ada problem waktu serta terbatasnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat awam atas problematik yang kian berkembang.
60
Namun pada tahun 1960-an berkembang suatu gagasan mengenai
partisipasi publik public participation. Gagasan ini kian marak dan meluas khususnya partisipasi publik di dalam proses pembangunan dan
sistem kekuasaan. Perkembangan gagasan ini makin relevan dan menguat setelah sistem kekuasaan otoriter yang didukung oleh psedudo democratic
representative kian menyengsarakan rakyat. Pada titik ini, politisi dan sistem kekuasaan tidak lagi responsif mengakomodasi kepentingan rakyat
dan merosotnya respek pada profesionalitas mereka. Pada konteks inilah, konsepsi klasikal demokrasi yang merujuk pada term di periode ancient
greece yang berasal dari kata “demos” dan “kratos” yang dimaknai
sebagai “power rule by demos” memperoleh interpretasi pemaknaan dan
perluasan pemahaman sesuai dengan perkembangan dan situasi zaman. Pada akhirnya, isu tertentu keterlibatan rakyat secara langsung untuk
memutus suatu soal dilakukan. Itu sebabnya berkembanglah gagasan pemilihan langsung kepala pemerintahan dan kepala daerah serta berbagai
pejabat publik tertentu.
61
Sedangkan Nurtjahjo 2006: 72 berpendapat, bahwa demokrasi adalah
rakyat yang berkuasa sekaligus yang diperintah. Nurtjahjo juga memandang prinsip demokrasi harus didasarkan atas kebebasan,
60
Bambang Widjojanto, Pemilihan Langsung Kepala Daerah ; Upaya Mendorong Proses Demokratisasi. Makalah pada seminar nasional pemilihan langsung kepala daerah sebagai wujud
demokrasi lokal. Adeksi 2003.
61
Ibid.
kesamaan, dan kedaulatan suara mayoritas rakyat. Secara garis besar demokrasi menghendaki persamaan atau kesamaan hak-hak dalam
menjalankan peran politik dalam konteks negara. Kesamaan hak-hak politik ini esensialnya dalam kuantitas kemanusiaannya subjek otonom
sebagai seorang individu yang bebas. Demokrasi tak bisa hanya dipahami secara parsial sepotong-sepotong, lewat prinsip substansialnya saja atau
kerangka proseduralnya saja partial. Demokrasi adalah eksistensi substantif dan sekaligus proseduralnya yang hadir sebagai tatanan politik
rasional Nurtjahjo, 2006: 76. Pendapat Nurtjahjo diatas, yang menegaskan bahwa dalam memaknai
demokrasi, tidak sekedar dari cara dan maknanya, tetapi harus secara menyeluruh. Pelaksanaan demokrasi melalui sistem perwakilan,
hendaknya anggota DPRD sebagai pemegang mandat untuk melaksanakan kedaulatan rakyat, harus berada pada posisi yang bebas sebagai manusia,
dan menggunakan kewenangan tersebut sesuai dengan kehendak rakyat. Dalam konteks ini, penulis memahami bahwa meskipun anggota DPRD
tidak mendapatkan pengawasan langsung rakyat dalam menjalankan tugasnya melalui referendum dan inisiatif rakyat, anggota DPRD harus
menggunakan hati nuraninya untuk menggunakan haknya demi tujuan dan kepentingan rakyat. Tujuan dan kepentingan rakyat disini jelas bahwa
tujuan dari adanya pemerintahan adalah untuk memberikan pelayanan kepada rakyat, dan begitu pula sebaliknya rakyat mengharapkan dari
adanya pemerintahan ini adalah kehidupan yang sejahtera. Akan tetapi
wacana pemilihan gubernur oleh DPRD tersebut, menurut penulis sulit untuk tercapai, karena hasil penelitian justru menunjukan sebaliknya.
Dari hasil penelitian, menunjukan bahwa proses pemilihan gubernur oleh DPRD provinsi diprediksi akan banyak terjadi proses-proses politik yang
tidak baik. Ini dibuktikan dengan temuan besarnya kemungkinan terjadinya pratik money politic dalam pemilihan gubernur oleh DPRD
provinsi.
62
Hal ini menunjukan bahwa solusi pemilihan gubernur oleh DPRD provinsi bukan merupakan solusi yang tepat. Jika beberapa elit
partai politik berpendapat bahwa solusi tersebut adalah untuk menghindari dampak luasnya kepada masyarakat, dengan meminimalisir efek negatif
tersebut pada lingkaran atau titik tertentu di legislatif, atau dengan bahasa lain agar anggota DPRD saja yang menanggung efek negatif tersebut,
sama halnya pemerintah berusaha untuk meligitimasi DPRD menjadi lembaga yang rusak secara moral.
Padahal jika melihat kembali sejarah dilaksanakannya pilkada langsung
secara umum adalah merupakan koreksi atas pemilihan kepala daerah yang dahulu dilakukan oleh DPRD yang banyak menimbulkan distorsi politik.
Distorsi politik dalam pilkada oleh DPRD dalam bentuk oligarkhi partai yang memanipulasi kepentingan masyarakat luas, adanya ketergantungan
kepala daerah kepada dewan yang menimbulkan kecenderungan kepala daerah lebih memperhatikan anggota DPRD ketimbang kepentingan
rakyatnya, dan money politics yang kental mewarnai pemilihan kepala
62
Baca hasil penelitian diuraian sebelumnya, hal 132-135.
daerah. Tentunya hal tersebut sama halnya berusaha mengembalikan pengalaman buruk dalam pemilihan gubernur yang dipilih oleh DPRD
dimasa lalu. Selain itu, anggota DPRD sebagai wakil rakyat juga dipastikan tidak akan
otonom dan bebas dari intervensi politik, karena pada posisi lain juga anggota DPRD merupakan wakil dari partai politik di lembaga parlemen.
