Positioning Iklan Televisi Melalui Reproduksi Sosial : Kasus Iklan Sampoerna A Mild

(1)

POSITIONING IKLAN TELEVISI MELALUI REPRODUKSI

SOSIAL : KASUS IKLAN SAMPOERNA A MILD

MARWAN MAHMUDI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Positioning Iklan Televisi melalui Reproduksi Sosial : Kasus Iklan Sampoerna A Mild adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2011

Marwan Mahmudi


(3)

ABSTRACT

MARWAN MAHMUDI. Positioning of Television Advertising Through Social Reproduction : Sampoerna A Mild Case of Ad. Under direction of AIDA VITAYALA S. HUBEIS and MUSA HUBEIS

Television ads contained the social reproduction of the symbol and certain ideas that typically existed in society. Television advertising of cigarettes Sampoerna A Mild presented a message by positioning its products through the establishment and determination of social reproduction were distinct and different from similar products. The purpose of this study was to find out more in-depth process of social reproduction made by the Sampoerna A Mild ad creator and process of formation and positioning determination through social reproduction in television advertising of cigarettes Sampoerna A Mild. The methodology of this study was a qualitative paradigm using a case study design. Research location in Jakarta. When the study was conducted from June 2008 to July 2009. The study's findings at the level of advertisers and creators of the ad showed the process of formation and positioning determination Sampoerna A Mild cigarettes through social reproduction in television advertising through four positioning schemes, namely : first, initial stage positioning scheme lifestyle a successful modern society and macho. Second, corporate image positioning transition scheme. Third, new attendance scheme positioned as low tar and nicotine products. Fourth, the scheme plenary position of trust given product. Formation process of positioning Sampoerna A Mild cigarettes made through 2 stages, namely : (a) rational process stage undertaken to bear the big idea concept. This phase included analysis of product data and characters of target audiences such as psychographics, demographics and lifestyle, (b) magic process stage carried out as the embodiment big idea into the idea that various kinds. The study's findings at the level of ad text indicated, the first version of the Man Waiting Stamp Seal on the ad implied unproductive bureaucracy and contradictory to the reform era. Second, the ad version of Flea On the Sofa having meaning seat House of Representatives who were old and fat, not productive, full of promises and corruption. The study's findings on the individual level showed different interpretations between the product with the text ad. Products and text ads were funny-interpreted as a reminder that persiflage and A Mild were the cigarettes that contain nicotine and low tar. Formation of A Mild cigarettes positioning through television advertising was the result of social reproduction in the form of socio-political situation of contemporary nation constructed either by advertisers, ad creator, ad text, and individuals with over four positioning schemes. However, different interpretations occured in the individual level.


(4)

RINGKASAN

MARWAN MAHMUDI. Positioning Iklan Televisi Melalui Reproduksi Sosial: Kasus Iklan Sampoerna A Mild. Dibimbing oleh AIDA VITAYALA S. HUBEIS dan MUSA HUBEIS.

Iklan televisi memuat hasil reproduksi sosial dari simbol dan ide tertentu yang khas ada di masyarakat. Iklan televisi rokok Sampoerna A Mild menyajikan pesan dengan memposisikan produknya melalui pembentukkan dan penentuan reproduksi sosial yang khas dan berbeda dari produk sejenis. Tujuan penelitian adalah mengetahui lebih mendalam proses reproduksi sosial yang dilakukan pencipta iklan pada iklan Sampoerna A Mild dan proses pembentukkan dan penentuan positioning melalui reproduksi sosial dalam iklan televisi rokok Sampoerna A Mild.

Desain penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif digunakan untuk mengetahui fenomena sosial tertentu, namun tidak hanya terbatas pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi terhadap data. Hal tersebut dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman menyeluruh dan tuntas. Penelitian dikonstruksi melalui makna yang tercermin dalam realitas. Penelitian dilakukan melalui klasifikasi mengenai gejala sosial yang dipermasalahkan. Penyusunan hasil penelitian tentang realitas sosial yang kompleks dalam bentuk tampilan kalimat bermakna dan mudah dimengerti. Penelitian dilakukan di Jakarta selama empatbelas (14) bulan, yaitu Juni 2008 – Juli 2009, dengan pengumpulan data ditekankan pada aspek kontekstual, yaitu proses pembentukan dan penentuan positioning iklan rokok Sampoerna A Mild. Data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan informan kunci, yaitu orang kompeten, terlibat dan mengetahui banyak informasi dalam membentuk dan menentukan positioning rokok Sampoerna A Mild melalui iklan televisi. Informan kunci penelitian adalah orang yang pernah terlibat langsung dalam tim perencanaan iklan televisi rokok Sampoerna A Mild. Wawancara mendalam juga dilakukan terhadap informan untuk mengetahui proses decoding terhadap teks iklan. Data sekunder didapatkan dari kumpulan dokumen-dokumen dan artikel yang berkaitan dan mendukung penelitian. Analisis data dialogik atau dialektikal dilakukan untuk mengembangkan terjadinya dialog dan dialektika antara peneliti dan sumber data. Analisis dilakukan secara komprehensif, kontekstual dan multilevel dengan menempatkan peneliti sebagai aktivis/partisipan dalam proses transformasi sosial.

