Dalam Peraturan Kapolri tersebut, untuk melaksanakan eksekusi atas jaminan fidusia dimaksud harus memenuhi persyaratan tertentu, yaitu:
1. ada permintaan dari pemohon; 2. objek tersebut memiliki akta jaminan fidusia;
3. objek jaminan fidusia terdaftar pada kantor pendaftaran fidusia; 4. objek jaminan fidusia memiliki setifikat jaminan fidusia
5. jaminan fidusia berada di wilayah negara Indonesia. Mengenai proses pengamanan eksekusi atas jaminan fidusia ini tercantum
dalam pasal 7 Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2011, 1. Permohonan pengamanan eksekusi tersebut harus diajukan secara tertulis oleh
penerima jaminan fidusia atau kuasa hukumnya kepada Kapolda atau Kapolres tempat eksekusi dilaksanakan.
2. Pemohon wajib melampirkan surat kuasa dari penerima jaminan fidusia bila permohonan diajukan oleh kuasa hukum penerima jaminan fidusia.
Mengenai proses pengamanan eksekusi atas jaminan fidusia ini tercantum dalam pasal 7 Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2011, dimana permohonan
pengamanan eksekusi tersebut harus diajukan secara tertulis oleh penerima jaminan fidusia atau kuasa hukumnya kepada Kapolda atau Kapolres tempat
eksekusi dilaksanakan. Pemohon wajib melampirkan surat kuasa dari penerima jaminan fidusia bila permohonan diajukan oleh kuasa hukum penerima jaminan
fidusia.
3. Menurut Hukum Acara
Hukum acara mengatur bagaimana cara dan siapa yang berwenang menegakan hukum materiil dalam hal apabila terjadi pelanggaran terhadap hukum
materiil. Hukum acara perdata secara umum yaitu peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata melalui hakim di pengadilan
sejak diajukan gugatan, dilaksanakanya gugatan, sampai pelaksanaan putusan hakim.
Hukum acara perdata ialah rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara
bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalanya peraturan hukum perdata.
71
Hukum acara perdata j
uga disebut hukum perdata formil, yaitu semua kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil.
72
Hukum acara perdata ialah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantara hakim.
Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Hukum acara perdata
yang mengatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutuskan dan pelaksanaan dari pada putusanya. Tuntutan hak dalam hal ini
tidak lain adalah tindakan yang bertujuan memperolah perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting” atau tindakan
menghakimi sendiri.
73
Di dalam hukum acara perdata, kepastian akan kebenaran peristiwa yang diajukan di persidangan itu sangat tergantung kepada pembuktian yang dilakukan
oleh para pihak yang bersangkutan. Sebagai konsekuensinya bahwa kebenaran itu baru dikatakan ada atau tercapai apabila terdapat kesesuaian antara kesimpulan
71
Muhammad Abdulkadir, Hukum Acara Perdata, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hlm 12
72
Retno Wulan S dan iskandar O, Hukum acara perdata dalam teori dan praktek, 2001, hlm 1- 2.
73
Syahrani, H. Riduan, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hlm 10
hakim hasil proses dengan peristiwa yang telah terjadi. Sedangkan apabila yang terjadi justru sebaliknya, berarti kebenaran itu tidak tercapai.
74
Setelah pemeriksaan suatu perkara di persidangan dianggap selesai dan para pihak tidak mengajukan bukti-bukti lain, maka hakim akan memberikan
putusannya. Putusan yang dijatuhkan itu diupayakan agar tepat dan tuntas. Secara objektif putusan yang tepat dan tuntas berarti bahwa putusan tersebut akan dapat
diterima tidak hanya oleh penggugat akan atetapi juga oleh tergugat. Putusan pengadilan semacam itu penting sekali, terutama demi pembinaan
kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan. Oleh karena itu hakim dalam menjatuhkan putusan akan selalu berusaha agar putusannya kelak
seberapa mungkin dapat diterima oleh masyarakat, dan akan berusaha agar lingkungan orang yang akan dapat menerima putusannya itu seluas
mungkin. Apabila harapan itu terpenuhi, maka dapat diketahui dari indikatornya antara lain masing-masing pihak menerima putusan tersebut
dengan senang hati dan tidak menggunakan upaya hukum selanjutnya banding maupun kasasi. Seandainya mereka masih menggunakan upaya-
upaya hukum banding dan kasasi, itu berarti mereka masih belum dapat menerima putusan tersebut secara suka rela sepenuhnya.