Keberadaan mereka disana lebih tergantung kepada partai politik mereka masing-masing, karena temuan penelitian juga menyimpulkan bahwa
hampir seluruh partai politik akan memerintahkan dan mengintruksikan kepada anggota DPRD untuk memilih calon yang diusung oleh partai
politiknya. Kemudian sebagian besar partai politik juga menyatakan akan memberikan sanksi kepada anggota DPRD tersebut yang tidak mematuhi
perintah dan intruksi partai. Oleh sebab itu wajar apabila muncul kesan bahwa berada anggota DPRD
lebih memposisikan sebagai wakil partai ketimbang sejatinya sebagai wakil rakyat. Hal ini juga pada dasarnya diperkuat oleh Menurut Budiardjo
2000: 160 dengan pendapatnya yang menyatakan bahwa partai politik itu merupakan suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kekuasaan
politik dengan cara konstutisional untuk melaksanakan kebijaksanaan- kebijaksanaan mereka.
Posisi anggota DPRD sebagai wakil rakyat, sebenarnya sudah diperkuat dengan diadakannya mekanisme pemilihan anggota DPRD dengan dipilih
secara langsung oleh rakyat melalui suara terbanyak. Akan tetapi, posisi tersebut belum mampu memberikan ruang secara aktif dan otonom kepada
anggota DPRD untuk melaksanakan peran dan fungsinya sesuai dengan aspirasi rakyat, karena terlalu dominannya peran partai politik yang
mengendalikan mereka. Selama ini belum ada mekanisme yang menetapkan dan mengukuhkan bahwa wakil rakyat tetap sebagai bagian
dari rakyat yang tidak terlepas dari problem-problem kerakyatan. Hubungan rakyat dengan wakil rakyat hanya terlihat pada saat pemilihan
umum yakni ketika rakyat memilih.
Semestinya jika posisi anggota DPRD lebih berperan sebagai wakil partai, maka partai politik juga harus bertindak sebagai wakil rakyat. Artinya
partai politik juga harus menjadi sarana penyampaian aspirasi rakyat untuk dapat diperjuangkan menjadi kepentingan rakyat secara luas. Ini sesuai
dengan dalam undang-undang yang menyatakan bahwa partai politik adalah organisasi yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik
Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan
negara melalui pemilihan umum.
63
Oleh karena itu, idealnya partai politik memiliki fungsi utama untuk mengorganisir kepentingan yang timbul
dalam suatu komunitas baik masyarakat secara mikro maupun makro. Ini sejalan dengan fungsi partai politik itu sendiri tentang fungsi artikulasi
63
Undang-undang Nomor 31 tahun 2002 pasal 1 ayat 1.
kepentingan. Menurut Budiardjo 2009: 405, partai politik memiliki fungsi sebagai sarana komunikasi politik atau sebagai sarana artikulasi
kepentingan rakyat. Dalam sebuah negara, setiap warga negara tentu mempunyai pendapat dan aspirasi yang berbeda-beda. Hal itu tentu akan
menyulitkan ketika setiap orang ingin didengar aspirasinya. Partai politik berperan sebagai penampung dan penggabung pendapat dari setiap warga
negara tersebut interest aggregation. Kemudian aspirasi-aspirasi tersebut dirumuskan menjadi bentuk yang lebih teratur interest articulation dan
diterapkan oleh partai ke dalam program partai. Program-program tersebut yang kemudian diperjuangkan oleh partai politik di level pemerintahan
untuk diaplikasikan ke dalam kebijakan publik. Kondisi yang berbeda justru memperlihatkan bahwa keberadaan partai
politik saat ini dianggap tidak mampu lagi untuk menjadi salah satu saluran aspirasi politik oleh rakyat. Ini terbukti dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia P2P LIPI yang dilakukan pada 25 Juni-10 Juli 2012 lalu. Hasil
penelitian tersebut menyatakan bahwa masyarakat menilai 48,3 partai politik adalah institusi demokrasi yang kinerjanya dianggap paling rendah.
Kemudian hanya 23,4 masyarakat yang menyatakan percaya terhadap integritas partai politik, sedangkan lebih dari 34 masyarakat menyatakan
tidak percaya terhadap integritas partai politik. Partai politik selalu berada
pada posisi yang paling rendah dan penilaian yang negatif oleh masyarakat diantara beberapa lembaga pemerintahan dan institusi demokrasi lainnya.
64
Realitas ini menggambarkan bahwa keberadaan partai politik tidak lagi
dilihat oleh rakyat dan dijadikan sebagai saluran politik dalam memenuhi harapannya. Selain itu juga partai politik telah ditinggal rakyat dan tidak
menjadi refrensi rakyat dalam memilih pemimpin, ini dengan dibuktikannya kemenangan beberapa partai politik di daerah belum tentu
bisa memenangkan pilkada, misalnya seperti pada pilkada DKI.
65
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sekarang ini partai politik sedang berada
di titik lemah dilihat dari sisi hubungannya dengan rakyat. Kondisi ini amat memprihatinkan karena seharusnya partai merupakan media
jembatan antara penguasa dan yang dikuasai, jembatan antara pemerintah dengan rakyat.
Selain itu juga, di dalam konstitusi kita sebenarnya sudah dikatakan bahwa
“
Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis ”.
66
Meskipun beberapa pakar hukum mengatakan frasa demokrastis tersebut mengandung makna yang bersifat luwes, sehingga
mencakup pengertian pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat ataupun oleh DPRD. Tetapi apabila meninjau arti demokrasi itu sendiri
64
Pernyataan pers hasil survei Pusat Penelitian Politik P2P LIPI, pada 11 Oktober 2012. Sumber ; www.politik.lipi.go.id
65
Pada pilkada DKI hampir seluruh partai politik mengusung pasangan Fauzi Bowo – Nachrowi
Ramli, tetapi sebagian besar rakyat DKI justru memilih pasangan Joko Widodo -_Basuki Tjahaya Purnama yang hanya didukung dua partai politik, yaitu PDI Perjuangan dan Partai Gerindra.
66
Pasal 18 ayat 4 UUD 1945.
bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Sedangkan dalam konstitusi Indonesia disebutkan bahwa
“Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar ”.
67
Maka sudah semestinya gubernur dipilih secara langsung oleh rakyat. Karena frasa tersebut jelas menunjukan bahwa
rakyat memiliki kekuasaan yang tertinggi. Sebagai wujud dari ide kedaulatan rakyat, dalam sistem demokrasi harus dijamin bahwa rakyat
terlibat penuh dalam merencanakan, mengatur, melaksanakan, dan melakukan pengawasan serta menilai pelaksanaan
fungsi-fungsi kekuasaan.
