keputusan-keputusan anggotanya di DPRD, agar keputusan tersebut dapat diperjuangkan berpihak pada kepentingan elit atau partai politik itu sendiri dan bukan kepentingan lain. Kemudian, apabila draf RUU Pilkada yang telah diajukan pemerintah kepada DPR RI disepakati bahwa gubernur akan dipilih kembali oleh anggota DPRD provinsi seperti pada masa lalu, tentunya hal ini akan menimbulkan berbagai macam persepsi dari elit-elit partai politik itu sendiri yang memiliki perwakilan di DPRD.

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Persepsi Elit Partai Politik Lampung Terhadap Wacana Model Pemilihan Gubernur Oleh DPRD Provinsi.

17

UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pada pasal 80 ayat (1) berbunyi “Untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPR, serta hak dan kewajiban anggota DPR, dibentuk fraksi sebagai wadah berhimpun anggota DPR”.


(29)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka, rumusan masalah penelitian ini adalah:

“Bagaimanakah Persepsi Elit Partai Politik Lampung Terhadap Wacana Pemilihan Gubernur Oleh DPRD Provinsi? ”.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Persepsi Elit Partai Politik Lampung Terhadap Wacana Pemilihan Gubernur Oleh DPRD Provinsi.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah : 1. Secara Akademis

Hasil penelitian ini berguna untuk menambah khazanah keilmuan di bidang politik dan pemerintahan, terutama yang berkaitan dengan demokrasi dan pemilihan kepala daerah (pilkada).

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak terkait, referensi dan evaluasi untuk peneliti lain yang hendak melakukan penelitian dalam topik sejenis.


(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Guna mengetahui gambaran secara jelas terhadap topik bahasan dalam penelitian ini, maka dalam bab ini penulis akan mencoba memaparkan beberapa konsep mengenai teori-teori yang diambil dari para ahli ataupun penjelasan-penjelasan yang bersumber dari buku literatur dan dari internet. Konsep yang akan dipaparkan dalam bab ini nantinya akan menjadi landasan dalam mendukung penelitian ini. Pada bab ini terdapat beberapa konsep-konsep tentang persepsi, elit partai politik, wacana, demokrasi, dan pemilihan gubernur.

A. Konsep Persepsi

Manusia sebagai makhluk sosial yang sekaligus juga makhluk individual, maka terdapat perbedaan antara individu yang satu dengan yang lainnya. Adanya perbedaan inilah yang antara lain menyebabkan mengapa seseorang menyenangi suatu obyek, sedangkan orang lain tidak senang bahkan membenci obyek tersebut. Hal ini sangat tergantung bagaimana individu menanggapi obyek tersebut dengan persepsinya. Pada kenyataannya sebagian besar sikap, tingkah laku dan penyesuaian ditentukan oleh persepsinya.

Definisi tentang persepsi dapat dilihat dari definisi secara etimologis maupun definisi yang diberikan oleh beberapa orang ahli. Secara etimologis, persepsi


(31)

berasal berasal dari kata perception (Inggris) berasal dari bahasa latin

perception; dari percipare yang artinya menerima atau mengambil (Sobur, 2003: 445).

Menurut Leavit dalam Sobur (2003: 445) persepsi dalam arti sempit adalah penglihatan, bagaimana cara seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas persepsi adalah pandangan atau pengertian yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu. Sobur menyimpulkan, bahwa proses persepsi adalah melakukan seleksi, interpretasi, dan pembulatan terhadap informasi yang diterimanya, sehingga menghasilkan sebuah bentuk tingkah laku sebagai reaksi (Sobur, 2003: 447).

Menurut Mulyana (2000: 168) persepsi merupakan inti dari komunikasi, sedangkan penafsiran (interpretasi) adalah inti persepsi, yang identik dengan penyandian-balik (decoding) dalam proses komunikasi. Selanjutnya Mulyana mengemukakan persepsilah yang menentukan kita memilih suatu pesan dan mengabaikan pesan lain.

Persepsi pada hakekatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penghlihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman. Kunci untuk memahami persepsi adalah terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi, dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap situasi. Seperti dikatakan Krech dalam Thoha (2000: 124) persepsi adalah suatu proses kognitif yang kompleks dan


(32)

15

mengahasilkan suatu gambar unik tentang kenyataan yang barangkali berbeda dari kenyataannya.

Ada banyak definisi yang menggambarkan lebih jelas mengenai persepsi, diantaranya John R Wenburg dan William W. Wilmot, persepsi dapat di definisikan sebagai cara organisme memberi makna. Rudolph F. Verderber mendefinisikan persepsi adalah proses menafsirkan informasi indrawi. Brian Fellows, persepsi adalah proses yang memungkinkan suatu organisme menerima dan menganalisis informasi. Sedangkan J. Cohen mengemukakan persepsi adalah adalah sebgai interprestasi bermakna atas sensasi sebagai representatif objek eksternal; persepsi adalah pengetahuan yang tampak mengenai apa yang diluar sana (Mulyana, 2000: 168).

Rakhmat (2002: 51) mengemukakan bahwa:

“Persepsi adalah pengalaman tentang suatu objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Jadi, persepsi adalah memberikan makna pada stimuli indrawi kita. Persepsi merupakan bagian dari komunikasi intra personal. Pengolahan informasi komunikasi intra personal meliputi, sensasi, persepsi memori, dan berpikir. Sensasi adalah proses menangkap stimuli. Persepsi ialah proses memberi makna pada sensasi sehingga manusia memperoleh pengetahuan baru, dengan kata lain, persepsi mengubah sensasi menjadi informasi. Memori adalah proses penyimpanan informasi dan memanggilnya kembali”.

Desiderato dalam Rakhmat (2002: 51) mengemukakan bahwa persepsi adalah pengamatan tentang objek, peristiwa, atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberi makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli). Hubungan sensasi dengan persepsi sudah jelas. Sensasi adalah bagian dari persepsi, walaupun begitu,


(33)

menafsirkan makna informasi inderwai tidak hanya melibatkan sensasi, tapi juga atensi, ekspektasi, motivasi, dan memori.