Hasil penelitian pada tingkatan pengiklan dan pencipta iklan menunjukkan proses pembentukkan dan penentuan positioning iklan rokok Sampoerna A Mild melalui reproduksi sosial dalam iklan televisi dengan empat (4) tahap skema positioning. Pertama, skema tahap awal memposisikan gaya hidup masyarakat moderen yang sukses dan macho. Rokok Sampoerna A Mild dikomunikasikan sebagai bagian dari gaya hidup masyarakat modern yang sukses dan macho. Tidak ada gambaran keunggulan produk, tetapi lebih kepada citra yang disandangnya. Cara ini dilakukan karena keterbatasan-keterbatasan peraturan periklanan untuk jenis rokok, yang tidak boleh memperlihatkan orang sedang merokok. Pendekatan rokok Sampoerna A Mild yang demikian ternyata tidak menciptakan perbedaan karakternya dengan rokok-rokok lainnya.

Kedua adalah skema transisi memposisikan citra korporat. Skema ini dilakukan berdasarkan evaluasi pada skema pertama, yaitu melakukan perubahan positioning pada rokok Sampoerna A Mild. Kampanye bergerak kepada citra korporat dengan menampilkan serangkaian aktivitas kelompok Sampoerna yang sangat populer di mata masyarakat, yaitu foto kegiatan drum band oleh karyawan buruh pabrik Sampoerna yang mencapai sukses di Festival of Roses di Pasadena, Amerika Serikat. Terobosan ini


(5)

memperlihatkan upaya rokok Sampoerna A Mild untuk keluar dari pakem iklan-iklan pada umumnya, sehingga produksi dan penjualan rokok Sampoerna A Mild mulai bergerak naik.

Ketiga, skema kehadiran baru memposisikan rokok Sampoerna A Mild sebagai produk rendah tar dan nikotin. Skema ini lahir karena adanya kesadaran baru dari manajemen pengelola bahwa konsumen dapat didekati dengan realitas keunikan dan keunggulan produk. Keunikan rokok Sampoerna A Mild adalah pada kadar tar dan nikotin yang sangat rendah. Keunikan inilah yang akhirnya membawa pada slogan komunikasi cukup panjang usianya, yaitu: "How Low Can You Go." Upaya komunikasi yang sakti ini, mulanya diragukan sebagian orang bahwa komunikasi semacam itu tidak akan nyambung. Pasar membuktikan bahwa dengan gebrakan serius dan menyeluruh, ternyata konsumen dapat terbius dan bahkan mencintai produk tersebut. Akhirnya terciptalah pasar baru yang tanpa terduga berkembang luar biasa. Kehadiran baru rokok Sampoerna A Mild bersamaan dengan gerakan hidup sehat, yaitu memilih rokok rendah kadar tar dan nikotinnya.

Keempat, skema paripurna memposisikan kepercayaan yang diberikan produk. Posisi baru ini berkembang meyakinkan. Era kepercayaan terhadap nikotin dan tar yang rendah sudah tertancap di dalam benak khalayak. Rokok Sampoerna A Mild terus menyegarkan konsep komunikasinya yang tepat. Sejak awal tahun 1996 hadir konsep kampanye baru yang berusaha menyambung gaya hidup 'How Low Can You Go' lewat konsep "Bukan Basa Basi.” Dalam hal ini, rokok Sampoerna A Mild bermaksud menegaskan bahwa kepercayaan yang diberikan adalah bukan basa basi sebagai gambaran perilaku khalayak sasaran yang selalu berkomentar atau menyuarakan sejujur-jujur hati nuraninya ketika melihat situasi yang ada di dunia ini, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungannya.

Proses pembentukkan positioning rokok Sampoerna A Mild dilakukan melalui dua tahap, yaitu (a) tahap rational process hingga melahirkan konsep big idea. Tahap ini meliputi analisis data produk dan karakter target audiens seperti psikografis, demografis dan gaya hidup; (b) tahap magic process dilakukan sebagai pengejawantahan big idea

menjadi ide bermacam-macam.

Analisis pada tingkatan teks iklan menunjukkan, pertama pada iklan versi Man Waiting Stamp Seal mengandung makna birokrasi tidak produktif dan kontradiktif dengan era reformasi. Secara keseluruhan, tanda tersebut menghasilkan makna birokrasi warisan orde baru yang tidak produktif dan kontradiktif dengan era reformasi. Iklan tersebut memperlihatkan perhatian perusahaan terhadap kondisi sosial yang tengah terjadi. Pesan disampaikan melalui makna yang memang memiliki sistem tanda yang telah terbentuk. Sistem tanda yang dimaksud berkaitan dengan tipe pakaian. Dalam hubungan oposisi, mengenal pakaian yang sama warna, bahan, coraknya antara baju dan celana/rok yang biasa disebut seragam. Jenis pakaian yang berbeda warna, bahan, dan coraknya antara baju dan celana/rok, biasa disebut bukan seragam. Jadi secara oposisional, pakaian seragam memiliki makna ketika berhubungan dengan pakaian bukan seragam. Pakaian seragam biasa dikenakan oleh suatu kelompok, komunitas, atau lembaga.