Oleh karena itu, pemilihan gubernur rakyat tetap harus dilibatkan, karena
jabatan public yang diperoleh dari rakyat yang berdaulat, akan mendapatkan legitimasi politik yang kuat. Sehingga gubernur yang dipilih
melalui pemilihan langsung dapat lebih mendekatkan pemimpin dengan rakyatnya yang akan memunculkan responsibilitas dan akuntabilitas
kepada kepentingan rakyat itu sendiri. Karena pembangunan suatu daerah maupun negara juga perlu ditekankan adanya prinsip-prinsip demokrasi,
peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan. Oleh karena itu, pemilihan gubernur secara langsung dianggap lebih mampu memberikan
ruang partisipatif yang mendukung perkembangan kehidupan politik yang lebih demokratis.
67
Pasal 1 ayat 2 UUD 1945. Sebelum di amandemen, pada pasal 1 ayat 2 UUD 1945 dikatakan bahwa “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawarat an Rakyat”.
Tabel 11. Matriks Aspek Demokrasi No
Partai Politik Fokus
Situasi Isi
1. Partai Demokrat
Praktik money politic masih memungkinkan
terjadi di DPRD.
Partai politik akan memerintahkan
anggotanya di DPRD untuk memilih calon
yang diusungdidukung
oleh partai, jika tidak mematuhi
akan diberikan
sanksi sampai
pada pemecatan
dari keanggotaan
partai dan
PAW dari
keanggotaan DPRD. Demokratis, karena
dewan itu adalah lembaga perwakilan
rakyat,
artinya lembaga yang tugas-
tugasnya adalah
menyerap dan
mewujudkan aspirasi yang berkembang di
rakyat yang mereka wakili.
2. PDI Perjuangan
Praktik money politic
sangat memungkinkan untuk
terjadi dalam proses politik di DPRD.
Partai politik akan
memerintahkan anggotanya di DPRD
untuk memilih calon yang
diusungdidukung oleh partai, jika tidak
mematuhi
akan diberikan
sanksi sampai
pada pemecatan
dari keanggotaan
partai dan
PAW dari
keanggotaan DPRD. Demokratis, karena
juga dipilih
oleh anggota DPRD yang
merupakan lembaga perwakilan
yang dipilih dan diberikan
mandat oleh rakyat.
3. Partai Golkar
Praktik money politic
sangat memungkinkan untuk
terjadi dalam proses politik di DPRD.
Partai politik akan
memerintahkan anggotanya di DPRD
Demokratis, karena anggota DPR adalah
wakil rakyat, yang juga dipilih langsung
oleh rakyat untuk mewakili rakyat.
untuk memilih calon yang
diusungdidukung oleh partai, jika tidak
mematuhi
akan diberikan
sanksi sampai
pada pemecatan
dari keanggotaan
partai dan
PAW dari
keanggotaan DPRD. 4.
PKS
Praktik money politic masih akan terjadi
dalam proses politik di
DPRD selama
hukum tidak
ditegakkan.
Partai politik akan memerintahkan
anggotanya di DPRD untuk memilih calon
yang diusungdidukung
oleh partai, jika tidak mematuhi
akan diberikan
sanksi sampai
pada pemecatan
dari keanggotaan
partai dan
PAW dari
keanggotaan DPRD. Demokratis,
dalam UUD
itu tidak
menjelaskan bahwa gubernur itu harus
dipilih oleh rakyat, hanya dipilih secara
demokratis, sehingga dapat juga dipilih
oleh
anggota DPRD.
5. PAN
Praktik money politic
sangat memungkinkan untuk
terjadi dalam proses politik di DPRD.
Partai politik akan
memerintahkan anggotanya di DPRD
untuk memilih calon yang
diusungdidukung oleh partai, jika tidak
mematuhi
akan diberikan
sanksi sampai
pada pemecatan
dari keanggotaan
partai Demokratis. Karena
anggota DPRD
merupakan hasil
proses demokrasi
dan juga representasi rakyat yang dipilih
secara langsung
berdasarkan suara
rill dari masyarakat.
dan PAW
dari keanggotaan DPRD.
6. Partai Gerindra
Praktik money politic
masih akan terjadi dalam proses politik
di DPRD.
Partai politik akan memerintahkan
anggotanya di DPRD untuk memilih calon
yang diusungdidukung
oleh partai. Dipilih
melalui DPRD
tetap demokratis, hal ini
sesuai dengan sila ke empat
pancasila, yaitu kebijaksanaan
yang didimpin oleh hikmat
dalam permusyawaratan
perwakilan.
7. Partai Hanura
Praktik money politic
sangat memungkinkan untuk
terjadi dalam proses politik di DPRD.
Partai politik akan
memerintahkan anggotanya di DPRD
untuk memilih calon yang
diusungdidukung oleh partai, jika tidak
mematuhi
akan diberikan
sanksi sampai
pada pemecatan
dari keanggotaan
partai dan
PAW dari
keanggotaan DPRD. Demokratis, karena
anggota DPRD juga dipilih
melalui rakyat, dan cukup
mewakili konstituennya
di masing-masing
dapilnya.
8. PKB
Anggota DPRD sebagai perpanjangan
tangan dari partai, maka partai
juga mempunyai hak memberikan pencerahan
dan pengarahan. Tetapi anggota
DPRD juga
memiliki hak politik, otoritas, dan hak untuk
berdaulat untuk
menentukan pilihannya. Dipilih oleh DPRD
juga termasuk proses yang
demokratis, karena rakyat sudah
mendelegasikan haknya
melalui anggota
DPRD untuk
menentukan calon pemimpinnya.
Ini merupakan
bentuk dari sistem demokrasi
perwakilan, hal ini sesuai dengan sila ke
empat
pancasila, yaitu
permusyawaratan perwakilan.
9. PKPB
Partai politik
akan memerintahkan
anggotanya di DPRD untuk memilih calon
yang diusungdidukung oleh partai, jika tidak
mematuhi
akan diberikan sanksi sampai
pada pemecatan dari keanggotaan partai dan
PAW dari keanggotaan DPRD.
Demokratis, karena anggota DPRD juga
sudah memenuhi
representasi beberapa masyarakat
yang diwakilinya di daerah.
