Eksekusi Jaminan Fidusia Atas Kendaraan Bermotor oleh Lembaga Pembiayaan (Finansial) (studi kasus pada kantor PT. U Finance)

(1)

EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA ATAS KENDARAAN

BERMOTOR OLEH LEMBAGA PEMBIAYAAN (FINANSIAL)

(STUDI KASUS PADA KANTOR PT. U FINANCE)

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

NIM : 080200310

MUHAMMAD RANDY CAESAR RIO DEPARTEMEN : KEPERDATAAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

LEMBARAN PENGESAHAN

SKRIPSI

EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA ATAS KENDARAAN

BERMOTOR OLEH LEMBAGA PEMBIAYAAN (FINANSIAL)

(STUDI KASUS PADA KANTOR PT. U FINANCE)

Disusun Oleh :

NIM : 080200310

MUHAMMAD RANDY CAESAR RIO

Diajukan untuk meglengkapi tugas-tugas dan memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Ketua Departemen Hukum Perdata

Nip. 19660303 198508 1001 (DR. Hasim Purba, SH, M.Hum)

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

(Prof. Dr. Tan Kamell0, SH, MS)

Nip. 19620421 198803 1003 Nip. 19541210 198601 1001 (M. Siddik, SH, M.Hum)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRAK

Eksekusi obyek jaminan Fidusia di PT. U Finance Medan dilakukan terhadap customer yang melakukan wanprestasi dengan pengambilan kembali barang jaminan dari tangan customer maupun di tangan pihak ketiga penerima fasilitas, yang merupakan upaya terakhir PT. U Finance Medan untuk penyelamatan asset dalam upaya meminimalisasi kerugian, apabila customer tidak sanggup lagi melakukan pembayaran angsuran dengan melakukan penjualan barang jaminan, hasil dari penjualan tersebut untuk melunasi sisa hutang penerima fasilitas pembiayaan dalam hal ini PT. U Finance Medan, sebagai penyedia dana diserahkan hak miliknya secara kepercayaaan kepada perusahaan tersebut, dengan secara fidusia. Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah: bagaimana prosedur pendaftaran fidusia, bagaimana jaminan fidusia yang tidak didaftarkan dan bagaimana eksekusi jaminan fidusia kendaraan bermotor finansial?

Penulisan skripsi ini dilatar belakangi oleh ketertarikan penulis terhadap Eksekusi Jaminan Fidusia Atas Kendaraan Bermotor oleh Lembaga Pembiayaan (Finansial). Adapun metode penelitian dilakukan dengan pengembilan data, dan pengumpulan data yang dilakukan dengan mencari informasi berdasarkan dokumen-dokumen maupun arsip yang berkaitan dengan penelitian, dan penelitian ini dilakukan dengan menggunakan suatu penelitian kepustakaan (library reseach), Analisa Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, memilih kaidah-kaidah hukum atau doktrin yang sesuai dengan penelitian dan menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif, dimana penulis bertujuan untuk mengetahui kekuatan hukum eksekusi jaminan fidusia oleh lembaga pembiayaan (finansial).

Berdasarkan hasil penelitian penulis bahwa dewasa ini keberadaan pembiayaan konsumen menunjukan perkembangan yang sangat baik. Eksekusi obyek jaminan Fidusia di PT. U Finance Medan dilakukan terhadap customer yang melakukan wanprestasi dengan pengambilan kembali barang jaminan dari tangan customer maupun di tangan pihak ketiga penerima fasilitas, yang merupakan upaya terakhir PT. U Finance Medan untuk penyelamatan asset dalam upaya meminimalisasi kerugian, apabila customer tidak sanggup lagi melakukan pembayaran angsuran dengan melakukan penjualan barang jaminan, hasil dari penjualan tersebut untuk melunasi sisa hutang penerima fasilitas. Apabila kendaraan bermotor sebagai objek Jaminan Fidusia yang dijual kepada pihak ketiga, maka tindakan kreditor (Penerima Fidusia) adalah memastikan bahwa objek Jaminan Fidusia tersebut adalah benar sesuai dengan data yang ada kemudian dengan berdasarkan Akta Jaminan Fidusia mempunyai daya paksa untuk menarik kembali objek jaminan tersebut dari tangan pihak ketiga yang selanjutnya apabila upaya ini tidak berhasil maka dengan cara somasi atau gugatan keperdataan.

.


(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji kehadirat Allah SWT atas segala kenikmatan yang tak terhingga sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam kepada Rasullullah SAW yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan mengakhiri masa perkuliahan ini.

Adapun skripsi ini berjudul “Eksekusi Jaminan Fidusia Atas Kendaraan Bermotor oleh Lembaga Pembiayaan (Finansial) (studi kasus pada kantor PT. U Finance)” yang merupakan alah satu syarat untuk menempuh ujian Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Pada kesempataan ini, dengan ketulusan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Budiman Ginting, SH, M.Hum, sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafrudin, SH, MH, sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni SH, MH, sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum, sebagai Pembimbing Akademik Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak DR. Hasim Purba, SH, M.Hum, sebagai ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(5)

7. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH, Ms,, sebagai Pembimbing I yang telah banyak memberi bimbingan dan nasehat dalam penulisan skripsi ini. 8. Bapak M. Siddik, SH, M.Hum,, sebagai Pembimbing II yang telah

banyak memberi bimbingan dan nasehat dalam penulisan skripsi ini

9. Bapak dan Ibu Dosen yang lainnya yang telah banyak berjasa dalam membimbing penulis selama perkuliahan.

10.Segala hormat dan terima kasih khusus penulis ucapkan kepada Ayahanda Indra SH, M.AP dan Ibunda Dina Safitru atas kasih sayang, dukungan dan doanya yang tak pernah habisnya.

11.Terima kasih buat Adinda Nindya Caesy Aidita yang telah memotivasi dan dukungan serta doanya.

12.Bapak Saor Pakpahan SE, selaku HRD Collection U Finance (PT U Finance) yang telah berkenan memberikan izin penelitian kepada penulis serta karyawan yang turut berpartisifasi dalam memberikan data kepada penulis.

13.Terima kasih buat teman-temanku (Bang Ade dan Bang Andi) yang telah banyak membantu, menemani dan mendukungku dalam penyelesaian skripsi ini.

14.Rekan-rekan sepergaulan maupun rekan seperkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang merupakan sumber inspirasi, semangat dan motivasi yang sangat berharga dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis telah berusaha keras untuk menghasilkan karya tulis yang baik, namun penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi ilmiahnya maupun dari segi penulisan tata bahasanya. Hal ini disebabkan


(6)

oleh kurangnya pengetahuan dan kemampuan yang ada pada penulis, untuk itu kritik maupun saran sangat diharapkan dan akan menjadi masukan yang sangat berharga bagi penulis.

Medan, April 2013 Penulis,

(Muhammad Randy Caesar Rio Nim : 080200310


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penulisan ... 5

D. Manfaat Penulisan ... 6

E. Keaslian Penulisan ... 6

F. Metode Penelitian ... 6

G. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II : TINJAUAN TERHADAP FIDUSIA SECARA UMUM A. Pengertian Fidusia dan Jaminan Fidusia ………... 11

B. Subjek dan Objek Asas Hukum Jaminan Fidusia …………... 15

C. Tahapan Proses Terjadinya Jaminan Fidusia ... 20

D. Berakhirnya Jaminan Fidusia ………... 24

BAB III : TINJAUAN HUKUM TENTANG EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA A. Pengertian dan Sumber Eksekusi ... 25

B. C. Asas Eksekusi ... 30

Jenis-jenis Eksekusi D. Eksekusi Jaminan Fidusia ... 36

... 33


(8)

2. Menurut Peraturan Kapolri No.8 Tahun 2011 ... 43

3. Menurut Hukum Acara ... 45

4. Eksekusi Menurut HIR/RBG ... 51

5. Eksekusi Menurut KUH Perdata ... 52

6. Eksekusi Atas Benda Bergerak ... 58

BAB IV: KEKUATAN HUKUM EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA OLEH LEMBAGA PEMBIAYAAN (FINANSIAL) A. Prosedur Pendaftaran Fidusia ... 59

B. Jaminan Fidusia yang tidak didaftar ... 72

C. Eksekusi jaminan fidusia oleh lembaga pembiayaan (finansial) 73 BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 84

B. Saran ... 85 DAFTAR PUSTAKA


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kecenderungan kondisi masyarakat dewasa ini membeli suatu benda bergerak maupun yang tidak berwujud. Pesatnya perkembangan masyarakat dewasa ini, kebutuhan akan sarana transportasi juga semakin pesat. Masyarakat sekarang ini cenderung mempunyai kendaraan pribadi daripada menggunakan kendaraan umum. Walapun ada banyak masyarakat yang tidak mempunyai cukup dana untuk membeli kendaraan bermotor, namun dengan perkembangan dewasa ini masalah dana bukan lagi merupakan penghalang yang besar. Bantuan dana pada umumnya dapat diperoleh melalui lembaga pembiayaan konsumen di mana perjanjian jual beli yang pembayarannya dilakukan secara angsuran atau berkala tersebut berupa kredit.

Oey Hoey Tiong menyatakan :

Terlepas dari segala bentuk pemberian kredit akan sedapat mungkin mengusahakan adanya jaminan, bahwa kreditor akan memperoleh kembali uangnya, dengan asumsi uang tersebut kembali tepat pada waktunya. Jika pembayaran tidak terjadi maka ia akan mencoba memperoleh pelunasan dari kekayaan si debitur yang lalai. Penyelenggaraan pemberiaan kredit itu direalisasi oleh Lembaga Keuangan seperti bank, baik bank pemerintah maupun bank swasta nasional. Dalam hubungan kredit ini bank sebagai pihak pemberi kredit (kreditor) memberikan pinjaman kepada penerima kredit (debitor) dengan harapan bahwa pinjaman itu dapat dipergunakan sebaik-baiknya untuk kemajuan usaha debitor dan pada saat yang ditentukan pinjaman itu harus dikembalikan kepada kreditor.1

Lembaga Pembiayaan adalah salah satu bentuk usaha dibidang lembaga keuangan bukan bank yang dilakukan dalam bentuk penyediaan dana atau barang

1

Oey Hoey Tiong, Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hlm 67.


(10)

modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito, tabungan dan surat sanggup bayar. Melihat lingkup bidang usaha perusahaan pembiayaan yang jenisnya beragam tersebut, perusahaan pembiayaan yang melakukan lebih dari satu kegiatan sering pula disebut multi finance company.2

Dalam melakukan pembiayaan untuk kredit pembelian kendaraan bermotor, lembaga pembiayaan mensyaratkan adanya suatu jaminan yaitu kendaraan bermotor itu sendiri sebagai jaminan dari kredit yang diberikan. Dengan kata lain lembaga pembiayaan sebagai kreditur mensyaratkan adanya suatu jaminan dari debitur.

