disita dilakukan dengan bantuan kantor lelang, atau menurut keadaan yang akan dipertimbangkan Ketua, oleh orang yang melakukan penyitaan itu atau orang lain
yang cakap dan dapat melakukan penyitaan itu atau orang lain yang cakap dan dapat dipercaya, yang ditunjuk oleh Ketua untuk itu dan berdiam di tempat di
mana penjualan itu harus dilakukan atau di dekat tempat itu”. Jadi setelah sita eksekusi dilaksanakan, undang-undang memerintahkan
penjualan barang sitaan. Cara penjualannya dengan perantaraan kantor lelang, dan penjualannya disebut penjualan lelang. Dengan demikian, berdasarkan pasal 200
ayat 1 HIR, dalam pelaksanaan lelang, Ketua Pengadilan wajib meminta intervensi kantor lelang, dalam bentuk menjalankan penjualan barang sitaan
dimaksud. Terhadap prosedur eksekusi jaminan atas hak tanggungan H.T berdasarkan Peraturan Lelang LN 1908-215 jo. Pasal 200 HIR, yaitu:
1. Penjualan di muka umum 2. Dilakukan dengan perantara atau bantuan kantor lelang.
3. Cara penjualan dengan penawaran meningkat atau menurun, dan 4. Bentuk penawaran dilakukan secara tertulis.
Sita eksekusi atau executoriale beslag merupakan tahap lanjutan dari peringatan dalam proses eksekusi pembayaran sejumlah uang. Tata cara dan
syarat-syarat sita eksekusi diatur dalam pasal 197 HIR atau pasal 208 RBG.
5. Eksekusi Menurut KUH Perdata
Dalam Hukum Acara Perdata diatur tentang upaya paksa untuk merealisasi hak penggugat yang menang kreditor apabila tergugat yang dikalahkan debitor
tidak mau secara suka rela memenuhi kewajibannya. Upaya paksa untuk merealisasi hak tersebut dapat langsung mewujudkan hak penggugat yang
menangkreditor, dapat pula berupa dorongan agar tergugat yang kalah debitor segera memenuhi kewajibannya. Upaya paksa yang hasilnya langsung
mewujudkan hak penggugat yang menang kreditor disebut eksekusi realisasi langsung, dan yang hasilnya berupa dorongan agar tergugat yang kalahdebitor
segera memenuhi kewajibannya dinamakan eksekusi realisasi tidak langsung. HIR sebagai sumber utama Hukum Acara Perdata di Jawa dan Madura
mengatur obyek eksekusi tidak hanya putusan hakim, melainkan meliputi juga grosse akta hipotek dan grosse surat utang notariil Pasal 224 HIR,
selain itu HIR mengatur juga eksekusi realisasi tidak langsung dalam Pasal 209-223. Akibat dari pola pikir bahwa eksekusi adalah pelaksanaan
putusan hakim, adalah terjadi ketidakkonsistenan antara definisi eksekusi dengan substansi eksekusi. Sebagai contoh mengenai hal ini adalah
pendapat Sudikno Mertokusumo, yang di dalam definisi tentang eksekusi menyebut bahwa obyek eksekusi adalah putusan hakim, namun dalam
uraian lanjut tentang jenis-jenis pelaksanaan putusan dan apa yang dapat dilaksanakan disebutkan bahwa di samping putusan hakim, obyek eksekusi
meliputi pula grosse akta hipotek dan Surat utang notariil serta jaminan gadai.
85
Jaminan dapat dibedakan dalam jaminan umum dan jaminan khusus. Pasal 1311 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mencerminkan suatu jaminan umum.
Sedangkan pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disamping sebagai kelanjutan dan penyempurnaan pasal 1311 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
yang menegaskan persamaan kedudukan para kreditur, juga memungkinkan diadakannya suatu jaminan khusus apabila di antara para kreditur ada alasan-
alasanyang sah untuk didahulukan dan hal ini dapat terjadi karena ketentuan undang-undang maupun karena diperjanjikan.
Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa: “ Segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak,
baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari,menjadi
85
Ibid. hlm. 202-205
tanggungan untuk segala perikatan perseorangan “.
86
Sedangkan pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan sebagai berikut: “ Kebendaan
tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda
itu dibagi-bagi menurut kesimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing kecuali
apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.
87
Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa jaminan umum adalah jaminan yang diberikan bagi kepentingan semua kreditur dan
menyangkut semua harta kekayaan debitur. Hal ini berarti benda jaminan tidak diperuntukan bagi kreditur tertentu dan dari hasil penjualannya
dibagi antara para kreditur seimbang dengan piutang-piutangnya masing- masing. Jadi apabila terdapat lebih dari satu kreditur dan hasil penjualan
harta benda debitur cukup untuk menutupi hutang – hutangnya kepada kreditur, maka mana yang harus didahulukan dalam pembayarannya
diantara para kreditur tidaklah penting karena walaupun semua kreditur sama atau seimbang concurent kedudukannya, masing-masing akan
mendapatkan bagiannya sesuai dengan piutang – piutangnya.
88
Ada beberapa kreditur, baru menimbulkan masalah jika hasil penjualan harta kekayaan debitur tidak cukup untuk melunasi hutang – hutangnya; dalam hal
ini akan tampak betapa pentingnya menjadi kreditur yang preferent yaitu kreditur yang harus didahulukan dalam pembayarannya di antara kreditur-kreditur lainnya
jika debitur melakukan wanprestasi. Karena jaminan umum menyangkut seluruh harta benda debitur maka ketentuan pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dapat menimbulkan dua kemungkinan yaitu: a. Kebendaan tersebut sudah cukup memberikan jaminan kepada kreditur
jika kekayaan debitur paling sedikit minimal sama ataupun melebihi
86
Kitab Undang Undang Hukum Perdata [burgerlijk wetboek], diterjemahkan oleh R. Soebekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 8, Jakarta:Pradnya Paramita, 1976, Pasal 1131
87
Ibid. Pasal 1132
88
Rachmadi Usman, Op.Cit, hlm 37
jumlah hutang-hutangnya artinya hasil bersih penjualan harta kekayaan debitur dapat menutupi atau memenuhi seluruh hutang-hutaangnya,
sehingga semua kreditur akan menerima pelunasan piutang masingmasing karena pada prinsipnya semua kekayaan debitur dapat dijadikan pelunasan
hutang. b. Harta benda debitur tidak cukup memberikan jaminan kepada kreditur
dalam hal nilai kekayaan debitur itu kurang dari jumlah hutang-hutangnya atau apabila pasivanya melebihi aktivanya. Hal ini dapat terjadi mungkin
karena harta kekayaannya menjadi berkurang nilainya atau apabila harta kekayaan debitur dijual kepada pihak ketiga sementara hutang-hutangnya
belum dibayar lunas. Atau dapat juga terjadi ada lebih dari seorang kreditur melaksanakan eksekusi, sementara nilai kekayaan debitur hanya
cukup untuk menutupi satu piutang kreditur. Jika hanya cukup untuk menutupi satu piutang kreditur saja, maka ia dapat melaksanakan eksekusi
atas kekayaan debitur secara bertahap sampai piutangnya terlunasi semuanya atau sampai harta benda debitur habis terjual.
Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada pada jaminan umum, undang-undang memungkinkan diadakannya jaminan khusus. Hal ini tersirat dari
Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam kalimat “...kecuali di antara para kreditur ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”. Dengan
demikian Pasal 1132 mempunyai sifat yang mengaturmengisimelengkapi aanvullendrecht karena para pihak diberi kesempatan untuk membuat perjanjian
yang menyimpang. Dengan kata lain ada kreditur yang diberikan kedudukan yang lebih didahulukan dalam pelunasan hutangnya dibandingkan kreditur-kreditur
lainnya. Kemudian Pasal 1133 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan pernyataan yang lebih tegas lagi, yaitu: “hak untuk didahulukan
diantara orang-orang berpiutang terbit dari hak istimewa, dari gadai dan dari hipotik.