10. PPP
Praktik money politic masih akan terjadi
dalam proses politik di DPRD.
Partai politik akan
memerintahkan anggotanya di DPRD
untuk memilih calon yang
diusungdidukung oleh partai, jika tidak
mematuhi
akan diberikan
sanksi sampai
pada pemecatan
dari keanggotaan
partai dan
PAW dari
keanggotaan DPRD. Semi
demokratis, karena
anggota DPRD
juga merupakan
wakil dari partai politik.
11. PDK Partai
politik akan
memerintahkan anggotanya di DPRD
untuk memilih calon yang diusungdidukung
oleh partai, jika tidak mematuhi
akan diberikan sanksi.
Demokratis, karena anggota DPRD juga
mewakili masyarakat dari
dapil-dapilnya atau
keterwakilan masyarakatkonstitue
nnya dari daerah.
Analisis
Jika melihat kembali sejarah dilaksanakannya pilkada langsung secara umum adalah merupakan koreksi atas pemilihan kepala daerah yang
dahulu dilakukan oleh DPRD yang banyak menimbulkan distorsi politik. Distorsi politik dalam pilkada oleh DPRD dalam bentuk oligarkhi partai
yang
memanipulasi kepentingan
masyarakat luas,
adanya ketergantungan kepala daerah kepada dewan yang menimbulkan
kecenderungan kepala daerah lebih memperhatikan dewan ketimbang kepentingan konstituennya, dan money politics yang kental mewarnai
pemilihan kepala daerah. Tentunya hal tersebut sama halnya berusaha mengembalikan pengalaman buruk dalam pemilihan gubernur yang
dipilih oleh DPRD dimasa lalu. Posisi anggota DPRD sebagai wakil rakyat, sebenarnya sudah diperkuat
dengan diadakannya mekanisme pemilihan anggota DPRD dengan dipilih secara langsung oleh rakyat melalui suara terbanyak. Akan tetapi,
posisi tersebut belum mampu memberikan ruang secara aktif dan otonom kepada anggota DPRD untuk melaksanakan peran dan
fungsinya sesuai dengan aspirasi rakyat, karena terlalu dominannya peran partai politik yang mengendalikan mereka. Semestinya jika posisi
anggota DPRD lebih berperan sebagai wakil partai, maka partai politik juga harus bertindak sebagai wakil rakyat. Artinya partai politik juga
harus menjadi sarana penyampaian aspirasi rakyat untuk dapat diperjuangkan menjadi kepentingan rakyat secara luas.
Oleh karena itu, idealnya partai politik memiliki fungsi utama untuk mengorganisir kepentingan yang timbul dalam suatu komunitas baik
masyarakat secara mikro maupun makro. Ini sejalan dengan fungsi partai politik itu sendiri tentang fungsi artikulasi kepentingan.
Kemuadian jika arti demokrasi itu sendiri dipahami bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Sedangkan
dalam konstitusi Indonesia disebutkan bahwa “Kedaulatan berada ditangan rakyat
dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar ”.
Maka sudah semestinya gubernur dipilih secara langsung oleh rakyat. Karena frasa tersebut jelas menunjukan bahwa rakyat memiliki
kekuasaan yang tertinggi. Sebagai wujud dari ide kedaulatan rakyat, dalam sistem demokrasi harus dijamin bahwa rakyat terlibat penuh
dalam merencanakan, mengatur, melaksanakan, dan melakukan pengawasan serta menilai pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan.
Sumber: Hasil Penelitian Tahun 2012
SANWACANA
Alhamdulillahirobbil ’alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT atas segala karunia yang telah diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Persepsi Elit Partai Politik Lampung Terhadap Wacana Pemilihan Gubernur Oleh DPRD Provinsi
”. Penulis sangat menyadari, tanpa adanya bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak, skripsi ini tidak dapat terselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Pitojo Budiono, M.Si. selaku Pembimbing Utama Mahasiswa yang
telah banyak memberikan bimbingan, saran, kritik serta motivasi dalam proses penyelesaian skripsi ini;
2. Bapak Darmawan Purba, S.IP., M.IP. selaku Pembimbing Pembantu yang
juga telah banyak membimbing penulis dari awal hingga terselesaikannya skripsi ini;
3. Bapak Dr. Syarief Makhya, M.Si. selaku Pembahas Dosen yang telah banyak
memberikan masukan dan kritik yang membangun; 4.
Drs. Hi. Agus Hadiawan, M.Si. selaku Dekan FISIP Universitas Lampung; 5.
Bapak Drs. Hi. Aman Toto Dwijono, M.H. selaku Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan sekaligus Pembimbing Akdemik;
6. Bapak Drs. Denden Kurnia Drajat, M.Si. selaku Sekretaris Jurusan Ilmu
Pemerintahan; 7.
Seluruh Dosen Pengajar dan Staf Jurusan Ilmu Pemerintahan dan Staf FISIP Universitas Lampung, yang telah banyak ilmu yang sangat luar biasa selama
penulis menuntut ilmu di Jurusan Ilmu Pemerintahan; 8.
Sekretaris DPD Partai Demokrat Provinsi Lampung Bang Fajrun Najah Ahmad Fajar, Wakil Ketua DPD PDIP Ketua Fraksi PDIP DPRD Provinsi
Lampung Bapak Tulus Purnomo, Sekretaris DPD Partai Golkar Provinsi Lampung Bapak Ismet Roni, Ketua Umum DPW PKS Provinsi Lampung
Bapak Gufron Aziz Fuadi, Wakil Ketua DPW PAN Ketua Pusat Komunikasi Politik DPW PAN Lampung Bapak Ahmad Bastari, Sekretaris DPD Partai
Gerindra Provinsi Lampung Bang Pattimura, Bendahara DPD Partai Hanura Ketua Fraksi Hanura DPRD Provinsi Lampung Ibu Nurhasanah, Ketua DPW
PKB Provinsi Lampung Bang Musa Zainuddin, Ketua DPD PKPB Provinsi Lampung Bapak Sunardi, Ketua DPW PPP Provinsi Lampung Bapak MC.
Imam Santoso, Sekretaris DPP PDK Provinsi Lampung Ibu Octoria Harrykadewi, Anggota DPRD Provinsi Lampung Fraksi PKB Bapak KH.
