Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

6. Nama : Roma Ulinan Pasaribu, Nim 077005022, Pascasarjana Fakultas Hukum USU, “ Analisis Hukum Pola Pembinaan Narapidana Wanita Pengedar Narkoba Dalam Perspektif Pemasyarakatan Penelitian Pada Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Medan. Permalahan lebih lanjut lihat pada tesisnya 7. Nama : Jan Prins Duarmen Saragih, Nim 037005018, Pascasarjana Fakultas Hukum USU, Judul tesis “ Pembinaan Terhadap Anak Dalam Kasus Penyalahgunaan Narkoba Dan Psikotropika Studi kasus di Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas IIA Medan. Permalahan lebih lanjut lihat pada tesisnya. Oleh karena itu penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, sebab penyusunan tesis ini menghormati etika penelitian sebagaimana dalam asas- asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka untuk saran-saran dari pihak pembaca yang akan menambah ilmu penulis dan penyempurnaan penelitian di masa yang akan datang.

E. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Sistem pemidanaan terhadap penyalahgunaan narkotika tidak dapat dilepaskan dari sistem pemidanaan yang dianut dalam hukum Indonesia. Tujuan sistem pemidanaan pada operasionalnya adalah tujuan penegakan hukum yang dijalankan oleh sistem peradilan berdasarkan perangkat-perangkat hukum yang mengatur kriminalisasi penyalahguna narkotika yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang UUN. Menentukan tujuan pemidanaan pada sistem peradilan menjadi persoalan yang cukup dilematis, terutama dalam menentukan apakah Universitas Sumatera Utara pemidanaan ditujukan untuk melakukan pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau merupakan tujuan yang layak dari proses pidana adalah pencegahan tingkah laku yang anti sosial. M. Cherif Bassiouni pernah menegaskan bahwa kita tidak tahu dan tidak pernah tahu secara pasti metode-metode tindakan treatment apa yang paling efektif untuk mencegah dan memperbaiki atau kita pun tidak mengetahui seberapa jauh efektivitas setiap metode tindakan itu. 30 Tujuan pemidanaan dari tujuan klasik retributif, ditterent sampai terjadi ke perubahan tujuan positif dengan pemidanaan Treatment sampai ke Restorative Justice belum juga berhasil sehingga tetap mengalami perubahan-perubahan sistem pemidanaan, siklus-siklus pemidanaan ini semakin terjawab dengan munculnya undang-undang baru pada setiap kriminal dan hakekat tujuan pemidanaannya juga terkontribusi di dalam undang-undang itu sendiri. Teori klasik Retributif melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di dalam masyarakat .oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepas dari tujuan apapun sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan yaitu pembalasan. Tokoh teori retributive adalah Immanuel Kant 1724-1804 dan Hegel 1770-1831. 30 Dikutip dari Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,Bandung :Citra Aditya Bakti, 1996, hal 62 Universitas Sumatera Utara Immanuel Kant menyatakan bahwa pembenaran pidana dan tujuan pidana adalah pembalasan terhadap serangan kejahatan atas ketertiban sosial dan moral. 31 Teori deterrence berakar dari teori klasik tentang pemidanaan. Beccaria dalam bukunya yang berjudul dei Delitti e Delle Pene 1748 akhir dari hukuman adalah tidak lain tidak bukan untuk mencegah penjahat mencederai lebih lanjut masyarakat dan mencegah orang lain dari perbuatan-perbuatan yang serupa. 32 Sudarto pernah mengemukakan bahwa apabila hukum pidana digunakan hendaknya dilihat keseluruhan hubungan politik kriminal atau social defence planning yang inipun harus merupakan bagian dari rencana pembangunan nasional. Sedangkan teori Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan bukan pada perbuatannya. Pemidanaan yang dimaksud di sini adalah memberikan tindakan perawatan treatment dan perbaikan rehabilitation sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen pada positif ini adalah bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan perawatan treatment dan perbaikan rehabilitation. 33 Politik kriminal ialah pengaturan secara rasional usaha-usaha pengendalian kejahatan oleh masyarakat. 