Telah diuji pada Tanggal : 31 Juli 2012
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. M. Hamdan, SH, MH Anggota : 1. Prof. Dr. Tan Kemello, SH, MS
2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM 3. Dr. Marlina, SH, M.Hum
4. Dr. Idha Aprilyana, SH, M.Hum
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Manusia banyak melakukan pelanggaran , salah satunya adalah penyalahguna narkoba. Penyalahguna narkoba tidak hanya menjadi masalah lokal maupun masalah
nasional, tetapi sekarang sudah menjadi masalah global. Pada era Sembilan puluhan, pemakai narkoba sudah masuk ke segala lapisan baik kalangan atas, kalangan
menengah dan kalangan bawah.
Sifat penelitian ini adalah bersifat ganda yang memadukan anatara yuridis normatif dengan yuridis empiris, sehingga akan menemukan penyelesaian dalam
permasalahan antara pedoman peraturan yang mendukung pelaksanaan rehabilitasi dengan praktek di lapangan. Penelitian ini adalah penelitian normatif maka
pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan dan sebagai penelitian empiris mengadakan wawancara terhadap informan dan responden.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memberikan kewenangan kepada hakim yang memeriksa pecandu narkotika dapat memutuskan
untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan danatau perawatan apabila pecandu tidak terbukti melakukan tindak pidana. Penyalahgunaan narkotika
yang diputuskan oleh hakim karena telah terbukti melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika akan menjalani pemidanaan sekaligus sebagai perawatan
danatau pemulihan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Narkotika. Bentuk rehabilitsi yang dilaksanakan adalah sebagai bagian dari pelaksanaan pembinaan narapidana
narkotika. Pembinaan terhadap narapidana narkotika dalam pelaksanaannya adalah berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Tahap-
tahap pembinaan narapidana berlandaskan kepada Surat Edaran No.KP.10.1331 tanggal 8 Februari 1965 tentang Pemasyarakatan Sebagai Proses. Ruang lingkup
pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor : M.02.PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan
NarapidanaTahanan.
Menyangkut rehabilitasi adalah bagian dari sistem pembinaan yang digunakan untuk membantu seseorang melepaskan diri dari kecanduan dan merubah perilakunya
menjadi lebih baik. Dalam tahap rehabilitai pemakai narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Pematangsiantar menekankan pada rehabilitasi
fisik dan mental. Rehabilitasi fisik ditujukan agar narapidana narkoba dapat normal dalam arti bisa berdiri sendiri, mempertahankan kemampuan atau keahlian yang
dimilikinya. Dengan kesibukan-kesibukan tersebut pemakai narkoba akan melupakan ketergantungan pada narkoba. Untuk mengisi kesibukan-kesibukan itu dilakukan
kegiatan olah raga dan ketrampilan serta rehabilitasi mental yang dilakukan dengan penyuluhan, bimbingan dan ceramah. Untuk itu permasalahan yang ditemukan adalah
bagaimana memerankan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Pematangsiantar dapat berfungsi sebagai rumah rehabilitasi terhadap narapidana
narkotika. Kata Kunci : Rehabilitasi, Pembinaan Narapidana Narkotika
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT
Man likes to break the law, one of them is drug abuse. It does not become a local or national problem, but it is now globalized. In the 1990’s, the drug users
comprised of all walks of life, the upper, middle, and lower classes of people. The research used combination method: judicial normative method and
judicial empirical method so that it could find the solution of the problems between the regulations which supported the implementation of the rehabilitation and the
practice in the field. Since it was normative, it used legal provisions approach and as it was empirical, it used interviews with informants and with respondents.
Law No. 352009 on Narcotics gives the authority to a judge who examines drug addicts to order them to be under medical treatment andor rehabilitation if they
are not guilty of doing criminal act. The drug addicts who have been found guilty will be punished and treated andor rehabilitated in Penitentiary of Narcotics.
Rehabilitation is intended to implement the development of drug prisoners which is based on Law No. 121995 on Penitentiary. The stages of prisoner development are
based on the Circular Letter No.KP.10.1331 on February 8, 1965 on Penitentiary as the Process. The scope of prisoner development is based on the Decree of the
Minister of Justice RI No: M.02.PK.04.101990 on the Pattern of PrisonerDetainee Development.
Rehabilitation is part of development system which is used to help a person release from addiction and to change his bad behavior. The stages of rehabilitation
of drug users in the Penitentiary of Narcotics Class IIA, Pematangsiantar emphasize on physical and mental rehabilitation. The physical rehabilitation is intended that
drug prisoners can be normal which means that they can be independent and maintain their ability or skill. They are made busy so that they will forget their
dependency on drugs. They will be actively in sports, skills, while mental rehabilitation is implemented by performing training, guidance, and lectures. The
problem found in the research is how to give the role to the Penitentiary of Narcotics Class IIA, Pematangsiantar so that it can be the place of the rehabilitation of drug
prisoners
Keywords: Rehabilitation, Development, Drug Prisoners,
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Puji Tuhan atas kasih yang telah diberikanNya serta juga kesehatan yang diberikan sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. Adapun topik penelitian
menyangkut tentang “ Pelaksanaan Rehabilitasi Terhadap Narapidana Narkotika Sebagai Bagian Pembinaan Di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Studi Di
Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Pematangsiantar”. Tesis ini dibuat dan diselesaikan sebagai suatu syarat untuk mendapatkan gelar magister ilmu hukum pada
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa penyesaian tesis ini tidak akan rampung tanpa bantuan, saran maupun petunjuk yang
diberikan kepada penulis oleh pembimbing maupun penguji baik pada saat pengajuan judul sampai penyusunan tesis ini.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof.DR.dr.Syahril Pasaribu.DTMH,M.Sc CTM,Sp.AK
Selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara. 2.
Prof.DR.Runtung Sitepu.SH.MHum, sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Prof.DR.Suhaidi.SH.MH, sebagai Ketua Program Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara yang memberi motivasi dari awal sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan perkuliahan ini.
Universitas Sumatera Utara
4. DR.Mahmul Siregar.SH.MHum, sebagai Sekretaris Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 5.
DR.Hamdan.SH.MH, sebagai Ketua Komisi pembimbing yang memberikan bimbingan dari awal sampai akhirnya penulis dapat
menyelesaikan tesis ini. 6.
Prof.DR.Tan Kamelo.SH.MS, sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan masukan kepada penulis sampai akhir penulisan
tesis ini. 7.
Syafruddin Hasibuan.SH.MH.DFM, sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan masukan kepada penulis dalam penulisan tesis ini.
8. DR.Marlina.SH.MHum, selaku penguji penulis mengucapkan banyak
terima kasih atas saran dan masukannya dalam perbaikan tesis ini. 9.
DR.Idha Aprilyana.SH.MHum, selaku penguji penulis mengucapkan terima kasih atas masukan dan saran untuk penyempurnaan tesis ini.
10. Seluruh Guru Besar serta Dosen Program Studi Magister Fakultas Hukum
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 11.
Kepala Badan Pengembagan Sumber Daya Manusia Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI yang memberi kesempatan kepada penulis
menjadi mahasiswa angkatan ke II pada Kelas Kekhususan Hukum dan HAM Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
12. Kepala Kantor Wilayah Sumatera Utara Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia Bapak Baldwin Simatupang.Bc.IP.SH.MH yang turut serta memberi kesempatan dan motivasi kepada penulis untuk mengikuti
Universitas Sumatera Utara
perkuliahan Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Pematangsiantar Bapak Sardiaman
Purba.Bc.IP.SH.MH yang tidak bosan-bosannya untuk memberikan semangat kepada penulis dari awal perkuliahan sampai akhirnya selesai penulisan tesis ini.
Terima kasih yang sedalam-dalamnya dan doaku untuk kedua orang tuaku yaitu Ayahandaku yang tercinta P.Simatupang dan Ibundaku yang tercinta B.Siahaan
serta Mertuaku yang tercinta Drs.R.Sianipar alm dan T.Sibuea. Berkat semua doa dan dukungannya yang mengiringi penulis untuk menyelesaikan perkuliahan ini.
Terima kasihku juga kepada saudara-saudara penulis : Abangda Sanggam Simatupang.SE. dan Adinda Santo Edy Simatupang.Ssi yang juga telah memberikan
semangat kepada penulis selama perkuliahan berlangsung untuk tetap giat dan semangat dengan penuh perhatian.
Dengan penuh rasa terima kasih penulis sampaikan kepada Suamiku yang tercinta Gumasang Sianipar.S.pd yang telah setia memberi dukungan dan banyak
berkorban dari awal hingga akhir perkuliahan ini. Penulis sangat berterima kasih kepada Anak-anakku yang tersayang : Yakcobus Sianipar dan Yohana Sianipar yang
begitu baik dan mengerti kepada penulis sehingga penulis dapat dengan tenang menjalani perkuliahan dari awal hingga akhir.
