HASIL BELAJAR RANAH SIKAP MODEL TEAM GAME TOURNAMENT, JIGSAW, DAN GROUP INVESTIGATION PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

(1)

ABSTRACT

LEARNING RESULT LEVEL MANNER

AMONG TEAM GAMES TOURNAMENT, JIGSAW, AND GROUP INVESTIGATION IN CITIZENSHIP EDUCATION

By Enyang Suandi

The purpose of the research is to analysize learning result that teaching uses Team Game Tournament, Jigsaw and Ggroup Investigation, on the presents positive attitude to law system and national judge. This research include comparative with experiment approaching. Experiment is done for 6 class (12 x 45 minutes) begins October 5 until December 15, 2013, on three different methodes, X1 use TGT, X3 use Jigsaw, and X5 use GI. Based on analysis, conclude that attitude to national law and court system, there is a different attitude to national law and court system for students using TGT, Jigsaw and GI model in learning. The students’ attitude to national law and court system which using TGT is more positive than Jigsaw. Students’ attitude to national law and court system which using TGT is more positive than GI. The students’ attitude to national law and court system which using Jigsaw is more positive than GI.


(2)

ABSTRAK

HASIL BELAJAR RANAH SIKAP MODEL TEAM GAME TOURNAMENT, JIGSAW, DAN GROUP INVESTIGATION PENDIDIKAN

KEWARGANEGARAAN Oleh

Enyang Suandi

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hasil belajar ranah sikap yang pembelajarannya menggunakan model Team Game Tournamen, Jigsaw, dan Group Investigation, pada materi menampilkan sikap positif terhadap sistem hukum dan peradilan nasional. Penelitian ini tergolong penelitian komparatif dengan pendekatan eksperimen, dilakukan selama enam pertemuan (12 x 45 menit) mulai 5 Oktober sampai 15 Desember 2013, pada tiga kelas dengan perlakuan kelas X-1 menggunakan model TGT, kelas X-3 menggunakan model Jigsaw, dan kelas X-5 menggunakan GI. Berdasarkan hasil analisis data, disimpulkan bahwa ada perbedaan tingkat sikap positif terhadap sistem hukum dan peradilan nasional pada siswa yang pembelajarannya menggunakan model TGT, Jigsaw, dan GI. Tingkat sikap positif terhadap sistem hukum dan peradilan nasional yang pembelajarannya menggunakan model TGT lebih baik daripada model Jigsaw. Sikap positif terhadap sistem hukum dan peradilan nasional yang pembelajaranya menggunakan model TGT lebih baik daripada model GI. Sikap positif terhadap sistem hukum dan peradilan nasional yang pembelajarannya menggunakan model Jigsaw lebih baik daripada model GI.


(3)

HASIL BELAJAR RANAH SIKAP MODEL TEAM GAME TOURNAMENT, JIGSAW, DAN GROUP INVESTIGATION PENDIDIKAN

KEWARGANEGARAAN

Oleh

ENYANG SUANDI

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister Pendidikan

Pada

Program Pascasarjana Magister Pendidikan IPS

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

Z

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER PENDIDIKAN IPS FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(4)

Judul Tesis : HASIL BELAJAR RANAH SIKAP MODEL TEAM GAMES TOURNAMENT, JIGSAW, DAN GROUP INVESTIGATION PENDIDIKAN

KEWARGANEGARAAN TAHUN 2012 Nama Mahasiswa : ENYANG SUANDI

No. Pokok Mahasiswa : 110301043

Program Studi : Pendidikan IPS

Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Pembimbing 1

Dr. H. Pargito, M.Pd. NIP. 19590414 1986 03 1 005

Pembimbing II

Dr. H. Edy Purnomo. NIP. 19541016 198003 1 003

2. Ketua Program Pascasarjana Pendidikan IPS

Dr. H. Pargito, M.Pd. NIP. 19590414 1986 03 1 005


(5)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Dr. Hi. Pargito, M.Pd. ...

Sekretaris : Dr. Hi. Eddy Purnomo, M.Pd. ...

Penguji Utama : Dr. R. Gunawan S., S.Pd., S.E., M.M. ...

Penguji Anggota : Dr. Hi. Irawan Suntoro, M.S. ...

2. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Dr. H. Bujang Rahman, M.Si. NIP. 1960031598031003

3. Direktur Program Pascasarjana

Prof. Dr. Sudjarwo, M.S. NIP. 196011091985031001


(6)

LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:

1. Tesis dengan judul ‘Hasil Belajar Ranah Sikap Model Team Games Tournament, Jigsaw, dan Group Investigation Pendidikan Kewarganegaraan’ adalah karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan atas karya penulis lain dengan cara yang tidak sesuai dengan tata etika ilmiah yang berlaku dalam masyarakat akademik atau yang disebut plagiarisme.

2. Hak intelektual atas karya ilmiah ini diserahkan sepenuhnya kepada Universitas Lampung.

Atas pernyataan ini, apabila dikemudian hari ternyata ditemukan adanya ketidakbenaran, saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan kepada saya. Saya bersedia dan sanggup dituntut sesuai hukum yang berlaku.

Bandar Lampung, Maret 2013 Penulis,

Enyang Suandi NPM. 110301043


(7)

RIWAYAT HIDUP

Enyang Suandi dilahirkan pada tanggal 17 Juli 1969 di Tasikmalaya, putra keempat dari Bapak Sudarya (Almarhum) dan Ibu Titing. Pendidikan sekolah dasar tamat pada tahun 1982 di SDN Wangunsari. Tamat pendidikan SLTP pada tahun 1985 di SMPN Setiawaras Kecamatan Cibalong, dan pendidikan SLTA di SPGN Tasikmalaya Jawa Barat tamat pada tahun 1988. Pada tahun 1990 melanjutkan pendidikan di FKIP Unila Jurusan Pendidikan IPS Program Studi PMP-KN tamat tahun 1994. Selanjutnya pada tahun 2011 melanjutkan ke Pascasarjana Pendidikan IPS FKIP Universitas Lampung.

Pada tahun 1997 diangkat menjadi guru PNS dan ditugaskan di SMPN 5 Pakuon Ratu Kabupaten Way Kanan. Pada tahun 1999 dimutasi menjadi staf pengajar di SMAN 1 Baradatu. Tahun 2008 diangkat menjadi guru yang mendapat tugas tambahan sebagai kepala sekolah di SMAN 1 Negeri Agung. Tahun 2011 dimutasi ke SMAN 1 Banjit dan mendapat tugas tambahan sebagai kepala sekolah. Tanggal 15 Januari 2013 dimutasi ke SMAN 2 Gunung labuhan sebagai staf pengajar sampai sekarang.


(8)

Karya kecilku ini kupersembahkan kepada Kedua orang tuaku

Ucu Kakai (Istri)

Aden Anteng Anugrah (Nyunyun), Rayi Anteng Wahdaniah(Cunit), Arsya Anteng Sawawa (Becew)


(9)

SANWACANA

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, hanya dengan limpahan rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Hasil Belajar Ranah Sikap Model Team Games Tournamen, Jigsaw dan Group Investigation Pendidikan Kewarganegaraan”. Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi sebagian persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan Program Pasca Sarjana Pendidikan IPS Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa dukungan dari berbagai pihak yang secara langsung atau tidak telah memberikan kontribusi dalam penyelesaian tesis ini. Untuk itu penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada.

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Rektor Unila; 2. Bapak Dr. Bujang Rahman, M.Si., selaku Dekan FKIP Unila;

3. Bapak Dr. M. Thoha B.S Jaya, M.S., selaku Pembantu Dekan I FKIP Unila; 4. Bapak Drs. Arwin Achmad, M.Si., selaku Pembantu Dekan II FKIP Unila; 5. Bapak Drs. Hi. Iskandar Syah, M.H., selaku Pembantu Dekan III FKIP Unila; 6. Bapak Prof. Dr. Sudjarwo, M.S., selaku Direktur Pascasarjana Unila;

7. Bapak Dr. Hi. Pargito, M.Pd., selaku Ketua Program Pascasarjana Pendidikan IPS FKIP Unila, sekaligus sebagai pembimbing I dalam penyusunan tesis ini;


(10)

8. Bapak Dr. R. Gunawan Sudarmanto, S.E., M.M., selaku Sekretaris Program Pascasarjana Pendidikan IPS FKIP Unila, sekaligus sebagai penguji utama; 9. Bapak Dr. Irawan Suntoro, M.S., selaku penguji II dalam tesis ini;

10.Bapak Eddy Purnomo, M.Pd, selaku pembimbing II dalam penulisan tesis ini; 11.Bapak dan Ibu Dosen Program Pascasarjana Pendidikan IPS FKIP Unila; 12.Teman-temanku di Program Pascasarjana Pendidikan IPS FKIP Unila

Angkatan 2011, Semangat dan motivasi kalian sangat berarti bagi penulis.

Semoga segala bantuan, bimbingan, dorongan yang diberikan kepada penulis, dicatat sebagai amal sholeh di sisi Allah SWT. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis nantikan. Akhir kata semoga tesis ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, Maret 2013 Penulis

Enyang Suandi NPM 1123031043


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

SURAT PERNYATAAN... v

RIWAYAT HIDUP ... vi

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

SANWACANA ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 11

1.3 Pembatasan Masalah ... 12

1.4 Perumusan Masalah ... 12

1.5 Tujuan Penelitian ... 13

1.6 Kegunaan Penelitian ... 14

1.7 Ruang Lingkup Penelitian... 15

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Belajar Dan Pembelajaran ... 17

2.1.1 Hakikat Belajar ... 17

2.1.2 Hakikat Pembelajaran ... 19

2.1.3 Teori Belajar dalam Pembelajaran ... 21

2.2.Pendidikan Kewarganegaraan ... 37

2.2.1 Pengertian ... 37

2.2.2 Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan ... 40

2.2.3 Ruang Lingkup... 39

2.2.4 Hasil Belajar Pendidikan Kewarganegaraan ... 41

2.2.5 Pendidikan Kewarganegaraan dalam Pendidikan IPS ... 44

2.3.Pembelajaran Kooperatif ... 50

2.3.1 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT ... 58

2.3.2 Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw ... 63


(12)