Iklan versi Flea on the Sofa mengandung makna kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang tua dan gemuk, tidak produktif, penuh janji dan korupsi. Secara keseluruhan, tanda tersebut menghasilkan makna anggota DPR yang sudah tua-tua dan gemuk tidak produktif, penuh janji-janji, dan penyalahgunaan wewenang seperti korupsi. Iklan tersebut memperlihatkan perhatian perusahaan terhadap kondisi sosial politik yang tengah terjadi, berkaitan dengan pemilihan umum anggota DPR. Pesan disampaikan melalui makna yang memang memiliki sistem tanda yang telah terbentuk,


(6)

yaitu berkaitan dengan kursi, kutu busuk, bokong, tangan kanan beserta jari-jarinya. Dalam hubungan oposisi, mengenal kursi yang empuk bila diduduki, dengan sandaran kepala dan tangan yang juga empuk, serta berharga mahal, sehingga hanya pantas dimiliki orang-orang tertentu dan terhormat. Kursi jenis ini biasa disebut kursi sofa.

Penelitian pada tingkatan individu menunjukkan interpretasi berbeda terhadap hubungan antara produk dengan teks iklan. Dari segi produk, rokok Sampoerna A Mild ditafsirkan bahwa rokok bukanlah barang baru. Rokok sudah ada sejak jaman dahulu kala. Dari segi teks iklan rokok Sampoerna A Mild di televisi ditafsir sebagai iklan yang bersifat lucu-lucuan. Iklan ataupun bentuk promosi yang menyertainya hanya bersifat pengingat saja bahwa ada rokok yang mengandung nikotin dan tar rendah. Namun

positioning yang tertanam dalam benak adalah bahwa rokok Sampoerna A Mild adalah produk rokok mengandung nikotin dan tar rendah.


(7)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya

POSITIONING IKLAN TELEVISI MELALUI REPRODUKSI

SOSIAL : KASUS IKLAN SAMPOERNA A MILD


(8)

MARWAN MAHMUDI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011


(9)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr.Ir. Amiruddin Saleh, MS

Judul Tesis : Positioning Iklan Televisi melalui Reproduksi Sosial : Kasus Iklan Sampoerna A Mild


(10)

Nama : Marwan Mahmudi

NRP : I353060181

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala S. Hubeis Prof. Dr. Ir. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA

(Ketua) (Anggota)

Diketahui

Koordinator Mayor

Komunikasi Pembanguan Pertanian dan Pedesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Djuara P. Lubis Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian : Kamis, 14 April 2011 Tanggal Lulus : 25 Mei 2011


(11)

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya, sehingga karya ilmiah yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2008 dengan judul Positioning Iklan Televisi Melalui Reproduksi Sosial: Kasus Iklan Sampoerna A Mild dapat diselesaikan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof.Dr.Ir.Hj. Aida Vitayala S. Hubeis dan Bapak Prof.Dr.Ir.H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA yang telah banyak memberi bimbingan dan saran. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr.H. Udi Rusadi dan Alm. Bapak Drs.H. Pudji Utomo, MS, yang selalu mendukung dan berbagi pengetahuan selama studi. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Bapak Drs. Teguh Handoko yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada alm. Ayah dan Ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2011

Penulis

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 11 Maret 1967 dari ayah H. Dana Wulung dan ibu Hj. Oemi Atiyah N.S. Penulis merupakan putra ketiga dari enam


(12)

bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Hubungan Masyarakat, Fakultas Ilmu Komunikasi, Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta (IISIP Jakarta), lulus pada tahun 1992. Pada tahun 2006, penulis berkesempatan melanjutkan studi Magister di Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor

Penulis mengabdi di almamater sebagai Dosen IISIP Jakarta sejak tahun 1992 hingga 2006. Pada tahun 2009 hingga sekarang penulis bekerja sebagai Dosen homebase

di Program Studi Public Relations, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Mercubuana Jakarta.

Selama berkecimpung di dunia akademik, penulis bertanggungjawab dalam mengampu matakuliah : Teori Komunikasi, Komunikasi Massa, Metode Penelitian Komunikasi, Manajemen Public Relations dan Stakeholder Relations.