Penulis juga berharap bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan, namun penulis menyadari bahwa
tulisan ini masih banyak kekurangan, untuk itu memohon saran dan masukan kepada
Universitas Sumatera Utara
kalangan-kalangan peneliti selanjutnya agar penelitian ini menjadi sempurna dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang Rehabilitasi
Sebagai Bagian Pembinaan Terhadap Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika.
Semoga kasih Tuhan senantiasa menyertai kita dalam hidup damai dan tentram.
Puji Tuhan.
Hormat Penulis
Syamsinar Simatupang
Universitas Sumatera Utara
RIWAYAT HIDUP
Nama : Syamsinar Simatupang
TempatTgl Lahir : Sarulla 27 Maret 1971
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Kristen
Alamat : Jln.Pala No.9 Binjai Barat. Binjai
Jabatan : Kasi Giatja
UPT : Lapas Narkotika Klas IIA Pematangsiantar.
Kantor Wilayah Sumatera Utara Kementerian Hukum dan HAM RI
Pendidikan 1.
Sekolah Dasar Negeri Sarulla Tahun 1983 :
2. Sekolah Menengah Pertama Negeri Sarulla Tahun 1986
3. Sekolah Menengah Pekerja Sosial Negeri Medan Tahun 1990
4. Fakultas Hukum Universitas Panca Budi Medan Tahun 1999
5. Kelas Khusus Hukum dan HAM Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Medan Tahun 2012
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN PENGESAHAN
ABSTRAK…………………………………………………………………. … i
ABSTRACT………………………………………………………………….. ii
KATA PENGANTAR……………………………………………………….. iii
RIWAYAT HIDUP………………………………………………………….. vii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………. … viii
DAFTAR TABEL……………………………………………………………. x
Bab I. PENDAHULUAN…………………………………………………. 1
A. Latar Belakantg……………………………………………… 1
B. Perumusan Masalah…………………………………………… 18
C. Tujuan Penelitian……………………………………………… 19 D. Manfaat Penelitian……………………………………………….
19 E. keaslian Penelitian…………………………………………………….
20 F. Kerangka Teori dan Konsepsi…………………………………………
22 1. Kerangka Teori…………………………………………………….. 22
2. Konsepsi……………………………………………………… …… 33 G. Metode penelitian……………………………………………….. …… 35
Bab II. PELAKSANAAN REHABILITASI DI LEMBAGA PEMASYARA KATAN NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 12 TAHUN 1995 SEBAGAI BAGIAN SISTIM PEMBINA TERHADAP NARAPIDANA NARKOTIKA…………………… …… 41
A. Pengertian dan Tujuan Rebahalitasi…………………………… …… 41
1. Pengertian Rehabikitasi……………………………………. …… 41
Universitas Sumatera Utara
2. Tujuan Rehabilitasi………………………………………… …… 44
B. Pembinaan Narapidana………………………………………… …… 47
C. Pelaksanaan Rehabilitasi………………………………………. …… 54
D. Gambaran Lapas Narkotika Klas IIA Pematangsiantar………. …… 61
Bab III. PELAKSANAAN REHABILTASI TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR
35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA………………………. 85
A. Pengertian Pengguna Narkotika…………………………………….
85 B.
Akibat Penyalahguna Narkotika…………………………………… 94
C. Bentuk Rehabilitasi…………………………………………………
98
Bab IV. HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI OLEH PETUGAS LEMBAGA PEMASYARAKATAN NARKOTIKA KLS IIA
PEMATANGSIANTAR DALAM PELAKSANAAN REHABILI- TASI NARAPIDANA NARKOTIKA…………………………... … 109
A. Hambatan Yang Dihadapi………………………………..............… 109
B. Upaya Untuk Mengatasi Hambatan…...…………………………… 115
Bab V. KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………... 118 A.
Kesimpulan……………………………………………………...... 118 B.
Saran…………………………………………………………….. . 120
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………..... 122
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL
Tabel I : Data Warga Binaan Pemasyarakatan Narapidana Narkotika Thn 2011 Sampai dengan 2012
Tabel II : Jadwal Kegiatan Agama Islam Narapidana Narkotika Klas IIA Pematang Siantar.
Tabel III : Jadwal Kegiatan Agama Kristen Narapidana Narkotika di lapas Narktika Klas IIA Pematang Siantar.
Tabel IV : Data Pegawai Lapas Narkotika Klas IIA Pematang Siantar Berdasarkan Pendidikan.
Tabel V : Data Pegawai Lapas Narkotika Klas IIA Pematang Siantar Berdasarkan Golongan.
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Manusia banyak melakukan pelanggaran , salah satunya adalah penyalahguna narkoba. Penyalahguna narkoba tidak hanya menjadi masalah lokal maupun masalah
nasional, tetapi sekarang sudah menjadi masalah global. Pada era Sembilan puluhan, pemakai narkoba sudah masuk ke segala lapisan baik kalangan atas, kalangan
menengah dan kalangan bawah.
Sifat penelitian ini adalah bersifat ganda yang memadukan anatara yuridis normatif dengan yuridis empiris, sehingga akan menemukan penyelesaian dalam
permasalahan antara pedoman peraturan yang mendukung pelaksanaan rehabilitasi dengan praktek di lapangan. Penelitian ini adalah penelitian normatif maka
pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan dan sebagai penelitian empiris mengadakan wawancara terhadap informan dan responden.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memberikan kewenangan kepada hakim yang memeriksa pecandu narkotika dapat memutuskan
untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan danatau perawatan apabila pecandu tidak terbukti melakukan tindak pidana. Penyalahgunaan narkotika
yang diputuskan oleh hakim karena telah terbukti melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika akan menjalani pemidanaan sekaligus sebagai perawatan
danatau pemulihan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Narkotika. Bentuk rehabilitsi yang dilaksanakan adalah sebagai bagian dari pelaksanaan pembinaan narapidana
narkotika. Pembinaan terhadap narapidana narkotika dalam pelaksanaannya adalah berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Tahap-
tahap pembinaan narapidana berlandaskan kepada Surat Edaran No.KP.10.1331 tanggal 8 Februari 1965 tentang Pemasyarakatan Sebagai Proses. Ruang lingkup
pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor : M.02.PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan
NarapidanaTahanan.
Menyangkut rehabilitasi adalah bagian dari sistem pembinaan yang digunakan untuk membantu seseorang melepaskan diri dari kecanduan dan merubah perilakunya
menjadi lebih baik. Dalam tahap rehabilitai pemakai narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Pematangsiantar menekankan pada rehabilitasi
fisik dan mental. Rehabilitasi fisik ditujukan agar narapidana narkoba dapat normal dalam arti bisa berdiri sendiri, mempertahankan kemampuan atau keahlian yang
dimilikinya. Dengan kesibukan-kesibukan tersebut pemakai narkoba akan melupakan ketergantungan pada narkoba. Untuk mengisi kesibukan-kesibukan itu dilakukan
kegiatan olah raga dan ketrampilan serta rehabilitasi mental yang dilakukan dengan penyuluhan, bimbingan dan ceramah. Untuk itu permasalahan yang ditemukan adalah
bagaimana memerankan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Pematangsiantar dapat berfungsi sebagai rumah rehabilitasi terhadap narapidana
narkotika. Kata Kunci : Rehabilitasi, Pembinaan Narapidana Narkotika
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT
Man likes to break the law, one of them is drug abuse. It does not become a local or national problem, but it is now globalized. In the 1990’s, the drug users
comprised of all walks of life, the upper, middle, and lower classes of people. The research used combination method: judicial normative method and
judicial empirical method so that it could find the solution of the problems between the regulations which supported the implementation of the rehabilitation and the
practice in the field. Since it was normative, it used legal provisions approach and as it was empirical, it used interviews with informants and with respondents.
Law No. 352009 on Narcotics gives the authority to a judge who examines drug addicts to order them to be under medical treatment andor rehabilitation if they
are not guilty of doing criminal act. The drug addicts who have been found guilty will be punished and treated andor rehabilitated in Penitentiary of Narcotics.
Rehabilitation is intended to implement the development of drug prisoners which is based on Law No. 121995 on Penitentiary. The stages of prisoner development are
based on the Circular Letter No.KP.10.1331 on February 8, 1965 on Penitentiary as the Process. The scope of prisoner development is based on the Decree of the
Minister of Justice RI No: M.02.PK.04.101990 on the Pattern of PrisonerDetainee Development.
Rehabilitation is part of development system which is used to help a person release from addiction and to change his bad behavior. The stages of rehabilitation
of drug users in the Penitentiary of Narcotics Class IIA, Pematangsiantar emphasize on physical and mental rehabilitation. The physical rehabilitation is intended that
drug prisoners can be normal which means that they can be independent and maintain their ability or skill. They are made busy so that they will forget their
dependency on drugs. They will be actively in sports, skills, while mental rehabilitation is implemented by performing training, guidance, and lectures. The
problem found in the research is how to give the role to the Penitentiary of Narcotics Class IIA, Pematangsiantar so that it can be the place of the rehabilitation of drug
prisoners
Keywords: Rehabilitation, Development, Drug Prisoners,
Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia banyak melakukan pelanggaran, salah satunya adalah penyalahgunaan narkoba. Penyalahgunaan narkoba tidak hanya menjadi masalah
lokal maupun nasional, tetapi sekarang sudah menjadi masalah global dunia.