Sehubungan dengan penjaminan ini, apa yang harus dilakukan oleh penerima fidusia apabila pemberi fidusia melalaikan kewajibannya atau cidera janji yang berupa lalainya pemberi fidusia memenuhi kewajibannya pada saat pelunasan utangnya sudah matang untuk ditagih, maka dalam peristiwa seperti itu, penerima fidusia bisa melaksanakan eksekusinya atas benda jaminan fidusia.3

Secara umum eksekusi merupakan pelaksanaan atau keputusan pengadilan atau akta, maka pengambilan pelunasan kewajiban kreditor melalui hasil penjualan benda-benda tertentu milik debitur. Perlu disepakati terlebih dahulu bahwa yang dinamakan eksekusi adalah pelaksanaan keputusan pengadilan atau akta. Tujuan dari pada eksekusi adalah pengambilan pelunasan kewajiban debitur melalui hasil penjualan benda-benda tertentu milik debitur atau pihak ketiga pemberi jaminan.

4

2

Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan,Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm 6.

3

J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-hak Kebendaan,, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hlm 319

4


(11)

Salah satu ciri dari jaminan utang kebendaan yang baik adalah apabila dapat eksekusinya secara cepat dengan proses sederhana, efisien dan mengandung kepastian hukum. Tentu saja fidusia sebagai salah satu jenis jaminan utang juga harus memiliki unsur-unsur cepat, murah, dan pasti tersebut. Sebab selama ini (sebelum keluarnya Undang-undang Fidusia Nomor 42 Tahun 1999) tidak ada kejelasan bagaimana caranya mengeksekusi fidusia, sehingga tidak ada ketentuan yang mengaturnya, banyak yang menafsirkannya bahwa eksekusi fidusia adalah memakai prosedur gugatan biasa(lewat pengadilan dengan prosedur biasa) yang panjang, mahal dan melelahkan itu.5

Menurut Undang-Undang No.42 Tahun 1999 Pasal 29, pengeksekusian dapat dilakukan dengan cara antara lain:

1. Melalui Titel Eksekutorial

Pelaksanaan title eksekutorial dalam mengeksekusi objek jaminan Fidusia, yaitu didasarkan adanya irah-irah “demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa” pada sertifikat jaminan fidusia. Adanya irah-irah tersebut berarti sertifikat jaminan fidusia memiliki kekuatan eksekutorial, ini berarti memberikan kedudukan yang kuat kepada kreditur penerima fidusia untuk melakukan eksekusi benda jaminan fidusia yang dijadikan jaminan hutang oleh debitur pemberi jaminan fidusia. Berdasarkan irah-irah itulah yang kemudian mensejajarkan kekuatan akta tersebut dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Karena akta tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial sama dengan putusan pengadilan, maka pelaksanaannya atau eksekusi jaminan fidusia dilakukan secara fiat eksekusi yaitu lewat suatu penetapan pengadilan. Kreditur mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan agar dilaksanakan eksekusi atas benda jaminan fidusia berdasarkan title eksekutorial sertifikat jaminan fidusia.

5

Frieda Husni Hasbullah, 2002, Hukum Kebendaan : Hak-Hak Yang Memberi Jaminan, Jilid II, Ind-Hill Co, Jakarta, hlm 14


(12)

Eksekusi obyek Jaminan Fidusia di PT. U Finance Medan dilakukan terhadap customer yang melakukan wanprestasi dengan pengambilan kembali barang jaminan dari tangan customer maupun di tangan pihak ketiga penerima fasilitas, yang merupakan upaya terakhir PT. U Finance Medan untuk penyelamatan asset dalam upaya meminimalisasi kerugian, apabila customer tidak sanggup lagi melakukan pembayaran angsuran dengan melakukan penjualan barang jaminan, hasil dari penjualan tersebut untuk melunasi sisa hutang penerima fasilitas pembiayaan dalam hal ini PT. U Finance Medan, sebagai penyedia dana diserahkan hak miliknya secara kepercayaaan kepada perusahaan tersebut, dengan cara fidusia. Barang bergerak seperti mobil, sepeda motor dan sebagainya langsung diserahkan oleh kreditur kepada debitur beserta Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK). Sedangkan bukti hak kepemilikannya yaitu berupa Buku Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) ada yang sudah dibaliknamakan langsung atas nama penerima fasilitas, ada juga yang belum dibaliknamakan. Bukti kepemilikan atau BPKB tersebut ditahan oleh kreditur dipakai untuk jaminan pelunasan atas hutang dari debitur.

Dengan demikian lembaga jaminan perlu mendapat perhatian serius sehubungan dengan pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia dalam praktik kehidupan masyarakat dalam rangka pembangunan Indonesia khususnya dibidang hukum, karena perkembangan ekonomi dan khususnya dibidang hukum, karena perkembangan ekonomi akan selalu diikuti oleh perkembangan kebutuhan akan kredit. eksekusi jaminan fidusia pada PT. U Finance Medan sering terjadi kesulitan dalam hal barang jaminan berupa kendaraan bermotor roda dua sudah dipindahtangankan, identitas barang jaminan diubah, debitor pindah alamat dan


(13)

bahkan ada perlawanan dari debitor maupun sekelompok orang yang tidak menerima kenyataan bahwa barang jaminan tersebut akan diambil kembali oleh

kreditur guna penyelesaiaan utang-utang debitur. Dengan uraian di atas, maka tertarik untuk membuat karya tulis dalam

bentuk skripsi dengan judul “Eksekusi Jaminan Fidusia Atas Kendaraan Bermotor oleh Lembaga Pembiayaan (Finansial) (studi kasus pada kantor PT. U Finance).”

B. Perumusan Masalah

Permasalahan adalah merupakan kenyataan yang dihadapi dan harus diselesaikan oleh peneliti dalam penelitian. Dengan adanya rumusan masalah maka akan dapat ditelaah secara maksimal ruang lingkup penelitian sehingga tidak mengarah pada hal-hal diluar permasalahan.

Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana prosedur pendaftaran fidusia?

2. Bagaimana jaminan fidusia yang tidak didaftarkan?

3. Bagaimana eksekusi jaminan fidusia oleh lembaga pembiayaan (finansial)?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian skripsi yang akan penulis lakukan adalah: a. Untuk mengetahui prosedur pendaftaran fidusia.

b. Untuk mengetahui jaminan fidusia yang tidak didaftarkan.

c. Untuk mengetahui eksekusi jaminan fidusia oleh lembaga pembiayaan (finansial).


(14)

D. Manfaat penelitian

Adapun manfaat penelitian skripsi yang akan penulis lakukan adalah:

a. Sebagai bahan masukan teoritis bagi penulis untuk menambah pengetahuan dan pemahaman hukum eksekusi jaminan fidusia.

b. Untuk menerapkan pengetahuan penulis secara praktis agar masyarakat mengetahui eksekusi jaminan fidusia oleh lembaga pembiayaan.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan judul skripsi pada Perpustakaan Pusat USU dan Perpustakaan Fakultas Hukum USU dan tidak ditemukan adanya judul penelitian yang sama. Adapun judul tulisan ini adalah Eksekusi Jaminan Fidusia Atas Kendaraan Bermotor oleh Lembaga Pembiayaan (Finansial) (studi kasus pada kantor PT.U Finance). Judul skripsi ini belum pernah ditulis dan diteliti dalam bentuk yang sama, sehingga tulisan ini asli, atau dengan kata lain tidak ada judul yang sama dengan judul skripsi mahasiswa Fakultas Hukum USU. Dengan demikian keaslian skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

F. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode penelitian normatif yang bersifat kualitatif yaitu metode penelitian yang mengacu pada

norma-norma hukum yang terdapat dalam perundang-undangan.6

6

Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Perdasa, Jakarta, hlm 14.

Dalam penelitian ini dipergunakan adalah merujuk pada sumber hukum yakni penelitian yang mengacu


(15)

norma-norma hukum terdapat dalam perangkat hukum. Tujuan pendaftaran dilakukan untuk mendapatkan kepastian hukum.

Penelitian ini adalah yang bersifat deskriptif analitis yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan (menggambarkan) tentang kondisi atau gejala yang menjadi objek penelitian. Setelah itu diadakan suatu telaah secara kritis, dalam arti memberikan penjelasan-penjelasan atas fakta atau gejala tersebut, baik dalam kerangka sistematisasi, maupun sinkronisasi, dengan berdasarkan pada aspek yuridis. Dengan demikian akan menjawab permasalahan yang menjadi objek penelitian.

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian hukum terhadap beberapa pendekatan, dengan pendekatan tersebut peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu hukum yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Penelitian ini sendiri akan menggunakan metode pendekatan Normatif atau Undang-Undang. Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkutpaut dengan isu hukum yang menjadi objek penelitian ini.

Pendekatan Normatif yang dimaksud untuk memecahkan permasalahan yang merupakan isu hukum yang diangkat dalam penelitian ini yaitu untuk meninjau pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai Jaminan Fidusia secara langsung dalam masyarakat sudah sinkron atau sesuai dengan perintah Undang-Undang atau belum.

3. Sumber Data

Bahan atau data yang dicari berupa data sekunder yang terdiri dari:

a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan mengikat kepada masyarakat. Dalam penelitian ini antara lain, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 42


(16)

Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan;

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang isinya menjelaskan mengenai bahan hukum primer. Dalam penelitian ini adalah buku-buku, makalah, artikel dari surat kabar dan majalah, dan internet.

4. Alat Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dalam penelitian ini adapun tehnik yang digunakan sebagai berikut:

a. Studi Keperpustakan

Studi Keperpustakan dilakukan dengan menelaah semua literatur pusaka yang berhubungan dengan topik penelitian baik yang bersifat normatif maupun yang berupa hasil penelitian kalangan hukum;

b. Studi dokumen yaitu membaca, mempelajari, meneliti literatur, dokumen-dokumen tertulis serta dokumen-dokumen-dokumen-dokumen lainnya yang relevan dengan kerangka dasar penelitian.

5. Analisis Data

Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian dikemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi.


(17)

Metode kualitatif dilakukan guna mendapatkan data yang bersifat deskriptif analistis, yaitu data-data yang akan diteliti dan dipelajari sesuatu yang utuh.7

G. Sistematika penulisan

Untuk memudahkan pemahaman terhadap materi dari skripsi ini dan agar tidak terjadinya kesimpangsiuran dalam penulisan skripsi ini, maka penulis membaginya dalam beberapa bab dan tiap bab dibagi lagi ke dalam beberapa sub-sub bab.

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. BAB II TINJAUAN TERHADAP FIDUSIA SECARA UMUM

Bab ini berisikan tentang pengertian fidusia dan jaminan fidusia, subjek dan objek aasas hukum jaminan fidusia, tahapan proses terjadinya jaminan fidusia dan berakhirnya jaminan fidusia.

BAB III TINJAUAN HUKUM TENTANG EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA

Bab ini berisikan tentang pengertian dan sumber eksekusi, asas eksekusi, jenis-jenis eksekusi, eksekusi jaminana fidusia menurut UU No 42 tahun 1999, peraturan Kapolri No.8 tahun 2011, hukum acara, eksekusi menurut HIR/RBG, eksekusi menurut KUH Perdata dan Eksekusi atas benda bergerak.

7

Soemitro, Ronny Hanitijo, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2004), hlm 18.


(18)

BAB IV KEKUATAN HUKUM EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA OLEH LEMBAGA PEMBIAYAAN (FINANCIAL)

Bab ini berisikan tentang prosedur pendaftaran fidusia, jaminan fidusia yang tidak di daftar, Eksekusi jaminan fidusia oleh lembaga pembiayaan (finansial).