2.4 Kerangka pikir ... 75

2.5 Anggapan Dasar Hipotesis ... 82

2.6 Hipotesis Penelitian ... 83

III. METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian ... 84

3.1.1 Desain eksperimen... 84

3.1.2 Prosedur Penelitian ... 85

3.2 Populasi dan Sampel ... 86

3.3 Variabel Penelitian ... 87

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 89

3.5 Indikator Instrumen Sikap... 90

3.6 Kalibrasi Instrumen ... 92

3.6.1 Uji Validitas Instrumen ... 92

3.6.2 Uji Reliabilitas Instrumen... 94

3.7 Pengujian Persyaratan Analisis Data ... 94

3.7.1 Uji Normalitas ... 95

3.7.2 Uji Homogenitas ... 99

3.8 Teknik Analisis Data ... 101

3.8.1 Analisis Varian Satu Jalur ... 102

3.8.2 Uji-t (Dunet) ... 103

3.9 Pengujian Hipotesis ... 103

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 108

4.1.1 Deskrifsi Data Awal Sikap Positif Siswa... 108

4.1.2 Deskrifsi Data Hasil Penelitian ... 112

4.1.3 Pengijian Hipotesi ... 120

4.2 Pembahasan... 146

4.3 Deskrifsi Pembelajaran Ranah Sikap ... 142

4.3.1 Deskrifsi Pembelajaran Ranah Sikap Model TGT ... 143

4.3.2 Deskrifsi Pembelajaran Ranah Sikap Model Jigsaw ... 152

4.3.3 Deskrifsi Pembelajaran Ranah Sikap Model GI ... 160

4.4 Keterbatasan Penelitian ... 173

V SIMPULAN IMPLIKASI DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 165

5.2 Implikasi ... 166

5.3 Saran ... 169

DAFTAR PUSTAKA ... 183


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Penilaian Ranah Sikap dan Metode Pembelajaran ... 4

2. Langkah-langkah Model Pembelajaran Koopratif... 53

3. Perbedaan Pembelajaran Kooperatif dengan Konvensional ... 54

4. Pola pikir dan Kaji Tindak Model Koofratif Tipe Jigsaw ... 69

5. Tahapan Pembelajaran Koofratif Tipe GI ... 73

6. Desain Penelitian ... 85

7. Indikator Instrumen Skala Sikap ... 90

8. Uji Normalitas Variabel Sikap Siswa Terhadap system Hukum dan Peradilan Nasional dengan Model TGT ... 96

9. Uji Normalitas Variabel Sikap Siswa Terhadap system Hukum dan Peradilan Nasional dengan Model Jigsaw ... 97

10. Uji Normalitas Variabel Sikap Siswa Terhadap system Hukum dan Peradilan Nasional dengan Model GI ... 98

11. Uji Homogenitas Variabel Sikap Siswa Terhadap system Hukum dan Peradilan Nasional dengan Model TGT ... 99

12. Uji Homogenitas Variabel Sikap Siswa Terhadap system Hukum dan Peradilan Nasional dengan Model Jigsaw ... 100

13. Uji Homogenitas Variabel Sikap Siswa Terhadap system Hukum dan Peradilan Nasional dengan Model GI ... 101

14. Rumus Unsur Persiapan Anava Satu jalur ... 102

15. Deskrifsi Nilai Kemampuan Awal Sikap Positif Siswa ... 109

16. Hasil Uji Keseimbangan Nilai TGT dengan Jigsaw ... 110

17. Hasil Uji Keseimbangan Nilai Pre-test TGT dengan GI ... 111

18. Hasil Uji Keseimbangan Nilai Pre-test Jigsaw dengan GI ... 112

19. Distribusi Frekuensi Tingkat Sikap Positif Terhadap Sistem Hukum dan Peradilan Nasional Model TGT ... 113

20. Rekapitulasi Perolehan Nilai TGT ... 114

21. Distribusi Frekuensi Tingkat Sikap Positif Terhadap Sistem Hukum dan Peradilan Nasional Model Jigsaw ... 115

22. Rekapitulasi Perolehan Nilai Jigsaw ... 116

23. Distribusi Frekuensi Tingkat Sikap Positif Terhadap system Hukum dan Peradilan Nasional Model GI ... 118

24. Rekapitulasi Perolehan Nilai GI ... 118

25. Deskrifsi Data Hasil Belajar Ranah Sikap ... 120

26. Perbandingan Hasil Belajar Ranah Sikap TGT, Jigsaw, dan GI ... 128

27. Perbandingan Hasil Belajar Ranah Sikap TGT dengan Jigsaw ... 134

28. Perbandingan Hasil Belajar Ranah Sikap TGT dengan GI ... 137


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Penempatan Pada Meja Turnamen ... 60

2. Aturan Permainan TGT ... 61

3. Hubungan kelompok Asal dan Kelompok Ahli ... 66

4. Paradigma Penelitian ... 83

5. Hasil Belajar Model TGT ... 114

6. Hasil Belajar Model Jigsaw ... 117


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Kisi-kisi Instrumen ... 187

2. Instrumen Penelitian ... 189

3. Rencana pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ... 195

4. Data Awal Sikap Siswa Model TGT ... 206

5. Data Awal Sikap Siswa Model Jigsaw ... 208

6. Data Awal Sikap Siswa Model GI ... 209

7. Rekapitulasi Data Awal Sikap Siswa ... 211

8. Olah Data Awal TGT, Jigsaw, dan GI ... 212

9. Uji Coba Instrumen Penelitian ... 214

10. Data Penelitian Sikap Siswa Model TGT ... 217

11. Data Penelitian Sikap Siswa Model Jigsaw ... 219

12. Data Data Penelitian Sikap Siswa Model GI ... 221

13. Rekapitulasi Data Penelitian Sikap Siswa ... 223

14. Uji Validitas ... 224

15. Uji realibilitas ... 230

16. Olahan Data ... 232

17. Rencana Judul Tesis ... 246

18. Persetujuan Komisi Pembimbing Tesis ... 147

19. Lembar Kendali Tesis ... 148

20. Kartu Seminar ... 152

21. Daftar Hadir Seminar Proposal ... 153

22. Surat Undangan Seminar Hasil ... 154

23. Persetujuan Perbaikan Seminar Hasil ... 155

24. Undangan Ujian ... 156

25. Surat Izin Penelitian ... 157


(16)

1

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran sebagai wahana untuk mengembangkan nilai dan moral siswa yang berakar pada budaya bangsa Indonesia, yang diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku kehidupan sehari-hari, baik sebagai individu maupun selaku warga masyarakat, warga negara dan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu PKn membekali siswa dengan budi pekerti, pengetahuan dan kemampuan dasar terutama yang berhubungan dengan negara, serta pendidikan pendahuluan bela negara agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara (Depdiknas, 1995:2).

Materi pembelajaran PKn tidak sebatas sebagai ilmu pengetahuan saja, tetapi diharapkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat terinternalisasi dan dapat diwujudkan dalam perilaku siswa sehari. Berdasarkan pengalaman penulis, pembelajaran materi standar kompetensi menunjukkan sikap positif terhadap sistem hukum dan peradilan nasional, ditinjau dari tujuan komponen kognitif merupakan materi yang relatif mudah dikuasai siswa, karena banyak imformasi seperti berita koran, radio, televisi, internet, maupun informasi yang bersumber dari obrolan-obrolan yang terjadi dalam pergaulan masyarakat yang menjadi sumber informasi, tetapi apabila ditinjau dari pencapaian tujuan afektif, materi ini


(17)

2 merupakan materi yang sangat sulit, karena informasi yang diserap siswa dari sumber belajar yang disebutkan di atas, cenderung negatif, misalnya informasi tentang ketidakmampuan aparat penegak hukum dalam mencegah dan memberantas tindak kejahatan, pemberantasan korupsi yang timbul tenggelam, penegakkan hukum yang hanya „tajam’ kepada rakyat kecil, keputusan hakim yang kurang memenuhi rasa keadilan, atau adanya oknum penegek hukum seperti hakim, jaksa dan polisi yang tersandung kasus suap atau mafia hukum. Informasi yang negatif ini akan membentuk pola sikap yang negatif juga dalam persepsi siswa.

Oleh karena itu, perlu adanya upaya-upaya guru PKn untuk mensinergikan kemampuan yang dimilikinya untuk merakit materi, media, metoda, strategi dan evaluasi hasil pembelajaran menjadi sebuah kekuatan pembelajaran yang memungkinkan terjadinya transformasi pengetahuan dan internalisasi nilai-nilai afektif, terutama upaya klarifikasi terhadap informasi yang telah diserap siswa. Hal ini penting dilakukan agar siswa mendapatkan informasi yang seimbang, sekaligus upaya untuk merubah dan membentuk sikap positif siswa terhadap sistem hukum dan peradilan nasional.

Berkenaan dengan penilaian, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 pasal 64, menetapkan bahwa kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian memiliki 2 ranah hasil belajar yang perlu dinilai, yaitu ranah kognitif dan ranah afektif. Misi kelompok mata pelajaran ini dimaksudkan untuk peningkatan kesadaran dan wawasan siswa akan status, hak, dan kewajibannya dalam


(18)

3 kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia.

Berdasarkan uraian di atas tampak jelas, bahwa proses pembelajaran dan penilaian hasil belajar Pendidikan Kewarganegaraan menghendaki porsi yang seimbang antara ranah kognitif dan afektif. Namun kenyataanya di sekolah penilaian ranah afektif agak terabaikan. Sehingga dampak yang terjadi seperti yang menjadi sorotan masyarakat akhir-akhir ini. Lembaga pendidikan menghasilkan lulusan yang kurang memiliki sikap positif sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat (Pargito, 2011 : VII-8).

Menurut (Depdiknas, 2004: 8-11) ada 5 tipe karakteristik afektif yang penting, diperhatikan, yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral. Minat, adalah suatu disposisi yang terorganisir melalui pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus, aktivitas, pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian. Konsep diri, adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimilikinya. Nilai, merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap jelek. Moral, berkaitan dengan perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri sendiri. Sikap, adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi, konsep, atau orang. Sikap siswa setelah mengikuti pelajaran harus lebih positif dibanding sebelumnya. Perubahan ini merupakan salah satu indikator keberhasilan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran yang nemberikan pengalaman belajar yang dapat mengubah sikap siswa menjadi lebih positif.


(19)

4 Untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih akurat, maka dalam tesis ini peneliti hanya meneliti yang berkenaan dengan sikap sebagai hasil belajar.

Berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang penulis lakukan di SMAN 1 Banjit, proses pembelajaran dan penilaian hasil belajar yang dilakukan guru PKn masih mengedepankan ranah kognitif, sementara ranah sikap agak terabaikan. Dalam pengertian penilaian sikap yang terprogram dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), terealisasi dalam proses pembelajaran, dan menghasilkan data yang dapat dimanfaatkan selain sebagai laporan kepada orang tua/wali siswa (Raport), juga dapat dijadikan umpan balik oleh guru yang bersangkutan sebagai bahan pertimbangan untuk memperbaiki proses pembelajaran berikutnya. Hasil prapenelitian yang penulis lakukan terhadap RPP mata pelajaran PKn yang ada dalam Dokumen II Kurikulum SMAN 1 Banjit Tahun Pelajaran 2011/2012, diperoleh data sebagai berikut.