75
Digunakannya hak-hak para pihak berupa upaya hukum banding dan kasasi, bukan berarti bahwa putusan peradilan tingkat pertama itu keliru. Secara
yuridis, setiap putusan itu harus dianggap benar sebelum ada pembatalan oleh pengadilan yang lebih tinggi asas res judicata pro veritate habetur. Ketentuan
ini dimaksudkan untuk menjamin adanya kepastian hukum, bukan berarti kebenaran peristiwa yang bersangkutan telah tercapai dan persengketaan telah
terselesaikan sepenuhnya dengan sempurna. Akan tetapi secara formal harus diterima bahwa dengan dijatuhkannya suatu putusan oleh hakim atas suatu
sengketa tertentu antara para pihak, berarti untuk sementara sengketa yang bersangkutan telah selesai. Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa di dalam
74
Harahap, M. Yahya, Op.Cit, hlm 7
75
Harahap, M. Yahya, Ibid, hlm 27
proses perkara perdata di persidangan yang dicari oleh hakim adalah kebenaran peristiwa yang ditemukan para pihak yang bersangkutan. Untuk merealisasikan
hal tersebut, hakim tidak boleh mengabaikan apapun yang ditemukan para pihak yang berperkara. Dalam kondisi seperti ini nyata sekali bahwa dalam perkara
perdata hakim bersifat pasif. Artinya ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak
yang berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat
tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
76
Hukum acara perdata sebagai salah satu sistem bertujuan untuk menyelesaikan pertentangan kepentingan yang terjadi dalam masyarakat.
Oleh karena itu maka sub sistem pembuktian merupakan keseluruhan ketentuan tentang pembuktian yang tersusun secara teratur yang satu sama
lain saling kait mengkait, dan bertujuan untuk dapat menentukan terbukti tidaknya suatu peristiwa tertentu yang dikemukakan oleh para pihak di
persidangan. Dalam hukum acara perdata pada prinsipnya pemeriksaan perkara dilakukan dalam suatu ruang sidang yang khusus ditentukan untuk
itu. Sidang itu pun harus dinyatakan terbuka untuk umum, kecuali undang- undang melarangnya.
77
Sifat terbukanya sidang untuk umum ini merupakan syarat mutlak, namun ada pembatasannya yaitu apabila undang-undang menentukan lain atau
berdasarkan alasan penting menurut hakim yang dimuat dalam berita acara atas perintahnya.
78
Di dalam kehidupan bermasyarakat tiap individu mempunyai kepentingan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Adakalanya kepentingan mereka
itu saling bertentangan yang dapat menimbulkan suatu sengketa. Karena hal itu dirasakan perlu mengadakan tata tertib, yaitu dengan membuat
ketentuan atau kaidah hukum yang harus ditaati oleh setiap masyarakat. Perlu ditegaskan bahwa yang dimaksud kepentingan itu adalah hak-hak
76
Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970.
77
Susianto, Retno Wulan dan Iskandar Oriep Kartawinata, Op.Cit, hlm 14
78
Pasal 17 ayat 1 UU Nomor 14 tahun 1970, dan pasal 29 Reglement op de Rechterlijke Organisatie in het beleid der Justitie in Indonnesie RO S. 1847 Nomor 23. Lihat Sudikno
Mertokusumo, Hukum Acara... Op. cit., halaman 99.
dan kewajiban perdata, yang diatur dalam hukum perdata materiil. Hukum acara perdata juga disebut sebagai hukum perdata formil, yaitu
kesemuanya kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak dan kewajiban perdata sebagaimana yang
diatur dalam hukum perdata materiil.
79
Dalam hukum acara perdata, orang yang merasa bahwa haknya dilanggar disebut penggugat sedang bagi yang melanggar disebut tergugat. Apabila banyak
penggugat atau tergugat maka mereka disebut penggugat atau tergugat I, penggugat atau tergugat II, dst. Menurut Yurispudensi, gugatan cukup ditujukan
kepada yang secara nyata menguasai barang sengketa putusan MA 1 Agustus 1983 No. 1072 KSip1982. Hukum acara perdata mula-mulanya bersifat
mengatur, namum apabila sudah digunakan maka sifatnya berubah menjadi memaksa.