DAFTAR ISI

Halaman


(13)

DAFTAR TABEL……….. xiv

DAFTAR GAMBAR………. xv

DAFTAR LAMPIRAN……….. xvi

I. PENDAHULUAN………... 1

1.1 Latar Belakang Masalah………... 1.2 Perumusan Masalah Penelitian………... 1.3 Tujuan Penelitian... 1 6 7 II. TINJAUAN PUSTAKA……… 8

2.1 Media Massa………... 2.2 Televisi sebagai Media Komunikasi Massa………... 8 9 2.2.1 Format Siaran Televisi... 2.2.2 Kekuatan dan Kelemahan Televisi... 10 11 2.3 Komunikasi Pemasaran... 2.4 Periklanan... 12 13 2.4.1 Pengiklan... 2.4.2 Produk ... 2.4.3 Pencipta Iklan... 2.4.4 Iklan ... 2.4.5 Iklan Televisi... 2.4.6 Iklan Rokok di Televisi... 15 15 18 19 22 25 2.5 Pembentukan Positioning Produk pada Iklan... 26

2.6Reproduksi Sosial dalam Membentuk Positioning pada Iklan Televisi... 29

2.6.1 Proses Konstruksi Sosial dalam Pembentukan Positioning Iklan Televisi... 2.6.2 Proses Interaksi Simbolik dalam Pembentukan Positioning Iklan Televisi... 2.6.3 Proses Semiosis dalam Pembentukan Positioning Iklan Televisi... 31 32 35 III. METODOLOGI PENELITIAN... 38

3.1 Kerangka Pikir Penelitian... 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian... 3.3 Pengumpulan Data... 3.4 Pengolahan dan Analisis Data... 38 40 40 44 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 46

4.1 Konstruksi Realitas dalam Tingkatan Pengiklan dan Pencipta Iklan. 46 4.1.1 Versi Pengiklan... 46

4.1.2 Versi Pencipta Iklan... 53

4.2 Konstruksi Realitas dalam Tingkatan Teks Iklan Rokok Sampoerna A Mild di Televisi... 60

4.2.1 Positioning Sampoerna A Mild melalui Iklan Televisi... 61

4.2.2 Tema dan Timing Iklan Televisi Sampoerna A Mild... 62

4.2.3 Analisis Teks Iklan Sampoerna A Mild versi Televisi……… 64 4.2.3.1 Iklan Sampoerna A Mild Versi Man Waiting Stamp


(14)

Seal………..…

4.2.3.2 Iklan Sampoerna A Mild Versi Flea on the Sofa…….

64 67 4.3 Konstruksi Realitas dalam Tingkatan Individu... 74

KESIMPULAN DAN SARAN... 79 1. Kesimpulan ...

2. Saran ...

79 79

DAFTAR PUSTAKA... 80 LAMPIRAN... 84


(15)

No. Halaman

1. Karakteristik informan... 43 2. Positioning rokok Sampoerna A Mild melalui iklan televisi... 61 3. Keterkaitan antara tema dan timing iklan Sampoerna A Mild versi

televisi... 63

4. Tanda-tanda yang ditampilkan dalam iklan televisi Sampoerna A

Mild versi Man Waiting Stamp Seal... 64 5. Tanda-tanda yang ditampilkan dalam iklan televisi Sampoerna A

Mild versi Flea on The Sofa... 67 6. Kegunaan tubuh manusia... 69

7. Kode-kode pada iklan televisi Sampoerna A Mild versi Man Waiting Stamp Seal dan Flea on the Sofa...

72

8. Tafsir informan terhadap iklan televisi Sampoerna A Mild... 76

9. Daftar iklan televisi Sampoerna A Mild dari Agustus 2000 hingga

Maret 2009... 98


(16)

No. Halaman

1. Model proses periklanan ……….. 14

2. Proses semiosis menurut Peirce yang dikembangkan oleh Budiman... 36 3. Diagram alur proses penentuan dan pembentukan positioning iklan

televisi melalui reproduksi sosial... 40

4. Skema positioning rokok Sampoerna A Mild tahap awal... 47 5. Skema positioningrokok Sampoerna A Mild tahap perubahan……… 48 6. Skema positioningrokok Sampoerna A Mild tahap kehadiran baru… 49 7. Skema positioning rokok Sampoerna A Mild tahap paripurna………. 51 8. Proses perencanaan periklanan suatu produk……… 53 9. Scene 1 iklan televisi Sampoerna A Mild versi Man Waiting Stamp

Seal………... 65 10. Scene 2 dan 3 iklan televisi Sampoerna A Mild versi Man Waiting

Stamp Seal... 65 11. Scene 4 iklan televisi Sampoerna A Mild versi Man Waiting Stamp

Seal………... 66 12. Scene 1 dan 2 iklan televisi Sampoerna A Mild versi Flea on The

Sofa... 68 13. Scene 3 dan 4 iklan televisi Sampoerna A Mild versi Flea on The

Sofa... 68 14. Scene 5 iklan televisi Sampoerna A Mild versi Flea on The

Sofa... 69


(17)

No. Halaman

1. Protokol penelitian………...……… 84

2. Data sekunder………. 85

3. Transkrip wawancara dengan Informan Kunci………..……. 86

4. Transkrip wawancara dengan Informan Kunci ………..……… 88

5. Transkrip wawancara dengan Informan Kunci ……….. 94

6. Daftar iklan televisi Sampoerna A Mild………. 98


(18)

1.1 Latar Belakang Masalah

Kemajuan teknologi informasi berdampak pada perkembangan media massa yang begitu cepat. Kemajuan tersebut tidak dapat dipungkiri membawa dampak terhadap berbagai bidang kehidupan masyarakat. Beragamnya media massa yang ada telah berperan besar dalam membawa masyarakat memasuki era informasi. Dari berbagai media massa yang ada, televisi masih dianggap sebagai media yang paling berpengaruh menimbulkan terpaan antar rumah tangga, bahkan antar anggota dalam satu rumah.