Atensi (perhatian) adalah proses mental ketika stimuli atau rangkaian stimuli menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat stimuli lainnya melemah (Kenneth E Anderson, dalam Rakhmat, 2002: 52). Atensi sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal penarik perhatian. Faktor eksternal penarik perhatian ditentukan oleh faktor-faktor situasional dan personal. Stimuli diperhatikan karena mempunyai sifat-sifat yang menonjol antara lain: gerakan, intensitas stimuli, kebaruan, dan perulangan. Sedangkan atensi yang disebabkan faktor internal penaruh perhatian adalah faktor-faktor biologis dan faktor-faktor sosiopsikologis.

Setiap orang memiliki gambaran yang berbeda mengenai realitas disekelilingnya. Beberapa prinsip mengenai persepsi sebagaimana dikemukan oleh Mulyana (2000: 75) sebagai berikut :

a) Persepsi berdasarkan pengalaman yaitu persepsi manusia terhadap seseorang, objek atau kejadian dan reaksi mereka terhadap hal-hal itu berdasarkan pengalaman dan pembelajaran masa lalu mereka berkaitan dengan orang, objek atau kejadian serupa.

b) Persepsi bersifat selektif, yaitu setiap manusia sering mendapat rangsangan indrawi sekaligus, untuk itu perlu selektif dari rangsangan yang penting. Untuk ini atensi suatu rangsangan merupakan faktor utama menentukan selektifitas kita atas rangsangan tersebut.

c) Persepsi bersifat dugaan, yaitu persepsi bersifat dugaan terjadi oleh karena data yang kita peroleh mengenai objek lewat penginderaan tidak pernah lengkap. Persepsi merupakan loncatan langsung pada kesimpulan.

d) Persepsi bersifat evaluatif, yaitu persepsi bersifat evaluatif maksudnya adalah kadangkala orang menafsirkan pesan sebagai suatu proses kebenaran, akan tetapi terkadang alat indera dan persepsi kita menipu kita, sehingga kita juga ragu seberapa dekat persepsi kita dengan


(34)

17

realitas yang sebenarnya. Untuk itu dalam mencapai suatu tingkat kebenaran perlu evaluasi-evaluasi yang seksama.

e) Persepsi bersifat kontekstual, yaitu persepsi bersifat kontekstual merupakan pengaruh paling kuat dalam mempersepsi suatu objek. Konteks yang melingkungi kita ketika melihat seseorang, sesuatu objek atau sesuau kejadian sangat mempengaruhi struktur kognitif, pengharapan prinsipnya yaitu : 1. kemiripin atau kedekatan dan kelengkapan 2. kita cenderung mempersepsi suatu rangsangan atau kejadian yang terdiri dari struktur dan latar belakangnya.

Sobur (2003: 447) menggambarkan persepsi dan proses terjadinya persepsi sebagai berikut:

Gambar 2. Bagan Persepsi

Sumber: Sobur (2003: 447)

Menurut Thoha (2000: 125) ada tiga karakteristik dari orang-orang yang dilihat dalam proses persepsi, yaitu: pertama, status orang yang dinilai akan mempunyai pengaruh yang besar bagi persepsi orang yang menilai. Kedua, orang yang dinilai biasanya ditempatkan dalam kategori-kategori tertentu, hal ini untuk memudahkan pandangan-pandangan orang yang menilai, biasanya kategori tersebut terdiri dari kategori status dan peranan. Ketiga, sifat perangai orang-orang yang dinilai akan memberi pengaruh yang besar terhadap persepsi orang lain pada dirinya.

Penalaran

Persepsi Pengenalan

Rangsangan Tanggapan


(35)

Berdasarkan hal tersebut, di dalam penelitian ini penulis akan mencoba mengungkap mengenai aspek-aspek persepsi yang kontruksinya di ambil dari pendapat-pendapat para ahli di atas, selanjutnya di modifikasi sesuai dengan kepentingan penelitian ini. Aspek-aspek persepsi tersebut di rumuskan menjadi dua aspek pokok berikut, yaitu:

1. Respons.

Menurut pendapat penulis, yang dimaksud respons dalam penelitian ini adalah tanggapan yang merupakan pemberian makna terhadap informasi yang telah diterimanya yang merupakan hasil pengamatan dari suatu objek atau kejadian. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Leavit dalam Sobur bahwa persepsi adalah penglihatan, yaitu bagaimana cara seseorang melihat sesuatu atau bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu. Krech dalam Thoha menyatakan bahwa persepsi adalah suatu proses kognitif yang kompleks dan mengahasilkan suatu gambar unik tentang kenyataan yang barangkali berbeda dari kenyataannya. Desiderato dalam Rakhmat juga mengemukakan bahwa persepsi adalah pengamatan tentang objek, peristiwa, atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberi makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli).

2. Sikap.

Menurut pendapat penulis, yang dimaksud sikap dalam penelitian ini adalah kesadaran yang akan menentukan tindakan atau perbuatan-perbuatan yang nyata atau yang mungkin terjadi, sebagai tanggapan atas


(36)

19

suatu. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sobur bahwa proses persepsi adalah melakukan seleksi, interpretasi, dan pembulatan terhadap informasi yang diterimanya, sehingga menghasilkan sebuah bentuk tingkah laku sebagai reaksi. Sedangkan Mulyana menambahkan bahwa persepsilah yang menentukan kita memilih suatu pesan dan mengabaikan pesan lain.

B. Konsep Elit Partai Politik

1. Elit

Secara etimologi istilah elit berasal dari kata latin eligere yang berarti memilih. Pada abad ke 14 istilah ini berkembang menjadi a choice of persons yang artinya orang terpilih. Kemudian pada abad ke 15 dipakai untuk menyebutkan best of the best (yang terbaik dari yang terbaik). Selanjutnya pada abad ke-18 di pakai dalam bahasa Perancis untuk menyebut sekelompok orang yang memegang posisi terkemuka dalam suatu lapisan masyarakat (Setiyanto, 2001: 75).