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini adalah merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, dimana dalam bab V ini berisikan kesimpulan dan saran-saran dari penulis.


(19)

BAB II

TINJAUAN TERHADAP FIDUSIA SECARA UMUM

A. Pengertian Fidusia dan Jaminan Fidusia

Fidusia menurut asal katanya berasal dari kata "Fides", yang berarti kepercayaan, Sesuai dengan arti kata ini maka hubungan (hukum) antara debitor (pemberi kuasa) dan kreditor (penerima kuasa) merupakan hubungan hukum yang berdasarkan kepercayaan.8

Pranata jaminan fidusia sudah dikenal dan dibertakukan dalam masyarakat hukum Romawi. Ada dua bentuk jaminan fidusia yaitu fidusia cum creditore dan fidusia cum amico. Keduanya timbul dari perjanjian yang disebut pactum fiduciae yang kemudian diikuti dengan penyerahan hak atau in iure cessio.9

Dalam bentuk yang pertama atau lengkapnya fiducia cum creditare contracta yang berarti janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditor, dikatakan bahwa debitor akan mengalihkan kepemilikan atas suatu benda kepada kreditor sebagai jaminan atas utangnya dengan kesepakatan bahwa kreditor akan mengalihkan kembali kepemilikan tersebut kepada debitor apabila utangnya sudah dibayar lunas.10

Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia. Undang-undang yang khusus mengatur tentang hal ini, yaitu UUJF juga menggunakan istilah "fidusia". Dengan demikian, istilah "fidusia" sudah merupakan istilah resmi dalam dunia hukum kita. Akan tetapi, kadang-kadang dalam bahasa Indonesia untuk fidusia ini disebut juga dengan istilah "Penyerahan Hak Milik Secara Kepercayaan". Dalam literatur Belanda jaminan fidusia ini dikenal juga dalam istilah-istilah sebagai berikut11

8

Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Op.Cit, hlm. 113.

:

9

Ibid, hlm 113

10

Ibid, hlm 114

11

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum jaminan di Indonesia. Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan. Jakarta. Badan Pembinaan Hukum Nasional. 1977. hlm. 27


(20)

(1) Zekerheids eigendom (Hak Milik sebagai Jaminan). (2) Bezitloos Zekerheidsrecht (jaminan tanpa Menguasai). (3) Verruimd Pand Begrip (Gadai yang Diperluas).

(4) Eigendom Overdracht tot Zekerheid (Penyerahan Hak Milik secara jaminan).

(5) Bezitloos Pand (Gadai tanpa Penguasaan). (6) Een Verkapt Pand Recht (Gadai Berselubung). (7) Uitbaouw dari Pand (Gadai yang Diperluas).

Undang-undang yang khusus mengatur hal ini adalah Undang-undang No. 42 Tahun 1999. Istilah fidusia merupakan istilah resmi dalam dunia hukum Indonesia. Namun, dalam bahasa Indonesia untuk fidusia sering pula disebut sebagai “Penyerahan hak milik secara kepercayaan”.12

Pengertian fidusia menurut Undang-undang Fidusia No. 42 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (1) adalah sebagai berikut : “Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda”.

Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam UU No. 42 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia. Sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.

Berdasarkan definisi diatas dapat dikatakan, bahwa dalam jaminan fidusia terjadi pengalihan hak kepemilikan. Pengalihan itu terjadi atas dasar kepercayaan dengan janji benda yang hak kepemilikannya dialihkan, tetap dalam penguasaan pemilik benda.

12

Munir Fuady, Jaminan Fidusia, Cetakan kedua refisi, Bandung : Citra Aditya, 2000, hlm.3


(21)

Dalam Jaminan Fidusia, pengalihan hak kepemilikan dimaksudkan semata mata sebagai jaminan bagi pelunasan utang, bukan untuk seterusnya dimiliki oleh Penerima fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir (1). Jika didasarkan pada Pasal 33 Undang-undang Fidusia maka setiap janji yang memberikan kewenangan kepada penerima fidusia untuk memiliki benda yang menjadi obyek jaminan fidusia apabila debitur cidera janji, adalah batal demi hukum.

Jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi obyek jaminan fidusia di tangan siapapun benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi obyek jaminan fidusia. Beberapa prinsip utama dan jaminan fidusia adalah sebagai berikut :

(1) Bahwa secara riil, pemegang fidusia hanya berfungsi sebagai pemegang jaminan saja, bukan sebagai pemilik yang sebenamya. (2) Hak pemegang fidusia untuk mengeksekusi barang jaminan baru ada

jika ada wanprestasi dari pihak debitur

(3) Apabila hutang sudah dilunasi, maka objek jaminan fidusia harus dikembalikan kepada pihak pemberi fidusia.

(4) Jika hasil penjualan (eksekusi) barang fidusia melebihi jumlah hutangnya,. maka sisa hasil penjualan harus dikembalikan kepada pemberi fidusia.13

Selain itu, agar sahnya peralihan hak dalam konstruksi hukum tentang ini, haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut14

(1) Terdapat perjanjian yang bersifat zakelijk. :

(2) Adanya fitel untuk suatu peralihan hak.

(3) Adanya kewenangan untuk menguasai benda dari orang yang menyerahkan benda.

(4) Cara tertentu untuk penyerahan, yakni dengan cara constitutum posessorium bagi benda bergerak yang berwujud, atau dengan cara cessie untuk hutang piutang.

13

Fred Tumbuan, Mencermati Pokok-Pokok RUU Jaminan Fidusia, Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, 1999, hlm 37

14


(22)

Bila dicermati konstruksi hukum di atas merupakan ciri dari perjanjian fidusia, yaitu bahwa memang hakekat dari perjanjian fidusia merupakan perjanjian terhadap suatu benda (kebendaan), titel peralihan hak sebagai syarat jelasnya perjanjian sekaligus menterjemahkan adanya hukum jaminan. Dalam perjanjian fidusia tersebut, kewenangan. menguasai benda, yang dimaksud adalah pelimpahan kewenangan untuk menguasai benda jaminan, tetapi hal ini perlu digaris bawahi kewenangan menguasai tidaklah boleh sama dengan kehendak menguasai, karena kehendak menguasai merupakan bagian yang dilarang dalam perjanjian fidusia, pelimpahan kewenangan lebih merupakan bagian dari tanggung jawab yang diberikan pemberi fidusia kepada penerima fidusia untuk menyelesaikan pinjamannya dengan cara menjual benda jaminan, penyerahan yang dimaksud lebih bersifat simbolis seperti penyerahan secara constituttun posessoriuni bagi benda bergerak yang berwujud, atau dengan cara cessie untuk hutang piutang.15

Fidusia adalah suatu proses pengalihan hak kepemilikan dan jaminan fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia. Ini berarti pranata jaminan fidusia yang diatur dalam UUJF ini adalah pranata jaminan fidusia sebagaimana yang dalam fiducia cum creditore contracta1, yaitu jaminan yang dibebankan atas suatu benda bergerak secara fidusia sebagai bagian yang disebut pemberian jaminan dengan kepercayaan, jaminan fidusia lebih dikedepankan dalam UUJF dari pada pengertian fidusia itu sendiri, hal ini didasarkan bahwa sebenarnya maksud dari perjanjian fidusia yang dibuat berdasarkan UUJF pada dasarnya adalah proses hubungan hukum dalam dunia usaha yang bertumpu pada unsur saling membantu dan itikad baik pada masing-masing pihak, hal ini dapat terlihat dengan konsepsi fidusia dan jaminan dalam perjanpan ridusia itu sendiri yang sejak awal sampai dengan perkembangannya sekarang berciri khas tidak adanya penguasaan benda jaminan oleh penerima fidusia, padahal terhadap benda bergerak keadaan tersebut sangat beresiko.16

Dalam perkembangan fidusia telah terjadi pergeseran mengenai kedudukan para pihak. Pada zaman Romawi kreditor penerima fidusia berkedudukan sebagai pemilik atas barang yang difidusiakan, tetapi sekarang penerima fidusia hanya berkedudukan sebagai pemegang jaminan saja. Ini berarti pada zaman Romawi penyerahan hak milik pada fidusia cum creditore terjadi secara sempuma sehingga kedudukan penerima fidusia sebagai pemilik yang sempurna juga. Konsekuensinya, sebagai pemilik ia bebas berbuat sekehendak hatinya atas barang tersebut. Namun berdasarkan fides penerima fidusia berkewajiban mengembalikan hak milik itu jika beri fidusia melunasi utangnya.17

15

Oey Hoey Tiong,.Op.Cit, hlm 36.

16

Mochammad Dja’is, Hukum Eksekusi Sebagai wacana baru dibidang hukum, disampaikan dalam rangka Dies Natalis Ke-43, Fakultas Hukum, 2000 Undip.

17


(23)

Mengenai hal ini, A Veenhoven menyatakan bahwa18

Pembebanan kebendaan dengan jaminan fidusia dibuat dengan Akta Notaris dalam. Bahasa Indonesia yang merupakan akta Jaminan Fidusia (Pasal 5 ayat (1) UU jaminan Fidusia). Dalam Akta Jaminan Fidusia tersebut selain dicantumkan mengenai hari dan tanggal, juga dicantumkan mengenai waktu (jam) pembuatan akta tersebut. UUJF menetapkan perjanjian fidusia harus dibuat dengan akta notaris. Apalagi mengingat obyek jaminan fidusia pada umumnya adalah barang bergerak yang tidak terdaftar, maka sudah sewajarnya bentuk akta otentiklah yang dianggap paling dapat menjamin kepastian hukum berkenaan dengan obyek jaminan fidusia. Disamping itu akta otentik merupakan alat bukti yang karena dibuat oleh pejabat negara (Notaris).

: Hak milik itu sifatnya sempuma yang terbatas tergantung syarat tertentu. Untuk fidusia, hak miliknya tergantung pada syarat putus (ontbindende voorwaarde). Hak milik yang sempuma baru lahir jika pemberi fidusia tidak memenuhi kewajibannya.

19

B. Subjek dan Objek Asas Hukum Jaminan Fidusia

Subyek Jaminan Fidusia adalah pemberi fidusia dan penerima fidusia. Pemberi fidusia adalah orang perorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi obyek jaminan fidusia. Korporasi adalah suatu badan usaha yang berbadan hukum atau badan usaha bukan berbadan hukum. Adapun untuk membuktikan bahwa benda yang menjadi obyek jaminan fidusia milik sah pemberi fidusia maka harus dilihat bukti kepemilikan benda jaminan tersebut.20

Yang dimaksud dengan subjek dalam Undang-undang Jaminan Fidusia ini adalah pemberi fidusia dan penerima fidusia. Pemberi fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi objek jaminan fidusia,

18 A.Veenhoven.

Hukum Jaminan Fidusia, Edisi kedua, Penerbit Sinar Grafika. Jakarta. 1991, hlm 27.

19

Munir Fuady, Op.Cit, hlm 39.