80
Dalam Hukum Acara Perdata diatur tentang upaya paksa untuk merealisasi hak penggugat yang menang kreditor apabila tergugat yang dikalahkan debitor
tidak mau secara suka rela memenuhi kewajibannya. Upaya paksa untuk merealisasi hak tersebut dapat langsung mewujudkan hak penggugat yang
menangkreditor, dapat pula berupa dorongan agar tergugat yang kalah debitor segera memenuhi kewajibannya.
Upaya paksa yang hasilnya langsung mewujudkan hak penggugat yang menang kreditor disebut eksekusi realisasi langsung, dan yang hasilnya berupa
dorongan agar tergugat yang kalahdebitor segera memenuhi kewajibannya dinamakan eksekusi realisasi tidak langsung. Eksekusi realisasi langsung dalam
HIR terdiri dari eksekusi membayar sejumlah uang Pasal 195–Pasal 206 HIR, eksekusi melakukan perbuatan [Pasal 225, 228 2 juncties Pasal 195-206 HIR],
79
Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm 56
80
http:andriyrock.blogspot.com201102hukum-acara-perdata.html diakses tanggal 4 Desember 2012
eksekusi dengan pertolongan hakim atas grosse akta hipotek dan grosse surat utang notariil Pasal 224 HIR dan eksekusi riil obyek lelang Pasal 200 11 HIR.
Eksekusi realisasi tidak langsung berupa gijzeling sandera diatur dalam Pasal 209-Pasal 223 HIR.
81
Dalam lapangan Hukum Perdata ketentuan tentang upaya paksa untuk merealisasi hak atau sanksi ditemukan tersebar dalam berbagai
peraturan Hukum Materiel Perdata dan Hukum Ajektif Perdata serta ketentuan Hukum Acara Perdata dengan obyek eksekusi upaya paksa untuk merealisasi hak
atau sanksi tidak hanya putusan hakim. Walaupun demikian, pada saat ini para Sarjana Hukum Perdata hanya mengakui bahwa eksekusi adalah pelaksanaan
putusan hakim.
82
Definisi tersebut tidak tepat, karena sesuai dengan obyek eksekusi yang diatur dalam Hukum Perdata Materiil, Hukum Perdata Ajektif maupun
Hukum Acara Perdata. HIR sebagai sumber utama Hukum Acara Perdata di Jawa dan Madura mengatur obyek eksekusi tidak hanya putusan hakim,
melainkan meliputi juga grosse akta hipotek dan grosse surat utang notariil Pasal 224 HIR, selain itu HIR mengatur juga eksekusi realisasi tidak
langsung dalam Pasal 209-223. Akibat dari pola pikir bahwa eksekusi adalah pelaksanaan putusan hakim, adalah terjadi ketidakkonsistenan antara
definisi eksekusi dengan substansi eksekusi. Sebagai contoh mengenai hal ini adalah pendapat Sudikno Mertokusumo, yang di dalam definisi tentang
81
Mahkamah Agung dalam Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1964 dan Nomor 4 Tahun 1975 menginstruksikan kapada ketua pengadilan negeri dan hakim untuk tidak menerapkan
gijzeling sandera sebagaimana diatur datum Pasal 209-223 HIR Pasal 242-258 RBg karena dinilai bertentangan dengan perikemanusiaan. Kedua surat edaran tersebut dicabut dengan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan liffsdwang- bahasa Belanda. improsenment of civil debt-bahasa Inggris. Menurut Peraturan Mahkamah Agung
tersebut, paksa badan bersifat universal dun dapat dikenakan terhadap debitor yang mampu membayar utang-utangnya namun tidak mau memenuhi kewajibannya. Debitor yang demikian ini
telah melanggar hak asasi manusia yang nilainya lebih besar daripada pelaksanaan paksa badan alas dirinya. Mochammad Dja’is dan RMJ Koosmargono. Membaca dan Mengerti HIR, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. 2006: 269-270
82
a. Wirjono Prodjodikoro. Cetakan keenam 1975. Hukum Acara Perdata di Indonesia. H. 132. Sumur Bandung. Bandung.
b. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata. 1989. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek. H. 122. Mandar Maju, Bandung.
c. Subekti. 1989. Hukum Acara Perdata. H. I 28. BPHN Bina Cipta. Jakarta. d. Sudikno Mertokusumo. Edisi ketiga 1988. Hukum Acara Perdata Indonesia. H 201.