Amitai Etzioni dalam Setiyanto (2001: 77), definisi elit sebagai kelompok aktor yang mempunyai kekuasaan. Bottomore, mengistilahkan elit secara umum adalah digunakan untuk menyebut kelompok-kelompok fungsional dan pemangku jabatan yang memiliki status tinggi dalam suatu masyarakat. Elit politik memiliki beberapa tipe, misalnya elit yang berada dalam partai politik yang diantaranya pengurus partai politik dan umumnya sekaligus merangkap sebagai wakil rakyat. presiden, gubernur,


(37)

walikota/bupati merupakan elit yang berada pada tataran eksekutif dalam hal ini pemerintah namun tidak terlepas pada partai politik itu sendiri.

Terminologi elit menurut Haryanto dalam Jainuri (2001: 1) adalah senantiasa menunjuk pada seseorang atau kelompok yang mempunyai keunggulan tertentu, dimana dengan keunggulan yang melekat pada dirinya yang bersangkutan dapat menjalankan peran yang berpengaruh pada cabang kehidupan tertentu.

Gaetano Mosca dalam Sumarno (1989: 147), dalam setiap masyarakat terdapat dua kelas penduduk yaitu satu kelas yang menguasai yang disebut elit dan satu yang dikuasai yaitu masyarakat. Kelas pertama atau elit yang jumlahnya selalu minoritas, menjalankan semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan, dan menikmati keuntungan yang diberikan oleh kekuasaan itu. Sedangkan kelas kedua, yang jumlahnya jauh lebih besar, diatur dan dikendalikan oleh kelas elit itu.

Gaetano Mosca mengembangkan teori elit dan mengklasifikasikan ke dalam dua status yaitu elit yang berada dalam stuktur kekuasaan dan elit yang diluar stuktural. Elit berkuasa menurut Mosca yaitu elit yang mampu dan memiliki kecakapan untuk memimpin serta menjalankan kontrol sosial. Dalam proses komunikasi, elit berkuasa merupakan komunikator utama yang mengelola dan mengendalikan sumber-sumber komunikasi sekaligus mengatur lalu lintas transformasi pesan-pesan komunikasi yang mengalir. Elit berkuasa menjalin komunikasi dengan elit masyarakat untuk mendapatkan legitimasi dan memperkuat kedudukan sekaligus


(38)

21

mempertahankan status quo. Sedangkan elit yang berada diluar struktural yaitu elit masyarakat merupakan elit yang dapat mempengaruhi masyarakat lingkungan di dalam mendukung atau menolak segala kebijaksanaan elit berkuasa (Sumarno, 1989: 149).

Mengacu pada teori Mosca, elit dalam struktur kekuasaan diterjemahkan sebagai anggota legislatif yang memiliki kemampuan dan kecakapan untuk mewakili masyarakat pemilihnya dalam memperjuangkan kepentingan dan mengartikulasikan permasalahan-permasalahan yang ada. Disamping itu, menjalin komunikasi terhadap elit masyarakat agar mendapatkan dukungan. Namun, dengan mengandalkan popularitas yang dimiliki elit masyarakat dapat berkompetisi dengan elit dalam struktur dalam ajang pemilu.

Elit politik diperkenalkan oleh Vilfedro Pareto dalam Setiyanto (2001: 73), sebagai kekecewaan terhadap apa yang sedang berjalan pada waktu itu yaitu aristokrat. Vilfedro Pareto beranggapan bahwa sifat dari penguasa atau elit politik otoriter dan mengintervensi. Menurut Pareto, setiap masyarakat diperintah oleh sebuah elit yang komposisinya selalu berubah. Pareto membagi elit dalam dua kelompok, yaitu kelompok elit yang memerintah dan kelompok elit yang tidak memerintah. Kedua kelompok elit itu senantiasa berebut kesempatan untuk mendapatkan porsi kekuasaan sehingga terjadi polarisasi elit dan melahirkan sirkulasi antara elit lama dengan elit baru. Setiap elit yang memerintah hanya dapat bertahan apabila secara kontinuitas memperoleh dukungan dari masyarakat.


(39)

Menurut Schrool dalam bukunya Sosiologie der Modernisering yang dikutip dari Handayani mengangkat lima tipe elit, yaitu:,

1.Elit menengah yaitu elit yang berasal dari kelompok pedagang dan tukang yang termasuk golongan minoritas keagamaan atau kebangsaan.

2.Elit dinasti yaitu sebagai elit arsitokrat yang mempertahankan tradisi dan status quo.

3.Elit revolusioner yaitu elit yang berpandangan bahwa nilai-nilai lama perlu dihapus karena tidak cocok dengan tingkat kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

4.Elit nasionalistik merupakan kelompok pluralis sehingga mudah mengundang konflik antar pluralis

5.Elit kolonial yaitu elit yang dianggap kurang bermanfaat dan tidak memberi konstribusi terhadap referensi ilmu pengetahuan.18

Berdasarkan pengertian elit yang dikemukakan oleh beberapa ahli di atas, maka elit yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seseorang yang memiliki kekuasaan, jabatan strategis, dan posisi tertentu serta dapat menguasai dan mempengaruhi dalam proses pengambilan keputusan yang dapat dipatuhi dan diikuti oleh orang-orang di sekelilingnya.

2. Partai Politik

Kehadiran partai politik dalam sistem demokrasi tidak dapat dilepaskan dari peran dan fungsinya, tidak hanya kepada konstituen yang dikelola tetapi juga kepada bangsa dan negara. Karena, organisasi partai politik yang dapat menempatkan orang-orangnya dalam jabatan-jabatan politis

18

Dikutip dari Titin Hidayati, dalam Bolg Cermin Politik Perawat Indoneisa. Komunikasi Politik,


(40)

23

berarti akan menentukan kebijakan publik yang berdampak luas, tidak hanya kepada konstituen saja.