20


(24)

sedangkan penerima fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan fidusia.21

Pemberi fidusia dapat dilakukan oleh debitor sendiri dan dapat juga dilakukan oleh pihak ketiga. Karena pendaftaran jaminan fidusia dilaksanakan di tempat kedudukan pemberi fidusia dan notaris yang membuat akta jaminan fidusia harus notaris Indonesia, maka pemberi fidusia tidak dapat dilakukan oleh warga Negara asing kecuali penerima fidusia, karena hanya berkedudukan sebagai kreditor penerima fidusia.22

Subyek Jaminan Fidusia adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan perjanjian/akta Jaminan Fidusia yaitu pemberi fidusia dan penerima fidusia. Pemberi fidusia adalah orang perorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia. Pemberi fidusia bisa debitur sendiri atau pihak lain bukan debitur. Yang dimaksud korporasi menurut hemat penulis adalah suatu badan usaha yang berbadan hukum atau badan usaha bukan berbadan hukum. Untuk membuktikan bahwa benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia milik sah pemberi fidusia maka harus dilihat bukti-bukti kepemilikan benda-benda jaminan tersebut.23

Yang dimaksud dengan benda dalam UU Fidusia, adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan ataupun hipotik (Pasal 1 butir 4). Benda seperti yang dimaksud di atas selanjutnya dapat disebut juga dengan obyek jaminan fidusia. Di samping Benda yang disebutkan obyek fidusia juga meliputi (kecuali diperjanjikan lain) hasil dari Benda misalnya piutang hasil perjanjian barang, klaim asuransi, dalam hal Benda yang menjadi obyek jaminan fidusia diasuransikan (Pasal 10), dengan begitu termasuk dalam

21

Ignatius Ridwan Widyadharma, Hukum Jaminan Fidusia, (Semarang : Balai Penerbit Universitas Diponegoro, 1999), hlm 20.

22

Ibid, hlm 22.

23

A. Hamzah & Senjun Manulung. 1997. Lembaga Fidusia dan Penerapannya di Indonesia, Indhill-Co, Jakarta, hlm 33.


(25)

obyek jaminan fidusia adalah barang tak berwujud (Pasal 1 butir 2). Dengan ketentuan tersebut, maka dapat diketahui bahwa obyek jaminan fidusia cukup variable dan rumit terutama dalam menentukan kriteria serta status dan kewenangan atau alas hak benda tersebut.

Menjadi perhatian bagi kalangan praktisi bisnis maupun praktisi hukum untuk menentukan kriteria dan karakteristik dokumentasi dan alas hak dari obyek jaminan fidusia. Tanpa alas hak yang jelas dan kuat, mustahil penyerahan jaminan fidusia dapat dilaksanakan.

Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia harus disebut dengan jelas dalam akta jaminan fidusia baik identifikasi benda tersebut, maupun penjelasan surat bukti kepemilikannya dan bagi benda inventory yang selalu berubah-ubah dan atau tetap harus dijelaskan bendanya dan kualitasnya. Jaminan fidusia dapat diberikan terhadap satu atau lebih satuan atau jenis benda, termasuk piutang baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian. Pembebanan jaminan atas benda atau piutang yang diperoleh kemudian tidak perlu dilakukan dengan perjanjian tersendiri.24

Sebelum Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia diberlakukan, pada umumnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia hanyalah terhadap benda-benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan, piutang, peralatan, mesin dan kendaraan bermotor. Setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tersebut, pengertian jaminan fidusia diperluas dalam arti benda bergerak yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996.25

Benda yang menjadi objek jaminan fidusia adalah benda yang dapat dimiliki dan dialihkan hak kepemilikannya, baik benda berwujud maupun yang tidak berwujud, terdaftar maupun tidak terdaftar, bergerak maupun tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan atau Hipotik. Hal ini diatur dalam Pasal 1 ayat (4), Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 20 Undangundang Nomor 42

24

HP Panggabean. Makalah Efektivitas Penegakan Hukum Terhadap Lembaga Fidusia, Bandung, 2000, hlm 28.

25


(26)

Tahun 1999 tentang Fidusia. Apabila kita memperhatikan pengertian benda yang dapat menjadi objek jaminan fidusia tersebut, maka yang dimaksud benda adalah termasuk juga piutang (receivables). Khusus mengenai hasil dari benda yang menjadi jaminan fidusia Undang-undang mengatur bahwa jaminan fidusia meliputi hasil tersebut dan juga klaim asuransi kecuali diperjanjikan lain. Dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 disebutkan bahwa kecuali diperjanjikan lain :26

a) Jaminan fidusia meliputi hasil dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Yang dimaksud dengan “hasil dari benda yang menjadi objek jaminan” adalah segala sesuatu yang diperoleh dari benda yang dibebani jaminan fidusia.

b) Jaminan fidusia meliputi klaim asuransi, dalam hal benda yang menjadi objek jaminan fidusia diasuransikan. Ketentuan ini dimaksud untuk menjelaskan apabila benda itu diasuransikan, maka klaim asuransi tersebut merupakan hak penerima fidusia.

Salah satu unsur yuridis dalam sistem hukum jaminan adalah asas hukum. Hal ini menunjukan betapa pentingnya asas hukum dalam suatu Undang-Undang. Sebelum menguraikan lebih lanjut mengenai asas-asas Jaminan Fidusia, perlu dijelaskan pengertian asas. Istilah asas merupakan terjemahan dari bahasa latin “principium” bahasa Inggris “principle” dan bahasa Belanda “ beginsel” , yang artinya dasar yaitu sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat.27

Kata “principle” atau asas adalah sesuatu, yang dapat dijadikan sebagai alas, sebagai dasar, sebagai tumpuan, sebagai tempat untuk menyandarkan, untuk mengembalikan sesuatu hal, yang hendak dijelaskan. Principle is a fundamental truth or doctrine, as of law; a comprehensive rule or doctrine which furnishes a basis or origin for others) Pengertian ini belum memberikan kejelasan dalam ilmu hukum, tetapi sudah memberikan arahan tentang hal yang essensi dari asas yakni ajaran atau kebenaran yang mendasar untuk pembentukan peraturan hukum yang menyeluruh.28

26

Purwahid Patrik dan Kashadi. Hukum Jaminan (Edisi Revisi Dengan UUHT), (Semarang : Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,2004), hlm 38.

27

Muhammad Abdulkadir. Jaminan dan Fungsinya, Penerbit Gema Insani Pers, Bandung, 1993, hlm 6.

28


(27)

Ada dua hal yang terkandung dalam dalam makna asas tersebut yakni pertama, asas merupakan pemikiran, pertimbangan sebab yang luas atau umum, abstrak (the broad reason); kedua, asas merupakan hal yang mendasari adanya norma hukum ( the base of rule of law) . Oleh karena itu, asas hukum tidak sama dengan norma hukum, walaupun adakalanya norma hukum itu sekaligus merupakan asas hukum. Karakter asas hukum yang umum, abstrak itu memuat cita-cita, harapan (das sollen), dan bukan aturan yang akan diperlukan secara langsung kepada subyek hukum.29 Asas hukum bukanlah suatu perintah hukum yang konkret yang dapat dipergunakan terhadap peristiwa konkret dan tidak pula memiliki sanksi yang tegas. Hal-hal tersebut hanya ada dalam norma hukum yang konkret seperti peraturan yang sudah dituangkan dalam wujud pasal-pasal perundang-undangan. Dalam peraturan-peraturan (pasal-pasal) dapat ditemukan aturan yang mendasar berupa asas hukum yang merupakan citacita dari pembentuknya. Asas hukum diperoleh dari proses analitis (konstruksi yuridis) yaitu dengan menyaring (abstraksi) sifat-sifat khusus yang melekat pada aturan-aturan yang konkret, untuk memperoleh sifatsifatnya yang abstrak.30

Dalam UUJF, pembentuk undang-undang tidak mencantumkan secara tegas asas-asas hukum jaminan fidusia yang menjadi fundamen dari pembentukan norma hukumnya. Oleh karena itu, sesuai dengan teori dari dari asas hukum tersebut diatas, maka asas hukum jaminan fidusia dapat ditemukan dengan mencarinya dalam pasal-pasal dari UUJF.

Berdasarkan Undang-Undang Fidusia , maka yang menjadi obyek dari fidusia adalah benda apapun yang dapat dimiliki dan dialihkan kepemilikannya baik berupa benda berwujud maupun tidak berwujud, terdaftar atau tidak terdaftar, bergerak atau tidak bergerak, dengan syarat benda tersebut tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Apabila kita memperhatikan pengertian benda yang

29

Ibid, hlm 8.

30

M. Yahya Harahap, dan Mariam Darus Badrulzaman. Prinsip-prinsip Hukum Dalam Sita Jaminan. Bisnis Indonesia, 2001, hlm 26.


(28)

dapat menjadi objek jaminan fidusia tersebut maka yang dimaksud dengan benda adalah termasuk juga piutang ( receivables ).

Khusus mengenai hasil dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia, undang-undang mengatur bahwa jaminan fidusia meliputi hasil tersebut dan juga klaim asuransi kecuali diperjanjikan lain. Dalam praktek hanya piutang yang berupa piutang atas nama yang sering menjadi obyek fidusia, penyerahan mengenai hal tersebut dinamakan cessi dan dilakukan menurut syarat tertentu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa cessi sebagai jaminan adalah fidusia atas piutang atas nama, dimana penyerahannya tidak dilakukan dengan constitutum prossessorium melainkan dengan cessi.31 Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan harus disebut dengan jelas dalam akta jaminan fidusia baik identifikasi benda tersebut , maupun penjelasan surat bukti kepemilikannya dan bagi benda inventory yang selalu berubah-ubah dan atau tetap harus dijelaskan jenis bendanya dan kualitasnya, jaminan fidusia dapat diberikan terhadap satu atau lebih satuan atau jenis benda, termasuk piutang baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian. Pembebanan jaminan atas benda atau piutang yang diperoleh kemudian tidak perlu dilakukan dengan perjanjian tersendiri.32

C. Tahapan Proses Terjadinya Jaminan Fidusia

Dalam proses terjadinya jaminan fidusia di laksanakan melalui dua tahap yaitu:33

1. Tahap Pembebanan Jaminan Fidusia

Pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia. Dengan demikian, akta notaris di sini merupakansyarat materil untuk berlakunya ketentuan-ketentuan Undang-undang Jaminan Fidusia atas perjanjian penjaminan fidusia, disamping juga sebagai alat bukti.

31

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya Fidusia Di Dalam Praktek dan Pelaksanaannya Di Indonesia.( Yogyakarta: Liberty,1975) hlm. 32

32

Ibid, hlm 34.

33

Heru Supraptomo. Masalah Eksekusi Jaminan Fidusia dan Implikasi Lembaga Fidusia dalam Praktek Perbankan. MakalahLokakarya Fidusia dan Permasalahannya. Jakarta, 2006, hlm 8.


(29)

Perlu diketahui, bahwa suatu perjanjian pada umumnya tidak lahir pada saat penuangannya dalam suatu akta, tetapi sudah ada sebelumnya, yaitu sudah ada sejak adanya kesepakatan antara para pihak yang memenuhi syarat Pasal 1320 KUH Perdata dan penuangannya dalam akta hanya dimaksudkan untuk mendapatkan alat bukti saja. Akta notaril merupakan salah satu wujud akta otentik sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1868 dan Pasal 1870 KUH Perdata yang memberikan kekuatan pembuktian yang sempurna terhadap para pihak dan ahli waris atau orang yang memdapatkan hak dari padanya.