Soleh Bajuri dan Bang Munzir AS dari Fraksi PPP, yang telah membantu memberikan informasi yang bermanfaat bagi penulis, semoga kalian termasuk
elit yang baik dan dikehendaki rakyatnya; 9.
Anggota KPU Provinsi Lampung, Bang Solihin, yang telah bersedia membantu penulis memperoleh data-data di KPU;
10. Orang yang penulis cintai, Ibunda Hj. Naslihatun dan almarhum Ayahanda
Hi. Slamet Hadi Sumaryanto yang telah membesarkan, mendidik dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran serta penuh kasih sayang;
11. Kakak-kakak penulis tersayang, Mba Ulfa dan Mas Arifin, Mas Jalil dan Mba
Shofa, Mba Iin dan Mas Mukhtar, Mas Aan dan Mba Yanti, Mas Afif dan Mba Lita, yang telah banyak memberikan motivasi dan turut membantu
membiayai pendidikan penulis; 12.
Ponakan-ponakan, Irfan, Kembar Tia-Tika, Safna, Fatih, Aal, Qorin, Diba, Lyla, Naura, yang terkadang menjadi hiburan di saat penulis merasa bosan
dan lelah; 13.
Kawan-kawan senasib di Jurusan Ilmu Pemerintahan angkatan 2008, Ilham CP, Ardi Okta S, Arinza Justistio yang sering menemani penulis dalam
berburu elit, Hurry Rahmanto, Hendra Tirta, Tomy A Roni, Habrianda Bukit, Alvindra pembahas mahasiswa dan moderator saat seminar usul dan hasil,
dan seluruh teman-teman seangkatan 2008 yang namanya belum dapat disebutkan satu-persatu, terima kasih atas kebersamaannya selama ini, senang
bisa berjumpa dan kenal kalian semuanya; 14.
Sahabat-sahabat seperjuangan di barisan PMII Komisariat Unila dan Keluarga Besar Mahasiswa NU Unila, Bang David Satria Jaya senior yang
banyak membantu penulis, Angga Andala, Mutakin, Vici Wahyu Nugroho pejuang tangguh, Chandra Firmansyah, Dwita Rizki Amalia, M. Nur Yasin,
Nopriansyah Harianto, Ahmad Sahlan, Eka Setiawan, Erlan Harianto, Haris Tamzil, M. Kharisma mantan pejuang, Mufit Budi Aji, Redi Octama, M.
Abi Hamid, Dedi Hermanto, Eko Budi Santoso, Nazrin Dasit, Eko Tri Pranoto, Nafis Fatah H, Haki, Nurhudiman, Dika, Suroto, Ririn Hardiani,
Ranti Febriani, Azkiya Maisari, Evvi Ari Widyawati, Hesti Elisa, Rizka, Nelly, Glycine, Ni’mah generasi penerus, terima kasih atas kebersamaannya
selama ini, semoga perjuangan kita tidak sia-sia, dan bermanfaat kelak yang akan datang;
15. Seluruh manusia di bumi ini yang pernah penulis kenal, terima kasih banyak.
Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Bandar Lampung, 07 Febuari 2013
Penulis
ARIS ALI RIDHO
RIWAYAT HIDUP
Aris Ali Ridho , dilahirkan pada tanggal 02 Maret 1989,
di Kampung Bangunrejo, Kecamatan Bangunrejo, Kabupaten Lampung Tengah. Penulis merupakan putra
bungsu dari enam bersaudara pasangan Bapak Hi. Slamet Hadi Sumaryanto Alm dan Ibu Hj. Naslihatun.
Penulis memulai pendidikannya di TK Maarif NU Bangunrejo 1993-1995, SDN 1 Bangunrejo 1995-
2001, SMPN 1 Bangunrejo 2001-2004, SMAN 2 Wonosobo,
Jawa Tengah
2004-2007. Sewaktu
menimba ilmu di SMA, penulis juga menuntut ilmu di Pondok Pesantren Nurul Chusna, Sumbersari, Selomerto, Wonosobo, Jawa Tengah. Setelah lulus dari
SMA pada tahun 2007, penulis sempat melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia UII Yogyakarta. Selanjutnya tahun 2008 penulis
terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung melalui tes Seleksi Nasional Masuk Perguruan
Tinggi Negeri SNMPTN. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di berbagai organisasi internal dan
eksternal kampus. Di internal kampus, penulis sempat menjabat sebagai Sekretaris Komisi IV Bidang Hubungan Luar Dewan Perwakilan Mahasiswa DPM Unila
periode 2010-2011 dan Anggota Majelis Permusyawaratan Mahasiswa MPM Unila periode 2010-2011. Di eksternal kampus, penulis sempat menjadi
Koordinator Serikat Mahasiswa Indonesia SMI Komite Persiapan Cabang Lampung tahun 2008-2009. Setelah itu, pada tahun 2009 penulis mengabdikan
diri di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia PMII Komisariat Unila dan diamanahkan menjadi Ketua PMII Komisariat Unila pada tahun 2011-2012.
Sebelumnya juga diamanahkan menjadi Ketua Umum Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama KMNU Unila periode 2010-2011. Ketua Departemen
Kaderisasi Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama IPNU Provinsi Lampung periode 2011-2013. Wakil Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah Komite
Nasional Pemuda Indonesia DPD KNPI Kota Bandar Lampung periode 2011- 2014.
Selain itu, penulis juga pernah aktif di Lembaga Survei Indonesia LSI sebagai peneliti lapangan atau surveyor pada tahun 2010-2012 dan juga aktif membantu di
Pengurus Wilayah Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Lakpesdam NU Provinsi Lampung. Beberapa artikelnya pernah dimuat di
Harian Umum Lampung Post dan Radar Lampung pada kolom opini.
PERSEMBAHAN
Kudedikasikan karya yang sederhana ini sebagai tanda
bakti dan terima kasihku kepada:
Orang Tua Tercinta; Ayahanda Hi. Slamet Hadi Sumaryanto Alm
“Yang selalu menjadi inspirasi dalam setiap perjalanan hidup penulis hingga saat
ini”
dan
Ibunda Hj.Naslihatun
“Yang selalu memberikan curahan kasih sayang, dukungan, dan
do‟anya serta restu yang tiada hentinya hingga sekarang dan sampai nanti
”
Kakak-Kakakku Tersayang; Ulfa Hidayati,S.Ag., Jalil Abdi Rahman,S.Ag., Indah
Susilawati,S.Ag., Saiful Anwar, S.S., Afif Aminudin,S.P.