Definisi partai politik menurut Max Weber dalam Firmanzah (2008: 67) adalah:

“Partai politik adalah organisasi publik yang bertujuan untuk membawa pemimpinnya berkuasa dan memungkinkan pendukungnya (politisi) untuk mendapatkan keuntungan dari dukungan tersebut”.

Partai politik menurut Seilere dalam Firmanzah (2008: 67) adalah organisasi yang bertujuan untuk membentuk opini publik. Sebagai suatu organisasi yang khas, partai politik dilihat sebagai suatu bentuk organisasi yang berbeda dengan organisasi lain.

Ranney dan Kendall dalam Firmanzah (2011: 69) mendefinisikan partai politik sebagai group atau kelompok masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi tinggi untuk mencalonkan dan terlibat dalam pemilu dengan harapan mendapatkan serta menjalankan kontrol atas birokrasi dan kebijakan publik. Tujuan utama dibentuknya partai politik adalah mendapatkan kekuasaan dan melakukan kontrol terhadap orang-orang yang duduk dalam pemerintahan, sekaligus kebijakannya. Partai politik sangat terkait dengan kekuasaan, untuk membentuk dan mengontrol kebijakan publik. Selain itu, partai politik juga diharapkan independen dari pengaruh pemerintah. Hal ini tentunya menyiratkan tujuan agar partai politik bisa mengkritisi setiap kebijakan dan tidak tergantung pada pemerintah yang dikritisi.


(41)

Definisi lain menurut Crowe dan Mayo dalam Firmanzah (2008: 69), partai politik adalah institusi yang mengaktifkan dan memobilisasi orang, kepentingan, menyediakan instrument kompromi dan beragam pendapat, dan memfasilitasi munculnya seorang pemimpin.

Menurut Budiardjo (2009: 404) pengertian partai politik adalah

“Suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kekuasaan politik dengan cara konstutisional untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanan mereka”.

Sedangkan menurut Surbakti (1992:116), partai politik dapat di definisikan sebagai kelompok anggota yang terorganisasi secara rapi dan stabil yang dipersatukan dan dimotivasi dengan ideologi tertentu, dan berusaha mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan melalui pemilihan umum, guna melaksanakan alternatif kebijakan umum yang mereka susun.

Sedangkan pengertian partai politik menurut UU Nomor 31 tahun 2002 pasal 1 ayat (1) adalah:

“Organisasi yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan umum”.

Para ilmuan politik dan sosiologi memberi kita daftar fungsi-fungsi partai politik secara mengesankan, tanpa memberikan manfaat dalam


(42)

25

membedakan faktor-faktor, yang menyebabkan fungsi-fungsi tertentu dapat dilaksanakan secara efisien, atau membuat konseptualisasi yang menghubungkan fungsi dan struktur secara memuaskan. Diantara fungsi-fungsi tersebut yang biasanya paling umum dikemukakan adalah representasi (perwakilan), konversi dan agregasi; integrasi (partisipasi, sosialisasi, mobilisasi); persuasi, represi, rekruitmen (pengangkatan tenaga-tenaga baru), dan pemilihan pemimpin, pertimbangan-pertimbangan dan perumusan kebijaksanaan, serta kontrol terhadap pemerintah (Amal, 1996:26).

La Palombara dan Weiner dalam Firmanzah (2008: 68) mengidentifikasi empat karakteristik dasar yang menjadi ciri khas organisasi yang dikategorikan sebagai partai politik. Kriteria mereka sangat popular dewasa ini untuk melakukan studi komparasi politis. Keempat karakteristik dasar dari partai politik adalah sebagai berikut:

1. Organisasi jangka panjang. Organisasi partai politik harus bersifat jangka panjang, diharapkan dapat terus hadir meskipun pendirinya sudah tidak ada lagi. Partai politik bukan sekedar gabungan dari para pendukung yang setia dengan pemimpin yang karismatik. Partai politik hanya akan berfungsi dengan baik sebagai organisasi ketika ada sistem dan prosedur yang mengatur aktivitas organisasi, dan ada mekanisme suksesi yang dapat menjamin keberlangsungan partai politik untuk jangka waktu yang lama.

2. Struktur organisasi. Partai politik hanya akan dapat menjalankan fungsi politiknya apabila didukung oleh struktur organisasi, mulai dari tingkat lokal sampai nasional, dan ada pula interaksi yang teratur diantara keduanya. Partai politik kemudian dilihat sebagai organisasi yang meluputi suatu wilayah territorial serta dikelola secara prosedural dan sistematis. Struktur organisasi partai politik yang sistematis dapat menjamin aliran informasi dari bawah ke atas maupun dari atas ke bawah, sehingga nantinya akan meningkatkan efisiensi serta efektivitas fungsi kontrol dan koordinasi.


(43)

3. Tujuan berkuasa. Partai politik didirikan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan, baik dilevel lokal maupun nasional. Siapa yang memimpin negara, propinsi atau kabupaten? Pertanyaan-pertanyaaan inilah yang melatarbelakangi hadirnya partai politik. Ini pula yang membedakan partai politik dengan bentuk kelompok dan grup lain yang terdapat dalam masyarakat seperti perserikatan, asosiasi, dan ikatan.

4. Dukungan publik luas adalah cara untuk mendapatkan kekuasaan. Partai politik perlu mendapatkan dukungan luas dari masyarakat. Dukungan inilah yang menjadi sumber legitimasi untuk berkuasa. Karakteristik ini menunjukan bahwa partai politik harus mampu diterima oleh mayoritas masyarakat dan sanggup memobilisasi sebanyak mungkin elemen masyarakat. Semakin besar dukungan publik yang didapatkan oleh suatu partai politik, semakin besar juga legitimasi yang diperolehnya.

Berdasarkan beberapa penjelasan definisi partai politik menurut para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa partai politik yang di maksud dalam penelitian ini adalah sebuah organisasi artikulasi yang didalamnya terdapat orang-orang yang terorganisir yang memiliki tugas dan fungsi, tujuan bersama, visi dan misi, program, serta kepentingan politik untuk menguasai pemerintahan dengan cara menduduki jabatan politik.