Berdasarkan ketentuang undang-undang misalnya, yang diatur dalam pasal 1134 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang hutang-piutang yang
didahulukan bevoorrechte schulden yaitu Privilege, sedangkan yang terjadi karena perjanjian dapat dilakukan dengan dua cara:
a Kreditur dapat meminta benda-benda tertentu milik debitur untuk dijadikan sebagai jaminan hutang; atau
b Kreditur meminta bantuan pihak ketiga untuk menggantikan kedudukan debitur membayar hutang-hutang debitur kepada kreditur apabila debitur lalai
membayar hutangnya atau wanprestasi. Berdasarkan Pasal 1243 KUHPerdata jo. Pasal 1763 KUHperdata, faktor-
faktor cidera janji atau juga dikenal dengan istilah wanprestasi oleh seorang debitur adalah sebagai berikut :
1. Telah lalai dalam memenuhi suatu perjanjian; 2. Tidak menyerahkan atau membayar dalam jangka waktu yang ditentukan;
3. Tidak berbuat sesuai yang telah diperjanjikan dalam tenggat waktu yang ditentukan; atau
4. Tidak mengembalikan pinjaman sesuai dengan jumlah pinjaman dalam waktu yang ditentukan.
Hal-hal tersebut di atas merupakan faktor dimana seorang debitur telah melakukan cidera dalam suatu perjanjian yang telah disepakati, dan terhadap
keadaan tersebut maka pemenuhan kewajiban debitur untuk membayar utang atau kewajibannya dapat dipaksa melalui jalan eksekusi terhadap barang jaminan
dengan cara penjualan lelang oleh pihak kreditur atau melalui eksekusi pengadilan.
Ketentuan pemenuhan pengembalian utang sudah tentu sesuai dengan jumlah nilai penjaminan atau nilai terhutang, dan apabila dalam hal terjadi
eksekusi barang jaminan tersebut melebihi nilai penjaminan maka kreditur wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada debitur. Dan apabila keadaan terjadi
sebaliknya, dimana hasil eksekusi tidak mencukupi untuk melunasi pembayaran utang maka debitur tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar.
Pemenuhan kewajiban debitur atas utang yang belum terbayar tersebut dilakukan melalui gugatan perdata, hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata.
89
Pada bentuk yang pertama pinjam pakai debitur tidak diberi kekuasaan untuk mengalihkan atau menjual barang jaminan sedangkan pada bentuk yang
kedua ia diberi kekuasaan untuk itu akan tetapi hasil penjualan sebagian atau seluruhnya menurut yang diperjanjikan harus disetorkan kepada kreitur. Kedua
bentuk ini logis sekali kalau diingat bahwapada barang inventaris diperlukan debitur untuk pakai saja sedangkan barang dagangan justru ia diperlukan untuk
mengalihkan misalnya dijual sehingga sudah seharusnya kekuasaan untuk itu diberikan kepada debitur. Apabila terjadi penjualan atas barang inventaris yang
dijaminkan secara fiducia maka pembeli dilindungi sesuai pasal 1977 KUHPerdata.
89
http:www.tanyahukum.comperjanjian226eksekusi-jaminan-kredit diakses tanggal 5 Desember 2012
Disamping eksekusi terhadap benda yang menjadi obyek jaminan fidusia berdasarkan titel eksekutorial, UU Fidusia memberi kemudahan dalam
pelaksanaan eksekusi melalui lembaga parate eksekusi. Kemudian dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia tersebut juga dikenal dalam hal gadai
sebagaimana di atur dalam pasal 1155 KUHPerdata.
6. Eksekusi Atas Benda Bergerak