Kehadiran televisi dalam kehidupan manusia memperlihatkan suatu peradaban yang lebih maju, khususnya dalam proses komunikasi dan informasi yang bersifat massa. Televisi adalah media massa yang muncul belakangan dibanding media cetak dan radio. Kenyataannya, televisi merupakan media massa yang paling memberikan nilai yang luar biasa dalam sisi pergaulan hidup manusia hingga saat ini.

Media televisi memiliki daya tarik yang sedemikian besarnya. Daya tarik televisi mampu merubah pola kehidupan rutinitas manusia. Bahkan televisi tetap tidak dapat tersaingi oleh kehadiran media interaktif terbarukan, yaitu Internet. Di Indonesia, populasi pesawat televisi tidak kurang dari 40 juta unit dengan pemirsa lebih dari 200 juta orang, jauh lebih banyak dibandingkan dengan komputer yang hanya sekitar 5,9 juta unit (Dharmanto, 2007). Media televisi tumbuh dan berkembang menjadi panutan baru bagi kehidupan manusia. Pada akhirnya, media televisi telah berwujud menjadi alat ampuh bagi kehidupan manusia dalam pencapaian integrasi, baik untuk kepentingan politik maupun perdagangan, bahkan untuk melakukan perubahan ideologi dan kebudayaan pada sebuah sistem sosial tertentu yang sudah ada sejak lama.

Kehebatan televisi sebagai saluran komunikasi massa nyaris tidak dapat dipungkiri. Media televisi lebih berhasil dalam memikat lebih banyak khalayak dibandingkan dengan media massa lainnya. Siaran televisi tersaji secara audiovisual dan

moving, sehingga mampu untuk memperlihatkan, mendramatisasi dan mempopulerkan potongan-potongan kecil, serta fragmen kultural dari informasi. Kemampuan televisi menguasai jarak secara geografis dan sosiologis memberi peluang kepada khalayak untuk dapat menikmati gambar dan suara yang nyata atas suatu kejadian di belahan bumi lain. Selain itu, siaran televisi memiliki kemampuan dalam menguasai ruang dan waktu, sehingga dapat menjangkau khalayak massa yang cukup besar.

Kelemahan televisi sebagai media massa adalah bersifat persinggahan pesan, sehingga isi pesannya sulit diingat secara maksimal oleh pemirsanya. Media televisi


(19)

terikat oleh waktu tayang program. Untuk mengatasinya, produser televisi biasanya memberikan penekanan terhadap suatu program tertentu dengan menayang-ulang beberapa kali pada waktu tayang lainnya. Selain itu, siaran televisi memiliki tingkat kerumitan tersendiri dibandingkan dengan media cetak dan radio. Hal ini berkaitan dengan penguasaan teknologi hingga keahlian dalam membuat program-progam acaranya.

Seperti halnya media massa lainnya, televisi berperan sebagai sarana informasi, hiburan, kontrol sosial, dan penghubung wilayah secara geografis. Siaran televisi tidak sekedar memperlancar perubahan, mencegah perubahan atau bahkan tidak menimbulkan perubahan sama sekali. Dampak siaran televisi terhadap khalayak dapat bersifat kognisi, yaitu berkenaan dengan pengetahuan dan opini, serta afeksi yang berkaitan dengan sikap dan perasaan, tindakan atau perubahan perilaku (McQuail, 1991).

Siaran televisi yang tersaji secara audiovisual menjadikan televisi sangat dekat dengan kehidupan khalayaknya, misalnya sinetron, berita, infotainment, film, iklan, dan sebagainya. Siaran televisi tersebut hadir di ruang-ruang keluarga sebagai wujud kontribusi yang besar terhadap kebutuhan informasi, hiburan maupun pendidikan. Khalayak melakukan penafsiran yang berbeda-beda dan berperilaku yang beraneka ragam ketika menyaksikan siaran televisi. Hal tersebut terjadi karena kebutuhan khalayak terhadap isi siaran televisi berkaitan erat dengan status sosial ekonomi, situasi dan kondisi psikologisnya saat menonton televisi.

Salah satu siaran televisi juga berusaha memikat khalayaknya adalah iklan. Tayangan iklan memberi kontribusi cukup besar bagi keberlangsungan siaran televisi. Stasiun televisi berlomba-lomba dalam menyiarkan program yang mampu memikat khalayak sebanyak-banyaknya. Hal tersebut dilakukan dengan harapan banyaknya pengiklan yang beriklan di stasiun televisi tersebut.