3. Elit Partai Politik

Dari beberapa penjelasan mengenai elit dan juga partai politik diatas, penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud elit partai politik dalam penelitian ini adalah seseorang yang menduduki posisi atau jabatan strategis dalam sebuah partai politik, serta memiliki peran dan pengaruh dalam penentuan pengambilan kebijakan dalam partai politik tersebut.

Untuk mengidentifikasi siapa yang termasuk dalam kategori elit partai politik, penulis akan menggunakan tiga pendekatan atau metode yang


(44)

27

dikemukakan Putnam dalam Haryanto dan dikutip oleh Jainuri (2011: 4), yaitu:

1. Metode Posisi

Elit partai politik adalah mereka yang menduduki posisi atau jabatan strategis dalam partai politik. Jabatan strategis yaitu dapat membuat keputusan dan kebijakan dan dinyatakan atas nama partai. Elit ini jumlahnya terbatas mencakup para pemegang jabatan tinggi dalam stuktural inti partai politik. Analisa posisi ini mengandaikan bahwa :

a) Orang yang berkuasa diantara sekelompok elit adalah orang yang menduduki posisi strategis dari partai politik tersebut; b) Kekuasaan berkorelasi sepenuhnya dengan posisi

kelembagaan;

c) Analisa posisi merupakan teknik analisa yang mudah dan paling umum dipergunakan untuk mengetahui siapakah sebenarnya orang yang berkuasa dalam partai politik;

d) Asumsi analisis ini beranggapan sudah diketahui lembaga mana yang secara politis penting dan lembaga-lembaga mana yang mempunyai pengaruh semu;

e) Analisa posisi hanya efektif diterapkan dalam partai politik yang memiliki distribusi kekuasaan yang timpang, sementara dalam partai politik yang distribusi kekuasaan merata analisis ini tidak efektif.

2. Metode Reputasi

Elit partai politik ditentukan bedasarkan reputasi dan kemampuan dalam memproses berbagai permasalahan dan kemudian dirumuskan menjadi keputusan politik yang berdampak pada kehidupan partai. Analisa reputasi berasumsi bahwa :

a) Individu yang oleh sesama warga dianggap memiliki pengaruh, memang yang bersangkutan benar-benar memiliki pengaruh;

b) Individu yang oleh orang dianggap memiliki kekuasaan, memang yang bersangkutan benar-benar memiliki kekuasaan; c) Analisa reputasi dilakukan dengan tidak mendasarkan pada

lembaga-lembaga formal tetapi mendasarkan kepada reputasi kekuasaan secara informal yang dimiliki elit.

3. Metode Pengaruh

Elit partai politik adalah orang-orang yang mempunyai pengaruh pada berbagai tingkatan kekuasaan. Orang ini memiliki kemampuan dalam mengendalikan anggota maupun pengurus lainnya sesuai kemampuan pengaruh yang dimiliki, sehingga anggota maupun pengurus partai politik tersebut secara spontan mentaati para elit partai politik. Oleh karena itu orang yang berpengaruh dalam partai politik dapat dikategorikan sebagai elit pertai politik. Analisa pengaruh menekankan bahwa :


(45)

a) Untuk mengetahui siapa yang berkuasa diantara para elit dengan cara mempelajari bagaimana pengaruh seseorang dalam proses pembuatan keputusan, perhatian utama dari analisa ini adalah siapa yang banyak berinisiatif dan memberi kontribusi terhadap pembuatan keputusan organisasi,

b) Dari proses ini juga diketahui siapa saja yang menjadi penentang dari proses pembuatan keputusan tersebut;

c) Analisa ini menurut sementara kalangan lebih efektif dibanding analisa posisi dan reputasi.

Berdasarkan tiga pendekatan atau metode untuk mengidentifikasi siapa yang termasuk dalam kategori elit partai politik seperti yang telah diuraikan di atas, maka di sini penulis akan mencoba menentukan elit dengan menggunakan ketiga kombinasi metode diatas, yaitu dengan mendasarkan pada :

a) Orang yang menduduki posisi strategis dalam partai politik;

b) Orang yang memiliki pengaruh dan reputasi besar dalam partai politik dibanding orang lain;

c) Orang yang memiliki kontribusi besar dalam pengambilan keputusan dalam partai politik.

C. Konsep Wacana

Secara etimologis kata wacana (discourse) bersal dari bahasa latin discurrere

(mengalir kesana kemari) dari nominalisasi kata discursus (mengalir secara terpisah yang ditransfer maknanya menjadi terlibat dalam sesuatu, atau member informasi tentang sesuatu) (Vass, dalam Syukur, 2009: 42).


(46)

29

1. (secara umum): tuturan, percakapan, diskusi.

2. Penyajian diskursif sederet pemikiran dengan menggunakan serangkaian pernyataan.

3. Serangkaian pernyataan atau ujaran, sederet pernyataan.

4. Bentuk sebuah rangkaian pernyataan/ungkapan, yang dapat berupa (arkeologi): wacana ilmiah, puitis, religius.

5. Perilaku yang diatur kaidah yang menggiring ke arah lahirnya serangkaian atau sistem pernyataan-pernyataan yang saling terkait. 6. Bahasa sebagai sesuatu yang dipraktikan.

7. Bahasa sebagai suatu totalitas, seluruh bidang linguistik.

8. Mendiskusikan dan mempertanyakan kriteria validitas dengan tujuan menghasilkan konsensus di antara peserta wacana.

Menurut Badudu dalam Badara (2012: 16) wacana merupakan rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan, sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu. Kemudian, Badudu juga mendefinisikan wacana sebagai kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koheresi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis.

Roger Fowler dalam Badara (2012: 16) mendefinisikan bahwa wacana adalah komunikasi lisan atau tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang masuk di dalamnya; kepercayaan di sini mewakili pandangan dunia; sebuah organisasi atau representasi dari pengalaman.

Sedangkan menurut Focault dalam Badara (2012: 16) mengungkapkan bahwa wacana kadang kala sebagai bidang dari semua pernyataan (statement), kadang kala sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan, dan kadang sebagai praktik regulatif yang dilihat dari sejumlah pernyataan.