Tabel 1.1 Penilaian Hasil Belajar Ranah Sikap dan Penggunaan Metode Pembelajaran Dalam RPP

No RPP Kelas X Ranah Penilaian Metode Pembelajaran Kognitif Sikap

1 RPP 1 V V Ceramah, Tanya jawab, penugasan

2 RPP 2 V V Ceramah

3 RPP 3 V - Diskusi, Tanya jawab

4 RPP 4 V V Pemberian tugas, Tanya jawab

5 RPP 5 V - Ceramah, diskusi, tanya jawab

6 RPP 6 V - Jigsaw

7 RPP 7 V - Ceramah Tanya jawab, diskusi

Jumlah 7 3

Sumber : KTSP SMAN 1 Banjit Tahun Pelajaran 2012/2013

Berdasarkan Tabel 1.1 dapat kita ketahui bahwa guru PKn yang memprogramkan penilaian ranah sikap dalam RPP baru sekitar 42%. Penilaian ranah sikap selama


(20)

5 ini hanya dilakukan di akhir semester untuk keperluan mengisi nilai raport berdasarkan pada kemampuan guru „mengingat-ingat’ atas peristiwa proses pembelajaran selama satu semester tanpa dilengkapi data-data. Hasilnya dapat dipastikan sangat subjektif, dan tingkat akurasinya jauh dari harapan. Menurut (Eddy Purnomo, 2011:45), seseorang cenderung akan melakukan sesuatu jika kegiatan itu dinilai. Demikian juga dengan hasil belajar ranah sikap, siswa akan cenderung munjukkan sikap yang positif jika dia tahu bahwa sikap mereka itu dinilai. Oleh karena itu penilaian hasil belajar ranah sikap mutlak diperlukan.

Berkenaan dengan penilaian hasil belajar, (Depdiknas, 2004: 4) mengakui bahwa, hasil belajar akan bermanfaat bagi masyarakat apabila para lulusan memiliki perilaku dan pandangan yang positif dalam ikut mensejahterakan dan menenteramkan masyarakat. Masalah afektif dirasakan penting oleh semua orang, namun implementasinya masih kurang. Hal ini disebabkan merancang pencapaian tujuan pembelajaran afektif tidak semudah seperti pembelajaran kognitif.

Selain itu, dari tabel 1.1 di atas dapat diketahui bahwa penggunaan metode ceramah masih dominan. Adapun metode tanya jawab, dan diskusi hanya akan muncul ketika ada siswa yang bertanya. Dengan alur kegiatan yang hampir sama, yaitu guru menjelaskan materi pelajaran, sesekali memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya, maka terjadilah dialog antara guru dengan siswa. Akan tetapi jika tidak ada siswa yang bertanya maka dari awal hingga akhir kegiatan pembelajaran didominasi dengan metode ceramah. Penyampaian materi pembelajaran bersifat abstrak, dengan menjelaskan definisi atau teori, dan memberikan contoh-contoh. Sehingga selama proses pembelajaran siswa kurang


(21)

6 aktif dan tidak terjadi interaksi antar siswa, siswa hanya mendengar dan mencatat penjelasan dari guru. Akibatnya siswa kelihatan jenuh, dan merasa bosan di dalam kelas. Siswa cenderung mudah tersinggung, individualistik, egois, dan hanya memikirkan keberhasilan belajarnya sendiri, karena mereka tidak dibiasakan saling bantu, antara siswa yang satu dengan yang lainnya dalam proses pembelajaran. Guru belum terbiasa menerapkan pembelajaran dengan model belajar kelompok sehingga pembelajaran teman sebaya yang memungkinkan dapat meningkatkan prestasi belajar, keakraban, kesetiakawanan antar siswa belum tereksploitasi.

Pembelajaran „sangat kering’ akan pesan-pesan nilai moral. Sehingga transformasi nilai-nilai luhur bangsa yang diharapkan cenderung „liar’, tanpa adanya pola pembinaan yang intensif dan berkelanjutan. Akibatnya, siswa kurang memiliki kemampuan untuk menampilkan sikap positif terhadap sistem hukum dan peradilan nasional. Gejala ini tercermin dalam sikap siswa, yang kurang menghargai prestasi dan ilmu pengetahuan, rasa hormat terhadap guru menurun, dan tingkat ketaatan terhadap norma dan peraturan yang tumbuh di masyarakat juga kurang. Di dalam kelas gejala penurunan sikap ini dapat dilihat dari menurunnya disiplin, perkelahian sering terjadi, siswa terlambat, keluar masuk kelas, membolos, pakaian tidak rapi dan lain sebagainya. Apabila proses pembelajaran seperti ini berlangsung terus menerus tanpa ada upaya perbaikan, maka lambat-laun akan mengakibatkan menurunya sikap siswa terhadap proses pembelajaran itu sendiri, bahkan bisa menjadi negatif.


(22)

7 Untuk merubah dan membentuk sikap positif siswa terhadap sistem hukum dan peradilan nasional, perlu diterapkan model pembelajaran yang memungkinkan terjadi interaksi multi arah, antara guru dengan siswa, dan siswa dengan siswa. Guru memberikan bahan pembelajaran dengan selalu memberi kesempatan kepada siswa untuk aktif memberikan reaksi. Siswa diberi kebebasan untuk memberi tanggapan kritis tanpa ada perasaan takut. Siswa perlu dibiasakan untuk berbeda pendapat, tetapi tetap berada dalam suasana keakaraban dan persaudaraan. Sehingga perbedaan itu dimaknai untuk memperkaya khasanah intelektual. Dalam pembelajaran, siswa diperlakukan sebagai subyek belajar, bukan „botol kosong’ yang pasrah untuk diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan oleh guru. Dewasa ini rasanya guru perlu mengubah dirinya menjadi sosok guru yang demokratis, karena kenyataannya bahwa guru bukan lagi satu-satunya sumber belajar. Dalam era globalisasi informasi sekarang, tidak bisa dipungkiri, akses siswa terhadap berbagai sumber informasi menjadi begitu luas; melalui televisi, radio, buku, koran, majalah, dan internet. Saat berada dalam kelas, siswa telah memiliki seperangkat pengalaman, pengetahuan, dan informasi dasar. Informasi dasar yang dimiliki siswa tersebut bisa sesuai dengan bahan pelajaran, bisa juga bertentangan. Pembelajaran yang demokratis memungkinkan terjadinya proses dialog yang berujung pada pencapaian tujuan instruksional yang ditetapkan. Tanpa adanya demokratisasi dalam kelas, guru akan menjadi penguasa tunggal yang pendapatnya tidak boleh diganggu gugat. Efeknya siswa terkekang, merasa kemampuannya tidak dihargai, potensi kreativitasnya terbunuh, dan akhirnya hasil belajar ranah sikapnya rendah.


(23)

8 Dengan demikian, diperlukan kreativitas guru dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran dengan menciptakan suasana pembelajaran yang membuat siswa tertarik dan aktif mengikuti pembelajaran. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan adanya suatu upaya nyata dari seorang guru untuk memperbaiki proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran yang membuat siswa aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Satu di antara model yang dapat direncanakan dan dilaksanakan dengan baik oleh guru adalah model pembelajaran kooperatif. Pembelajaran menggunakan model kooperatif, diharapkan menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan hasil belajar ranah sikap siswa.

Pada pembelajaran kooperatif, siswa diasumsikan „tenggelam bersama atau berenang bersama’. Sehingga tanggung jawab siswa terhadap keberhasilan belajar siswa yang lain dalam kelompok semakin nyata. Siswa berbagi tugas dan tanggung jawab yang sama besarnya. Selanjutnya hasil belajar siswa akan dievaluasi dan berdampak terhadap evaluasi kelompok, dan masing-masing siswa akan diminta pertanggungjawaban secara individual atas materi pembelajaran dalam kelompok kooperatif.

Model pembelajaran koopratif secara sadar dan sistematis mengembangkan interaksi yang “silih asah, silih asih dan silih asuh” antara sesama siswa sebagai latihan untuk meningkatkan hasil belajar ranah sikap sebagai bekal hidup dalam masyarakat. Adapun model-model pembelajaran kooperatif meliputi: Jigsaw, Student Teams Achievment Division (STAD), Team Geam Tournament (TGT),


(24)

9 Group Investigation (GI), Team Accelerated Instruction (TAI) dan Cooperative Integrated Reading Compotition (CIRC).

Penerapan pembelajaran kooperatif pada siswa akan mendorong mereka untuk aktif dan terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Melalui interaksi langsung dengan guru dan teman sebaya, diharapkan dapat merangsang kepekaan sosial mereka, sehingga kegiatan dan usaha mereka lebih bermakna dan produktif. Di antara model pembelajaran koopratif adalah kooperatif tipe Team Geam Tournament (TGT), Jigsaw, dan Group Investigation (GI).

Model Team Geam Tournament (TGT), Pembelajaran dimulai dengan penjelasan guru tentang materi-materi pokok, dilanjutkan dengan kegiatan kelompok, dan dibagian akhir diadakan perlombaan untuk menguji tingkat penguasaan siswa. Ini erat kaitannya dengan penanaman nilai kerja sama, tanggung jawab pribadi siswa dan tanggung jawab kelompok. Sebuah kelompok akan lebih maju dan mendapat juara jika didukung oleh semua anggotanya. Sumbangan sekecil apapun sangat berpengaruh terhadap nilai kelompok. Sehingga masing-masing siswa akan merasa diakui eksistensi ditengah-tengah siswa yang lain.

Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, selain menekankan tanggung jawab kelompok baik pada kelompok ahli maupun kelompok asal, juga menekankan tanggung jawab pribadi, dalam hal mempelajari topik pelajaran dan mengajarkan materi itu kepada teman-temannya yang lain dalam kelompok asal. Dengan demikian terjadi proses memberi dan menerima antara siswa yang satu dengan yang lainnya. Apabila model ini dilakukan terus menerus maka dapat membina


(25)

10 rasa persaudaraan, tanggung jawab, kerja sama dan ketergantungan yang saling menguntungkan antar siswa.