Perkembangan dalam dunia bisnis saat ini sejalan dengan semakin kompleksnya kebutuhan masyarakat terhadap barang konsumsi, baik produk maupun jasa. Hal tersebut membuat produsen berlomba-lomba untuk memproduksikan produk maupun jasa kepada masyarakat. Produk maupun jasa tersebut diperkenalkan kepada masyarakat melalui suatu strategi yang dikenal dengan komunikasi pemasaran. Persaingan dalam dunia komunikasi pemasaran semakin ketat. Salah satunya bagaimana mengkomunikasikan produk maupun jasa melalui periklanan.

Penayangan iklan di televisi dapat dikatakan sebagai cara cepat dan efektif dalam membawa perubahan di masyarakat di mana dilakukan melalui penggunaan teknologi


(20)

berbasis komunikasi. Dalam hal ini, televisi berperan sebagai agen pembangunan mampu menciptakan citra baru, mobilitas psikis, dan empati dalam pemaksimalan penyediaan barang dan jasa bagi masyarakat (Dilla, 2007).

Iklan merupakan bentuk penyampaian pesan dari suatu produk atau merek kepada khalayak. Secara umum, proses penciptaan iklan berawal dari inisiatif pengiklan. Pengiklan adalah pemilik atau produsen dari produk atau merek tersebut. Pengiklan membayar suatu biro iklan untuk menciptakan pesan iklan. Melalui proses perencanaan periklanan, selain menciptakan iklan, biro iklan juga mengkampanyekan pesan produsen tersebut kepada khalayak. Biro iklan yang disewa oleh pengiklan disebut sebagai pencipta iklan.

Iklan disebarkan kepada khalayak melalui berbagai media massa. Salah satunya adalah melalui media televisi. Pada iklan televisi, gambar yang tersaji bersifat

audiovisual dan moving. Pesan yang terkandung dalam iklan televisi memiliki kemampuan untuk menarik perhatian khalayak pada simbol atau ide-ide tertentu. Langsung maupun tidak langsung, iklan televisi harus mampu mempersuasif khalayak melalui pesan-pesan komunikasinya dalam bentuk simbol dari produk atau jasa yang dipromosikan. Selain itu, iklan televisi harus memiliki kemampuan daya pikat dan rangsangan yang kuat agar khalayak sering teringat dan membayangkannya.

Pada dasarnya simbol atau ide tersebut adalah produk sosial yang bersifat khusus yang sudah ada di masyarakat. Produk sosial tersebut, antara lain kepercayaan, sikap, nilai, perilaku, maupun hasil karya nyata yang ada di masyarakat. Oleh pencipta iklan, produk sosial tersebut diinternalisasi secara subyektif dan kemudian dituangkan ke dalam sebuah iklan. Simbol atau ide tersebut dikonstruksi sedemikian rupa dengan harapan dapat membentuk citra bagi produk maupun jasa yang diiklankan. Simbol atau ide tertentu yang tertuang dalam sebuah iklan televisi berbentuk verbal dan nonverbal. Proses demikian disebut Bungin (2001) sebagai hasil reproduksi sosial pada iklan di televisi.

Banyaknya iklan produk dan jasa di televisi, terutama iklan sejenis yang menyebabkan pesan dalam sebuah iklan di televisi harus dapat memberikan daya tarik dan citra tersendiri bagi khalayaknya. Hal tersebut dimaksudkan agar terjadi kesesuaian antara isi pesan yang terkandung dalam iklan dengan yang dipersepsikan oleh khalayak, sehingga pesan tersebut mampu memposisikan merek dari produk atau jasa yang diiklankan ke dalam benak khalayak. Contoh persaingan iklan yang semakin keras dalam merebut sepotong kavling dalam benak konsumen adalah iklan rokok di televisi.


(21)

Konsumen dalam menghadapi keterdedahan tersebut mengalami pertarungan yang hebat dalam benaknya. Para produsen rokok melalui pencipta iklannya berusaha memposisikan merek produknya agar mudah dan selalu diingat, serta diprioritaskan untuk dibeli setiap kali dibutuhkan konsumen.

Rokok merupakan salah satu produk yang paling banyak dikonsumsi masyarakat, baik pria dan wanita, termasuk yang berusia remaja bahkan anak-anak. Data pada tahun 2005 menunjukkan produksi rokok nasional mencapai 202,3 milyar batang (Kompas, 2006). Pada tahun 2006 produk rokok dengan kategori mild atau low tar low nicotin, sebanyak 17,2 persen dikuasai oleh produsen rokok HM Sampoerna (Kompas, 2006). Meningkatnya jumlah produk rokok sejalan dengan bertambahnya jumlah perokok, khususnya pemula. Gencarnya promo dan iklan di berbagai media massa disinyalir memberi dampak terhadap lahirnya perokok pemula (Kompas, 2008).

Menurut riset Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2006, sebanyak 9.230 iklan rokok terdapat di televisi, 1.780 iklan di media cetak dan 3.239 iklan di media luar ruang seperti umbul-umbul, papan reklame dan baliho (Kompas, 2007b). Data tersebut menunjukkan bahwa televisi merupakan media yang menjadi primadona bagi pengiklan dan pencipta iklan rokok.