Akta jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Undang-Undang Fidusia sekurang-kurangnya memuat :

a. Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia Identitas tersebut meliputi nama lengkap, agama, tempat tinggal atau kedudukan dan tanggal lahir, jenis kelamin, status perkawinan, dan pekerjaan.

b. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia, yaitu mengenai macam perjanjian, dan utang yang dijamin dengan fidusia.

c. Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia. Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia cukup dilakukan dengan mengidentifikasi benda tersebut, dan dijelaskan mengenai surat bukti kepemilikannya. Dalam hal benda yang menjadi obyek jaminan fidusia merupakan benda dalam persediaan (inventory) yang selalu berubah-ubah dan tidak tetap, seperti stok bahan baku, barang jadi, maka akta jaminan fidusia dicantumkan uraian mengenai jenis, merek, kualitas dari benda tersebut.


(30)

d. Nilai penjaminan;

e. Nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia. 2. Tahap Pendaftaran Jamianan Fidusia

Tujuan pendaftaran fidusia adalah melahirkan jaminan fidusia bagi penerima fidusia, memberikan kepastian kepada kreditor lain mengenai benda yang telah dibebani jaminan fidusia dan memberikan hak yang didahulukan terhadap kreditor dan untuk memenuhi asas publisitas karena kantor pendaftaran terbuka untuk umum.34

Benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan termasuk benda yang dibebani dengan jaminan fidusia berada di luar wilayah Republik Indonesia. Pendaftaran benda yang dibebani dengan jaminan fidusia dilaksanakan di tempat kedudukan pemberi fidusia dan dilakukan pada kantor Pendaftaran Fidusia yang merupakan bagian dalam lingkungan Departemen kehakiman Permohonan pendaftaran dilakukan oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran jaminan fidusia, yang meliputi :

a. Identitas pihak dan penerima fidusia;

b. Tanggal, nomor akta jaminan fidusia, nama dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fidusia;

c. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;

d. Uraian mengenai benda yang menjadi objek jamianan fidusia; e. Nilai penjaminan, dan

f. Nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.35

34

Purwahid Patrik dan Kashadi. Op.Cit, hlm. 41.

35


(31)

Kemudian Kantor Pendaftaran Fidusia mencatat jaminan dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran guna melakukan pengecekan data setelah dilakukan pendaftaran, maka kantor Pendaftaran fidusia menerbitkan Sertifikat Jaminan Fidusia kepada penerima fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran jaminan fidusia. Ketentuan ini dimaksudkan agar Kantor Pendaftaran Fidusia tidak melakukan penilaian terhadap kebenaran yang dicantumkan dalam pernyataan pendaftaran jaminan fidusia, akan tetapi hanya melakukan pengecekan data yang dimuat dalam pernyataan pendaftaran fidusia. Tanggal pencatatan jaminan fidusia dalam buku Daftar Fidusia ini dianggap sebagai lahirnya jaminan fidusia.36

Dengan demikian pendaftaran jaminan fidusia dalam Buku Daftar Fidusia, merupakan perbuatan konstitutif yang melahirkan jaminan fidusia. Penegasan lebih lanjut dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 28 Undang-undang Fidusia yang menyatakan apabila atas benda yang sama menjadi obyek jaminan lebih dari 1 (satu) perjanjian jaminan fidusia, maka kreditor yang lebih dahulu mendaftarkannya adalah penerima fidusia. Hal ini penting diperhatikan oleh kreditor yang menjadi pihak dalam perjanjian jaminan fidusia, karena hanya penerima fidusia, kuasa atau wakilnya yang boleh melakukan pendaftaran jaminan fidusia.

Sebagai bukti bagi kreditor bahwa ia merupakan penerima jaminan fidusia adalah Sertifikat Jaminan Fidusia yang diterbitkan Kantor Pendaftaran Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran. Sertifikat ini sebenarnya merupakan salinan dari Buku Daftar Fidusia yang memuat catatan tentang hal-hal yang sama dengan data dan keterangan yang ada pada saat pernyataan pendaftaran.

36


(32)

D. Berakhirnya Jaminan Fidusia

Hapusnya jaminan fidusia diatur dalam Pasal 25 ayat (1) Undangundang Nomor 42 Tahun 1999. Jaminan fidusia dapat hapus karena hal-hal sebagai berikut:

1. hapusnya utang yang dijamin dengan jaminan fidusia 2. pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia 3. musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

Hapusnya fidusia karena musnahnya utang yang dijamin dengan jaminan fidusia adalah konsekuensi logis dari karakter perjanjian jaminan fidusia yang merupakan perjanjian ikutan (accessoir), terhadap perjanjian pokoknya berupa perjanjian piutang. Jadi jika perjanjian utang-piutang atau utangnya lenyap karena alasan apapun maka jaminan fidusia sebagai ikutannya ikut lenyap juga. Hapusnya jaminan fidusia karena pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia juga wajar, mengingat pihak penerima fidusia sebagai yang memiliki hak atas jaminan fidusia tersebut bebas untuk mempertahankan atau melepaskan hak itu.37 Dalam hal benda yang menjadi objek jaminan fidusia musnah dan benda tersebut disuransikan, maka klaim asuransi tersebut akan menjadi pengganti objek jaminan fidusia.38

Ada prosedur tertentu yang harus ditempuh manakala suatu jaminan fidusia hapus, yaitu harus dilakukan pencoretan pencatatan jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia. Selanjutnya Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan surat keterangan yang menyatakan bahwa sertifikat jaminan fidusia yang bersangkutan dinyatakan tidak berlaku lagi. Dalam hal ini, pencatatan jaminan fidusia tersebut dicoret dari buku daftar fidusia yang ada di Kantor Pendaftaran Fidusia.39

37

Munir fuady, Op cit, hlm 50.

38

Purwahid Patrik dan Kashadi, Op cit, hlm 46.

39


(33)

BAB III

TINJAUAN HUKUM TENTANG EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA

A. Pengertian dan Sumber Eksekusi 1. Pengertian Eksekusi

Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh Pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara merupakan aturan dan tatacara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu, eksekusi tiada lain daripada tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata. Eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan tata tertib beracara yang terkadung dalam HIR atau RBG. Setiap orang yang ingin mengetahui pedoman aturan eksekusi harus merujuk ke dalam aturan perundangundangan dalam HIR atau RBG.40

Pengertian eksekusi secara umum adalah pelaksanaan putusan hakim atau menjalankan putusan hakim. Adapun ketentuan mengenai pelaksanaan putusan atau eksekusi ini diatur dalam ketentuan Pasal 195 sampai dengan Pasal 200 HIR/Rbg.

Pengertian eksekusi menurut R. Subekti dikatakan bahwa “Eksekusi atau pelaksanaan putusan mengandung arti bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau mentaati putusan itu secara sukarela sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan umum.41

Pendapat yang sama dikemukakan oleh Retno Wulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata yang menyatakan bahwa “Eksekusi adalah tindakan

40

M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hlm 1.

41

Mochammad Djais, Pikiran Dasar Hukum Eksekusi, (Semarang : Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2000), hlm 12.


(34)

paksaan oleh pengadilan terhadap pihak yang kalah dan tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela.42

Sejalan dengan pendapat tersebut adalah pendapat Sudikno Mertokusumo yang menyatakan “Pelaksanaan putusan/eksekusi ialah realisasi daari kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan tersebut”.43

M. Yahya Harahap, yang menyatakan bahwa “Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemerikasaan perkara. Oleh karena itu eksekusi tiada lain daripada tindakan yang bersinambungan dari keseluruhan proses Hukum Acara Perdata. Eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan tata tertib beracara yang terkandung dalam HIR/Rbg”.44

Sedangkan Hukum Eksekusi menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofyan adalah Hukum yang mengatur tentang pelaksanaan hak-hak kreditur dalam perutangan yang tertujuterhadap harta kekayaan debitur, manakala perutangan itu tidak dipenuhi secara sukarela oleh Debitur.45

Hukum Eksekusi ini sebenarnya tidak diperlukan apabila pihak yang dikalahkan dengan sukarela mentaati bunyi putusan. Akan tetapi dalam kenyataannya tidak semua pihak mentaati bunyi putusan dengan sepenuhnya. Oleh karena itu diperlukan suatu aturan bilamana putusan tidak ditaati dan bagaimana cara pelaksanaannya.46

42

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek (Bandung : Mundur Maju, 1989), hlm 130.

43

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1998), hlm 206.

44

M. Yahya Harahap, Op. Cit hlm 1.

45

Sri Soedewi, Hukum Jaminan di Indonesia. Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, 1980, Liberty, Yogyakarta. hlm. 1.

46

Ateng Affandi, Wahyu Affandi, Tentang melaksanakan Putusan Hakim Perdata, 1983,


(35)

Lebih lanjut dapat dilihat pandapat Bachtiar Sibarani, yang menyatakan bahwa Eksekusi adalah pelaksanaan secara paksa putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap/pelaksanaan secara peksa dokumen perjanjian yang dipersamakan dengan putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.47

Pengertian eksekusi dalam arti yang lebih luas dikemukakan oleh Mochammad Dja’is yang menyatakan bahwa : “Eksekusi adalah upaya kreditur merealisasikan hak secara paksa karena debitor tidak mau secara sukarela mememuhi kewajibannya. Dengan demikian eksekusi merupakan bagian dari proses penyeleseian sengketa hukum. Menurut pandangan hukum eksekusi, objek eksekusi tidak hanya putusan hakim dan grosse akta”.48

Berdasarkan pemaparan diatas dapat diketahui bahwa pengertian eksekusi tidak hanya menjalankan putusan hakim saja namun eksekusi juga mencakup upaya kreditor merealisasi haknya secara paksa karena debitor tidak mau secara sukarela memenuhi kewajibannya.

Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa eksekusi tidak hanya diartikan dalam arti sempit tetapi juga dalam arti luas. Eksekusi tidak hanya pelaksanaan terhadap suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap kepada pihak yang kalah, yang tidak mau menjalankan isi putusan secara sukarela, tetapi eksekusi dapat dilaksanakan terhadap grosse surat hutang notariil dan benda jaminan eksekusi serta eksekusi terhadap perjanjian. Eksekusi dalam arti luas merupakan suatu upaya realisasi hak, bukan hanya merupakan pelaksanaan putusan pengadilan saja.49

2. Sumber Aturan Eksekusi

Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh Pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu, eksekusi tiada lain dari pada tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata.50

47

Bachtiar Sibarani, Perate Eksekusi dan Paksa Badan, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 15,

September 2001, hlm. 6.

48

Mochammad Dja’is, Op Cit, hlm 16.

49

Bachtiar Sibarani, Op.Cit, hlm 8.