Model Group Investigation (GI), kegiatan dimulai dengan pemilihan topik materi yang akan dipelajari, siswa dilibatkan sejak perencanaan, melakukan investigasi kelompok, penyusunan laporan, dan presentasi hasil kerja. Proses itu dilakukan bersama-sama, saling mengisi, saling memberi, saling menutupi dalam kekurangan, dan saling mempertahankan yang menjadi kelebihan dalam kelompok. Dari proses itulah diharapkan muncul rasa tanggung jawab, kerja sama, keakraban dan ketergantungan yang positif. Karena mereka sudah membuktikan sendiri betapa pentingnya keberadaan teman sebaya dalam proses pembelajaran.

Berdasarkan uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa penggunaan model pembelajaran TGT, Jigsaw, dan GI dimungkinkan dapat merubah dan membentuk sikap positif terhadap sistem hukum dan peradilan nasional, dengan alasan secara teoritis model pembelajaran tersebut menekankan pada pembelajaran yang berpusat pada siswa. Memberi ruang yang cukup kepada siswa untuk berekspresi dan mengeksploitasi potensi yang ada pada dirinya, dengan tetap mematuhi langkah-langkah atau tetap taat pada peraturan-peraturan yang ada dalam ketiga model itu. Dengan kata lain langkah-langkah kegiatan dan peraturan yang ada pada masing-masing model itu penulis artikan sebagai peraturan yang harus ditaati. Dengan demikian ada persamaan antara peraturan yang ada pada model pembelajaran itu dengan peraturan hukum yang berlaku dalam masyarakat. yaitu peraturan bersifat memaksa, peraturan itu ada untuk menciptakan ketertiban, dan harus di taati. Sehingga TGT, Jigsaw, dan GI, dipandang bisa menjadi


(26)

11 laboratorium penanaman nilai-nilai untuk mewujudkan sikap positif siswa terhadap sistem hukum dan peradilan nasional. Sehingga proses pembelajaran akan berlangsung lebih efektif, lebih bermakna, dan lebih menyenangkan. Dalam suasana yang menyenangkan itulah diharapkan tumbuh nilai-nilai positif terhadap obyek sikap yang dibelajarkan.

Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, sebagai solusi alternatif untuk mengatasi rendahnya sikap positif terhadap sistem hukum dan peradilan nasional maka penulis melakukan eksperimen dengan memberikan perlakuan model pembelajaran yang berbeda terhadap tiga kelas yang berbeda, dengan tolok ukur keberhasilan hasil belajar ranah sikap. Judul penelitian „Hasil Belajar Ranah Sikap Model Team Geam Tournament, Jigsaw, dan Group Investigation Kelas X SMA Negeri 1 Banjit Tahun 2012’.

1.2Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka identifikasi masalah dalam penelitian adalah.

1.2.1. Kualitas proses dan hasil belajar ranah sikap Pendidikan Kewarganegaraan di Kelas X SMA Negeri 1 Banjit tergolong rendah. Dominasi proses pembelajaran dan penilaian hasil belajar yang dilakukan guru masih mengarah kepencapaian ranah kognitif, sementara ranah afektif agak terabaikan. Guru jarang melakukan penilaian hasil belajar ranah sikap. 1.2.2. Guru PKn di SMAN 1 Banjit masih mengajar dengan model pembelajaran


(27)

12 contoh dan latihan soal-soal. Pembelajaran lebih berpusat pada guru bukan pada siswa, sehingga siswa kurang aktif dan kreatif, sebagian siswa kelihatan jenuh mendengar dan mencatat penjelasan guru, dan cenderung keluar masuk kelas dengan berbagai alasan.

1.2.3. Guru PKn SMAN 1 Banjit kurang variatif menggunakan model pembelajaran PAIKEM yang memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan pembelajaran secara kelompok. Sehingga siswa cenderung bersifat individual yang hanya mengandalkan kemampuan belajarnya sendiri.

1.2.4. Pembelajaran lebih berorientasi pada ketuntasan target penyampaian materi bukan pada pencapaian tujuan dan kompetensi yang akan dicapai.

1.3Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah menganalisis perbandingan hasil belajar ranah sikap yang pembelajarannya menggunakan model Team Geam Tournament, Jigsaw, dan Group Investigation pada standar kompetensi (materi) menampilkan sikap positif terhadap sistem hukum dan peradilan nasional.

1.4Perumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan dijadikan poin kajian adalah sebagai berikut.

1.4.1 Apakah ada perbedaan tingkat sikap terhadap sistem hukum dan peradilan nasional antara siswa yang pembelajarannya menggunakan model Team Game Tournamen, model Jigsaw, dan model Group Investigation?


(28)

13 1.4.2 Manakah yang lebih baik tingkat sikap positif terhadap sistem hukum dan

peradilan nasional, antara siswa yang pembelajarannya menggunakan model Team Game Tournamen dengan model Jigsaw?

1.4.3 Manakah yang lebih baik tingkat sikap positif terhadap sistem hukum dan peradilan nasional, antara siswa yang pembelajarannya menggunakan model Team Game Tournamen dan model Group Investigation?

1.4.4 Manakah yang lebih baik tingkat sikap positif terhadap sistem hukum dan peradilan nasional, antara siswa yang pembelajarannya menggunakan model Jigsaw dan Group Investigation?

1.5Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah.

1.5.1 Untuk menganalisis apakah ada perbedaan tingkat sikap positif terhadap sistem hukum dan peradilan nasional antara siswa yang pembelajarannya menggunakan model Team Game Tournamen, model Jigsaw, dan model Group Investigation.

1.5.2 Untuk menganalisis manakah yang lebih baik tingkat sikap terhadap sistem hukum dan peradilan nasional, antara kelas yang pembelajarannya menggunakan model Team Game Tournamen dan model Jigsaw.

1.5.3 Untuk menganalisis manakah yang lebih baik tingkat sikap positif terhadap sistem hukum dan peradilan nasional, antara kelas yang pembelajarannya menggunakan model Team Game Tournamen dan model Group Investigation.


(29)

14 1.5.4 Untuk menganalisis manakah yang lebih baik tingkat sikap positif terhadap

sistem hukum dan peradilan nasional, antara kelas yang pembelajarannya menggunakan model Jigsaw dan Group Investigation.

1.6 Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian tentang hasil belajar ranah sikap yang diberi perlakuan model Team Game Tournament, Jigsaw, dan Group Investigation adalah sebagai berikut.

1.6.1 Secara Teoritis

Secara teorits penelitian ini mengembangkan ilmu pendidikan yang di dalamnya terdapat teori-teori belajar, model pembelajaran khususnya model pembelajaran koopratif tipe TGT, Jigsaw dan GI. Kajian keilmuan yang berkaitan dengan penelitian ini adalah, pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan sebagai bagian dari pendidikan IPS. Ada lima perspektif pada tujuan pendidikan IPS, 1) IPS sebagai transmisi kewarganegaraan, 2) IPS sebagai pengembangan pribadi, 3) IPS sebagai refleksi inkuiri, 4) IPS sebagai pendidikan ilmu-ilmu social, 5) IPS sebagai pengambil keputusan rasional dan aksional.

1.6.2 Secara Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi siswa, guru, dan sekolah yaitu.

a. Bagi siswa, memperoleh pengalaman pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif dan menyenangkan dalam mempelajari materi menampilkan sikap positif terhadap sistem hukum dan peradilan nasional.


(30)

15 b. Bagi guru, memperoleh pengalaman dalam upaya meningkatkan hasil belajar

ranah sikap dan merupakan satu solusi memperoleh alternatif penggunaan model pembelajaran.

c. Bagi sekolah, mendorong terciptanya sekolah yang melaksanakan pembelajaran yang efektif, efisien, dan bermakna.

1.7 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian dalam tesis ini adalah ruang lingkup ilmu, objek penelitian, subjek penelitian, tempat penelitian, dan waktu penelitian.

1.7.1 Ruang Lingkup Ilmu

Ada lima tradisi social studies, yaitu (1) IPS sebagai transmisi kewarganegaraan (Social studies as citizens hip transmission) ; (2) IPS sebagai ilmu-ilmu social (Social studies as social sciences); (3) IPS sebagai penelitian mendalam (Social studies as reflective inquiry); (4) IPS sebagai kritik kehidupan social (Social studies social criticism); (5) IPS sebagai pengembangan pribadi individu (Social studies as personal development of the individual) (Sapria, 2009:13).

Dari kelima tradisi pendidikan IPS di atas maka penelitian ini dapat dikatagorikan berada pada tradisi.

a. IPS sebagi transmisi kewarganegaraan, penelitian ini berupaya untuk pengembangkan pribadi siswa. Salah satu tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah membentuk siswa menjadi warga negara yang baik. Hal ini terlihat dari adanya pengembangan penilain ranah sikap dalam menilai hasil belajar sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari penilaian hasil


(31)

16 belajar. Namun dalam pelaksanaan selama ini penilaian hasil belajar ranah sikap kurang mendapat perhatian guru.

b. Pengembangan Pribadi, hal ini terlihat pada upaya guru yang bereksperimen untuk menentukan model pembelajaran apa yang cocok untuk meningkatkan hasil belajar. Guru berusaha mengembangkan kompetensinya terutama kompetensi pedagogik dan profesional, penguasaan sekaligus menerapkan model pembelajaran Team Game Tournament, Jigsaw, dan Group Investigation, sekaligus mengembangkan penilaian ranah ranah sikap.

c. IPS sebagai refleksi inkuiri dan IPS sebagai pengambil keputusan rasional dan aksional artinya dari masalah yang dihadapi, seorang guru IPS harus mampu menemukan solusi bagi pemecahan masalah terutama dalam tugas pembelajarannya.

Dalam kajian ilmu IPS terdapat 10 tema utama yang berfungsi sebagai mengatur alur untuk kurikulum social di setiap tingkat sekolah, kesepuluh tema tersebut terdiri, (1) budaya, (2) waktu, kontinuitas dan perubahan, (3) orang, tempat dan lingkungan, (4) individu, pengembangan dan identitas, (5) individu, kelompok dan lembaga, (6) kekuasaan, wewenang dan pemerintahan, (7) produksi, distribusi, dan konsumsi, (8) saint, teknologi dan masyarakat, (9) koneksi global dan (10) cita-cita dan praktek warganegara (National Council for The Social Studies, 1994:19).


(32)

17 1.7.2 Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah hasil belajar ranah sikap, yang menggunakan model pembelajaran Koopratif tipe Team Game Tournament, Jigsaw, dan Group Investigation.

1.7.3 Subjek Penelitian

Subjek penelitian dalam tesis ini adalah siswa kelas X SMAN 1 Banjit semester ganjil Tahun Pelajaran 2012/2013 sebanyak 178 orang.