Pemprov DKI Jakarta, melalui Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2005, sejak tahun 2006 telah memberlakukan pelarangan merokok di kawasan-kawasan tertentu di wilayah DKI Jakarta. Untuk kepentingan kampanye periklanan, Pemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 81/1999 tentang pembatasan iklan rokok di media massa. Misalnya, karakter produk dalam iklan rokok tidak boleh divisualkan secara terang-terangan dalam iklan.

Bagi kreator iklan, diduga hal tersebut tentu membatasi gerak kreativitasnya, namun kenyataannya justru menciptakan karya-karya kreatif bagi iklan rokok tersebut. Seperti yang disebutkan Majalah Cakram (2002) bahwa dalam perkembangannya, aturan ketat tersebut tidak membuat gagasan para pembuat iklan rokok menjadi tumpul.

Iklan rokok Sampoerna A Mild di televisi terbilang fenomenal dalam menampilkan big idea konsepnya. Penampilan konsep iklan tersebut berbeda dengan iklan rokok pesaingnya. Misalnya, iklan rokok Marlboro dengan menampilkan kejantanan, iklan rokok Djarum 76 dengan menampilkan cinta dan kasih sayang, iklan rokok Pall Mall dengan menampilkan gaya hidup, iklan rokok Gudang Garam dengan menampilkan kejantanan dan keberanian laki-laki.


(22)

Majalah Cakram (2002) mengungkapkan bahwa iklan Sampoerna A Mild mendobrak tradisi lama iklan-iklan rokok yang saat itu di tengah persaingan ketat rokok rendah tar dan rendah nikotin. Sampoerna A Mild tetap memantapkan posisinya sebagai pemimpin pasar. Positioning yang ditampilkan Sampoerna A Mild adalah rokok rendah tar dan nikotin, sehingga perokok dapat tetap merokok tanpa terlalu banyak diracuni oleh nikotin. Ide atau gagasan dasar dalam iklan rokok tersebut melahirkan berbagai

positioning statement yang khas, seperti How Low Can You Go, Bukan Basa Basi dan Tanya Kenapa ?

Dalam ilustrasi iklannya, Sampoerna A Mild selalu menampilkan simbol dan ide realitas sosial yang sedang terjadi di masyarakat. Pada versi awal dengan headlineHow Low Can You Go?”, pesan dalam iklan Sampoerna A Mild diposisikan sebagai pelopor

rokok pertama di Indonesia yang memiliki kadar tar dan nikotin rendah. Iklan versi ini muncul di televisi, karena adanya anggapan pada sebagian masyarakat bahwa masyarakat semakin peduli untuk hidup sehat, namun tetap dapat merokok tanpa terlalu banyak diracuni oleh nikotin. Pada versi lainnya, yaitu versi kursi dengan headline: ”Kalo Nggak Dibersihin Kutu Busuknya Nggak Bakalan Pergi!”. Iklan tersebut muncul di televisi pada tahun 2004, ketika bangsa sedang menikmati pesta demokrasi, yaitu pemilihan umum anggota legislatif.

Adakalanya pula, Sampoerna A Mild menampilkan versi animasi dengan

headline: ”Others Can Only Follow”. Versi tersebut menggambarkan sesosok alien yang sedang membawa bendera dan bergerak lincah, kemudian alien tersebut diikuti oleh alien-alien lain yang berbaris di belakang dan bergerak lamban. Tampaknya iklan versi animasi tersebut muncul dengan maksud untuk memperkuat posisi produk yang sudah tertanam di benak khalayak.

Layaknya persaingan dalam dunia bisnis, terikat hukum ekonomi dan hukum pasar yang tidak lepas dari rating dan sebagai market leader bagi produk sejenis. Segala sesuatu yang terjadi saat ini bersifat sesaat. Hukum pasar terjadi. Ketika muncul produk lain dengan positioning yang lebih kuat, maka produk akan ditinggalkan konsumennya, atau setidak-tidaknya jumlah konsumen berkurang. Meskipun hal tersebut adalah wajar dalam persaingan bisnis, namun bukan yang diharapkan oleh produsen.

Selanjutnya, perlu diketahui lebih mendalam bagaimana pengiklan melalui pencipta iklan mempertahankan posisi produk Sampoerna A Mild melalui kampanye periklanan di media massa, khususnya iklan di televisi. Untuk itu perlu dilakukan, suatu penelitian khusus mengenai bagaimana pencipta iklan melakukan proses reproduksi


(23)

sosial ke dalam iklan Sampoerna A Mild dan bagaimana proses pembentukan dan penentuan positioning iklan televisi melalui reproduksi sosial tersebut pada iklan Sampoerna A Mild.