(47)

Berdasarkan beberapa definisi wacana yang dikemukakan oleh para ahli di atas, secara singkat dapat di simpulkan bahwa yang dimaksud dengan wacana dalam penelitian ini adalah seperangkat pernyataan, baik secara bahasa maupun tulisan terhadap pandangan yang dipahami atau diyakininya.

D. Konsep Demokrasi

Demokrasi secara etimologi berasal dari kata “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat, dan “cratein” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan, jadi “demos-cratein” atau demokrasi adalah keadaan suatu negara dimana dalam sistem pemerintahannya, kedaulatannya di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat (Syafiie, 2001: 129).

Pendapat lain, menurut Woodrow Wilson dalam Nurtjahjo (2006: 72), demokrasi akan menghilangkan lembaga-lembaga tiran yang ada di masa lalu, dan menawarkan di dalamnya kekuatan imperatif (kehausan), pemikiran populer (umum/khalayak), dan lembaga-lembaga konkret suatu perwakilan populer, dan mereka menjanjikan untuk menyederhanakan politik menjadi suatu bentuk tunggal dengan menggantikan semua lembaga dan kekuatan memerintah lainnya dengan sebuah perwakilan yang demokratis.

Sedangkan Nurtjahjo (2006: 72) berpendapat, bahwa demokrasi adalah rakyat yang berkuasa sekaligus yang diperintah. Nurtjahjo juga memandang prinsip demokrasi harus didasarkan atas kebebasan, kesamaan, dan kedaulatan suara mayoritas (rakyat). Secara garis besar demokrasi


(48)

31

menghendaki persamaan atau kesamaan hak-hak dalam menjalankan peran politik dalam konteks negara. Kesamaan hak-hak politik ini esensialnya dalam kuantitas kemanusiaannya (subjek otonom) sebagai seorang individu yang bebas. Demokrasi tak bisa hanya dipahami secara parsial (sepotong-sepotong), lewat prinsip substansialnya saja atau kerangka proseduralnya saja (partial). Demokrasi adalah eksistensi substantif dan sekaligus proseduralnya yang hadir sebagai tatanan politik rasional (Nurtjahjo, 2006: 76).

Dalam UUD 1945, makna demokrasi dapat terlihat dalam frasa “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang – Undang

Dasar”.19

Frasa tersebut jelas menunjukan bahwa rakyat memiliki kekuasaan yang tertinggi. Sebagai wujud dari ide kedaulatan rakyat, dalam sistem demokrasi harus dijamin bahwa rakyat terlibat penuh dalam merencanakan, mengatur, melaksanakan, dan melakukan pengawasan serta menilai pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan. Oleh karena itu, dalam sistem demokrasi, pemilu merupakan sarana atau perwujudan dari kedaulatan rakyat, dimana rakyat secara langsung menyerahkan kedaulatannya kepada wakilnya melalui pemilu tersebut.

Oleh karena semua lembaga negara atau jabatan publik pada hakikatnya adalah jabatan yang memperoleh legitimasi dari rakyat yang berdaulat, maka bukan saja tugas dan wewenang jabatan itu harus diselenggarakan menurut UUD, tetapi juga harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat melalui prinsip

19


(49)

akuntabilitas, transparansi, dan cara kerja yang partisipatoris (Asshiddiqie, 2007: 295).

Henry B. Mayo dalam Nurtjahjo (2006: 73) mengatakan paling tidak ada sembilan nilai yang mendasari demokrasi yaitu:

1. Menyelesaikan perslisihan dengan damai dan sukarela,

2. Menjamin terselenggaranya perubahan yang damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah,

3. Menyelenggarakan pergantian pemimpin secara teratur, 4. Membatasi pemakain kekerasan secara minimum, 5. Adanya keanekaragaman (plural),

6. Tercapainya keadilan,

7. Yang paling baik dalam memajukan ilmu pengetahuan, 8. Kebebasan, dan

9. Adanya nilai-nilai yang dihasilkan oleh kelemahan-kelemahan sistem yang lain.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat di simpulkan bahwa demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan rakyat dimana kekuasaan rakyat sangat menentukan. Rakyatlah yang punya kekuasaan yang sesungguhnya. Kekuasaan rakyat itu dipecayakan pada segelintir orang yang lebih sedikit yaitu penguasa untuk menjalankan apa-apa yang dikehendaki rakyat dan nantinya tentunya betanggungjawab pada rakyat sebagai pemiliki kekuasaan dari rakyat dan menjalankan kekuasaan atas mandate (pemberian kewenangan rakyat) tanpa ada mandat dari rakyat maka kekuasaan tidak memiliki legimasi (tidak sah). Dalam negara demokrasi pemegang kekuasaan utama sebenarnya adalah rakyat dan kemudian rakyat menyerahkan kekuasaan itu kepada penguasa melalui pemilihan umum (Pemilu). Penguasa menjalankan kekuasaannya atas kehendak rakyat sebagai hal utama dan demokrasi.


(50)

33

Menurut Asshiddiqie (2010: 56) dalam hubungan antara rakyat dengan kekuasaan negara dalam hubungan sehari-hari, ada dua teori yang lazim dikembangkan, yaitu teori demokrasi langsung (direct democracy) dan teori demokrasi tidak langsung (representative democracy).

Di Indonesia sendiri, kedaulatan rakyat Indonesia berdasarkan ketentuan UUD (constitutional democracy) diselenggarakan secara langsung dan melalui sistem perwakilan. Kedaulatan rakyat diwujudkan dalam tiga cabang kekuasaaan yang tercermin dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai pemegang kekuasaan legislatif, Presiden dan Wakil Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, dan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai pemegang kekuasaan yudikatif.

1. Demokrasi Langsung

Demokrasi langsung menurut Asshiddiqie (2010: 56) artinya adalah kedaulatan rakyat dapat dilakukan secara langsung dimana rakyatlah yang melaksanakan kekuasaan tertinggi yang dimilikinya.