1.7.4 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMAN 1 Banjit, yang beralamat di Jl. A.K. Gani Nomor 100 Bali Sadhar Selatan, kecamatan Banjit, Kabupaten Way Kanan.

1.7.5 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 5 Oktober sampai dengan 15 Desember 2012


(33)

II. KAJIAN PUSTAKA 2.1 Teori Belajar dan Pembelajaran

2.1.1 Hakikat Belajar

Belajar dapat didefinisikan dari berbagai sudut padang, rujukan teori, dan konsep dasarnya. Para ahli menyusun definisi dengan berbagai ragam walaupun tetap memiliki arah definisi yang relatif sama. Belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotorik (Djamarah, 2002:13). Sedangkan (Budiningsih, 2005: 20) memberikan definisi belajar sebagai bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya.

Proses belajar bagi seorang individu dapat terjadi dengan sengaja maupun tidak sengaja. Belajar yang disengaja merupakan suatu kegiatan yang disadari dan dirancang serta bertujuan untuk memperoleh pengalaman baru. Sedangkan proses belajar yang tidak sengaja merupakan suatu interaksi yang terjadi antara manusia dengan lingkungannya secara kebetulan, dimana dalam interaksi tersebut individu memperoleh pengalaman baru (Callahan, 1993:198).

Belajar yang dilakukan siswa ada hubungannya dengan usaha pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Pada satu sisi, belajar yang dialami oleh siswa terkait dengan pertumbuhan jasmani yang siap berkembang. Pada sisi lain, kegiatan belajar


(34)

19 berupa perkembangan mental juga didorong oleh tindakan pendidikan atau pembelajaran. Dengan kata lain, belajar ada kaitannya dengan usaha atau rekayasa guru. Dari sisi siswa, belajar yang dialaminya sesuai dengan pertumbuhan jasmani dan perkembangan mental, akan membuahkan hasil belajar sebagai dampak pengiring. Selanjutnya dampak pengiring tersebut akan menghasilkan program belajar sendiri sebagai perwujudan partisipasi siswa menuju kemandirian. Dari segi guru, kegiatan belajar siswa merupakan akibat dari tindakan pendidikan atau pembelajaran. Proses belajar siswa tersebut menghasilkan perilaku yang dikehendaki, suatu hasil belajar sebagai dampak pembelajaran. (Dimyati & Mudjiono, 2002: 25).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah proses aktif dalam memberi reaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu yang sedang belajar, yang diarahkan kepada pencapaian tujuan dengan melihat, mengamati, memahami dan keterlibatan langsung dalam proses pembelajaran merupakan sesuatu untuk mendapatkan pengalaman baru. Proses belajar akan terkait dengan bagaimana mengubah tingkah laku individu, baik tingkah laku yang dapat diamati antara lain kecenderungan perilaku ataupun perilaku yang sulit diamati, seperti kemampuan berpikir.

2.1.2 Hakikat Pembelajaran

Membelajarkan siswa dengan menggunakan asas pendidikan dan teori belajar, merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai


(35)

20 pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau murid (Sagala, 2007: 61).

Lebih lanjut, (Sagala, 2007:61-62) mengungkapkan bahwa pembelajaran mengandung arti setiap kegiatan yang dirancang untuk membantu seseorang mempelajari suatu kemampuan dan atau nilai yang baru. Proses pembelajaran pada awalnya meminta guru untuk mengetahui kemampuan dasar yang dimiliki oleh siswa. Kemampuan dasar, motivasinya, latar belakang akademiknya, latar belakang sosial ekonominya, dan lain sebagainya.

Pembelajaran dapat dilakukan di mana saja, dan kapan saja. Berkembangnya teknologi informasi komunikasi lewat radio, televisi, film, internet, surat kabar, majalah, dapat membantu dan mempermudah siswa untuk belajar. Meskipun perkembangan teknologi informasi tersebut, tidak selalu mendorong seseorang untuk memperoleh pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan. Guru profesional memerlukan pengetahuan, keterampilan dan pendekatan pembelajaran agar mampu mengelola proses pembelajaran.

Pembelajaran berasal dari kata belajar yang berarti adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan yang dimaksud mencakup aspek koginitif, afektif, dan psikomotorik. Dengan demikian pembelajaran dapat diartikan proses yang dirancang untuk mengubah diri seseorang, baik aspek kognitif, afektif, maupun psikomotoriknya (Suwardi, 2007:30).

Dalam pembelajaran dibutuhkan pendekatan dan model yang sesuai dengan tujuan, kompetensi yang ingin dicapai, karakteristik siswa, sarana dan prasarana yang tersedia. Pendekatan pembelajaran dapat berarti panutan pembelajaran yang


(36)

21 berusaha meningkatkan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik siswa dalam pengolahan pesan sehingga tercapai sasaran belajar.

2.1.3 Teori Belajar dalam Pembelajaran

Ada beberapa teori belajar dan pembelajaran yang penting untuk dimengerti dan diterapkan oleh seorang guru sesuai dengan kondisi dan konteks pembelajaran. Masing-masing teori tentu saja memiliki kelemahan dan kelebihan. Pada penelitian ini penulis membatasi pada teori belajar konstruktivistik, behavioristik, dan humanistik yang erat kaitannya dan merupakan dasar pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang dilakukan di dalam kelas.

2.1.3.1 Teori Belajar Konstruktivistik

Menurut pandangan teori konstruktivistik, belajar merupakan usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang menuju pada pembentukkan struktur kognitifnya, memungkinkan mengarah kepada tujuan tersebut. Oleh karena itu, pembelajaran diusahakan agar dapat memberikan kondisi terjadinya proses pembentukkan tersebut secara optimal pada diri siswa. Proses belajar sebagai suatu usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi, akan membentuk suatu konstruksi pengetahuan yang menuju pada kemutakhiran struktur kognitifnya.

Menurut pandangan (Bettercount, 2005:1), belajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru kepada siswa melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri struktur pengetahuannya. Pembelajaran berarti partisipasi guru bersama siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat


(37)

22 makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Jadi pembelajaran adalah suatu bentuk belajar itu sendiri.

Sementara Von Glaserfeld dalam Endrawati (2005:1), mengungkapkan bahwa pembelajaran adalah membantu seseorang berpikir secara benar dengan membiarkannya berpikir sendiri. Karakteristik pembelajaran yang dilakukan dalam teori belajar konstruktivistik adalah: (1) membebaskan siswa dari belenggu kurikulum yang berisi fakta-fakta lepas yang sudah ditetapkan, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide-idenya, serta membuat kesimpulan-kesimpulan, (2) menempatkan siswa sebagai kekuatan timbulnya interes, untuk membuat hubungan di antara ide-ide atau gagasannya, kemudian memformulasikan kembali ide-ide tersebut, serta membuat kesimpulan-kesimpulan, (3) guru bersama-sama siswa mengkaji pesan-pesan penting bahwa dunia adalah kompleks, di mana terdapat bermacam-macam pandangan tentang kebenaran yang datangnya dari berbagai interprestasi, dan (4) guru mengakui bahwa proses belajar dan penilaiannya merupakan suatu usaha yang kompleks, sukar dipahami, tidak teratur, dan tidak mudah dikelola. Teori belajar konstruktivistik yang diterapkan dalam kegiatan pembelajaran akan memberikan sumbangan besar dalam membentuk siswa menjadi kreatif, produktif, dan mandiri.

Konstruktivisme merupakan landasan berpikir bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit prestasinya diperluas melalui konteks terbatas (sempit) dan tidak serta merta. Pengetahuan itu bukan seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat (Abdurahman, 2000:33).


(38)

23 Dalam kontek ini siswa harus mampu merekontruksi pengetahuan dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Belajar merupakan proses mengkonstruksi sendiri dari bahan-bahan pelajaran yang bisa berupa teks, dialog, membuktikan rumus dan sebagainya. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksi pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivis adalah ide, bahwa siswa harus menemukan dan mentranformasikan suatu informasi itu menjadi milik mereka sendiri.

Menurut Zahronik (1995:26) ada lima elemen yang harus diperhatikan dalam proses pembelajaran. 1). Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge); 2). Pemrosesan pengetahuan baru (acquorong knowledge) dengan cara mempelajari secara keseluruhan dulu, kemudian memperhatikan detailnya; 3). Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), yaitu dengan cara menyusun konsep sementara (hipotesis), melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan (validasi) dan atas dasar tanggapan itu, konsep tersebut di revisi dan dikembangkan; 4). Mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman (appliying knowledge); 5). Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut.

Penting bagi siswa tahu „untuk apa’ ia belajar, dan bagaimana’ ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu. Atas dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan „menerima’ pengetahuan. Dalam proses


(39)

24 pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar.

Proses pembelajaran hendaknya siswa dikondisikan sedemikan rupa oleh guru, sehingga siswa diberi keleluasaan untuk mencobakan, menjalani sendiri apa yang mereka inginkan. Dalam kaitan ini Zahronik (1995:28) mengungkapkan.

1. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya sendiri.

2. Siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari menghafal.

Manusia mempunyai kecenderungan untuk belajar dalam bidang tertentu, dan seorang anak mempunyai kecenderungan untuk belajar dengan cepat akan hal-hal yang baru.

2.1.3.2 Teori Belajar Humanistik

Menurut teori belajar humanistik, proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia. Oleh karena itu, teori belajar humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori kepribadian, dan psikoterapi dari pada bidang kajian psikologi belajar.

Berkaitan dengan teori belajar humanistik, Ausubel (2005:9) mengungkapkan bahwa; setiap manusia memiliki kapasitas alamiah untuk belajar, karena setiap manusia memiliki 6 (enam) dorongan dasar, yaitu; (1) rasa ingin tahu (sense of curiosity), (2) hasrat ingin membuktikan secara nyata apa yang sedang dan sudah dipelajari (sense or reality), (3) keberminatan pada sesuatu (sense of interest); (4) dorongan untuk menemukan sendiri (sense of discovery); (5) dorongan


(40)

25 berpetualang (sense of adventure); (6) dorongan menghadapi tantangan (sense of challenge).

Belajar adalah aktivitas untuk mengembangkan kapasitas alamiah yang terdapat dalam diri setiap siswa. Belajar adalah aktivitas untuk menciptakan atau membangun makna-makna personal dan kaitan-kaitan penuh makna antara informasi/prilaku baru yang diperoleh dengan makna-makna personal yang sudah terdapat dan menjadi miliknya. Dalam kaitan ini pula, belajar berarti sebagai aktivitas memperoleh informasi baru dan kemudian menjadikannya sebagai pengetahuan personal (individu’s personalization of the new information).