1
Pada era sembilan puluhan, pemakai narkoba sudah masuk segala lapisan baik kalangan
atas, kalangan menengah, maupun kalangan bawah sekalipun.
2
Ditinjau dari sudut usia, narkoba sudah tidak dinikmati golongan remaja, tetapi juga golongan setengah
baya maupun golongan usia tua.
3
Penyebaran narkoba sudah tidak lagi hanya di kota besar, tetapi sudah masuk kota-kota kecil dan merambah di kecamatan bahkan desa.
4
Tindak pidana penyalahgunaan narkotika termasuk tindak pidana khusus yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disingkat
dalam tesis ini UUN. Menurut Paul Scholten hukum pidana ada dua yaitu hukum pidana umum dan hukum pidana khusus, hukum pidana umum yang berlaku secara
umum dan hukum pidana khusus ialah perundang-undangan bukanlah yang bersanksi pidana yang disebut juga hukum pemerintah.
5
1
.
Pada umumnya pidana pemerintahan itu sanksinya ringan hanya berupa denda saja karena termasuk pelanggaran, tetapi
http:www.bnpjabar.or.id diakses tanggal 28 Nopember 2011
2
. Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Bandung : Mandar Maju, 2003, hal 3
3
. Ibid
4
. Ibid
5
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta:Rineke Cipta, 1994, hal 12
Universitas Sumatera Utara
dewasa ini di Indonesia perkembangannya menjadi agak lain karena telah banyak undang-undang demikian, terutama perundang-undangan administrasi seperti
Undang-Undang Narkotika dan Atom yang ancaman pidana adalah pidana mati.
6
Pidana khusus ialah semua perundang-undangan diluar KUHP beserta perundang- undangan pelengkapnya baik perundang-undangan pidana maupun yang bukan
pidana tetapi bersanksi pidana.
7
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang UUN telah memberikan kewenangan kepada hakim yang memeriksa pecandu narkotika dapat memutuskan
untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan danatau perawatan apabila pecandu tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana. Menurut
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba Ke Dalam Terapi Dan Rehabilitasi bahwa masa menjalani
pengobatan danatau perawatan bagi pecandu narkoba sebagaimana tersebut diatas sebagai masa menjalani pidana.
Pasal 284 menyebutkan “perundang-undangan pidana khusus yang mempunyai acara tersendiri”, disini KUHAP menambah “yang
mempunyai acara tersendiri “ karena maksudnya mempunyai wewenang secara khusus kepada jaksa untuk menyidik sesuai acara khusus tersebut.
Penyalahguna narkotika yang telah terbukti bersalah dan diputuskan oleh hakim untuk menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika, dalam
undang-undang narkotika bahwa terhadap narapidana narkotika dilakukan perawatan
6
Ibid
7
Ibid hal 13
Universitas Sumatera Utara
maka di Lembaga Pemasyarakatan melaksanakan hal tersebut sebagai bagian dari pembinaan.
Mewujudkan rehabilitasi sebagai bagian dari pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika bahwa sistem kepenjaraan telah beralih ke sistem
pemasyarakatan maka pelaksanaannya berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disingkat dalam tesis ini dengan UUP yang
terdiri dari 8 bab dan 54 pasal. Menurut Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
UUP bahwa sistem Pemasyarakatan adalah : Suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan
pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina , yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas
warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar dan menjadi warga Negara yang baik dan bertanggung
jawab. Rumusan Pasal 1 ayat 2 tersebut terlihat bahwa unsur-unsur sistem
pemasyarakatan adalah Pembina personilstaf Lembaga Pemasyarakatan, yang dibina narapidana dan masyarakat.
8
8
Marlina, Hukum Penitensier, Bandung : Refika Aditama, 2011, hal 125.
Berdasarkan analisa diatas bahwa sistim pemasyarakatan hanya menghubungkan aspek sabjektif padahal ada unsur-unsur
objektif yang menjadi perhatian antara lain : Cara pembinaan, meningkatkan kualitas, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, tidak mengulangi tindak pidana,
Universitas Sumatera Utara
diterima kembali di lingkungan masyarakat, berperan aktif dalam pembangunan, dapat hidup secara wajar, menjadi warga negara yang baik dan bertanggung jawab.
Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan,
memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan
hidup wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
9
Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang UUP disebutkan yang dimaksud dengan “ Agar menjadi manusia seutuhnya adalah upaya
untuk memulihkan narapidana dan anak didik pemasyarakatan kepada fitrahnya dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan pribadinya, manusia
dengan sesamanya dan manusia dengan lingkungannya”. Dasar pemikiran lainnya ialah adanya paham determinisme yang menyatakan
bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan yang dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis dan faktor-faktor
kehidupan kemasyarakatan. Perbuatan kejahatan sebenarnya jiwa seseorang yang abnormal oleh karena itu sipelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas
perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana, Karena seorang penjahat merupakan jenis manusia khusus yang memiliki ketidaknormalan organik dan mental, maka
9
Pasal 2 Nomor 12 Tahun 1995 tentang UUP
Universitas Sumatera Utara
bukan pidana yang seharusnya dikenakan kepadanya tetapi yang diperlukan adalah tindakan-tindakan perawatan yang bertujuan memperbaiki.
10
Kenyataan empiris di bidang pemidanaan pelaku pengedar gelap narkotika secara umum masih menganut memperbaiki terpidana di Lembaga Pemasyarakatan
sehingga memberikan gambaran bahwa kejahatan tersebut hanya terhenti sesaat dan akan muncul kembali kedalam lingkungan kehidupan sosial. Membuat jera
narapidana pengedar narkoba dan aparat yang terlibat membantu beredarnya barang haram itu di penjara, pemerintah perlu mengimplementasikan sanksi pemiskinan bagi
mereka. Kriminolog dari Universitas Indonesia Andrianus Meliala mengungkapkan harus ada sanksi terobosan yang dapat menjadi efek jera bagi narapidana narkotika.
Andrianus memaparkan Indonesia memiliki Undang-Undang Narkotika dan Undang- Undang Pemasyarakatan yang sebetulnya representatif untuk dapat menciptakan
sistem hukum ideal.
11
10
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Yogyakarta : Genta Publishing 2010, hal 18-19
Menyusul perubahan undang-undang narkotika yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang UUN yang mengharuskan agar para
terpidana pengguna narkotika dan korban penyalahguna dipulihkan di pusat rehabilitasi. “Sekarang mereka yang telah terbukti penyalahguna narkotika, sesuai
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Penyalahguna Narkotika ke Pusat Terapi dan Rehabilitasi dengan demikian pengguna
narkotika masuk ketempat rehabilitasi. Waktu yang lalu hakim-hakim masih banyak memutuskan menetapkan mereka ke lapas, sekarang mereka bisa minta untuk
11
. http:megapolitan.kompas.com. 14 Maret 2011 diakses 17 April 2011
Universitas Sumatera Utara
merubah dari ketetapan itu, dari lapas untuk dipindahkan ke pusat rehabilitasi,” Ungkap Kepala Badan Narkotika Nasional Gories Mere, di Gedung BNN ,Jakarta
Selatan.
12
Seiring dengan kondisi Lembaga Pemasyarakatan yang tidak mendukung pada saat ini karena dampak negatif keterpengaruhan prilaku kriminal lainnya dapat
semakin memperburuk kondisi kejiwaan, kesehatan yang diderita para narapidana narkotika dan psikotropika akan semakin berat, keadaan ini diperlakukan dengan
perbedaan di Lembaga Pemasyarkaan Narkotika karena yang menjadi penghuni di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika secara khusus merupakan narapidana narkotika
sehingga pola pembinaan di Lembaga Pemasyarkatan Narkotika adalah pembinaan yang konfrehensif antara pemulihan dengan pemidanaan.
Pelaksanaan SEMA RI No. 07 tahun 2009 tentang Penempatan Penyalahguna Narkotika ke Pusat Terapi dan Rehabilitasi hakim tetap memperhatikan
komposisi pemakaian sehingga pengguna dapat diputuskan untuk melaksanakan perawatan di tempat rehabilitasi.
Pembinaan yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Pematangsiantar selalu mengacu kepada berdasarkan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1995 tentang UUP. Hal ini disebabkan belum ada petunjuk khusus untuk pelaksanaan tugas dan fungsi di Lapas Narkotika, sehingga di lapangan dalam
pelaksanaan tugas Lapas Narkotika petugas tetap berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
12
httpwwwkompas.com , Polri dan BNN kerja sama ciptakan Zona Bebas Narkoba diakses tgl 14 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Pematangsiantar dibangun sejak tahun 2008 berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI. No.04.PR.07.03
Tahun 2003 tentang Pembentukan Lapas Narkotika Pematangsiantar, Lubuk Linggau, Bandar Lampung, Jakarta, Bandung, Nusakambangan, Martapura, Bangli, Maros dan
Jaya Pura,. Lembaga pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Pematangsiantar berada di Pematang Raya kabupaten Simalungun dengan luas tanah 3 ha.