34 31 Priyatno Dwija, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung : Refika Aditama, 2006, hal 23 32 Cesare Beccaria. Perihal Kejahatan dan Hukuman . diterjemahkan oleh Wahmuji, Yogyakarta : Genta Publising cetakan Pertama 2011, hal 38. 33 Muladi, Arief Barda Nawawi, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Bandung : Alumni, 1998, hal 157 34 Ibid Universitas Sumatera Utara Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan dari politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. 35 Berdasarkan kupasan dari konsep teori diatas maka kerangka teori sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori Restorative justice. Ahli kriminologi berkebangsaan Inggris Tony.F.Marshall dalam tulisannya bahwa defenisi restorative justice adalah : “Restorative justice is a process whereby all the parties with a stake in a particular offence come together to resolve collectively how to deal eith the aftermath of the offence and its implications for the future” restorative justice adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersama- sama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan 36 Retroaktive justice merupakan upaya penegak hukum untuk mengalihkan kasus pidana dari mekanisme formal ke mekanisme informal. Pilihan antara penyelesaian melalui pengadilan litigasi dengan menggunakan restitutive justice criminal justice atau penyelesaian non pengadilan melalui cara rekonsiliasi dengan menggunakan restorative justice sebagai salah satu implementasi transitional justice keadilan transisional senantiasa menjadi wacana seru. 37 35 . Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum, Op Cit, hal 29 36 Dikutip dari Marlina, Pengantar Konsep Diversi Dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana, Medan : USU Press, 2010, hal 28 37 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum legal Theory dan Teori Peradilan judicial Prudence Termasuk Interpretasi Undang-Undang Legis Prudence, Jakarta: Kencana , 2009, hal 247 Universitas Sumatera Utara Konsep restorative justice dalam penyelesaian suatu kasus tindak pidana peran dan keterlibatan anggota masyarakat sangat penting dalam membantu, memperbaiki kesalahan dan penyimpangan yang terjadi disekitar lingkungan masyarakat yang bersangkutan. 38 Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitik beratkan pada sifat penindasanpemberantasanpenumpasan repressive sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non penal lebih menitik beratkan pada sifat pencegahanpenangkalanpengendalian preventive sebelum kejahatan terjadi. 39 Menentukan titik temu antara jalur penal sebagai tindakan penindasanpemberantasanpenumpasan repressivedan non penal sebagai tindakan pencegahanpenangkalanpengendalian Preventive memerlukan formulasi baru dalam sistim atau tujuan pemidanaan. Dikatakan sebagai perbedaan secara kasar, karena tindakan represif pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas. 40 Mengingat penyebab penyalahgunaan NAPZA Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif memerlukan interaksi antara faktor yang terkait dengan individu, faktor lingkungan dan faktor tersediannya zat NAPZA. Penanggulangan akibat penyalahgunaan narkotika dan pencegahan peredaran narkotika dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global upaya-upaya non penal 38 Marlina, Konsep Diversi Dan Restorative JusticeDalam Hukum Pidana, Op Cit, Hal 40 39 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op Cit, Hal 49 40 . Ibid Universitas Sumatera Utara pencegahanpengendalianpenangkalan menduduki posisi dan strategi dari keseluruhan upaya politik kriminal. Berdasarkan aliran utilitari bahwa pemidanaan yang di jalankan di Lembaga Pemasyarakatan dengan sistem pembinaan membuat hukum memberi prinsip kemanfaatan bagi narapidana. Teori Utilitaris bukan sekedar menjadi pembalasan atau pengimbalan bagi pelaku tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan tertentu menjadi bermanfaat oleh karena itu teori ini sering disebut juga dengan teori tujuan Utilitarian Theory. Pendapat Jeremi Bentham hukum dapatlah diakui sebagai hukum, jika ia memberi sebanyak-banyaknya kemanfaatan yang sebesar-sebesarnya terhadap sebanyak-banyaknya orang. Prinsip itu di kemukakan oleh Bentham dalam karyanya Introduction to the Principles of Morals and Legislation 1789. 