Teori belajar humanistik sangat mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan dan tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori belajar ini lebih tertarik pada pengertian belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada pemahaman tentang proses belajar sebagaimana apa adanya, seperti yang selama ini dikaji oleh teori-teori belajar lainnya.

Teori belajar humanistik dalam pelaksanaannya, antara lain tampak juga dalam pendekatan belajar sebagaimana yang dikemukakan oleh Ausubel (1989:11), yaitu tentang pandangannya belajar bermakna atau “Meaningful Learning” yang juga tergolong dalam aliran kognitif, yang mengatakan bahwa belajar merupakan asimilasi bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Faktor motivasi dan pengalaman emosional sangat penting dalam peristiwa belajar, karena tanpa


(41)

26 motivasi dan keinginan dari pihak si belajar, maka tidak akan terjadi asimilasi pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimilikinya. Teori humansitik berpendapat bahwa teori belajar apapun dapat dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, dan realisasi diri orang yang belajar secara optimal.

Pembelajaran bermakna (Meaningful Learning) akan terjadi manakala.

1. Mampu menjadikan modifikasi atau perubahan terhadap “organisasi diri” (self organization) dan “perilaku dari dalam diri sendiri” (inner behavior) siswa yang tersusun di dalam pengertian, pandangan atau dunia perseptual, perasaan, keyakinan, dan tujuan personal mereka.

2. Mampu mendorong siswa untuk beraktualisasi diri dan mencapai pribadi paripurna, dengan cara (a) memuaskan kebutuhan dan kapasitas dasar yang dimiliki, (b) melibatkan mereka secara fisik, emosional, mental dengan penuh tanggung jawab dalam proses pembelajaran dan proses perubahan diri; (c) mengembangkan indepedensi, kreativitas, kepercayaan-diri, kritisme-diri dan evaluasi-diri.

3. Mampu membantu siswa menemukan makna-makna personal yang terdapat di dalam bahan-bahan belajar yang disajikan. Jadi persoalannya bukan terletak pada “bagaimana guru mengorganisasi dan menyajikan bahan-bahan belajar kepada siswa”, melainkan bahwa “bahan-bahan belajar tersebut secara internal harus memiliki dan memberikan makna secara personal kepada diri siswa”. Semakin banyak keterkaitan antara bahan belajar dengan makna-makna personal siswa, semakin tinggi pula intensitas dan kualitas belajarnya,


(42)

27 demikian pula sebaliknya. Dengan demikian, maka antara perasaan dan perhatian siswa dengan organisasi dan penyajian bahan-bahan belajar harus ditempatkan dalam posisi sederajat. Artinya jika bahan belajar dipandang bermakna oleh siswa, maka siswa akan tertarik/suka padanya dan peristiwa belajarpun akan terjadi, demikian pula sebaliknya.

Kaitan dengan peningkatan upaya merubah dan membentuk hasil belajar ranah sikap Pendidikan Kewarganegaraan dengan model pembelajaran Kooperatif tipe Team Game Tournament, Jigsaw, dan Group Investigation, sumbangan teori belajar Humanistik memungkinkan pembelajaran secara kelompok, yang berarti belajar dapat diperoleh dari proses pembelajaran dari siswa, oleh siswa, dan untuk siswa. Teori belajar humanistik sangat mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses pembelajaran itu sendiri. Teori belajar humanistik ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan dan tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal.

Teori belajar humanistik dalam pelaksanaannya, tampak dalam pendekatan belajar bermakna atau “meaningful learning” yang menyebutkan bahwa belajar merupakan asimilasi bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Faktor motivasi dan pengalaman emosional sangat penting dalam peristiwa belajar, karena tanpa motivasi dan keinginan dari pihak si belajar, maka tidak akan terjadi asimilasi pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimilikinya. Untuk memperoleh pembelajaran yang bermakna tersebut dapat dilakukan melalui pembelajaran Model pembelajaran koopratif Tipe Jigsaw, Team game Turnamen,


(43)

28 dan Group Investigation, sehingga dimungkinkan akan meningkatkan sikap positif siswa terhadap sistem hukum dan peradilan nasional.

1.1.3.3 Teori Belajar Behavioristik

Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dengan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan kemampuan untuk bertingkah laku sebagai hasil interaksi stimulus dengan respon. Ditinjau dari belajar Behavioristik, seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya (Budiningsih, 2005: 20). Sebagai contoh, siswa dianggap belum belajar tentang demokrasi, walaupun ia sudah berusaha giat, dan gurunya pun sudah mengajarkannya dengan tekun, jika siswa tersebut masih suka memaksakan kehendak dan memotong perkataan orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Karena ia belum dapat menunjukkan perilaku demokratis sebagi hasil belajar.

Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respons. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru atau siswa lain pada siswa, seperti bahan diskusi kelompok, materi pelajaran, soal-soal post test, dan lain-lain. Respon adalah reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diterima siswa, seperti diskusi kelompok, kerja kelompok, dan penyelesaian tugas kelompok.

Menurut teori behavioristik, apa yang terjadi di antara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati hanyalah stimulus dan respon. Oleh sebab itu, apa saja yang diberikan guru (stimulus) dan apa saja yang dihasilkan siswa (respon), semuanya


(44)

29 harus dapat diamati dan dapat diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.

Berlandaskan pada teori behavioristik ini maka dalam melakukan eksperimen penulis akan memberikan perlakuan yang berbeda terhadap sampel yang berbeda. Kemudian dari ketiga perlakuan itu penulis akan melakukan pengukuran hasil belajar ranah sikap yang selama ini agak terabaikan dalam proses pembelajaran. Karena menurut Eddy Purnomo (2011:45), seseorang mempunyai kecenderungan untuk melakukan sesuatu jika kegiatan itu diukur atau dinilai. Jika di sekolah diadakan lomba kebersihan kelas, maka siswa cenderung untuk melakukan bersih-bersih kelas. Dengan adanya pengukuran ranah afektif (sikap) ini dimungkinkan dapat meningkatkan sikap positif siswa terhadap obyek sikap pembelajaran PKn.

2.1.3.4 Pembelajaran Ranah Sikap a. Pengertian sikap

Sikap merupakan suatu konsep psikologi yang kompleks. Tidak ada satu definisi yang dapat diterima bersama oleh semua pakar psikologi. Satu hal yang dapat diterima bersama bahwa sikap berakar dalam perasaan. Anastasi mendefinisikan sikap sebagai kecenderungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka terhadap suatu objek (Pargito, 2011 : VII-1).

Ahli lain berpendapat sikap adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi, konsep, atau orang (Fishbein dalam Depdiknas, 2004:8). Hasil belajar ranah sikap ini


(45)

30 penting untuk ditingkatkan. Sikap positif siswa terhadap sistem hukum dan peradilan nasional, setelah mengikuti pembelajaran harus lebih positif dibandingkan sebelum pembelajaran. Perubahan ini merupakan indikator keberhasilan guru PKn dalam meningkatkan hasil belajar ranah sikap. Untuk itu guru PKn semestinya merancang pembelajaran yang memberikan pengalaman belajar yang dapat meningkatkan sikap siswa terhadap nilai-nilai yang akan ditanamkan dalam pembelajaran PKn.

Ranah sikap berhubungan dengan volume yang sulit diukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam. Sikap juga dapat muncul dalam kejadian behavioral, sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan guru. Sikap merupakan refleksi dari nilai yang dimiliki, oleh karenanya pendidikan sikap pada dasarnya adalah pendidikan nilai. Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifat -sifatnya tersembunyi, tidak berada dalam dunia empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, layak dan tidak (Depdiknas, 2004 : 8).

Sikap bagi seseorang tidaklah statis, tetapi selalu berubah, setiap orang akan menganggap sesuatu itu baik sesuai dengan pandangannya pada saat itu. Oleh sebab itu, sikap yang dimiliki seseorang bisa dibina dan diarahkan. Komitmen seseorang terhadap sikap, yakni kecendrungan seseorang terhadap suatu objek, misalnya jika seseorang berhadapan dengan sesuatu objek, dia akan menunjukkan gejala senang atau tidak senang, setuju atau tidak setuju.


(46)

31 b. Komponen Sikap

Sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), Pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitar (Saifuddin Azwar, 2003:5). Apabila kita mengikuti skema triadik, struktur sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif. Komponen kognitif berhubungan dengan belief, ide dan konsep, komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional, dan komponen konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku (Mar’at, 1981:13).

1. Komponen Kognitif

Komponen kognitif berisi persepsi, kepecayaan, dan stereotype yang dimiliki individu mengenai sesuatu. Seringkali komponen ini disamakan dengan pandangan (opini), terutama apabila menyangkut masalah isyu atau problem yang controversial. Komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap obyek sikap dan menyangkut masalah emosi. Komponen perilaku berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak atau bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu (Saifuddin Azwar, 2003:24). Kaitannya dengan objek sikap, berarti persepsi siswa terhadap sistem hukum dan peradilan nasional, dan/atau keyakinan siswa terhadap keberadaan hukum yang dapat mewujudkan ketertiban masyarakat.

2. Komponen Afektif

Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional (Mar’at, 1981:13). Dimensi afektif merupakan perasaan individu terhadap


(47)

32 suatu objek sikap dan menyangkut masalah emosi. Kaitannya dengan objek sikap berarti dimensi afektif ini akan menimbulkan perasaan setuju atau tidak setuju siswa terhadap keberadaan hukum yang berlaku, dan perasaan setuju tidak setuju terhadap peradilan nasional dalam upaya menegakan hukum.

3. Komponen Konatif

Komponen konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku (Mar’at, 1981:13). Komponen Konatif berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak atau bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu. Indikasi ini misalnya kesediaan menerima sanksi apabila terbukti melanggar hukum. Kesediaan berperan serta dalam penegakkan hukum apabila dibutuhkan.

c. Pembentukan Sikap

Secara umum, para pakar psikologi sosial sepakat bahwa sikap manusia terbentuk melalui proses pembelajaran dan pengalaman selama berinteraksi dengan lingkungan. Menurut Klausmeier dalam Pargito (2011 : VII-8) ada tiga model belajar dalam rangka pembentukan sikap. Tiga model itu adalah: mengamati dan meniru, menerima penguatan, dan menerima informasi verbal. Model-model ini, sesuai dengan kepentingan penerapan dalam dunia pendidikan.