Penguni Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Pematangsiantar adalah narapidana khusus penyalahguna narkotika baik itu pengedar, pengguna dan bahkan
ada korban penyalahguna. Kapasitas Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Pematangiantar adalah kapasitas 600 enam ratus orang dan penguni Lembaga
Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Pematangsiantar berjumlah 30 tiga puluh orang yang semuanya merupakan pemindahan dari Lembaga Pemasyarakatan umum lain.
Jumlah warga binaan ini masih minim sekali dilihat dari kapasitas bangunan yang dapat menampung sampai 600 enam ratus orang penyalahguna narkotika.
Minimnya jumlah penghuni di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika disebabkan beberapa penghambat operasional antara lain : SDM belum mencukupi baik dari segi
kuantitas maupun kualitas pegawai, Sarana dan Prasarana yang mendukung pelaksanaan tugas belum lengkap seperti sejajaran Lapas yang lain, kondis bangunan
yang masih rawan, disamping itu juga karena masih tahap pemula untuk menjadi Lapas Khusus Narkotika Lapas Sustik Sumatera Utara.
Cara pembinaan yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Pematangsiantar belum terlaksana sesuai dengan kategori tindak pidana yang
dilakukan oleh narapidana. Keadaan ini diakibatkan oleh kurangnya sarana dan
Universitas Sumatera Utara
prasarana di Lapas baik dari SDM, Peraturan pendukung dan bahkan sarana fisik yang belum memadai untuk melaksanakan pemisahan kamar penghuni sesuai dengan
tindak pidananya. Arti penting penerapan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika adalah
pengobatan, perawatan pecandu dan ketergantungan narkoba akan mengurangi kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan, disamping dapat mengurangi peredaran
gelap narkotika, untuk itu kerangka yuridis yang telah ada di dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang UUN Pasal 54 adalah sebagai dasar bagi hakim untuk
dapat memutuskan pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Namun hal ini tetap
memperhatikan dari kuantitas penggunaan narkotika oleh penyalahguna. Penjelasan Pasal 54 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang UUN disebutkan
bahwa “korban penyalahgunaan Narkotika” adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa danatau diancam
untuk menggunakan Narkotika. Selanjutnya tempat pelaksanaan rehabilitasi dalam Pasal 56 Undang –Undang
Nomor 39 Tahun 2009 tentang UUN menyatakan bahwa : 1.
Rehabilitasi medis pecandu narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri
2. Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau
masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis pecandu narkotika setelah mendapat persetujuan pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
Penjelasan Pasal 56 dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang UUN disebutkan :
1. Ketentuan ini menegaskan bahwa rehabilitasi bagi pecandu narkotika dilakukan dengan maksud untuk memulihkan danatau mengembangkan
kemampuan fisik, mental, dan sosial penderita yang bersangkutan. 2. Yang dimaksud dengan “instansi pemerintah misalnya Lembaga
Pemasyarakatan Narkotika dan Pemerintah Daerah.” Ketentuan ini menegaskan bahwa untuk rehabilitasi medis bagi pecandu narkotika
pengguna jarum suntik dapat diberikan serangkaian terapi untuk mencegah penularan HIVAIDS melalui jarum suntik dengan pengawasan
ketat Departemen Kesehatan.
Pasal 57 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang UUN menyebutkan selain pengobatan danatau rehabilitasi medis penyembuhan pecandu narkotika dapat
diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional. Dengan ini Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang UUN memberi suatu pengertian bahwa pengguna narkotika sudah menjadi suatu penyakit bukan lagi menjadi suatu kriminal biasa sehingga untuk
penanganannya perlu pengobatan untuk pemulihan maka di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika sebagaimana pada Pasal 56 Undang-Undang nomor 35
tahun 2009 tentang UUN tersebut adalah sebagai instansi pemerintah dalam pelaksanaan rehabilitasi sosial sebagai bagian dari pembinaan dengan berpedoman
kepada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang UUP. Menyangkut Undang-Undang Narkotika dalam pelaksanaan rehabilitasi untuk
pembinaan sebagaimana tersebut dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang UUN, hal ini juga memberi maksud yang sama pada Pasal 9 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang UUP yang menyebutkan bahwa :
Universitas Sumatera Utara
Penyelenggaraan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, Menteri dapat mengadakan kerjasama dengan instansi terkait, badan-badan kemasyarakatan
lainnya atau perorangan yang kegiatannya seiring dengan penyelenggaraan sistem pemasyarakatan sebagaimana dimaksud Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor
12 tahun 1995 tentang UUP. Ketentuan mengenai kerjasama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang UUP diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Menyangkut rehabilitasi adalah bagian dari sistem pembinaan yang digunakan
untuk membantu seseorang melepaskan diri dari kecanduan dan merubah prilakunya menjadi lebih baik. Dalam tahap rehabilitasi pemakai narkoba di Lembaga
Pemasyarakatan Narkotika Pematangsiantar menekankan pada rehabilitasi phisik dan mental. Rehabilitasi phisik ditujukan agar narapidana pemakai narkoba normal dalam
arti bisa berdiri sendiri, mempertahankan kemampuan atau keahlian yang dimilikinya.
13
Kesibukan-kesibukan tersebut terhadap pemakai narkoba akan melupakan ketegantungan pada narkoba.
14
Kegiatan konsultasi hukum merupakan sarana pembinaan bagi narapidana atau tahanan narkotika dilaksanakan dalam lapas atau rutan dengan tujuan agar
Berbagai kesibukan-kesibukan yang dilakukan seperti kegiatan olah raga dan ketrampilan-ketrampilan serta rehabilitasi
mental dilakukan dengan penyuluhan, bimbingan dan ceramah. Kegiatan ini dimaksud agar Warga Binaan Pemasyarakatan sadar bahwa dirinya masih memiliki
masa depan.
13
Hari Sasangka, Narkotika da Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Op Cit, hal 28
14
Ibid
Universitas Sumatera Utara
narapidana atau tahanan narkotika dapat memahami dan menghayati hak dan kewajiban sehingga manusia yang taat dan patuh kepada hukum, mandiri dan berguna
bagi masyarakat dan negara.
15
Menurut Sahardjo ketika dalam Konferensi Dinas Kepenjaraan di Lembang tanggal 27 April 1964 melontarkan gagasan perubahan tujuan pembinaan narapidana
dari sistem kepenjaraan ke sistem pemasyarakatan. Landasan sistem pemasyarakatan “ Bahwa tidak saja masyarakat diayomi
terhadap diulangi perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan juga orang yang telah tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang
berguna di dalam masyarakat. Pengayoman itu nyata bahwa menjatuhkan pidana bukanlah tindakan balas dendam dari negara. Tobat tidak dapat dicapai dengan
penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Pelaku tindak pidana juga tidak dijatuhi pidana siksaan, melainkan pidana kehilangan kemerdekaan. Negara telah mengambil
kemerdekaan seseorang dan pada waktunya akan mengembalikan orang itu kemasyarakat lagi, mempunyai kewajiban orang terpidana itu dan masyarakat “.
Titik tolak pemikiran Sahardjo, bahwa bukan saja masyarakat yang diayomi dengan adanya tindak pidana, tetapi juga sipelaku perlu diayomi dan diberi
bimbingan sebagai bekal hidupnya kelak setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan, agar berguna bagi dan di dalam masyarakat. Pandangan yang
menarik adalah bahwa tobat tidak dilakukan dengan penyiksaan, tetapi dengan bimbingan. Sebab seorang narapidana telah kehilangan kemerdekaan bergerak , jadi
15
Pusat Pencegahan Lakhar, BNN RI, 2009 , Advokasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Petugas LapasRutan, hal 72
Universitas Sumatera Utara
pidana kehilangan bergerak telah merupakan pidana tersendiri, yang tidak perlu ditambah lagi dengan penyiksaan atau bentuk lain, tetapi harus diberikan bimbingan
agar kalau tiba waktunya untuk kembali ke masyarakat, akan berguna. Petugas Pemasyarakatan penegak hukum yang melaksanakan tugas dibidang
pembinaan, pengamanan dan pembimbingan warga binaan Pemasyarakatan dapat memandang hukuman itu adalah untuk tujuan penjeraan bagi yang melanggar.
16
Lapas menjadi pusat pelayanan terpadu One Stop Center bagi penyalahguna Napza yang bertujuan untuk menyelenggarakan terapi dan rehabilitasi sosial.
Pelaksanaan tugas dan fungsi Pemasyarakatan harus dilandaskan kepada aturan hukum yang berlaku agar pemenuhan dan hak asasi manusia dapat direalisasikan.