“Yang telah banyak memberikan motivasi dan membantu banyak dalam penyelesaian pendidikan penulis”
Almamaterku Universitas Lampung
“Yang telah memberikan banyak ilmu dan pengalaman luar biasa
”
Motto
“Tidak Ada Perjuangan Yang Sia-Sia Jika Kita Memahami dan Meyakini
Apa Yang Kita Lakukan Adalah Benar dan Kebenaran”
Pitojo Budiono
“Saat-Saat Yang Paling Membahagiakan Adalah Saat Kita Dibutuhkan
Orang Lain ”
Darmawan Purba
“Jujur”
Syarief Makhya
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1.
Karya tulis saya, Skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik Sarjana, baik di Universitas Lampung maupun
diperguruan tinggi lain.
2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri, tanpa
bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing dan Penguji. 3.
Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan
sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah
diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di Universitas Lampung.
Bandar Lampung, 07 Febuari 2013
Yang Membuat Pernyataan,
Aris Ali Ridho NPM. 0816021023
Catatan : Pernyataan ini diletakkan pada halaman setelah Abstrak
PEDOMAN WAWANCARA
Identitas Responden
Nama Responden : Fajrun Najah Ahmad
Asal Partai Politik : Partai Demokrat
Jabatan : Sekretaris DPD Partai Demokrat Lampung
Alamat Kantor : Jl. Pangeran Emir M. Noer No. 99, Bandar Lampung.
Alamat Rumah : Jl. Perum Korpri Blok D.7 No. 17 Sukarame, Bandar
Lampung Pekerjaan
: Wiraswasta Umur
: 49 Tahun Jenis Kelamin
: Laki-laki Suku
: Jawa Pendidikan Terakhir
: SMA Tidak Tamat S1 . No Tlp HP
: 0811798294 Waktu Wawancara
: Jumat, 05 Oktober 2012 08. 00 – 09. 55 WIB
Tempat Wawancara : Kantor Redaksi Tabloid Fokus.
Proses wawancara dengan Sekretaris DPD Partai Demokrat Provinsi Lampung
Pertanyaan: A. Respons
1. Apa pendapat anda terkait wacana pemilihan Gubernur oleh DPRD Provinsi yang
diusulkan pemerintah melalui DPR RI dalam RUU Pilkada? Jawab: Dalam konteks bahwa demokrasi itu tidak mahal, kita mendukung itu.
Tetapi kalau demokrasi diartikan bahwa setiap rakyat memiliki hak langsung untuk memilih maka memang sebaiknya dihindari, tetapi kalau
mau efisien, efektif, dan lebih lebih terukur kualitas dan kapasitas calonnya memang melalui DPRD itu akan lebih baik, karena DPRD
adalah perwakilan dari rakyat, ya kita sepakat saja sambil menunggu bagaimana perkembangan di DPR RI.
2. Mahalnya biaya penyelenggaraan pilkada langsung seperti selama ini menjadi
salah satu alasan akan dikembalikannya mekanisme pemilihan gubernur oleh DPRD provinsi. Bagaimana tanggapan anda?
Jawab: Memang sebetulnya kalau langsung memang yang paling mahal itu pada
biaya penyelenggaraan. Ya bayangkan seperti Lampung ada 14 KabupatenKota, ya walaupun tidak merata. Sekarang saja berapa ratus
miliar kan yang diusulkan oleh KPU untuk pilgub 2013. Oleh karena itu kalau dilakukan di dewan, ini kan bisa lebih efektif, yang dana itu melalui
APBD, dana yang sebanyak itu mungkin lebih jelas berdayaguna, bermanfaat, apabila itu dilakukan untuk pembangunan masyarakat, seperti
insfrastuktur, pendidikan, kesehatan, kan gitu.
3. Biaya politik yang mahal dan yang dikeluarkan oleh kandidat cukup besar dalam
pilkada langsung, menjadi salah satu faktor banyaknya kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Apa pendapat anda?
Jawab: Biaya politiknya juga memang sangat tinggi bagi para tokoh yang akan
maju dalam pilgub, dan tentunya itu pemborosan juga lah. Karena hitung-hitungan riil aja untuk pilkada langsung di Lampung ini tidak
cukup seratus milliar, kan gitu, untuk pergerakan tim sukses, dan lain- lain sebagainya, alat daya dukung sebaginya. Tapi kalau itu dilakukan di
dewan tentu kan secara financial juga akan lebih rendah, kenap, paling kan akan dilakukan lobi-lobi politik, selain waktu dan lain sebagainya.
Karena kan ketika seseorang mau mencalonkan diri di pilgub kalau dia pejabat, maka kan otomatis akan mengurangi tugas dia diwaktu-waktu
tertentu. Kalau bagi yang pejabat yang tau misalnya seperti Herman HN ketika hari sabtu-minggu kan kelilingnya, tapi kan untuk yang lain
belum tentu begitu. Ya betul. Secara logika kan begini, untuk menjadi seorang gubernur
misalnya dia habis duit 200 miliar, kan bagaimanapun juga dia akan berupaya modalnya itu kembali kan. Apabila dia melakukan hal-hal yang
melanggar untuk mengembalikan dana dia miliki saja, apalagi kalau itu dana dari pinjaman, atau dan sebagainya, itu kan tentu ada membuat
seseorang itu menjadi bisa saja melanggar aturan-aturan, dan itu yang tersangkut dalam berbagai kasus-kasus korupsi misalnya. Nah
sebetulnya untuk di dewan kan lebih efisien dan efektif gitu.