Liberty, Yogyakarta. e. Supomo. Cetakan kelima. 1972. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. H. 137.
Pradnya Paramita. Jakarta.
eksekusi menyebut bahwa obyek eksekusi adalah putusan hakim, namun dalam uraian lanjut tentang jenis-jenis pelaksanaan putusan dan apa yang
dapat dilaksanakan disebutkan bahwa di samping putusan hakim, obyek eksekusi meliputi pula grosse akta hipotek dan Surat utang notariil serta
jaminan gadai.
83
4.
Eksekusi menurut HIRRBG
HIR Herziene Inlandsch Reglement dan RBg Rechtsreglement voor de Buitengewesten adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi orang
Bumiputera sehingga dibuat sedemikian rupa sesuai kondisi masyarakat Bumiputera orang-orang Indonesia.
Sebagai mana dalam Pasal 120 HIRPasal 144 RBg diterangkan bahwa gugatan perdata dapat diajukan tertulis maupun diajukan secara lisan, dan dalam
HIR dan RBg tidak pula menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi surat gugatan. Hal ini didasarkan pada kenyataan saat HIR dan RBg dibuat, orang-
orang Indonesia Bumiputera banyak yang belum pandai membaca dan menulis. Oleh karena itu, jika kalau ditentukan gugatan harus dibuat dalam bentuk tertulis,
akan sangat banyak orang Indonesia yang tidak dapat menuntut dan mempertahankan hak perdatanya, hal mana jelas bertentangan dengan rasa
keadilan. Berbeda dengan sistem yang dianut RvBRv Hukum Acara Perdata yang
berlaku untuk golongan Eropa di Raad van Justitie, terdapat ketentuan tentang syarat-syarat suatu surat gugatan.
84
Kelanjutan sita eksekusi adalah penjualan lelang. Hal itu ditegaskan Pasal 200 ayat 1 HIR, Pasal 216 ayat 1 RBG yang berbunyi : ”penjualan barang yang
83
Ibid. hlm 202-205
84
http:lawfile.blogspot.com201106mengapa-hir-dan-rbg-tidak-mengatur.html diakses tanggal 4 Desember 2012
disita dilakukan dengan bantuan kantor lelang, atau menurut keadaan yang akan dipertimbangkan Ketua, oleh orang yang melakukan penyitaan itu atau orang lain
yang cakap dan dapat melakukan penyitaan itu atau orang lain yang cakap dan dapat dipercaya, yang ditunjuk oleh Ketua untuk itu dan berdiam di tempat di
mana penjualan itu harus dilakukan atau di dekat tempat itu”. Jadi setelah sita eksekusi dilaksanakan, undang-undang memerintahkan
penjualan barang sitaan. Cara penjualannya dengan perantaraan kantor lelang, dan penjualannya disebut penjualan lelang. Dengan demikian, berdasarkan pasal 200
ayat 1 HIR, dalam pelaksanaan lelang, Ketua Pengadilan wajib meminta intervensi kantor lelang, dalam bentuk menjalankan penjualan barang sitaan
dimaksud. Terhadap prosedur eksekusi jaminan atas hak tanggungan H.T berdasarkan Peraturan Lelang LN 1908-215 jo. Pasal 200 HIR, yaitu:
1. Penjualan di muka umum 2. Dilakukan dengan perantara atau bantuan kantor lelang.
3. Cara penjualan dengan penawaran meningkat atau menurun, dan 4. Bentuk penawaran dilakukan secara tertulis.
Sita eksekusi atau executoriale beslag merupakan tahap lanjutan dari peringatan dalam proses eksekusi pembayaran sejumlah uang. Tata cara dan
syarat-syarat sita eksekusi diatur dalam pasal 197 HIR atau pasal 208 RBG.
5. Eksekusi Menurut KUH Perdata