Berbagai sistem pembinaan dengan melaksananakan program terpadu rehabilitasi sosial dan terapi menjadi salah satu langkah yang serius dalam penanggulangan
penyalahgunaan Napza Narkotika,Psikotropika dan Zat adiktif. Untuk itulah lapas yang bertugas membina warga binaan juga berfungsi untuk rehabilitasi bagi
penyalahguna Napza, sehingga melalui program ini diharapkan mereka dapat kembali berperan aktif dimasyarakat dalam keadaan sudah lepas dari ketergantungan adiksi
17
16
Undang-Undang Pemasyarakatan No 12 tahun 1995 Pasal 8 ayat 1 : Petugas Pemasyarakatan merupakan pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan tugas dibidang pembinaan,
pengamanan, pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
One Stop Center adalah upaya pelayanan terapi dan rehabilitasi terpadu bagi
17
httpwww, Terapi dan Rehabilitasi Narapidana Narkotika Melalui Metode Criminon dan Kesenian , diakses tgl 17 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
penyalahguna narkoba secara menyeluruh yang meliputi pelayanan terapi medis, psikologis dan sosial serta spiritual di dalam sarana institusi residensial.
18
Perlu kita ingat kembali bahwa membina pecandu narkotika ini bukanlah hal yang mudah bahwa tidak ada kata sembuh dalam sifat adiksi ketergantungan.
Pecandu sering mengalami kambuh replase meskipun pernah berhenti menggunakan Napza. Kata yang tepat kepada pecandu dapat digunakan dengan kata
pulih recovery.
19
1. Memantapkan iman ketahanan mental mereka Keadaan ini yang menjadi tantangan bagi petugas
pemasyarakatan untuk membina menjadi narapidana yang sudah pulih dari penyakit sosial ini untuk tidak kembali lagi ke perbuatan yang salah. Sebab petugas
pemasyarakatan mempunyai tugas pembinaan bukan hanya seorang narapidana itu sebagai penghuni tetapi secara umum pembinaan narapidana bertujuan agar mereka
dapat menjadi manusia seutuhnya sebagaimana menjadi arah pembangunan nasional melalui jalur pendekatan
2. Membina mereka agar mampu berintegrasi secara wajar di dalam kehidupan kelom pok selama dalam lembaga pemasyarakatan dan kehidupan yang lebih luas
masyarakat setelah menjalani pidana Secara khusus pembinaan narapidana ditujukan agar selama masa pembinaan
dan sesudah selesai menjalankan masa pidananya.
20
18
Modul Petugas Rehabilitasi Sosial Dalam Pelaksanaan Program One Stop Center OSC, BNN RI, 2006, Hal 21.
19
http:obatantinarkoba.blogspot.com diakses 28 Nopember 2011
20
Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.02.PK.04.10 Tahun 1990 Tanggal 10 April 1990
Universitas Sumatera Utara
1. Berhasil memantapkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya serta bersikap optimis akan masa depannya
2. Berhasil memperoleh pengetahuan minimal ketrampilan untuk bekal mampu untuk mandiri dan berprestasi dalam kegiatan pembangunan
nasional. 3. Berhasil menjadi manusia yang patuh hukum yang terjermin pada sikap dan
prilakunya yang tertib disiplin serta mampu menggalang rasa kesetiakawanan sosial.
4. Berhasil memiliki jiwa dan semangat pengabdian terhadap bangsa dan negara.
Pencegahan pemberantasan dan peredaran gelap Narkoba di LapasRutan
dimulai dari petugas LapasRutan mempunyai peran yang sangat sentral. Pemahaman mengenai masalah Narkoba bagi Petugas LapasRutan diawali dari pengenalan baik
secara hukum maupun secara fisik tentang Narkoba sehingga diharapkan dapat memahami bahaya yang ditimbulkan dari penyalahguna narkoba. Perlu diketahui
juga bahwa keberhasilan penghentian penyalahguna narkoba tergantung kepada jenis narkoba yang disalahgunakan, lama penggunaanketergantungan, dosis narkoba yang
digunakan, keinginan sembuh dari penderita, sikap keluarga dan hubungan antar penyalahguna dan pengedar.
21
Sistem pemasyarakatan yang dimuat dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang UUP tersebut dalam melaksanakan
pembinaan terhadap narapidana didasarkan pada beberapa hal, sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang UUP
menyatakan bahwa: “Sistem Pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas” :
1. Pengayoman
21
Advokasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Petugas LapasRutan, 2009, OpCit, hal 69-70
Universitas Sumatera Utara
2. Persamaan perlakuan dan pelayanan 3. Pendidikan
4. Pembimbingan 5. Penghormatan harkat dan martabat manusia
6. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan
7.Terjaminya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu
Praktek pelaksanaan tugas-tugas pemasyarakatan baik yang berada di Lapas,
Rutan maupun Bapas secara fungsional dapat dibagi menjadi empat kelompok petugas yaitu :
22
1. Kelompok petugas Pengamanan
2. Kelompok Petugas Administrasi Tata Usaha , selaku unsur pendukung
non tehnis 3.
Kelompok Petugas Pembinaan dan Pembimbingan 4.
Kelompok Petugas Ahli selaku Pendukung Tehnis Pembinaan . Kelompok pengamanan kecuali di Bapas mempunyai tugas menciptakan
keamanan dan ketertiban di dalam Lapas Rutan. Kelompok ini mempunyai tugas yang penuh resiko.
23
Kelompok petugas administrasi ialah kelompok petugas yang mempunyai tugas dan fungsi pendukung fasilitatif dalam pelaksanaan tugas pokok yakni
penyelenggaraan pemasyarakatan warga binaan pemasyarakatan.
24
22
Didin Sudirman, Revosisi dan Revitalisasi Pemasyarakata Dalam Sistim Peradilan Pidana Di Indonesia, Jakarta : Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum dan Hak
Asasi Hukum, 2007.
23
Ibid
24
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Kelompok Petugas pembinaan pemasyarakatan ialah kelompok pegawai yang didik khusus untuk menyelenggarakan fungsi utama untuk pekerjaan pemasyarakatan
dalam rangka memajukan dan melindungi hak-hak orang yang sedang bermasalah dalam hukum.
25
Kelompok Petugas Ahli ialah kelompok petugas yang menjadi kelompok pendukung bagi keberhasilan tugas-tugas kelompok pembinaan.
26
Semua unsur kelompok dalam tugas pemasyarakatan harus di dukung oleh sumber daya manusia
yang handal dan mampu untuk melaksanakan tugas fungsi pemasyarakatan. Pengembangan sumber daya manusia disebut sebagai pengembangan pribadi self
development karena pada dasarnya yang mampu mengembangkan sumber daya manusia adalah diri sendiri bukan orang lain yang mengembangkan diri kita tetapi
kita sendiri .
27
Kondisi sumber daya manusia bagi petugas pemasyarakatan akan menimbulkan penyimpangan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi pemasyarakatan
tidak dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Tidak ada suatu masyarakat pun yang bebas dari penyimpangan yang dilakukan oleh anggotanya karena tidak ada
satupun sistem pengendalian sosial yang dapat berfungsi secara sempurna.
28
Sering kita dengar melalui media massa bahwa di Lembaga Pemasyarakatan ada tawuran antara sesama penghuni, peredaran narkoba, pemerasan, pelarian,
25
Ibid
26
Ibid
27
Harsono,C.I,Hs, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Jakarta : Djambatan, 1995, hal 279.
.
28
. Horton Hunt, Sosiologi, 1987,191, dikutip dari.Didin Sudirman, Revosisi dan Revitalisasi Pemasyarakatan Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia, Op Cit, hal 205
Universitas Sumatera Utara
pemberontakan, penganiayaan oleh penghuni dan lain sebagainya. Gejala seperti ini menjadi sesuatu yang tersembunyi latent di dalam Lembaga Pemasyarakatan yang
menjadi potensi terhambatnya pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di Lapas Rutan bukan saja berasal dari
Petugas akan tetapi dari pihak narapidana itu sendiri seperti dari keluarga, teman dan siapa saja yang mempunyai peluang untuk melakukanya.
Penyalahguna narkotika di dalam LapasRutan bukan tidak mempunyai kesempatan mencari barang haram itu, mereka akan selalu berusaha untuk
mendapatkanya. Dengan situasi seperti ini Petugas Pemasyarakatan akan selalu selektif terhadap setiap pengunjung. Sebagai petugas pemasyarakatan juga harus
paham bagaimana tabiat dari penyalahguna narkotika. Permasalahan yang tidak perlu ditutup-tutupi bahwa banyak narapidana
narkotika yang sudah bebas kembali lagi ke Lembaga Pemasyarakatan dalam kasus yang sama bahkan di dalam Lembaga Pemasyarakatan menjadi orang yang lebih
berkapasitas untuk memasukkan narkoba. Narapidana yang menjadi kategori seperti ini akan lebih berkualitas melakukan penyimpangan dengan usaha menyeludupkan
narkoba ke dalam LapasRutan. Lapas telah membuat sebagai peraturan mengenai barang-barang yang boleh
dan tidak boleh dimasukkan ke dalam Lapas. Biasanya penyeludupan itu adalah Uang, Narkoba, Senjata tajam, Hand phone dan lain-lain.