41 Tujuan perundang-undangan adalah untuk menghasilkan kebahagiaan bagi masyarakat untuk itu perundang-undangan harus mencapai empat tujuan : 42 to provide subsistence untuk memberi nafkah hidup to provide abudance untuk memberi makanan yang berlimpah to provide security untuk memberikan perlindungan to attain equality untuk mencapai persamaan Dalam sistem pemasyarakatan adanya suatu upaya dengan penginterasian narapidana, petugas pemasyarakatan dan masyarakat. Pemasyarakatan tidak hanya sekedar rehabilitasi dan sosialisasi tetapi mata rantai pemulihan sosial narapidana dengan masyarakat dalam pasca menjalani pidana setelah narapidana kembali 41 Ibid Hal 78 42 Ibid hal 272-273 Universitas Sumatera Utara kemasyarakat. Pembinaan dengan sistem pemasyarakatan tidak ada pemisah antara mantan narapidana dengan masyarakat yang dapat menciptakan kepercayaan diri dan adanya tanggung jawab dari masyarakat. Terapi dan Rehabilitasi merupakan pengintegarisian dalam pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan. Bertolak dari pandangan Saharjo tentang hukum sebagai pengayoman. Hal ini membuka jalan perlakuan terhadap narapidana dengan cara pemasyarakatan dengan tujuan pidana penjara. Konsep pemasyaraktan tersebut kemudian disempurnakan oleh Keputusan Konfrensi Dinas Para Pimpinan Kepenjaraan pada tanggal 27 April 1964 yang memutuskan bahwa pelaksanaan pidana penjara di Indonesia dilakukan dengan sistem pemasyarakatan, suatu pernyataan disamping sebagai arah tujuan, pidana penjara dapat juga menjadi cara membimbing dan membina. 43 Berdasarkan pemikiran tersebut maka sejak tahun 1964 sistem pembinaan bagi narapidana dan anak didik telah berubah secara mendasar yaitu dari sistem kepenjaraan menjadi sistem kemasyarakatan begitu pula institusi yang semula rumah penjara dan rumah pendidikan Negara berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan Surat Instruksi Direktorat Pemasyarakatan Nomor J.H.G.8506 tanggal 17 Juni 1964. 44 Sistem pemasyarakatan merupakan suatu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana, oleh karena itu pelaksaananya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan konsepsi umum mengenai pemidanaan. Lembaga Pemasyarakatan 43 Priyatno Dwija Op Cit hlm 97 44 Ibid Universitas Sumatera Utara sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut melalui pendidikan, rehabilitasi dan reintegrasi. Sejalan dengan peran Lembaga Pemasyarakatan tersebut maka tepatlah apabila Petugas Pemasyarakatan melaksanakan tugas pembinanaan dan pengamanan Warga Binaan Pemasyarakatan dalam Undang-Undang di tetapkan sebagai Pejabat Fungsional Penegak Hukum. 45 Sistem pemasyarakatan memandang pemidanaan yang berdasarkan pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan dengan suatu aturan hukum yang diintegrasikan antara pemulihan narapidana dengan pembalasan atas perbuatannya yang bertujuan supaya ada pertobatan. Pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan dapat terlaksana secara konfrehensif terhadap narapidana. Sebab terapi medis dan rehabilitasi sosial terhadap narapidana narkotika memberi manfaat dalam pemulihan pecandu. Kemanfaatan hukum bagi narapidana sebagai sistem pemidanaan dalam pandangan utilitarian utilitarian view menyatakan bahwa pemidanaan itu harus dilihat dari segi manfaatnya. Menurut pandangan utilitarian tujuan hukum dari segi manfaat dan kegunaannya yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkan pidana itu. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang UUP secara tegas mengatur tentang hak-hak yang dimiliki oleh narapidana. Pada Pasal 14 Undang- 45 Ibid 103 Universitas Sumatera Utara Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang UUP menentukan bahwa Narapidana berhak : 1. Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaanya 2. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani 3. Mendapat pendidikan dan pengajaran 4. Mendapat pelayanan kesehatan dan makanan yang layak 5. Menyampaikan keluhan 6. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang 7. Mendapat upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan 8. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum atau orang tertentu lainnya 9. Mendapatkan pengurangan masa pidana atau remisi 10. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga 11. Mendapat pembebasan bersyarat 12. Mendapatkan cuti menjelang bebas 13. Mendapatkan hak-hak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak narapidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. . Universitas Sumatera Utara Hakekat pemasyarakatan yang menjadi kelembagaan yang bersifat formal yang pada prinsipnya mengarahkan narapidana itu menjadi manusia yang lebih baik dan berguna. Pelaksanaan penghukuman terhadap para narapidana narkotika di Lembaga Pemasyarkatan Narkotika dengan perlakuan manusiawi yang bersifat treatment dengan menggunakan terapi dan rehabilitasi untuk memulihkan narapidana narkotika dari ketergantungan walaupun pengguna Napza suatu hal yang susah untuk sembuh. Perlakuan bersifat manusiawi inilah yang menjadi prinsip dari sistem pemasyarakatan yang menghormati dan menghargai penuh nilai dan norma kehidupan masyarakat sehingga integritas sosial dari narapidana, masyarakat dan petugas dapat terlaksana dengan baik sebagai suatu rangkaian yang harus aktif untuk memulihkan narapidana narkotika dari ketergantugan napza sebagaimana tujuan pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Narkotika yang tercermin dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.02-PK.04.10 Tahun 1990 Tanggal 10 April 1990 Tentang Pola Pembinaan NarapidanaTahanan. Sejarah penjara ke sistem pemasyarakatan pada tanggal 27 April 1964 oleh Saharjo. di Lembang Bandung bahwa pemsyarakatan selain tujuan pemidanaan juga bertugas untuk memulihkan narapidana kedalam kesatuan integritas masyarakat kemudian disusul dengan pidato Saharjo sebagai Menteri Kehakiman RI bahwa pidana penjara adalah berfungsi pengayoman dengan sistem pemasyarakatan. Sejarah ini kemudian melahirkan era baru dalam sistem pembinaan dan tata cara yang baru dalam perlakuan terhadap narapidana ditetapkan dalam suatu Undang-Undang Pemasyarakatan dengan ditetapkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995. Universitas Sumatera Utara Strategi pemasyarakatan sebagai suatu proses tidaklah berdiri sendiri, melainkan ia merupakan hasil akhir dari suatu rangkaian proses penegakan hukum yang panjang dimulai dari penyidikan, penangkapan, penahanan, peradilan dan penjatuhan putusan hakim, dari uraian tersebut dapatlah dikatakan bahwa pemasyarakatan merupakan sub sistem dari suatu Criminal Justice System 46 Sejarah kemudian mencatat bahwa narapidana narkotika harus dipisah dari narapidana lain untuk lebih terkondisikan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan maka kemudian narapidana narkotika di laksanakan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika. Menyangkut Integrited criminal justice system Lembaga Pemasyarakatan diharapkan dapat melahirkan manusia baru yang berguna bagi dirinya, keluarga dan masyarakat. Tugas pokok Lembaga Pemasyarakatan Narkotika dituangkan ke dalam sistem pembinaan narapidana narkotika yang dikenal sebagai sistem pemasyarakatan, Untuk melaksanakan pembinaan narapidana mempunyai beberapa komponen yang saling berkaitan untuk mencapai suatu tujuan. Sedikitnya ada empat belas komponen untuk mencapai tujuan pembinaan yaitu : Falsafah, dasar hukum, tujuan, pendekatan sistem klasifikasi, pendekatan klasifikasi perlakuan terhadap narapidana, orientasi pembinaan, sifat pembinaan, remisi, bentuk bangunan, narapidana, keluarga 46 . Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum dalam Konteks Penegakan Hukum Di Indonesia, Bandung, Alumni, 1982, Hal 75 Universitas Sumatera Utara narapidana, dan Pembinapemerintah. 47 Pembinaan sebagai terobosan yang menjadi alatsarana di lembaga pemasyarakatan terhadap narapidana . 48

2. Kerangka Konsepsi