50


(36)

Cara-cara menjalankan putusan pengadilan yang disebut eksekusi diatur mulai Pasal 195 sampai Pasal 224 HIR atau Pasal 206 sampai Pasal 258 Rbg. Namun pada saat sekarang, tidak semua ketentuan pasal-pasal itu berlaku efektif. Yang masih betul-betul berlaku terutama Pasal 195 sampai Pasal 208 dan Pasal 224 HIR atau Pasal 206 sampai pasal 240 dan Pasal 258 Rbg. Sedang Pasal 209 sampai 223 HIR atau Pasal 242 sampai Pasal 257 Rbg yang mengatur tentang ”sandera” (gijzeling), tidak lagi diperlakukan secara efektif.51

Disamping itu, terdapat lagi Pasal 180 HIR atau Pasal 191 Rbg yang mengatur tentang pelaksanaan putusan ”serta merta” (uitvoerbaar bij voorraad) atau provisionally enforceable (to have immediate effect), yakni pelaksanaan putusan segera dapat dijalankan lebih dahulu sekalipun putusan yang bersangkutan belum memperoleh kekuatan hukum tetap.52

Namun, pembahasan berdasarkan pasal-pasal tersebut sama sekali tidak terlepas dari peraturan lain seperti yang terdapat dalam asas-asas hukum, yurisprudensi, maupun praktik perasilan sebagai alat pembantu memecahkan penyeleseian masalah eksekusi yang timbul dalam konkreto. Misalnya eksekusi mengenai barang hipotek dan Hak Tanggungan, yang dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam KUHPerdata maupun UUPA No. 5 tahun 1960 dan UU No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Kemudian aturan yang tidak kalah penting dalam ruang lingkup eksekusi adalah Peraturan Lelang No. 189 tahun 1908 (Vendu Reglement St. 1908/No. 189).53

Tindakan pengadilan dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan serta mengeksekusi suatu perkara tentunya harus didasarkan pada ketentuan Undang-undang yang menjadi sumber hukum untuk melaksanakan eksekusi dan yang dijadikan sebagai landasan terwujudnya penegakan hukum dalam pelaksanaan

51

Ibid, hlm 2.

52

Ibid, hlm 5.

53


(37)

putusan pengadilan terhadap sengketa perdata ada beberapa macam, antara lain adalah:

1. HIR (Herziene Inlandsch Reglemen)/RBg (Rechtsreglemen Voor de Buitengewesten). Didalam HIR mengenai menjalankan putusan hakim terdapat dalam Pasal 195 sampai dengan Pasal 244 HIR. Dalam Pasal-pasal di atas tidak hanya memuat mengenai menjalankan putusan hakim saja, tetapi juga berisi tentang upaya-upaya paksa dalam eksekusi yaitu sandera, sita eksekusi, upaya perlawanan (Verzet), akta grosse hipotik, dan surat hutang. 2. Undang-undang No. 4 Tahun 2004, tentang Hak Tanggungan. Berdasarkan

ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf a, menentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Oleh karenannya, pengadilan merupakan suatu badan (pejabat) yang melakukan kekuasaan kehakiman.

Pasal 36 ayat (3) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 ditentukan, bahwa pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan jurusita dipimpin oleh Ketua Pengadilan. Dalam ayat 4 (empat) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 menyatakan, bahwa menetapkan suatu kewajiban hukum yang bersendikan norma-norma moral. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1982 dalam Pasal 5 Peraturan Mahkamah Agung ini menjelaskan bahwa permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan eksekusi.

Dasar pendirian tersebut berarah pada 2 (dua) hal, yaitu : pertama, untuk tetap melaksanakan putusan yang sebenarnya sudah mempunyai kekuatan hukum pasti, dan yang Kedua, kepada Mahkamah Agung sendiri karena apabila diajukan


(38)

Peninjauan Kembali satu-satunya institusi yang berwenang menentukan penundaan eksekusi adalah Mahkamah Agung.

B. Asas Eksekusi

Asas-asas umum eksekusi54

1. Menjalankan Putusan yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap :

a. Pada prinsipnya, hanya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yang dapat ”dijalankan”. Sehingga pada asasnya putusan yang dapat dieksekusi adalah :

b. Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (res judicata); c. Karena hanya dalam putusan yang telah berkekuatan hukum terkandung

wujud hubungan hukum yang tetap (fixed) dan pasti antara pihak yang berperkara;

d. Disebabkan hubungan hukum antara pihak yang berperkara sudah tetap dan pasti :

(1). Hubungan hukum tersebut mesti ditaati, dan

(2). Mesti dipenuhi oleh pihak yang dihukum (pihak Tergugat)

e. Cara menaati dan memenuhi hubungan hukum yang ditetapkan dalam amar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap :

a. Dapat dilakukan atau dijalankan secara ”sukarela” oleh pihak Tergugat, dan

b. Bila enggan menjalankan secara ”sukarela”, hubungan hukum yang ditetapkan dalam putusan harus dilaksanakan ”dengan paksa” dengan bantuan ”kekuatan umum”.

54


(39)

Pada prinsipnya, apabila terhadap putusan masih ada pihak yang mengajukan upaya hukum berupa banding atau kasasi, putusan yang bersangkutan belum berkekuatan hukum tetap berdasarkan Pasal 1917 KUHPerdata. Prinsip ini, ditegaskan dalam Putusan MA No. 1043 K/Sip/1971.55

Dengan demikian eksekusi merupakan tindakan paksa yang dilakukan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum guna manjalankan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Selama putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap, putusan belum dapat dijalankan. Dengan kata lain, selama putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap, upaya dan tindakan eksekusi belum dapat berfungsi. Eksekusi baru berfungsi sebagai tindakan hukum yang sah dan memaksa, terhitung :

(1). Sejak tanggal putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, dan

(2). Pihak Tergugat (yang kalah) tidak mau menaati dan memenuhi putusan secara sukarela

Sehingga, jika ditinjau dari segi yuridis, asas ini mengandung makna bahwa eksekusi menurut ”hukum perdata” adalah ”menjalankan putusan” yang telah berkekuatan hukum tetap. Cara menjalankan pelaksanaannya secara paksa dengan bantuan kekuatan umum, apabila pihak Tergugat (pihak yang kalah) tidak memenuhi putusan secara sukarela. Cara melaksanakan putusan (eksekusi) diatur dalam Pasal 195 HIR atau Pasal 206 RBG serta pasal-pasal berikutnya56.

55

Tanggal 3-12-1974, Rangkuman Yurisprudensi MA II (RY MA II), hlm 271.

56


(40)

2. Pengecualian terhadap asas umum

Beberapa pengecualian yang dibenarkan undang-undang yang memperkenankan eksekusi dapat dijalankan di luar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, antara lain57

(1). Pelaksanaan putusan yang dapat dijalankan terlebih dahulu (berdasarkan Pasal 180 ayat 1 HIR atau Pasal 191 ayat 1 RBG);

:

(2). Pelaksanaan putusan provisi, (berdasarkan Pasal 180 ayat 1 HIR atau Pasal 191 ayat 1 RBG, maupun Pasal 54 dan 55 RV);

(3). Akta Perdamaian, (berdasarkan Pasal 130 HIR atau Pasal 154 RBG);

(4). Eksekusi terhadap Grosee Akta, (berdasarkan Pasal 224 HIR atau Pasal 258 RBG);

(5). Eksekusi Hak Tanggungan (HT) dan Jaminan Fidusia (JF), (berdasarkan undang No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggugang dan Undang-undang No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia).

3. Putusan tidak dijalankan secara sukarela,

Eksekusi dalam suatu perkara baru tampil dan berfungsi apabila pihak Tergugat tidak bersedia menaati dan menjalankan putusan secara sukarela. Keengganan Tergugat menjalankan pemenuhan putusan secara sukarela akan menimbulkan konsekuensi hukum berupa tindakan paksa yang disebut ”eksekusi”58

4. Putusan yang dapat di eksekusi bersifat Kondemnator .

Hanya putusan yang bersifat Kondemnator (condemnatoir) yang bisa dieksekusi, yakni putusan yang amar atau diktumnya mengandung unsur

57

Ibid, hlm 9

58


(41)

”penghukuman”59

4. Eksekusi atas Perintah dan di Bawah Pimpinan Ketua Pengadilan Negeri. . Putusan yang amar atau diktumnya tidak mengandung unsur penghukuman, tidak dapat dieksekusi atau noneksekutebel.

Asas ini diatur dalam Pasal 195 ayat 1 HIR atau Pasal 206 ayat 1 RBG. Didalamnya berisi beberapa hal yang perlu dipedomani dan dijelaskan, yakni : (1). Menentukan Pengadilan Negeri mana yang berwenang menjalankan eksekusi

putusan, yakni :

a). di Pengadilan Negeri mana perkara (gugatan) diajukan, dan

b). di Pengadilan Negeri mana perkara diperiksa dan diputus tingkat pertama Manfaat dari ketentuan ini adalah kepastian kewenangan eksekusi bertujuan menghindari saling rebutan di antara Pengadilan Negeri.

(2). Kewenangan menjalankan eksekusi hanya diberikan kepada Pengadilan Negeri;

(3). Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri.

C. Jenis-Jenis Eksekusi

Pada dasarnya ada dua bentuk eksekusi ditinjau dari segi sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan. Adakalanya sasaran hubungan hukum yang hendak dipenuhi sesuai dengan amar atau diktum putusan, yaitu melakukan suatu ”tindakan nyata” atau ”tindakan riil”, sehingga eksekusi semacan ini disebut ”eksekusi riil”. Adakalanya hubungan hukum yang mestinya dipenuhi sesuai dengan amar putusan, melakukan ”pembayaran sejumlah uang”.60 Eksekusi semacam ini disebut eksekusi ”pembayaran uang”.61 Menurut Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata pembagian jenis eksekusi meliputi:62

59

R. Subekti, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : BPHN, 1977), hlm 128.

60

M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm 20.

61


(42)

a. Eksekusi Pasal 196 HIR yaitu eksekusi pembayaran sejumlah uang

b. Eksekusi yang diatur dalam Pasal 225 HIR yaitu menghukum seseorang melakukan suatu perbuatan

c. Eksekusi Riil, yang dalam praktek banyak dilakukan akan tetapi tidak diaturdalam HIR.

Menurut Sudikno Mertokusumo, ada beberapa jenis pelaksanaan eksekusi antara lain63

a. Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang (Pasal 196 HIR/208 Rbg). Prestasi yang diwajibkan adalah membayar sejumlah uang

:

b. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melaksanakan suatu perbuatan (Pasal 225 HIR/259 Rbg). Orang tidak dapat dipaksakan untuk memenuhi prestasi yang berupa perbuatan tetapi pihak yang dimenangkan dapat meminta pada hakim agar kepentingan yang akan diperolehnya dinilai dengan uang

c. Eksekusi riil. Eksekusi riil tidak diatur dalam HIR tetapi diatur dalam Pasal 133 RV. Eksekusi riil merupakan pelaksanaan prestasi yang dibebankan pada debitor oleh putusan hakim secara langsung

d. Eksekusi parate atau eksekusi langsung (Pasal 1155 KUHPerdata)

Menurut Mochammad Dja’is, jenis-jenis eksekusi dapat dibagi berdasarkan objek dan prosedurnya yaitu sebagai berikut:64

1) Berdasarkan objek, eksekusi meliputi : a. Eksekusi putusan hakim

b. Eksekusi grosse utang notariil

62

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Op.Cit, hlm 130.