(48)

33 1) Mengamati dan meniru

Pembelajaran ini berlangsung melalui pengamatan dan peniruan. Menurut Bandura dalam Pargito, banyak tingkah laku manusia dipelajari dengan cara mengamati dan meniru tingkah laku atau perbuatan orang lain, terutamanya orang-orang yang berpengaruh. Misalnya orang tua atau guru bagi anak-anak. Melalui proses pengamatan dan peniruan akan terbentuk pula pola sikap dan tingkah laku yang sesuai dengan orang yang ditiru. Oleh karenanya kehadiran sosok guru sebagai teladan sangat diperlukan, karena biasanya siswa akan melakukan apa yang dilakukan guru dari pada apa yang dinasehatkannya.

2) Menerima penguatan

Dalam proses pendidikan, guru dapat memberikan ganjaran berupa pujian kepada anak yang berbuat sesuai dengan nilai-nilai ideal tertentu. Semakin lama respon yang diberi ganjaran tersebut akan bertambah kuat. Dengan demikian, sikap anak akan terbentuk. Mereka akan menerima nilai yang menjadi pegangan guru Menurut Baron dan Byrne dalam Pargito, (2011 : VII-8)., menunjukkan bahwa individu dengan cepat akan mengekspresikan pandangan tertentu, apabila diberi ganjaran untuk perbuatan yang mendukung pandangan tersebut.

3) Menerima informasi verbal

Diera informasi yang mengglobal ini seseorang dapat mengakses pengetahuan melalui berbagai media. Sejalan dengan itu pintar-pintarlah menyaring informasi yang masuk, karena apapun informasinya baik positif


(49)

34 maupun negatif, disadari atau tidak, dapat mempengaruhi pembentukan pada sikap seseorang terhadap objek tertentu. Informasi tentang adanya oknum penegak hukum seperti polisi, hakim, dan jaksa yang tersandung kasus suap atau mafia hukum dapat membentuk pola sikap yang negatif, berupa ketidak percayaan terhadap aparat penegak hukum.

Dari tiga uraian di atas dapat dijelaskan bahwa pembentukan sikap dapat terjadi melalui proses mengamati dan meniru seorang pigur atau model, pemberian penguatan melalui pemberian ganjaran dan hukuman, serta dengan cara memberikan informasi verbal. Karena informasi baik yang positif maupun negatif dapat mempengaruhi pembentukan sikap seseorang.

Dengan demikian model pembelajaran koopratif tipe Jigsaw, TGT dan GI, dimungkinkan dapat membentuk sikap karena di dalamnya memenuhi persyaratan teori pembentukan sikap. Siswa yang pintar misalnya ia dapat memperlihatkan kemampuannya dalam hal menjelaskan materi pelajaran kepada temannya dalam kelompok (Jigsaw), dapat menjawab pertanyaan dengan benar dalam perlombaan antar kelompok (TGT), dan memperlihatkan kemampuan presentasi (GI). Siswa-siswa pintar ini akan memberi warna interaksi dalam proses pembelajaran, lambat laun akan menarik perhatian dan ditiru oleh siswa lain.

Kaitan dengan penguatan sebagai pembentuk sikap model pembelajaran koopratif memberikan ruang seluas-luasnya kepada siswa untuk berekspresi dan berkolaborasi dengan teman sebaya. Hadiah atau hukuman kita maknai


(50)

35 dalam arti luas. Siswa yang dapat menjelaskan dengan baik (Jigsaw), siswa yang dapat menjawab pertanyaan dengan baik (TGT), dan siswa yang dapat membuat laporan dan mempresentasikan dengan baik (GI), di depan kelas tentu akan mendapat penghargaan berupa pujian, perasaan di terima ditengah-tengah siswa yang lain, atau mendapat kepuasan dalam belajar. Sebaliknya bagi siswa yang tidak mempersiapkan diri dengan baik, dan tidak mengikuti proses pembelajaran dengan baik tentu akan mendapat sanksi sosial, berupa „malu karena dianggap tidak mampu’. Dengan demikian tidak ada pilihan lain bagi siswa kecuali mempersiapkan diri sebaik-baiknya dan mengikuti proses pembelajaran sebaik-baiknya.

Kaitan dengan penerima informasi sebagai pembentuk sikap, model pembelajaran koopratif memberikan ruang seluas-luasnya kepada siswa untuk berdiskusi dalam kelompok. Informasi yang diterima pun tidak semata-mata hanya bersumber dari guru, melainkan semua siswa mempunya hak untuk menyampaikan pendapat. Semua siswa yang ada di kelas bisa menjadi sumber belajar, dengan demikian informasi yang diterima siswapun semakin banyak. Oleh karena itu perlu diupayakan bahwa informasi yang diterima siswa adalah informasi yang positif, agar dapat membentuk sikap yang juga positif.

d. Teori Perubahan Sikap

Para pakar psikologi sosial telah mengemukakan berbagai teori tentang perubahan sikap, diantaranya adalah.


(51)

36 1) Teori Fungsional

Teori fungsional beranggapan bahwa manusia mempertahankan sikap yang sesuai dengan kepentingannya. Perubahan sikap terjadi dalam rangka mendukung suatu maksud atau tujuan yang ingin dicapai. Menurut teori ini, sikap merupakan alat untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, untuk mengubah sikap seseorang, terlebih dahulu harus dipelajari dan diketahui kepentingan atau tujuan yang ingin dicapai oleh seseorang.

Katz dan Stotland dalam Pargito (2011:VII-4) menjelaskan bahwa perubahan sikap pada diri seseorang terjadi untuk menyesuaikan dengan kebutuhannya. Ada beberapa fungsi sikap dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan individu. Adapun yang dimaksud dengan pertahanan diri, perubahan sikap didasarkan pada keinginan seseorang untuk melindungi atau mempertahankan dirinya. Sebagai pernyataan nilai, perubahan sikap didasarkan pada keinginan seseorang untuk menyatakan sikap yang sejalan dengan nilai-nilai utama yang menjadi pegangan bagi dirinya. Selanjutnya, sebagai pengetahuan, perubahan sikap didasarkan pada keperluan seseorang untuk mendapatkan informasi yang diperlukannya.

2) Teori pertimbangan sosial (social judgement theory)

Menurut Asch dan Sherif dalam Pargito, (2011:VII-5).teori ini, perubahan sikap merupakan suatu penafsiran kembali atau pendefinisian kembali terhadap objek sikap. Sikap dijelaskan sebagai suatu daerah posisi dalam suatu skala, yang mencakup ruang gerak penerimaan (latitude of


(52)

37 acceptance), ruang gerak tidak pasti (latitude of noncommitment), dan ruang gerak penolakan (latitude of rejection).

proses perubahan sikap bergantung pada hasil penapsiran ulang. Apabil individu berpendapat bahwa hasil penapsiran ulang itu hasilnya lebih buruk, maka hampir bisa dipastikan individu itu tidak akan mengubah sikapnya. Sebaliknya jika ternyata hasil penapsiran ulang itu lebih baik, maka dengan sendirinya individu itu mempunyai kecenderungan untuk mengubah ke arah hasil penapsiran itu. Seseorang yang pernah mengalami kekecewaan atas penanganan kasus hukum, tentu ia memiliki sikap yang negatif terhadap sistem hukum. Kemudian individu itu mendapat informasi yang benar (positif) tentang hukum, bahwa apa yang pernah dialaminya adalah karena ulah oknum dan tidak semua penegak hukum seperti itu, maka lambat laun individu itu akan mengubah sikap negatifnya menjadi positif.

2.2 Pendidikan Kewarganegaraan 2.2.1 Pengertian

Hakikat mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan moral yang bersumber dan berlandaskan Pancasila, sebagai wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia, yang diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku sehari-hari, baik sebagai individu, maupun sebagai warga masyarakat, warga Negara, dan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, Di samping itu PKn


(53)

38 juga dimaksudkan membekali siswa dengan budi pekerti, pengetahuan dan kemampuan dasar terutama yang berhubungan dengan negara, serta pendidikan pendahuluan bela negara agar menjadi warga negara yang dapat di andalkan oleh bangsa dan negara (Depdiknas, 1995:2).

Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang baik, yaitu warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajiban dengan seimbang, menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter seperti yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.

2.2.2 Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan

Permendiknas 22 Tahun 2006, Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.

a. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan

b. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi.

c. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya.

d. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.


(54)

39 Sedangkan tujuan umum pelajaran PKn ialah mendidik warga negara agar menjadi warga negara yang baik, yang dapat dilukiskan dengan warga negara yang patriotik, toleran, setia terhadap bangsa dan negara, beragama, demokratis, dan Pancasila sejati (Somantri, 2001:279).

2.2.3 Ruang Lingkup

Menurut Depdiknas (2006 : 2) Ruang lingkup Pendidikan Kewarganegaraan meliputi aspek-aspek sebagai berikut.

a. Persatuan dan kesatuan bangsa, meliputi; hidup rukun dalam perbedaan, cinta lingkungan, kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, partisipasi dalam pembelaan negara, sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, keterbukaan dan jaminan keadilan.

b. Norma, hukum dan peraturan, meliputi; tertib dalam kehidupan keluarga, tata tertib di sekolah, norma yang berlaku di masyarakat, peraturan-peraturan daerah, Norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sistim hukum dan peradilan nasional, hukum dan peradilan internasional

c. Hak asasi manusia meliputi: hak dan kewajiban anak, hak dan kewajiban anggota masyarakat, instrumen nasional dan internasional HAM, pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM.

d. Kebutuhan warga negara meliputi: hidup gotong royong, harga diri sebagai warga masyarakat, kebebasan berorganisasi, kemerdekaan mengeluarkan


(55)

40 pendapat, menghargai keputusan bersama, prestasi diri , persamaan kedudukan warga negara.

e. Konstitusi Negara meliputi; proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, hubungan dasar negara dengan konstitusi.

f. Kekuasan dan politik, meliputi: pemerintahan desa dan kecamatan, pemerintahan daerah dan otonomi, pemerintah pusat, demokrasi dan sistem politik, budaya politik, budaya demokrasi menuju masyarakat madani, sistem pemerintahan, pers dalam masyarakat demokrasi

g. Pancasila meliputi; kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka.

h. Globalisasi meliputi; globalisasi di lingkungannya, politik luar negeri Indonesia di era globalisasi, dampak globalisasi, hubungan internasional dan organisasi internasional, dan mengevaluasi globalisasi.

Standar Kompetensi dalam penelitian ini adalah SK 2. Menampilkan sikap positif terhadap sistem hukum dan peradilan nasional. Standar kompetensi ini merupakan kompetensi yang diberikan di kelas X semester ganjil, dan termasuk dalam ruang lingkup ke dua, norma, hukum dan peraturan, meliputi; tertib dalam kehidupan keluarga, tata tertib di sekolah, norma yang berlaku di masyarakat, peraturan-peraturan daerah, Norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sistim hukum dan peradilan nasional, hukum dan peradilan internasional.