29
29
Ibid hlm 222
Universitas Sumatera Utara
B.Perumusan Masalah
Sesuai dengan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan Rehabilitasi di Lembaga Pemasyarakatan
Narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sebagai bagian sistem pembinaan terhadap narapidana
narkotika? 2.
Bagaimana pelaksanaan rehabilitasi terhadap pengguna narkotika
berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ?
3. Bagaimana hambatan-hambatan yang dihadapi oleh petugas Lembaga
Pemasyarakatan Narkotika Pematangsiantar dalam pelaksanaan rehabilitasi
narapidana narkotika ? C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penulisan tesis ini adalah: 1.
Untuk mengetahui pelaksanaan rehabilitasi di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan sebagai bagian sistem pembinaan terhadap narapidana narkotika
2. Untuk mengetahui pelaksanaan rehabilitasi terhadap pengguna narkotika
berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 3.
Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Pematangsiantar dalam pelaksanaan
rehabilitasi narapidana narkotika.
Universitas Sumatera Utara
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian, maka penelitian memiliki manfaat teoretis dan praktis. Adapun kedua kegunaan tersebut adalah
1. Secara Teoretis
Manfaat penelitian ini adalah untuk memberi sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang hukum pidana
menyangkut pembinaan narapidana penyalahguna narkotika dan peran petugas pemasyarakatan dalam pembinaan narapidana penyalahguna narkotika . Penelitian ini
juga diharapkan dapat menyempurnakan peraturan hukum yeng menyangkut bidang pembinaan di lembaga pemasyarakatan.
2. Secara Praktis.
Diharapkan penelitian ini memberi masukan kepada aparat petugas pemasyarakatan dalam menerapkan sistem pembinaan terhadap narapidana
penyalahguna narkotika di lembaga pemasyarakatan sehingga dapat menjalankan tugas sesuai dengan fungsi pemasyarakatan.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran studi kepustakaan dan pemantauan yang dilakukan, bahwa belum ada bidang dan ruang lingkup yang melakukan penelitian serupa
dalam hal “ Pelaksanaan Rehabilitasi Terhadap Narapidana Narkotika Sebagai Bagian Sistem Pembinaan Di Dalam Lembaga Pemasyarakatan Narkotika’. Ada
beberapa tesis yang membahas tentang narkotika namun permasalahan, metode dan lokasi penelitian yang berbeda serta pembahasan terhadap Undang-Undang yang
Universitas Sumatera Utara
berbeda. Pada tesis ini Undang-Undang Narkotika yang dibahas adalah Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang UUN
Beberapa tesis yang membahas tentang yang berhubungan dengan narkotika adalah sebagai berikut ;
1. Nama : Mhd Tavip, Nim 077005017, Pascasarjana Fakultas Hukum USU, Judul
tesis “Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan Psikotropika Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I
Medan Dihubungkan Dengan Tujuan Sistem Pemasyarakatan”. Permalasalahan lebih lanjut lihat pada tesisnya.
2. Nama : Ardiansah, Nim 057005027, Pascasarjana Fakultas Hukum USU, judul
tesis “Kedudukan Lembaga Pemasyarakatan Rehabilitasi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika dan Psikotropika”. Permasalahan lebih lanjut lihat
pada tesisnya. 3.
Nama : Mala Puspita Sari Br Ginting, Nim 087005058, judul tesis “Analisis Yuridis Rehabilitasi Terhadap Pengguna Narkotika Dalam Pesrspektif Pembaruan
Hukum Pidana Nasional”. Permasalahan lebih lanjut lihat pada tesisnya. 4.
Nama : Pahatar Simarmata, Nim 002105042, judul tesis “Pidana Yang Dijatuhkan Dalam Perkara Narkotika Sebagai Upaya Pembinaan Terpidana”. Permalahan
lebih lanjut lihat pada tesisnya 5.
Nama : Rita Pristiwa, Nim 077005022, judul tesis “ Pola Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan”. Permalahan lebih lanjut lihat
pada tesisnya.
Universitas Sumatera Utara
6. Nama : Roma Ulinan Pasaribu, Nim 077005022, Pascasarjana Fakultas Hukum
USU, “ Analisis Hukum Pola Pembinaan Narapidana Wanita Pengedar Narkoba Dalam Perspektif Pemasyarakatan Penelitian Pada Lembaga Pemasyarakatan
Wanita Klas IIA Medan. Permalahan lebih lanjut lihat pada tesisnya 7.
Nama : Jan Prins Duarmen Saragih, Nim 037005018, Pascasarjana Fakultas Hukum USU, Judul tesis “ Pembinaan Terhadap Anak Dalam Kasus
Penyalahgunaan Narkoba Dan Psikotropika Studi kasus di Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas IIA Medan. Permalahan lebih lanjut lihat pada
tesisnya. Oleh karena itu penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah,
sebab penyusunan tesis ini menghormati etika penelitian sebagaimana dalam asas- asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka untuk saran-saran dari pihak
pembaca yang akan menambah ilmu penulis dan penyempurnaan penelitian di masa yang akan datang.
E. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Sistem pemidanaan terhadap penyalahgunaan narkotika tidak dapat dilepaskan dari sistem pemidanaan yang dianut dalam hukum Indonesia. Tujuan
sistem pemidanaan pada operasionalnya adalah tujuan penegakan hukum yang dijalankan oleh sistem peradilan berdasarkan perangkat-perangkat hukum yang
mengatur kriminalisasi penyalahguna narkotika yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang UUN. Menentukan tujuan pemidanaan pada sistem peradilan
menjadi persoalan yang cukup dilematis, terutama dalam menentukan apakah
Universitas Sumatera Utara
pemidanaan ditujukan untuk melakukan pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau merupakan tujuan yang layak dari proses pidana adalah pencegahan tingkah
laku yang anti sosial. M. Cherif Bassiouni pernah menegaskan bahwa kita tidak tahu dan tidak
pernah tahu secara pasti metode-metode tindakan treatment apa yang paling efektif untuk mencegah dan memperbaiki atau kita pun tidak mengetahui seberapa jauh
efektivitas setiap metode tindakan itu.
30
Tujuan pemidanaan dari tujuan klasik retributif, ditterent sampai terjadi ke perubahan tujuan positif dengan pemidanaan Treatment sampai ke Restorative Justice
belum juga berhasil sehingga tetap mengalami perubahan-perubahan sistem pemidanaan, siklus-siklus pemidanaan ini semakin terjawab dengan munculnya
undang-undang baru pada setiap kriminal dan hakekat tujuan pemidanaannya juga terkontribusi di dalam undang-undang itu sendiri.
Teori klasik Retributif melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai
perbuatan yang amoral dan asusila di dalam masyarakat .oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepas dari
tujuan apapun sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan yaitu pembalasan. Tokoh teori retributive adalah Immanuel Kant 1724-1804 dan Hegel 1770-1831.
30
Dikutip dari Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,Bandung :Citra Aditya Bakti, 1996, hal 62
Universitas Sumatera Utara
Immanuel Kant menyatakan bahwa pembenaran pidana dan tujuan pidana adalah pembalasan terhadap serangan kejahatan atas ketertiban sosial dan moral.
31
Teori deterrence berakar dari teori klasik tentang pemidanaan. Beccaria dalam bukunya yang berjudul dei Delitti e Delle Pene 1748 akhir dari hukuman adalah
tidak lain tidak bukan untuk mencegah penjahat mencederai lebih lanjut masyarakat dan mencegah orang lain dari perbuatan-perbuatan yang serupa.
32
Sudarto pernah mengemukakan bahwa apabila hukum pidana digunakan hendaknya dilihat keseluruhan hubungan politik kriminal atau social defence
planning yang inipun harus merupakan bagian dari rencana pembangunan nasional.
Sedangkan teori Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang
berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan bukan pada perbuatannya. Pemidanaan yang dimaksud di sini adalah memberikan
tindakan perawatan treatment dan perbaikan rehabilitation sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen pada positif ini adalah bahwa pelaku kejahatan adalah orang
yang sakit sehingga membutuhkan perawatan treatment dan perbaikan rehabilitation.
33
Politik kriminal ialah pengaturan secara rasional usaha-usaha pengendalian kejahatan oleh masyarakat.
34
31
Priyatno Dwija, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung : Refika Aditama, 2006, hal 23
32
Cesare Beccaria. Perihal Kejahatan dan Hukuman . diterjemahkan oleh Wahmuji, Yogyakarta : Genta Publising cetakan Pertama 2011, hal 38.
33
Muladi, Arief Barda Nawawi, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Bandung : Alumni, 1998, hal 157
34
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi
kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan dari politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan
dengan hukum pidana.