63

Sudikno Mertokusumo,Op.Cit, hlm 206.

64


(43)

c. Eksekusi benda jaminan (objek gadai, hak tanggungan, fidusia, cessie, sewa beli, leasing)

d. Eksekusi piutang negara baik yang timbul dari kewajiban (utang, pajak, utang biaya masuk) maupun perjanjian (kredit, macet bank pemerintah, piutang BUMN maupun BUMD)

e. Eksekusi putusan lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa (Putusan P4D/P4P, Mahkamah Pelayaran, Lembaga Arbitrase, Alternative Dispute Resolution (ADR), Lembaga-lembaga Internasional, Pengadilan Asing)

2) Berdasarkan prosedur, eksekusi terdiri dari : a. Eksekusi tidak langsung, meliputi

1. Sanksi/hukuman membayar uang paksa, berdasarkan perjanjian atau putusan hakim

2.Sandera (gijzeling), Pasal 209-223 HIR

3.Penghentian/pencabutan langganan, ini didasarkan pada perjanjian yang dapat ditemukan dalam perjanjian langganan listrik, telepon, air minum dan sebagainya

b. Eksekusi langsung, meliputi :

(a).Eksekusi biasa (membayar sejumlah uang)

(b).Eksekusi riil (terhadap putusan pengadilan dan objek lelang) (c).Eksekusi melakukan suatu perbuatan

(d).Eksekusi dengan pertolongan hakim (e). Eksekusi parat

(f). Eksekusi penjualan dibawah tangan atas benda

(g).Eksekusi piutang sebagai jaminan (berdasarkan perjanjian) (h).Eksekusi dengan ijin hakim


(44)

Berdasarkan uraian diatas, dapat diketahui bahwa eksekusi tidak hanya terhadap putusan hakim saja namun mencakup pelaksanaan eksekusi dalam praktek yaitu eksekusi berdasarkan perjanjian dan undang-undang. Bahkan dapat diperluas lagi dengan eksekusi terhadap sesuatu yang menggangu hak dan kepentingan, hal ini menunjukkan bahwa eksekusi bukan saja merupakan pelaksanaan putusan hakim tetapi eksekusi merupakan suatu upaya realisasi hak.

D. Eksekusi Jaminan Fidusia

Undang-Undang Fidusia memberikan kemudahan melaksanakan eksekusi melalui lembaga parate eksekusi. Kemudahan dalam pelaksanaan eksekusi ini tidak semata-mata monopoli jaminan fidusia karena dalam gadai pun dikenal lembaga serupa. Pasal 29 Undang-Undang Fidusia menyatakan bahwa apabila debitor atau pemberi fidusia cidera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara :

a. Pelaksanaan titel eksekutorial

Melalui pelelangan umum atas dasar pelaksanaan titel eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Bank (penerima fidusia) dapat langsung melaksanakan eksekusi melalui pelelangan umum (lewat pejabat lelang swasta) atas objek jaminan fidusia. Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial sama seperti putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, namun Sertifikat Jaminan Fidusia bukan merupakan atau pengganti dari putusan pengadilan, yang jelas, walaupun bukan putusan pengadilan, karena Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang “sama” dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka pelaksanaan eksekusi objek Jaminan Fidusia berdasarkan grosse Sertifikat Jaminan Fidusia atau dengan titel eksekutorial Sertifikat Jaminan Fidusia mengikuti pelaksanaan suatu putusan pengadilan.65

Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia ,karena dibubuhi irah-irah dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, mempunyai kekuatan eksekutorial. Sertifikat Jaminan Fidusia tersebut

65


(45)

dengan sendirinya dapat dieksekusi tanpa menunggu flat eksekusi dari pengadilan, sebab kekuatannya sama dengan sebuah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Atas dasar ini, penerima fidusia dengan sendirinya dapat mengeksekusi benda yang dijadikan sebagai objek Jaminan Fidusia jika debitor atau pemberi fidusia cidera janji, tanpa harus menunggu adanya surat perintah (putusan) dari pengadilan.66

b. Penjualan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan.

c. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia, jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.

Prinsipnya adalah bahwa penjualan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia harus melalui pelelangan umum, karena dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi. Namun demikian dalam hal penjualan melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi yang menguntungkan baik pemberi fidusia ataupun penerima fidusia, maka dimungkinkan penjualan di bawah tangan asalkan hal tersebut disepakati oleh pemberi fidusia dan penerima fidusia dan syarat jangka waktu pelaksanaan penjualan tersebut dipenuhi. Namun khusus untuk point c , pelaksanaan penjualan tersebut dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi fidusia dan penerima fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan.67

1. Menurut UU No.42 Tahun 1999

Pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia diatur di dalam pasal 29 sampai dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Salah satu cara eksekusi terhadap benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara pelaksanaan titel eksekutorial. Sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan

66

Racmadi Usman,Op.Cit,Hal. 234.

67


(46)

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sehingga ketika debitor cidera janji, kreditor dengan menggunakan sertifikat jaminan fidusia tersebut langsung dapat melaksanakan eksekusi tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat, para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.

Pasal 30 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia : Pemberi Fidusia wajib menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia. Penjelasan : Dalam hal Pemberi Fidusia tidak menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan, Penerima Fidusia berhak mengambil Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang.

Pasal 31 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia: Dalam hal Benda yang menjadi objek Jamiman Fidusia terdiri atas benda perdagangan atau efek yang dapat dijual di pasar atau di bursa, penjualannya dapat dilakukan di tempat-tempat tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 32 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia : Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 31, batal demi hukum. Pasal 33 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia : Setiap janji yang memberi kewenangan kepada Penerima Fidusia untuk memiliki Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia apabila debitor cidera janji, batal demi hukum.

Pasal 34 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia : (1) Dalam hal basil eksekusi melebihi nilai penjaminan, Penerima Fidusia wajib


(47)

mengembalikan kelebihan tersebut kepada Pemberi Fidusia. (2) Apabila basil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang debitur tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar.

Dari pengaturan pasal-pasal di atas, maka dapat diiihat bahwa eksekusi Jaminan Fidusia dapat dilakukan melalui cara-cara, antara lain : Eksekusi langsung dengan titel eksekutorial yang berarti sama kekuatannya dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Eksekusi ini dibenarkan oleh Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jarninan Fidusia karena menurut pasal 15 ayat (2) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, sertifikat Jaminan Fidusia menggunakan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang berarti kekuatannya sama dengan kekuatan putusan pengadilan yang bersifat tetap. Irah-irah ini memberikan titel eksekutorial dan berarti akta tersebut tinggal dieksekusi tanpa harus melalui suatu putusan pengadilan.

Karena itu, yang dimaksud dengan eksekusi adalah eksekusi atas sebuah akta seperti mengeksekusi suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan pasti, yakni dengan cara meminta fiat dari ketua pengadilan dengan cara memohon penetapan dari ketua pengadilan untuk melakukan eksekusi. Ketua pengadilan akan memimpin eksekusi sebagaimana dimaksud dalam HIR. Eksekusi terhadap barang tersebut dapat dilakukan dengan cara penjualan di pasar atau bursa sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk pasar dan bursa tersebut sesuai dengan maksud pasal 31 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Meskipun Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia tidak menyebutkan eksekusi lewat gugatan ke pengadilan, tetapi tentunya pihak kreditor dapat menempuh prosedur eksekusi biasa lewat gugatan ke pengadilan. Sebab, keberadaan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dengan model-model eksekusi khusus tidak untuk meniadakan hukum acara yang umum. Tidak ada indikasi sedikit pun dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia yang bertujuan meniadakan ketentuan hukum


(48)

acara umum tentang eksekusi umum lewat gugatan ke pengadilan negeri yang berwenang.68

Pada saat ini lembaga jaminan fidusia telah mendapat pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dalam undang-undang tersebut telah diatur ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dan ditaati dalam melakukan perjanjian jaminan fidusia, termasuk diantaranya adalah ketentuan yang mewajibkan untuk mendaftarkan obyek jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia (Pasal 11 ayat (1) jo. Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999).

Sejak diundangkan pada tanggal 30 September 1999, dalam praktek pemberian kredit dengan jaminan fidusia yang seharusnya mengacu pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia ternyata masih banyak terjadi pelanggaran, sebagai salah satu contohnya adalah masih banyak pihak bank maupun lembaga pembiayaan (finance

Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 sudah mengatur bahwa benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan. Terhadap jaminan fidusia yang tidak didaftarkan maka ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia tidak berlaku, dengan kata lain untuk berlakunya ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia maka harus dipenuhi bahwa benda jaminan fidusia itu didaftarkan. Undang-undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (UUJF) mengikuti cara eksekusi barang jaminan yang digunakan oleh UU Hak Tanggungan yaitu memberikan alternatif eksekusi barang jaminan fidusia melalui penjualan secara lelang da penjualan di ) yang tidak mendaftarkan obyek jaminan fidusia ke Kantor Pendaftaran Fidusia.

68

Herowati Poesoko, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan, (Yogyakarta : Laksbang Pressindo, cetakan II, 2008), hal. 125.


(49)

bawah tangan. Eksekusi jaminan fidusia menurur UUJF sebenarnya hanya mengenal dua cara eksekusi meskipun perumusannya seakan-akan menganut tiga cara. Kedua cara tersebut yaitu: Melaksanakan titel eksekusi dengan menjual objek jaminan fidusia melalui lelang atas kekuasaan penerima fidusia sendiri dengan menggunakan Parate Eksekusi. Arti parate eksekusi menurut kamus hukum, ialah pelaksanaan yang langsung tanpa melewati proses (pengadilan atau hakim).

Arti parate eksekusi yang diberikan doktrin adalah kewenangan untuk menjual atas kekuassaan sendiri apa yang menjadi haknya, dalam arti tanpa perantaraan hakim, yang ditujukan atas sesuatu barang jaminan, tanpa harus minta fiat dari ketua pengadilan.Di sinilah letak inkonsistensi dari pasal-pasal tersebut di atas, pengertian Parate Eksekusi di dalam UUJF kurang lebih merupakan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang atau oleh putusan pengadilan oleh salah satu pihak untuk melaksanakan sendiri secara paksa isi perjanjian atau putusan hakim manakala pihak yang lainnya cidera janji.69

Namun kemudian, dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b merumuskan bahwa penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum. Penjelasan Pasal 15 ayat (3) menyatakan bahwa, “Dalam undang-undang ini dipandang perlu diatur secara khusus tentang eksekusi jaminan fidusia melalui lembaga eksekusi.” Jika debitor

Pasal 15 ayat (2) dan (3) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a dinyatakan bahwa sertipikat jaminan fidusia memiliki title eksekusi yang memiliki kekuatan hukum tetap yang setara dengan putusan pengadilan.