(56)

41 2.2.4 Hasil Belajar Pendidikan Kewarganegaraan

Muhibin (1997:141) menyebutkan bahwa hasil belajar merupakan taraf keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil tes, mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu. Bila dianalisis lebih dalam hampir semua tujuan kognitif mempunyai komponen afektif (sikap). Dalam pembelajaran sains, misalnya, di dalamnya ada komponen sikap ilmiah. Sikap ilmiah adalah komponen afektif. Peringkat ranah afektif menurut taksonomi Bloom ada lima tingkatan, yaitu: menerima receiving, menggapi (responding), menilai (valuing), mengelola (organization), dan menghayati (characterization). Masing-masing tingkatan di jelaskan sebagai berikut.

a. Tingkat Penerimaan (Receiving)

Pada peringkat penerimaan, siswa memiliki keinginan memperhatikan suatu fenomena khusus atau stimulus, tugas guru adalah mengarahkan perhatian siswa pada fenomena yang menjadi objek pembelajaran afektif. Misalnya guru mengarahkan siswa agar senang bekerjasama. Kesenangan ini akan menjadi kebiasaan, dan hal ini yang diharapkan, yaitu kebiasaan yang positif.

b. Tingkat Menanggapi (Responding)

Responding merupakan partisipasi aktif siswa, pada peringkat ini siswa tidak saja memperhatikan fenomena khusus tetapi ia juga bereaksi. Peringkat tertinggi pada kategori ini adalah minat. Misalnya senang membantu teman, senang dengan kebersihan dan kerapian, dan sebagainya.


(1)

182

182 b. Siswa hendaknya membiasakan diri belajar dengan kelompok teman sebaya untuk meningkatkan sikap siswa. Berbagai karakater siswa dapat berkembang apabila siswa terbiasa dengan belajar kelompok yang mampu mengembangkan daya nalar, kreativitas, tanggung jawab, dan kerja sama. Karakter tersebut sangat dibutuhkan siswa dalam kehidupan bermasyarakat.


(2)

183

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Mulyono. 2003. Pendidikan bagi anak berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Amstrong, Jocelyin, 2009. Pearson Social Studies, Discovering Diversity,

Pearson Education New Zaeland, 172 Halaman

Arikunto, S. 2007. Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta. Bumi Aksara

Ausubel FM et al. 1992. Short Protocols in Molecular Biology. Ed ke-2. New York: John Wiley & Sons

Banks, James A. 1990. Teaching Strategies For The Social Studies; Inquary,

Valuing, and Deeision Making. Longman Publishing. New York

Baron, Robert A dan Donn Byrne. 2004. Psikologi Sosial. Alih bahasa Ratna Djuwita. Ed. 10, Jil.1. Jakarta: Erlangga.

Basrowi dan Ahmad Kasinu. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka. Cipta

Brophy, J. Jannet Alleman and Anne-Lise, Hal Vorsen. Powerful Social Studies; for Elementari School. Wardsworth Belmoth

Brophy, J. Jannet Alleman and Barbara Knington. 2009. Inside Social Studies

Classroom Rout Ledge. New York.

Budiningsih, C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta. Callahan, Joseph F. 1993. Foundation of Education. New York: Mac Millan

Publising Co.

Clarek, Leonard H. 1973. Teanching Scial Studies in Scondary Scool; A

Handbook. Macmillan London.


(3)

Direktorat Pendidikan Menengah Umum.

Depdiknas. 2004. Pengembangan Instrumen dan Penilaian Ranah Afektif. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum.

Depdiknas. 2004. Pedoman Khusus Pengembangan Instrumen dan Penilaian Ranah Afektif. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum.

Dimyati dan Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta

Djaali. 2000. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PPS Universitas Negeri Jakarta. Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Erdawati, Nuraeni. 2007. Jurnal Teknologi Pendidikan, Vol. 04 No 03. Lampung: Program Pascasarjana Teknologi Pendidikan Unila.

Fishbein dan Ajzen, 1975. Belief, Attitude, Intentions and Behavior: an introduction to theory and research. California: Addison-Wesley Publishing Company, Inc.

Furchan, Arief 1991. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.

Gagne, Robert M. 1992. Essential og Learning for Instructioan. Terjemahan Abdillah Hanafi dan Abdul Manan. Surabaya: Usaha Nasional.

Gagne, Robert M dan Brigss, Leslie J. 1992. Principles of Instructional Design. New York: Holt Rinehart & Winston.

Hamalik, U. 1995. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Harun Rasyid dan Mansur.2007. Penilaian Hasil Belajar. Bandung: Bumi Rancaekek Kencana.

Hent, Maurice P, dan Lawrence E. Metcalf. 1968. Teaching Higscool Social Studies; Problem in Reflektive Thingking and Social Understanding.

Harper and Row. New York.

Hopkins, David. 1993. A Teacher’s Guide to Classroom Research. Buckingham Philadelphia: Open University Press.

Isjoni. 2009. Cooperative Learning. Bandung: Alfabeta.

Joyce Bruce, dkk. 2009. Models of Teaching. Pustaka Pelajar. Yogyakarta


(4)

Negeri Semarang

Kadir. 2010. Statistika Untuk Penelitian Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Rosemata Sampurna

Lie, A. 2004. Cooperative Learning Mempraktekkan Cooperative Learning diRuang-Ruang Kelas. Jakarta: Grasindo.

Mar’at. 1981. Sikap Manusia Perubahan Serta Pengukurannya. Bandung: Penerbit Indonesia, 1981.

Muchlis Catio. 2007.Kewarganegaraan Menuju Masyarakat Madani. Jakarta: Yudistira

Nur, M. dan Wikandri PR. 2001. Pengajaran Berpusat Kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran. Surabaya: Unesa.

Nurkancana, Wayan. 1996. Evaluasi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional. Pargito. 2010. Dasar Dasar Ilmu Pendidikan Sosial. Bandar Lampung. Universitas

Lampung

Pargito. 2011. Penilaian Berbasis Kelas (Classroom Based Assesment). Bandar Lampung. Unila

Pratista, Arif. 2002. Aplikasi SPSS 17.00 dalam Statistik dan Rancangan Percobaan. Bandung: Alfabeta.

Purnomo, Eddy. 2011. Pengaruh Pengetahuan Motode Penelitian, Sikap Terhadap Dosen Pembimbing Skripsi, dan Kecerdasan Adversitas Terhadap Kemampuan Menyelesaikan Penulisan Skripsi Pada Mahasiswa FKIP Universitas Lampung. Jakarta. Universitas Negeri Jakarta.

Sagala, Saiful. (2007). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Sanjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana.

Saptomo. 2009. Seribu Pena Pendidikan Kewarganegaraan Jilid 1 Untuk SMA/ MA Kelas X. Salatiga: Erlangga

Sardiman, A.M. 1994. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Siti Maesaroh. 2005. Efektivitas Penerapan Pembelajaran Kooperatif Dengan Metode Group Investigation Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.


(5)

Terjemahan Nurulita. Bandung: Nusa Media

Sudjarwo dan Basrowi. 2010. Mengenal Model Pembelajaran. Surabaya: Jenggala Pustaka Utama

Sudjana, N. dan Rivai A. 2003. Teknologi Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Sumantri, M. 1999. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Direktur Jendral Pendidikan Tinggi.

Suntoro Irawan. 2011. Keterkaitan Pendidikan Kewarganegaraan dalam IPS,

Makalah dalam Perkuliahan Kajian Politik, Hukum dan Tata Negara Program Pasca Sarjana.

Suryabrata, Sumadi. 1982. Psikologi Pendidikan. Materi Pendidikan Program Bimbingan Konseling di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Depdikbud. Suwardi. 2007. Manajemen Pembelajaran: Mencipta Guru Kretif dan

Berkompetensi. Salatiga: STAIN Salatiga Press.

Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Wijayanti, P. 2002. Pembelajaran Kooperatifpada Subpokok Bahasan Keliling dan Luas Persegi Panjang dan Persegi (Makalah). Surabaya: UNS.

Wijayanti, Kusuma. 2006. Keefektifan Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw, Jigsaw II, STAD, TGT Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa

Kelas II Semester II SMP Kota Semarang. Semarang: Prosiding

Konferensi Nasional Matematika XIII.

Winaputra, Udin S. 2001. Model Pembelajaran Inovatif. Jakarta: Universitas Terbuka.

Winkel, W.S. 2004. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Gramedia.

Zahronik, John. A, 1995, Contructivis Teaching, (Fastback), Blomington India, Phy-deta Kappa Educational Fundation.

Sacco, J. 2002. Using Teams Games Tournament. dalam http://www. googlecom/search? hl=id&q=teams+games+tournament&meta htm [20 Januari 2012]


(6)

http://www. Brunderdic.or.id/h-29/ Peran-guru-dalam-membangkitkan-motivasi-belajar-Siswa-html.


Dokumen yang terkait

Upaya Peningkatkan Hasil Belajar Kimia Siswa Melalui Model Kooperatif Tipe Team Games Tournament (TGT) Pada Konsep Sistem Koloid

0 7 280

Penerapan pembelajaran kooperatif model group investigation untuk meningkatkan hasil belajar sosiologi SMA SIT Fajar Hidayah Kotawisata-Cibubur: penelitian tindakan di SMA Fajar Hidayah pada kelas X

0 6 75

Peningkatan hasil belajar IPS siswa melalui strategi pembelajaran kooperatif tipe team game tournament materi masalah sosial lingkungan setempat kelas IV MI Dayatussalam Cileungsi Bogor Jawa Barat Tahun pelajaran 2013/2014

0 4 121

Perbedaan Hasil Belajar Biologi Antara Siswa yang Diajar dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dengan TGT (Penelitian Kuasi EKsperimen di SMAN 1 Bekasi))

0 42 0

Penerapan pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation (GI) dalam meningkatkan hasil belajar IPS siswa kelas VII Smp Islamiyah Ciputat : penelitian tindakan kelas di SMP Islamiyah Ciputat

0 8 0

Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT (Team Games Tournament) Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Biologi

1 3 310

Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT dengan Games Digital Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Konsep Alat-Alat Optik

3 35 205

Pengaruh Strategi Pembelajaran Kooperatif tipe Group Investigation terhadap Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran PAI di SMP N 3 Tangerang Selatan

1 7 202

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR SISWA DENGAN MODEL GROUP INVESTIGATION DAN MODEL JIGSAW.

0 2 18

PERBEDAAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN GROUP INVESTIGATION DAN MODEL PEMBELAJARAN JIGSAW

0 0 6