Penyaluran kedaulatan secara langsung (direct democracy) dilakukan melalui pemilihan umum legislatif, pemilihan presiden, pemilihan kepala daerah, baik gubernur ataupun bupati/walikota dan sebagai tambahan yaitu pelaksanaan referendum untuk menyatakan persetujuan atau penolakan


(51)

terhadap rencana perubahan atas pasal-pasal tertentu dalam UUD (Asshiddiqie, 2010: 59).

Sedangkan menurut Syarbaini (2010: 135), demokrasi langsung, dalam demokrasi langsung rakyat diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan untuk menjalankan kebijakan pemerintahan.

Sementara itu, Hakim (2011: 210) mengemukakan bahwa sistem demokrasi secara langsung (direct democracy) artinya hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara berdasarkan prosedur mayoritas.

Dari beberapa pendapat diatas, dapat dipahami bahwa demokrasi langsung adalah sarana kedaulatan rakyat, dimana rakyat ikut terlibat aktif secara langsung dalam proses politik dan pengambilan kebijakan yang dilaksanakan atau dihasilkan oleh negara dalam rangka mencapai tujuan. Peran rakyat dalam demokrasi langsung sangat besar dan memiliki pengaruh secara langsung terhadap dinamika politik atau pemerintahan yang ada, karena mereka tidak mewakilkan pandangan, pikiran, atau kepentingan mereka pada orang lain yang mengatasnamakan mereka.

2. Demokrasi Tidak Langsung

Menurut Asshiddiqie (2010: 56), di zaman modern sekarang ini dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi, bentuk demokrasi secara langsung semacam ini hampir tidak lagi dapat dilakukan. Karena itu, hal


(52)

35

yang lebih populer dewasa ini adalah ajaran demokrasi yang tidak langsung atau demokrasi perwakilan.

Menurut Hakim (2011: 210), sitem pemilihan demokrasi secara tak langsung (indirect democration) yang juga populer diistilahkan dengan sistem perwakilan atau sistem representatif merupakan sistem yang tidak mensyaratkan rakyat secara langsung terlibat dalam pemilihan, jadi hanya diwakilkan kepada sekelompok orang saja di dalam suatu badan atau lembaga.

Sedangkan menurut Syarbaini (2010: 135), dalam demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan ini di jalankan oleh rakyat melalui wakil rakyat yang dipilihnya melalui pemilu. Rakyat memilih wakilnya untuk membuat keputusan politik aspirasi rakyat di salurkan melaui wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakil-wakilan rakyat. Demokrasi perwakilan juga dapat menerapkan sistem pengawasan langsung. Dimana rakyat memilih wakilnya yang duduk di dalam lembaga perwakilan rakyat, tetapi wakil rakyat dalam menjalankan tugasnya diawasi rakyat melalui referendum dan inisiatif rakyat. Demokrasi ini juga dapat disebut sebagai demokrasi campuran antara langsung dan perwakilan.

Di dalam demokrasi perwakilan ini yang menjalankan kedaulatan rakyat adalah para wakil-wakil rakyat yang duduk di dalam lembaga perwakilan rakyat atau biasa juga disebut parlemen. Para wakil-wakil rakyat tersebut bertindak atas nama rakyat dan merekalah yang kemudian menentukan corak dan jalannya pemerintahan suatu negara, serta tujuan apa yang


(1)

10.Partai Karya Peduli Bangsa (PKBP)

a. Sejarah Singkat PKPB

Cikal bakal Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) adalah ormas bernama Karya Peduli Bangsa yang diprakarsai oleh mantan Presiden Soeharto. Oleh Hartono, eks KSAD yang dikenal dekat dengan Keluarga Cendana, ormas itu ditingkatkan menjadi parpol yang didirikan pada 9 September 2002.

Saat mendirikannya, Hartono menyebut hal itu sebagai langkah dalam menyikapi perubahan politik yang terjadi yang dinilai telah mulai luntur dari tujuan reformasi. Keluarga Cendana ikut terlibat sebagai anggota PKPB. Meski begitu, PKPB menolak jika dikatakan PKPB adalah Partai Orba atau Partai Cendana. "Kami tidak pernah menerima sesenpun bantuan keuangan dari keluarga Cendana, PKPB adalah partai mandiri," ungkap Sekjen PKPB Hartarto.

Menjelang hujung tahun 2003, setelah diluluskan sebagai partai peserta pemilu 2004, PKPB mendeklarasikan putri sulung Mantan Presiden Soeharto, Hj. Siti Hardijanti Rukmana yang akrab disapa Mbak Tutut sebagai calon presiden dari PKPB. Namun niat mengusung Mbak Tutut akhirnya urung dilaksanakan setelah pada hasil Pemilu 2004, PKPB yang bernomor urut 14 hanya memperoleh 2,11% suara secara nasional dan 2 kursi di DPR RI.


(2)

Pada tahun 2008, untuk berpartisi kembali dalam pemilu 2009, PKPB sempat mengubah namanya menjadi Partai Karya Pembangunan Bangsa dengan lambang partai baru yang tidak jauh berbeda. Namun, setelah UU Pemilu yang baru mengizinkan partai peserta pemilu 2004 berkompetisi kembali pada pemilu 2009, PKPB menggunakan kembali nama lama, yakni Partai Karya Peduli Bangsa, namun tetap mempertahankan lambang yang baru.

b. Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PKPB Lampung Susunan Pengurus

DPD PKPB Provinsi Lampung Masa Bakti 2011-2016

Ketua : Kol (Purn). Hi. Sunardi, S.Sos., MH. Wakil Ketua : Hi. Nadirsyah Anoem

Wakil Ketua : Hi. Abdul Hakim Rasyid, ST. Wakil Ketua : Hi. Soewondo, SE.