4. Apa tanggapan anda bahwa titik berat otonomi daerah selama ini berada di
kabupatenkota, bukan provinsi serta posisi dan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, di mana gubernur lebih banyak mengerjakan tugas-
tugas limpahan pusat ketimbang tugas daerah? Jawab: Kalau otonomi daerah lebih terfokus pada kabupatenkota itu memang
betul, UU juga kan mengatur demikian. Gubernur adalah koordinator daerah tersebut yang dia harus membawa pesan-pesan pembangunan
tingkat pusat bagi kepentingan daerah, oleh karena itu misalnya pemprov Lampung dia selalu menebar program-program sebaran dari pusat ke
kabupatenkota. Memang itu yang tepat, karena apa, karena kalau kabupatenkota itu maju otomatis kan nama provinsi juga bagus. Hanya
persoalannya adalah, karena otonomi daerah ini sehingga singkronisasi program itu menjadi kadang-kadang tumpang-tindih. Tapi ini semua
berproses kan.
5. Apakah menurut anda, gubernur yang di pilih oleh DPRD Provinsi, dapat
dikatakan sebuah proses yang demokratis ? Jawab: Demokratis, karena dewan itu adalah lembaga perwakilan rakyat, artinya
lembaga yang tugas-tugasnya adalah menyerap dan mewujudkan aspirasi yang berkembang di rakyat yang mereka wakili terutama. Itu demokratis,
bukan berate kalau lewat dewan tidak demokratis, secara hokum ketatanegaraan, karena dewan kita adalah perwakilan rakyat, kan gitu.
6. Apa tanggapan anda, bahwa meskipun gubernur kembali di pilih oleh DPRD
Provinsi, tidak akan menghilangkan praktik money politics, justru hanya perpindahan dari kantong masyarakat ke kantong anggota DPRD ?
Jawab: Pandangan semacam itu tidak salah, tetapi kalau kita nilai cost politiknya
sangat rendah, selain itu juga tidak menimbulkan gesekan-gesekan di sosial masyarakat ini, kan gitu. Kan tidak ada biaya lobi dan lain
sebagainya itu wajar-wajar saja, semua juga adalah kita untuk mengumpulkan teman-teman tim sukses saja kan pasti, 10 orang misalnya
ongkos pulang harus kita kasih kan gitu. Tetapi kalau ukurannya dari kaca mata efisiensi secara cost politik, memang itu lebih efisien, artinya
permainan itu hanya disatu titik. Kalau ini kan harus ke Lampung Barat sana, yang bensin berapa, yang berapa jam, dan lain sebagainya kan. Ini
kan cost politiknya tinggi, sementara dananya juga besar kita ini. Sementara kalau didewan, mereka ini kan perwakilan rakyat, melaui
partai-partai, kan lebih kecil tinggal bicara dengan pimpinan partai,
melobi-lobi partai, punya komitment-komitment politik, dan lain sebagainya. Kalau soal dana cost politik atau berapa ininya itu kan relatif,
kalau kita si di Demokrat tidak mengutamakan itu, manakala kita memang liat potensinya bagus, punya komitment politik untuk melaksanakan
program-program pro-rakyat, masalah anggaran dan lain sebagainya itu belakangan.
7. Kemudian bagaimana pendapat anda tentang posisi anggota DPRD adalah
representasiwakil dari rakyat, karena pada pemilu 2009 yang lalu anggota DPRDPRD di pilih dengan mekanisme suara terbanyak, dalam kaitan ini
mestinya anggota DPRD harus melihat suaraaspirasi dari rakyatkonstituennya? Jawab: Betul, yang betul memang 2009 ini, bahwa itu istilahnya No urut tidak
berpengaruh lebih kepada bagimana siapa yang mendapatkan dukungan dan itu juga secara moral mereka lebih mempunyai keterikatan kepada
konstituennya, terjadi keseimbangan antara keterikatan kepada partai yang mengusungnya dan kepada konstituen. Dan sebaiknya itu yang
dipertahankan untuk kedepan.
B. Sikap
8. Bagaimana partai politik anda menyikapi wacana pemilihan Gubernur oleh
DPRD provinsi tersebut yang sedang dibahas dalam RUU Pilkada? Jawab: Kalau kita begini, kan ini sedang dibahas oleh DPR kan, nah kita sudah
sampaikan ketika kita rapat pimpinan di DPP partai demokrat, positifnya pemilihan melalui dewan adalah ini-ini dan negatifnya ini-ini, itu sudah
kita sampaikan. Dan oleh partai pasti itu disampaikan kepada fraksi di DPR RI, yang pada prinsipnya kita memandang makna demokrasi itu
harus luas, bukan berate kalau tidak langsung dengan rakyat, karena sudah dicoba, terbiasa, menjadi tidak demokratis. Sudah itu ya banyak
sekali pertimbangannya tadi, efisiensi waktu dan lain sebaginya, sesudah itu menghindari terjadinya gesekan-gesekan dimasyarakat ini kan tidak
mudah untuk membangun kembali, perlu waktu yang lama lo terjadi gesekan-gesekan dimasyarakat karena dukung A, dukung B. kalau
usulan kita dari DPD waktu itu memang kita mengusulkan dengan berbagai pertimbangan memang sebaiknya untuk gubernur dipilih di
DPRD.
9. Menurut anda, bagaimana solusi yang tepat untuk mengatasi persoalan biaya
penyelenggaraan pilkada terutama Pemilihan Gubernur yang sangat mahal tersebut?