69


(50)

cidera janji, maka pemegang jaminan fidusia dapat melaksanakan janji tersebut dengan menjual lelang atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi). Pemahaman dari penjelasan Pasal 15 ayat (3) terhadap lembaga parate eksekusi, menunjukkan kehendak pembentuk undang-undang melalui penafsiran otentik untuk mengatur lembaga parate eksekusi, maksudnya pengaturan lembaga parate eksekusi masuk dalam ranah Hukum Acara Perdata. Karena eksekusi barang jaminan fidusia dalam UUJF meniru eksekusi Hak Tanggungan pada UUHT, maka kasus yang dihadapi sama dengan inkonsistensi Pasal 6 dan Penjelasan Pasal 9 UUHT. Ada unsur yang sama dalam eksekusi Hak Tanggungan dengan eksekusi jaminan fidusia, yaitu:

1. Debitor cidera janji;

2. Kreditur penerima jaminan mempunyai hak menjual objek jaminan atas kekuasaan sendiri;

3. Syarat penjualan pelelangan umum;

4. Hak kreditur mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan.

Sebelum ada UUJF, eksekusi barang bergerak yang didikat dengan fidusia pada umumya tidak melalui lelang tetapi dengan mengefektifkan kuitansi kosong yang sebelumnya telah ditandatangani oleh pemilik barang jaminan atau debitor. Pada waktu yang lalu, mungkin tidak ada eksekusi jaminan fidusia yang melalui pelelangan umum. Oleh karena itu, seyogyanya eksekusi barang jaminan fidusia yang telah mempunyai titel eksekusi tidak melalui pelelangan umum. Karena secara umum, pelelangan umum diperlukan suatu keputusan ketua Pengadilan untuk melaksanakan lelang. Sehingga menyimpang dari ketentuan titel eksekusi


(1)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan, sebagai berikut :

1. Prosedur pendaftaran fidusia yakni mengisi data diri pemohon dari showroom yang dimaksud. Data-data kendaraan ini diisi guna sebagai salah satu pertimbangan perusahaan dalam hal menyetujui atau menolak permohonan pembiayaan. Di samping itu mengisi data-data yang diharuskan dalam formulir aplikasi, pemohon juga harus melengkapi dokumen-dokumen lain yang tercantum di dalam formulir aplikasi pembiayaan, Lalu dilanjutkan dengan survei atas nama domisili dan memastikan alamat koresponden serta data yang diberikan oleh calon debitor, penandatanganan kontrak perjanjian pembiayaan antara debitor dengan PT. U Finance dilakukan di atas kertas bermaterai.

2. Jaminan fidusia yang tidak didaftarkan adalah pelanggan tetap bertanggung

jawab untuk membayar sisa hutangnya itu apabila hasil penjualan kendaraan

tersebut tidak mencukupi, PT. U Finance dapat menarik/mengamankan

kendaraan dalam hal terjadi pada pelanggan.

3. Dengan adanya lembaga jaminan fidusia, yang memungkinkan benda jaminan tetap berada pada kekuasaan di debitor/sipemilik barang secara constitutum possessorium, memungkinkan disalahgunakan dan para kreditor lain dapat dirugikan. Walaupun hal ini hanya mungkin terjadi dalam hal pemberian


(2)

jaminan fiducia bertikat jahat dimungkinkan : Fidusia ulang; Benda yang di fidusiakan dijual pada pihak ketiga; Debitor tidak memenuhi kewajiban.

B. Saran

Dari hasil kesimpulan di atas, maka ada beberapa saran penulis yang perlu sampaikan yaitu :

1. Dalam prosedur dan penyaluran kredit atas kendaraan bermotor sebagai jaminan fidusia di PT. U Finance diharapkan agar selalu memperhatikan dan menerapkan prinsip kehati-hatian dan melakukan analisa kredit secara cermat, teliti, dan mendalam dari berbagai aspek berdasarkan prinsip-prinsip yang berlaku secara universal dalam pembiayaan. Hal ini untuk menjaga atau menghindari atau mengantisipasi munculnya kredit yang akan bermasalah di kemudian hari.

2. Upaya PT. U Finance dalam mengambil atau menarik kendaraan bermotor yang menjadi objek jaminan fidusia yang dijual pada pihak ketiga diharapkan terlebih dahulu menjelaskan dengan pendekatan yang baik kepada debitor dan pihak ketiga tersebut mengenai permasalahan hukumnya . Dengan pendekatan yang memegang prinsip etika moral diharapkan akan memberi dampak yang positif dan membuat debitor serta pihak ketiga menyadari akibat hukumnya sehingga akan mempermudah penarikan objek jaminan fidusia untuk selanjutnya eksekusi melalui pelelangan umum ataupun dijual dibawah tangan guna pelunasan hutang pihak debitor.

3. Untuk para Debitur seyogyanya beritikad baik untuk menyerahkan jaminan kepada kreditur Penerima Fidusia manakala sudah wanprestasi karena tidak mampu mengembalikan pinjaman dan tidak melakukan upaya-upaya yang


(3)

menghambat eksekusi dengan mengajukan tuntutan pidana, mengajukan gugatan perdata yang semata-mata hanya bertujuan untuk mengulur waktu memenuhi kewajibannya kepada kreditur.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Abdulkadir, Muhammad, Jaminan dan Fungsinya, Penerbit Gema Insani Pers, Bandung, 1993.

Affandi, Ateng dan Wahyu Affandi, Tentang melaksanakan Putusan Hakim Perdata, Alumni, Bandung, 1983.

Dja’is, Mochammad, Hukum Eksekusi Sebagai wacana baru dibidang hukum, disampaikan dalam rangka Dies Natalis Ke-43, Fakultas Hukum, 2000, Undip.

Djazuli, Bachar. Eksekusi Putusan Perkara Perdata Segi Hukum dan Penegakan Hukum. Akademika Presindo, Jakarta, 2005.

Fuady, Munir, Jaminan Fidusia, Cetakan kedua refisi,Bandung : Citra Aditya, 2000.

Hamzah, A. & Senjun Manulung. 1997. Lembaga Fidusia dan Penerapannya di Indonesia, Indhill-Co, Jakarta.

Harahap, M.,Yahya, Remi, Sutan dan Darus, Mariam. Prinsip-prinsip Hukum Dalam Sita Jaminan. Bisnis Indonesia, 2001.

Harahap. M., Yahya, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta : Sinar Grafika, 2005.

H.S., Salim., Perkembangan Hukum Jaminan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Hoey. Oey Tiong, Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984.

Husni Hasbullah, Frieda, 2002, Hukum Kebendaan : Hak-Hak Yang Memberi Jaminan, Jilid II, Ind-Hill Co, Jakarta.

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia,Yogyakarta : Liberty, 1998.

Mr. W.M. Klyn. Ikhtisar Hukum Benda Belanda.Suatu Karangan dalam Compedum Hukum Belanda's--Graavenhage. Yayasan Kerjasama llmu Hukum Indonesia-Belanda. 1978.


(5)

Panggabean, HP. Makalah Efektivitas Penegakan Hukum Terhadap Lembaga Fidusia, Bandung, 2000.

Patrik, Purwahid dan Kashadi, Hukum Jaminan Edisi Revisi Dengan UUHT, Uneversitas Diponegoro, Semarang, 2008.

Satrio, J., Hukum Jaminan, Hak-hak Kebendaan,Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991.

Sibarani, Bachtiar, Perate Eksekusi dan Paksa Badan, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 15, September 2001.

Supraptomo, Heru. Masalah Eksekusi Jaminan Fidusia dan Implikasi Lembaga Fidusia dalam Praktek Perbankan. Makalah Lokakarya Fidusia dan Permasalahannya. Jakarta, 2006.

Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Bandung : Mandar Maju, 1989.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, 1986.

Soemitro, Ronny Hanitijo, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2004.

Soemowidjoyo, Soetarwo, Eksekusi oleh PUPN, Pusat Pendidikan dan Latihan Keuangan, Balai Pendidikan dan Latihan Keuangan, Departemen Keuangan Republik Indonesia, 1995.

Soedewi, Sri Masjchoen Sofwan,, Hukum jaminan di Indonesia. Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan. Jakarta. Badan Pembinaan Hukum Nasional. 1977.

Soedewi, Sri Masjchoen Sofwan, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya Fidusia Di Dalam Praktek dan Pelaksanaannya Di Indonesia.Yogyakarta: Liberty,1975.

Soedewi, Sri Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia. Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, 1980, Liberty, Yogyakarta. Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan,Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Sutrisno, Hadi, Metodologi Riset Nasional. Jakarta: Rineka Cipta, 2001.

Syahrani, H. Riduan, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2000.


(6)

Tumbuan, Fred, Mencermati Pokok-Pokok RUU Jaminan Fidusia, Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, 1999.

Widyadharma, Ignatius Ridwaan, Hukum Jaminan Fidusia, Semarang : Balai Penerbit Universitas Diponegoro, 1999.

Wulan S., Retno dan Iskandar O, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2001.

II. Peraturan dan Perundang-undangan 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

2. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Jakarta, 2000, Penerbit Arkola Surabaya, 2001

3. Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia Dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.

III. Internet

diakses

tanggal 3 Desember 2012

diakses tanggal 3 Desember 2012

diakses

tanggal 4 Desember 2012

diakses tanggal 4 Desember 2012

diakses


Dokumen yang terkait

Kajian Hukum Atas Lelang Terhadap Barang Jaminan Fidusia Kendaraan Bermotor Pada Perusahaan Leasing (Studi Pada PT. Summit Oto Finance Cabang Medan)

11 159 147

Eksekusi Di Bawah Tangan Objek Jaminan Fidusia Atas Kredit Macet Kepemilikan Mobil Di Lembaga Keuangan Non-Bank PT. Batavia Prosperindo Finance Cabang Medan

2 115 132

Tinjauan Atas Pelaksanaan Penghapusan Jaminan Fidusia (Studi Pada Lembaga Pendaftaran Fidusia Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Propinsi Aceh)

1 60 128

PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN KREDIT KENDARAAN BERMOTOR DENGAN JAMINAN FIDUSIA PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN KREDIT KENDARAAN BERMOTOR DENGAN JAMINAN FIDUSIA (Studi kasus di PT. Mandiri Tunas Finance).

0 2 10

PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN KREDIT KENDARAAN BERMOTOR DENGAN JAMINAN FIDUSIA PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN KREDIT KENDARAAN BERMOTOR DENGAN JAMINAN FIDUSIA (Studi kasus di PT. Mandiri Tunas Finance).

1 11 30

PENDAHULUAN PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN KREDIT KENDARAAN BERMOTOR DENGAN JAMINAN FIDUSIA (Studi kasus di PT. Mandiri Tunas Finance).

0 1 13

Eksekusi Obyek Jaminan Fidusia Yang Tidak Didaftarkan Dalam Lembaga Pembiayaan Doc232

0 0 1

Kajian Hukum Atas Lelang Terhadap Barang Jaminan Fidusia Kendaraan Bermotor Pada Perusahaan Leasing (Studi Pada PT. Summit Oto Finance Cabang Medan)

0 5 70

Kajian Hukum Atas Lelang Terhadap Barang Jaminan Fidusia Kendaraan Bermotor Pada Perusahaan Leasing (Studi Pada PT. Summit Oto Finance Cabang Medan)

0 1 19

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Eksekusi Jaminan Fidusia Atas Kendaraan Bermotor oleh Lembaga Pembiayaan (Finansial) (studi kasus pada kantor PT. U Finance)

0 0 10