35
Berdasarkan kupasan dari konsep teori diatas maka kerangka teori sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori Restorative justice. Ahli kriminologi
berkebangsaan Inggris Tony.F.Marshall dalam tulisannya bahwa defenisi restorative justice adalah :
“Restorative justice is a process whereby all the parties with a stake in a particular offence come together to resolve collectively how to deal eith the
aftermath of the offence and its implications for the future” restorative justice adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam
pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersama- sama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi
kepentingan masa depan
36
Retroaktive justice merupakan upaya penegak hukum untuk mengalihkan kasus pidana dari mekanisme formal ke mekanisme informal. Pilihan antara
penyelesaian melalui pengadilan litigasi dengan menggunakan restitutive justice criminal justice atau penyelesaian non pengadilan melalui cara rekonsiliasi dengan
menggunakan restorative justice sebagai salah satu implementasi transitional justice keadilan transisional senantiasa menjadi wacana seru.
37
35
. Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum, Op Cit, hal 29
36
Dikutip dari Marlina, Pengantar Konsep Diversi Dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana, Medan : USU Press, 2010, hal 28
37
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum legal Theory dan Teori Peradilan judicial Prudence Termasuk Interpretasi Undang-Undang Legis Prudence, Jakarta: Kencana , 2009, hal
247
Universitas Sumatera Utara
Konsep restorative justice dalam penyelesaian suatu kasus tindak pidana peran dan keterlibatan anggota masyarakat sangat penting dalam membantu,
memperbaiki kesalahan dan penyimpangan yang terjadi disekitar lingkungan masyarakat yang bersangkutan.
38
Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitik beratkan pada sifat penindasanpemberantasanpenumpasan repressive sesudah kejahatan
terjadi, sedangkan jalur non penal lebih menitik beratkan pada sifat pencegahanpenangkalanpengendalian preventive sebelum kejahatan terjadi.
39
Menentukan titik temu antara jalur penal sebagai tindakan
penindasanpemberantasanpenumpasan repressivedan non penal sebagai tindakan pencegahanpenangkalanpengendalian Preventive memerlukan formulasi baru
dalam sistim atau tujuan pemidanaan. Dikatakan sebagai perbedaan secara kasar, karena tindakan represif pada
hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.
40
Mengingat penyebab penyalahgunaan NAPZA Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif memerlukan interaksi antara faktor yang terkait dengan individu, faktor
lingkungan dan faktor tersediannya zat NAPZA. Penanggulangan akibat penyalahgunaan narkotika dan pencegahan peredaran narkotika dilihat dari sudut
politik kriminal secara makro dan global upaya-upaya non penal
38
Marlina, Konsep Diversi Dan Restorative JusticeDalam Hukum Pidana, Op Cit, Hal 40
39
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op Cit, Hal 49
40
. Ibid
Universitas Sumatera Utara
pencegahanpengendalianpenangkalan menduduki posisi dan strategi dari keseluruhan upaya politik kriminal.
Berdasarkan aliran utilitari bahwa pemidanaan yang di jalankan di Lembaga Pemasyarakatan dengan sistem pembinaan membuat hukum memberi prinsip
kemanfaatan bagi narapidana. Teori Utilitaris bukan sekedar menjadi pembalasan atau pengimbalan bagi pelaku tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan tertentu
menjadi bermanfaat oleh karena itu teori ini sering disebut juga dengan teori tujuan Utilitarian Theory. Pendapat Jeremi Bentham hukum dapatlah diakui sebagai
hukum, jika ia memberi sebanyak-banyaknya kemanfaatan yang sebesar-sebesarnya terhadap sebanyak-banyaknya orang. Prinsip itu di kemukakan oleh Bentham dalam
karyanya Introduction to the Principles of Morals and Legislation 1789.
41
Tujuan perundang-undangan adalah untuk menghasilkan kebahagiaan bagi masyarakat untuk
itu perundang-undangan harus mencapai empat tujuan :
42
to provide subsistence untuk memberi nafkah hidup to provide abudance untuk memberi makanan yang berlimpah
to provide security untuk memberikan perlindungan to attain equality untuk mencapai persamaan
Dalam sistem pemasyarakatan adanya suatu upaya dengan penginterasian narapidana, petugas pemasyarakatan dan masyarakat. Pemasyarakatan tidak hanya
sekedar rehabilitasi dan sosialisasi tetapi mata rantai pemulihan sosial narapidana dengan masyarakat dalam pasca menjalani pidana setelah narapidana kembali
41
Ibid Hal 78
42
Ibid hal 272-273
Universitas Sumatera Utara
kemasyarakat. Pembinaan dengan sistem pemasyarakatan tidak ada pemisah antara mantan narapidana dengan masyarakat yang dapat menciptakan kepercayaan diri dan
adanya tanggung jawab dari masyarakat. Terapi dan Rehabilitasi merupakan pengintegarisian dalam pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan.
Bertolak dari pandangan Saharjo tentang hukum sebagai pengayoman. Hal ini membuka jalan perlakuan terhadap narapidana dengan cara pemasyarakatan dengan
tujuan pidana penjara. Konsep pemasyaraktan tersebut kemudian disempurnakan oleh Keputusan
Konfrensi Dinas Para Pimpinan Kepenjaraan pada tanggal 27 April 1964 yang memutuskan bahwa pelaksanaan pidana penjara di Indonesia dilakukan dengan
sistem pemasyarakatan, suatu pernyataan disamping sebagai arah tujuan, pidana penjara dapat juga menjadi cara membimbing dan membina.
43
Berdasarkan pemikiran tersebut maka sejak tahun 1964 sistem pembinaan bagi narapidana dan anak didik telah berubah secara mendasar yaitu dari sistem
kepenjaraan menjadi sistem kemasyarakatan begitu pula institusi yang semula rumah penjara dan rumah pendidikan Negara berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan
berdasarkan Surat Instruksi Direktorat Pemasyarakatan Nomor J.H.G.8506 tanggal 17 Juni 1964.
44
Sistem pemasyarakatan merupakan suatu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana, oleh karena itu pelaksaananya tidak dapat dipisahkan dari
pengembangan konsepsi umum mengenai pemidanaan. Lembaga Pemasyarakatan
43
Priyatno Dwija Op Cit hlm 97
44
Ibid
Universitas Sumatera Utara
sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut melalui pendidikan, rehabilitasi dan reintegrasi. Sejalan
dengan peran Lembaga Pemasyarakatan tersebut maka tepatlah apabila Petugas Pemasyarakatan melaksanakan tugas pembinanaan dan pengamanan Warga Binaan
Pemasyarakatan dalam Undang-Undang di tetapkan sebagai Pejabat Fungsional Penegak Hukum.
45
Sistem pemasyarakatan memandang pemidanaan yang berdasarkan pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan dengan suatu aturan hukum yang
diintegrasikan antara pemulihan narapidana dengan pembalasan atas perbuatannya yang bertujuan supaya ada pertobatan.
Pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan dapat terlaksana secara konfrehensif terhadap narapidana. Sebab terapi medis dan rehabilitasi sosial terhadap
narapidana narkotika memberi manfaat dalam pemulihan pecandu. Kemanfaatan hukum bagi narapidana sebagai sistem pemidanaan dalam pandangan utilitarian
utilitarian view menyatakan bahwa pemidanaan itu harus dilihat dari segi manfaatnya. Menurut pandangan utilitarian tujuan hukum dari segi manfaat dan
kegunaannya yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkan pidana itu.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang UUP secara tegas mengatur tentang hak-hak yang dimiliki oleh narapidana. Pada Pasal 14 Undang-
45
Ibid 103
Universitas Sumatera Utara
Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang UUP menentukan bahwa Narapidana berhak :
1. Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaanya
2. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani
3. Mendapat pendidikan dan pengajaran
4. Mendapat pelayanan kesehatan dan makanan yang layak
5. Menyampaikan keluhan
6. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya
yang tidak dilarang 7.
Mendapat upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan 8.
Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum atau orang tertentu lainnya
9. Mendapatkan pengurangan masa pidana atau remisi
10. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi
keluarga 11.
Mendapat pembebasan bersyarat 12.
Mendapatkan cuti menjelang bebas 13.
Mendapatkan hak-hak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak narapidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah. .
Universitas Sumatera Utara
Hakekat pemasyarakatan yang menjadi kelembagaan yang bersifat formal yang pada prinsipnya mengarahkan narapidana itu menjadi manusia yang lebih baik
dan berguna. Pelaksanaan penghukuman terhadap para narapidana narkotika di Lembaga
Pemasyarkatan Narkotika dengan perlakuan manusiawi yang bersifat treatment dengan menggunakan terapi dan rehabilitasi untuk memulihkan narapidana narkotika
dari ketergantungan walaupun pengguna Napza suatu hal yang susah untuk sembuh. Perlakuan bersifat manusiawi inilah yang menjadi prinsip dari sistem
pemasyarakatan yang menghormati dan menghargai penuh nilai dan norma kehidupan masyarakat sehingga integritas sosial dari narapidana, masyarakat dan
petugas dapat terlaksana dengan baik sebagai suatu rangkaian yang harus aktif untuk memulihkan narapidana narkotika dari ketergantugan napza sebagaimana tujuan
pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Narkotika yang tercermin dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.02-PK.04.10 Tahun 1990 Tanggal 10
April 1990 Tentang Pola Pembinaan NarapidanaTahanan. Sejarah penjara ke sistem pemasyarakatan pada tanggal 27 April 1964 oleh
Saharjo. di Lembang Bandung bahwa pemsyarakatan selain tujuan pemidanaan juga bertugas untuk memulihkan narapidana kedalam kesatuan integritas masyarakat
kemudian disusul dengan pidato Saharjo sebagai Menteri Kehakiman RI bahwa pidana penjara adalah berfungsi pengayoman dengan sistem pemasyarakatan. Sejarah
ini kemudian melahirkan era baru dalam sistem pembinaan dan tata cara yang baru dalam perlakuan terhadap narapidana ditetapkan dalam suatu Undang-Undang
Pemasyarakatan dengan ditetapkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995.