Jawab: Kalau itu polanya masih dipilih langsung, sulit kita. Kemarin saya diskusi
dengan teman ketua KPU provinsi, koq tinggi amat. Tapi setelah dia sampaikan ini uraiannya, ini segini, segini, kita paham. Sekarang cetak
kertas suara saja kan satunya udah berapa, sementara penduduk
Lampung yang milih misalnya tiga juta misalnya, sudah itu pembentukan lagi sampai ketingkat TPS misalnya, itu kan istilahnya
siapa rakyat yang mau menjadi KPPS, menjadi ini tanpa ada honor, kan tidak ada. Nah ini kan tidak bisa kita inikan dan itu yang paling mahal
adalah biaya penyelenggara, karena sampai ketingkat bawah itu kan harus terbentuk, sampai dia yang menyiapkan TPS. Biaya per-TPS aja
kan rata-rata sewa tenda itu, dan sebagainya itu bisa Rp. 300.000-an, bayangkan kalau di Lampung ini misalnya ada 4000 TPS. Kemudian
pilkada serentak juga seebenarnya lebih bagus lebih kecil, tapi kalau kita hitung-hitung sama saja, seperti contoh misalnya tahun 2008 ketika
pilgub bebarengan dengan pilkada Lampung Utara, otomatis kan masing-masing kertas suaranya kan berbeda-beda, sudah itu kalau
diserentakan demikian anda bayangkan bahwa untuk satu biaya pilkada itu kalau misalnya 500 miliar sudah bisa jadi berapa bangunan, sekolah,
puskesmas, dan lain sebagainya, artinya kan banyak yang terkuras, tapi itulah biaya membangun demokrasi, kita tidak bisa hitung dari sisi itu,
tapi disatu sisi memang kalau untuk efiseinsi penyelenggaran pemilu, itu susah. Ya kalau masyarakat milih langsung kan otomatiskan dari yang
mulai dari kartu pemilih, kertas suara, belum lagi yang rusak, dan sebagainya. Apalagi masyarakat kita sudah terbiasa bahwa dari
masyarakat kita kan sudah terbiasa bahwa dengan pilkada langsung ini mereka akan mendapatkan manfaat-manfaat yang spontan dapat inilah,
itulah, ada yang ngasih ini lah, itulah, nah ini kalau terus terjadi ini kan bahaya sebetulnya untuk proses pendewasaan demokrasi itu sendiri.
10. Menurut anda, bagaimana solusi yang tepat untuk mengatasi persoalan biaya
politik yang mahal dan yang dikeluarkan oleh kandidat cukup besar dalam pilkada langsung, yang menjadi salah satu faktor banyaknya kepala daerah yang
tersangkut kasus korupsi? Jawab:
Ya harus dimulai dari calon tersebut, untuk dia tidak “membeli” suara rakyat dengan proses pendekatan yang secara langsung memberikan
sesuatu pada masyarakat. Tetapi ini juga dampak yang tidak baik dari proses politik pemilihan langsung, masyarakat kita sudah terbiasa
dengan itu. Jadi kalau calon misalkan mengumpulkan orang, terus pulang tidak dikasih ongkos itu aja kan sudah malas, oleh karena itu
prosesnya untuk tingkat provinsi dimulai dengan lewat dewan misalnya begitu, itu kan lebih elegan. Tapi kalau untuk mengurangi sistem politik
begitu maka yang utama adalah bagaimana jaringan partai ini menggerakan seluruh struktur dan kadernya untuk memberikan
pengertian kepada masyarakat, bahwa nanti akan dibayar oleh kepla daerah yang kita dukung setelah dia jadi dengan program-program
pembangunan, hanya didalam beberapa daerah itu kan sulit, seperti contoh ada kebanggaan dari sisi itu, ketika si Faisal Basri calon
independent di DKI kemarin, itu betul-betul tidak pakai uang bahkan
timnya sokongan, urunan, tetapi kan perolehan suara dia kan sebenarnya bagus dibandingkan dengan calon dari golkar. Ini menunjukan untuk
tingkat perkotaan bahwa memilih orang itu dalam proses situ bukan berarti kita dibayar, bukan berarti kita memberikan sesuatu, tetapi kalau
kita di daerah sini masih susah. Contoh, saya dalam beberapa pilkada kemarin, misalnya ada pertemuan apa, saya nyusup ke masyarakat di
daerah yang mereka tidak mengenal saya, saya setting coba itu jangan dikasih apa-apalah itu, itu banyak yang ndumel mereka, ah ngapain
cuma mendengarkan ini-ini aja, tidak ada, kita sudah ninggalin kerja kita disawahlah, inilah, nah ini problem ini, dan ini sudah sampai ditingkat
bawah dan kita sudah lakukan selegan mungkin dan menarik, contoh partai demokrat di Tulang Bawang, kita minta semua kader-kader kita
turun ke masyarakat coba kita tidak pakai dana, kita janjikan saja bahwa nanti akan dibayar oleh calon yang kita usung melalui program-program
dari kepentingan mereka, tapi tidak semudah itu, itu persoalannya. Jadi calon juga gengsi, dia jadi omongan nanti. Ini yang terjadi, masyarakat
kita sudah terbiasa, jadi sulit memang untuk menurunkan cost politik itu. Oleh karena itu, seperti saya hari ini baca dikoran bahwa pak Roby
bilang calon itu harus kuat tiga, pertama dari faktor politik, kedua sosial, dan ketiga finansial. Misal kita dikenal orang, orang simpati, tapi begitu
finansial kita tidak mencukupi untuk kita membuat kantong-kantong suara didaerah, susah juga nantinya. Pembatasan biaya kampaye juga
tidak efektif, karena kenyataanya begini, coba di KPU itu, biaya kampanye, kalau calon kan kemudian buka rekening, biaya kampanye
kan sudah ada pembatasannya, misalnya untuk lembaga sepuluh juta, tapi secara logika saja disitu biaya kampanye cuma dua miliar, bohong
itu, kalau dia pilkada gubernur Lampung yang 14 kabupatenkota, sekarang misalnya cetak kaos, kaos paling murah tujuh ribu, artinya
sudah berapa, kan tujuh juta dia harus cetak, tujuh juta kali sepuluh ribu misalnya, sudah berapa itu, baru kaos. Jadi memang sangat tinggi cost
politiknya itu, belum lagi banner-banner, sepanjang jalan, banner kan rata-rata lima belas ribu satu buahnya, dia tidak cukup untuk di Bandar
Lampung cuma dua ribu misalnya, minimal sepuluh ribu. Kalau tentang batasan-batasan biaya kampanye sebenarnya sudah ada undang-
undangnya, bahwa untuk calon biaya kampanye harus transparan, tapi kalau kita lihat biaya kampanye saya misalnya dua milliard, kana apa
iya, sementara baliho, banner, kaos saya ada dimana-mana, orang kan sudah menghitung. Kemudian yang pelan-pelan harus kita benahi
bersama adalah terutama pandangan masyarakat kita dibawah, bahwa pilkada ini jangan menjadi ajang mereka untuk mendapatkan
pendapatan. Yang terjadi hari kan sudah demikian. Mungkin kalau untuk masyarakat perkotaan seperti Bandar Lampung si mudah-mudahan tidak
begitu. Jadi dalam kondisi pilkada langsung sulit kita untuk menurunkan itu. Pokonya kalau untuk Lampung sulit untuk calon independent yang