Wakil Ketua : Hi. Rusdi Haryono, MM. Wakil Ketua : Wayan Sudiksa, S.IP. Wakil Ketua : Hj. Wardiyati

Wakil Ketua : Hj. Triwiyati Sekretaris : Tamsil Zainal Wakil Sekretaris : Pandawa, ST. Wakil Sekretaris : Herman On Wakil Sekretaris : Purwigati

Wakil Sekretaris : Vera Fricilia, SE. Bendahara : Hi. Mardiantakus, SH Wakil Bendahara : Kiki Dwi Susanti, A. Md.


(3)

11.Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK)

a. Sejarah Singkat PDK

Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK), sebelumnya bernama Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK), adalah salah satu partai politik di Indonesia. Dalam Pemilu 2009, partai ini bernomor urut 20. PPDK didirikan pada 22 Juli 2002 oleh tiga (3) orang pengamat politik, Ryaas Rasyid dan Andi Mallarangeng serta Herman Haeruman. Deklarasi dilaksanakan di Hotel Indonesia yang dihadiri oleh mengko polkam saat itu bapak Susilo Bambang Yudoyono.dihadiri kurang lebih 1000 orang simpatisan partai.

Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan dalam Pemilu tahun 2009 akan berubah nama menjadi PARTAI DEMOKRASI KEBANGSAAN (PDK) berikut gambar logo Partai, Keputusan ini disepakati oleh utusan Dewan Pengurus Provinsi Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan seluruh Indonesia pada acara Rapimnas tanggal 26-28 Oktober 2007 di Hotel Mercure-Ancol Jakarta. Dengan adanya perubahan tersebut menjadikan Partai Demokrasi Kebangsaan semakin mantap melaju berperan dalam kancah dunia perpolitikan di Indonesia dengan tanpa berfusi dengan Partai lainya.


(4)

b. Dewan Pimpinan Provinsi (DPP) PDK Lampung

Susunan Pengurus DPP PDK Provinsi Lampung

Masa Bakti 2011-2015

Ketua Umum : Hi, Khamamik, SH.

Ketua : Aminullah, BA.

Ketua : Ir. H. Hendra Djais Ketua : Ir. Joni Hidayat

Ketua : M. Yatim Santosa

Ketua : Hj. Zuliana Abidin, SE, MM.

Ketua : Sakban Thayib

Ketua : Mohammad Yasin

Ketua : Alamsyah Pasma Wijaya, SH.

Ketua : Oscar Ompu Singa

Ketua : Muhammad Yamin

Sekretaris Umum : Ir. Hj. Octoria Herrykadewi Sekretaris : Mahdalena, SH.

Sekretaris : Abdul Malik, B.Sc. Sekretaris : Ansyori Syam, S.Ag. Sekretaris : Miftah

Sekretaris : Yasir Rifa‟at

Bendahara Umum : Budi Yuhanda, SH. Bendahara : Muhammad Tohir, SH.

Bendahara : Eman, SH.

Bendahara : Desari, SE. Bendahara : Supriyanto

C. Keterangan Informan

Sumber informan dalam penelitian ini didapatkan dengan menggunakan metode purposive sampling. Informan yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah para pengurus-pengurus partai politik di Provinsi Lampung. Tabel dibawah adalah data informan yang dapat penulis wawancarai:


(5)

Tabel 4. Keterangan Informan No 1 Nama 2 Umur 3 Jabatan 4 Pekerjaan 5 Pendidikan 6 1. Fajrun

Najah Amhad 49 Tahun Sekretaris DPD Partai Demokrat Provinsi Lampung.

Wiraswasta SMA / Tidak Tamat S1

2. Drs. Hi. Tulus Purnomo. 46 Tahun Wakil Ketua DPD PDIP Lampung / Ketua Fraksi PDIP DPRD Lampung Anggota DPRD Provinsi Lampung S1

3. Ismet Roni, SH.

51 Tahun

Sekretaris

DPD I

Partai Golkar Provinsi Lampung Anggota DPRD Provinsi Lampung S1

4. Drs. Hi. Gufron Azis Fuadi 46 Tahun Ketua Umum DPW PKS Provinsi Lampung Anggota DPRD Provinsi Lampung S1

5. Ahmad Bastari, S.Sos.

49 Tahun

Wakil Ketua DPW PAN

Lampung / Ketua Pusat Komunikasi Politik DPW PAN Lampung. Anggota DPRD Provinsi Lampung S1

6. Hi.

Pattimura, SE.

41 Tahun

Sekretaris DPD Partai Gerindra Provinsi Lampung

Pengusaha S1

7. Ir. Hj. Nurhasanah , MM.

49 Tahun

Bendahara DPD Partai Hanura Provinsi Anggota DPRD Provinsi Lampung S2


(6)

Lampung / Ketua Fraksi Hanura DPRD Lampung 8. Drs. Hi.

Musa Zainudin

46 Tahun

Ketua DPW PKB Provinsi Lampung Anggota DPRD Provinsi Lampung S1

9. Kol (Purn) Hi. Sunardi, S.Sos, MH

64 Tahun

Ketua DPW PKB Provinsi Lampung Anggota DPRD Provinsi Lampung S2 / Lemhanas RI

10. Hi. MC. Imam Santoso, SH, MH.

55 Tahun

Ketua DPW PPP

Provinsi Lampung

Wiraswasta S2

11. Ir. Hj. Octoria Herrykadew i 50 Tahun Sekretaris Umum DPP PDK Provinsi Lampung Anggota DPRD Provinsi Lampung S1

Berdasarkan tabel informan di atas, 11 (sebelas) informan tersebut merupakan pengurus-pengurus inti pada partai politik yang ada di Lampung, yang secara posisi menempati jabatan strategis pada kepengurusan partai politik, kemudian memiliki reputasi yang jelas, dan pengaruh dalam partai politiknya masing-masing. Informan diatas penulis pilih untuk dijadikan informan utama dalam mendapatkan data primer pada penelitian ini. Penggalian dalam memperoleh data, penulis melakukannya dengan cara wawancara mendalam kepada setiap informan tentang wacana pemilihan gubernur oleh DPRD provinsi dilihat dari dua aspek. Pertama, aspek respons, dan yang kedua, aspek sikap.