Universitas Sumatera Utara
Strategi pemasyarakatan sebagai suatu proses tidaklah berdiri sendiri, melainkan ia merupakan hasil akhir dari suatu rangkaian proses penegakan hukum
yang panjang dimulai dari penyidikan, penangkapan, penahanan, peradilan dan penjatuhan putusan hakim, dari uraian tersebut dapatlah dikatakan bahwa
pemasyarakatan merupakan sub sistem dari suatu Criminal Justice System
46
Sejarah kemudian mencatat bahwa narapidana narkotika harus dipisah dari narapidana lain untuk lebih terkondisikan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan
maka kemudian narapidana narkotika di laksanakan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika.
Menyangkut Integrited criminal justice system Lembaga Pemasyarakatan diharapkan dapat melahirkan manusia baru yang berguna bagi dirinya, keluarga dan masyarakat.
Tugas pokok Lembaga Pemasyarakatan Narkotika dituangkan ke dalam sistem pembinaan narapidana narkotika yang dikenal sebagai sistem pemasyarakatan,
Untuk melaksanakan pembinaan narapidana mempunyai beberapa komponen yang saling berkaitan untuk mencapai suatu tujuan. Sedikitnya ada empat belas komponen
untuk mencapai tujuan pembinaan yaitu : Falsafah, dasar hukum, tujuan, pendekatan sistem klasifikasi, pendekatan klasifikasi perlakuan terhadap narapidana, orientasi
pembinaan, sifat pembinaan, remisi, bentuk bangunan, narapidana, keluarga
46
. Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum dalam Konteks Penegakan Hukum Di Indonesia, Bandung, Alumni, 1982, Hal 75
Universitas Sumatera Utara
narapidana, dan Pembinapemerintah.
47
Pembinaan sebagai terobosan yang menjadi alatsarana di lembaga pemasyarakatan terhadap narapidana .
48
2. Kerangka Konsepsi
Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, jika masalah dan konsep teoretisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui fakta mengenai
pokok perhatian dan suatu konsep adalah defenisi dari suatu yang diamati, konsep menentukan antara variable-variabel yang ingin menentukan adanya gejala empiris.
49
Beranjak dari judul tesis ini yaitu “ Pelaksanaan Rehabilitasi Terhadap Narapidana Narkotika Sebagai Bagian Sistem Pembinaan Di Dalam Lembaga
Pemasyarakatan Narkotika Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kls IIA Pematangsiantar” maka dapatlah dijelaskan konsepsi atau pengertian kata demi kata
dari judul tesis ini sebagai berikut : 1.
Rehabilitasi adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan
fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
50
47
Harsono HS.C.I, Sistem Baru Pembinaan Narapidana,Op Cit hal 5.
Ketentuan ini menegaskan bahwa untuk rehabilitasi medis bagi pecandu narkotika pengguna jarum suntik dapat
48
Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor : M.02-PK.04.10 Tahun 1990 Tentang Pola Pembinaan NarapidanaTahanan Bab II angka 7, Pembinaan dan Pola Pembinaan ini meliputi
tahanan, pelayanan tahanan, pembinaan narapidana dan anak didik dan bimbingan klien. Pelayanan tahanan ialah segala kegiatan yang dilaksanakan dari mulai penerimaan sampai dengan
pengeluaran tahanan. pembinaan narapidana dan anak didik ialah semua usaha yang ditujukan untuk memperbaiki dan
meningkatkan akhlak budi pekerti para narapidana dan anak didik yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan Rutan intramural treatmen.
Bimbingan klien ialah semua usaha yang ditujukan untuk memperbaiki dan meningkatkan akhlak budi pekerti para klien pemasyarakatan di luar tembok extramural treatment.
49
. Koentjorodiningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta, Gramedia Pustaka, 1997 hlm 21.
50
Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Universitas Sumatera Utara
diberikan serangkaian terapi untuk mencegah penularan antara lain penularan HIVAIDS melalui jarum suntik dengan pengawasan ketat Departemen Kesehatan
51
2. Sistem adalah seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga
membentuk suatu totalitas.
52
Sistem pembinaan narapidana dikenal dalam sistem pemasyarakatan.
53
3. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintetis maupun
semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat
menimbulkan ketergantungan yang dibedakan kedalam gololongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang.
54
4. Narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di
Lapas.
55
5. Lembaga Pemasyarakatan Narkotika adalah Tempat untuk melaksanakan
pemasyarakatan narapidanaanak didik pengguna narkotika dan obat terlarang lainnya.
56
51
Penjelasan Pasal 56 angka 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Di Sumatera Utara baru ada satu Lembaga Pemasyarakatan Narkotika berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia No.M.04.PR.07.03 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Pematangsiantar, Lubuk Linggau, Bandar Lampung,
52
Surayin, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Bandung :Yrama Widya,2001, Hal 565
53
Romli Atmasasmita, Op Cit, hal 76
54
.Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
55
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
56
Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor : E.KP.09.05-701A Tahun 2003 Tentang Tugas Pejabat Struktural dan Petugas Operasional Di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI
Universitas Sumatera Utara
Jakarta, Bandung, Nusakambangan, Madiun, Pemekasan, Martapura, Bangli, Maros dan Jayapura.
6. Sistem Pemasyarakatan adalah Suatu tatanan mengenai arah dan batas tata cara
pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu Pembina, yang dibina dan masyarakat untuk
meningkatkan kualitas warga binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima
kembali oleh masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat aktif secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
57
7. Pembinaan adalah Kegiatan untuk meningkatkan kwalitas Ketaqwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan prilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana dan anak didik pemasyarakayan.
58
G. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun tehnologi.
59
Hal ini disebabkan karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologi dan konsisten.
Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan kontruksi data yang telah dikumpulkan dan diolah.
60
57
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
58
Peraturan Pemerintah RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan , Pasal 1 angka 1
59
Soejono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : CV.Rajawali,1990, hal 1.
60
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena penelitian merupakan suatu sarana ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi, maka metodologi penelitian yang diterapkan harus
senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.
61
1.Spesifikasi Penelitian.
Dengan demikian metode penelitian adalah merupakan upaya ilmiah untuk memakai dan
memecahkan suatu permasalahan berdasarkan :
a. Jenis Penelitian.
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan tesis ini adalah gabungan antara yuridis normatif dan empiris. Penelitian ini disebut yurudis normatif adalah
ditinjau dari objek penelitian adalah hukum positif yang mengkaji kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang rehabilitasi sebagai bagian sistem pembinaan di
Lembaga Pemasyarakatan Narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika. Penelitian ini disebut Penelitian yuridis empiris karena selain mengkaji
peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan rehabilitasi, juga mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem norma itu
bekerja. Penelitian ini disebut juga penelitan bekerjanya hukum law In Action .
62
61
Ibid
62
.Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Daualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta :Pustaka pelajar, 2010,Cetakan I, Hal 47
Universitas Sumatera Utara
b. Sifat Penelitian.
Sifat penelitian yang dilakukan dalam penyusunan tesis ini adalah bersifat deskriptif analisis dalam penelitian ini tidak hanya ditujukan untuk mendeskripsikan
gejala-gejala atau fenomena-fenomena hukum yang terkait dengan pelaksanaan rehabilitasi sebagai bagian sistem pembinaan terhadap narapidana narkotika di
Lembaga Pemasyarakatan Narkotika, akan tetapi lebih ditujukan untuk menganalisis kaitanya untuk mencapai tujuan pemasyarakatan.
c. Pendekatan.
Hasil suatu penelitian normatif agar lebih baik nilainya atau untuk lebih tepat penelaahan dalam penelitian tersebut, peneliti perlu menggunakan pendekatan hukum
dalam setiap analisisnya, pendekatan ini akan dapat menentukan nilai dari hasil penelitian tersebut.
63
Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan, karena yang
akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.
64
63
Ibid, Hal 184
Analisis hukum yang dihasilkan oleh suatu penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan akan menghasilkan penelitian
yang lebih akurat . Dalam penelitian digunakan pendekatan terhadap hirarki perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan rehabilitasi terhadap penyalahguna
64
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi Revisi, Malang : Bayumedia Publishing, 2007, hal 302
Universitas Sumatera Utara
narkotika. Dalam hal ini Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang UUN dan UndangUndang Nomor 12 Tahun 1995 tentang UUP beserta Peraturan Pelaksananya.
2. Sumber Data Penelitian a. Data Primer.