1.2Perumusan Masalah Penelitian

Televisi merupakan salah satu media massa yang paling banyak menarik minat pengiklan untuk beriklan. Pada iklan televisi, gambar yang tersaji bersifat audiovisual

dan moving, sehingga mampu membangkitkan daya pikat dan rangsangan kuat. Artinya, khalayak akan sering teringat dan membayangkannya. Iklan televisi memuat hasil reproduksi sosial dari simbol dan ide tertentu yang bersifat khusus yang ada di masyarakat. Simbol dan ide tersebut merupakan produk sosial seperti kepercayaan, nilai, sikap, maupun hasil karya nyata yang ada di masyarakat. Pencipta iklan melakukan reproduksi dan internalisasi terhadap produk sosial tersebut dalam meramu pesan iklan. Reproduksi sosial yang tertuang dalam iklan televisi bersifat subyektif pencipta iklan. Penciptaan iklan dalam hal ini adalah peran besar copywriter dan visualizer yang mengkonstruksi simbol atau ide khusus tersebut ke dalam sebuah iklan.

Rokok Sampoerna A Mild bukan satu-satunya produk rokok yang menggunakan televisi untuk beriklan. Hampir kebanyakan iklan rokok seperti iklan rokok Djarum, iklan rokok Marlboro, iklan rokok Gudang Garam, dan sebagainya, juga beriklan dengan menggunakan media yang sama. Hal tersebut akan mempengaruhi konsumen dalam menentukan pilihan-pilihan terhadap suatu produk. Setiap pesan dalam iklan rokok menyajikan positioning yang khas dan membedakan dengan produk sejenis lainnya. Tujuannya adalah agar khalayak sasaran dapat membedakan produknya dengan produk sejenis lainnya. Iklan rokok Sampoerna A Mild harus menyajikan pesan dengan cara memposisikan produknya melalui pembentukan reproduksi sosial yang khas dan berbeda pula.

Positioning produk yang sudah tertanam dan tercengkeram kuat dalam benak konsumen akan membuat konsumen tidak perlu berpikir-pikir lagi dalam menjatuhkan pilihannya. Dalam hal ini, konsumen akan menganggap keputusan yang dipilihnya adalah tepat. Kemenangan produk di pasar dapat ditentukan oleh keseringan konsumen terdedah oleh produk tersebut dan kepercayaan maupun persepsinya terhadap produk tersebut.

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka permasalahan yang diteliti adalah :


(24)

1. Bagaimana proses reproduksi sosial yang dilakukan pencipta iklan pada iklan Sampoerna A Mild ?

2. Bagaimana proses pembentukan dan penentuan positioning iklan televisi melalui reproduksi sosial pada iklan Sampoerna A Mild ?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui lebih mendalam :

1. Proses reproduksi sosial yang dilakukan pencipta iklan pada iklan Sampoerna A Mild.

2. Proses pembentukan positioning iklan televisi melalui reproduksi sosial pada iklan Sampoerna A Mild.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Media Massa

Media massa merupakan kependekan dari istilah media komunikasi massa, yang secara sederhana dapat memberikan pengertian sebagai alat yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan serentak kepada khalayak banyak yang berbeda-beda dan tersebar di berbagai tempat (Effendy, 1993; Wright, 1988).

Media massa sering dibedakan menjadi media massa tampak (visual), dan media massa berbentuk dengar (audio), dan media massa berbentuk gabungan tampak dengan dengar (audio-visual). Media massa berbentuk tampak umumnya dikerjakan dengan


(25)

mesin cetak, maka disebut sebagai media massa cetak atau media cetak. Media cetak meliputi surat kabar, brosur, selebaran, majalah, buletin, tabloid, dan buku. Media massa berbentuk dengar (audio) meliputi semua alat mekanis yang menghasilkan lambang suara termasuk musik, seperti radio dan kaset. Media massa berbentuk gabungan tampak dan dengar (audio-visual) meliputi televisi, kaset musik video dan film. Radio, televisi, dan film pada dasarnya bekerja dengan elektronik sehingga disebut media elektronik (Wright, 1988; Effendy, 1993; Straubhaar and LaRose, 2006).

Media massa memiliki karakter berbeda satu sama lain, dengan kelebihan dan kekurangannya. Misalnya karakter televisi berbeda dengan radio, surat kabar, sebagai media konvensional. Sementara saat ini dalam era globalisasi lompatan dan kemajuan teknologi tidak diduga demikian cepatnya. Misalnya komputer menghasilkan medium internet yang dianggap sebagai medium interaktif dengan sebutan blog (weblog) dan

vlog (videolog) (Straubhaar and LaRose, 2006). Selain itu, teknologi seluler sudah berkembang tak kalah cepatnya misalnya dengan adanya fasilitas sms dan video streaming.

Media atau dalam istilah bahasa Inggris disebut Channel adalah alat atau cara di mana pesan disampaikan dari komunikator ke komunikan (Infante et al. 1993). Masih menurut Infante et al. (1993) bahwa Berlo dalam model Source, Message, Channel dan

Receiver (SMCR) menempatkan lima panca indera manusia sebagai media (channel). Bahkan Mcluhan dalam Littlejohn (1989) mengatakan bahwa media adalah pesan itu sendiri.

Media massa, menurut McQuail (1989) memiliki peran mediasi (penengah/penghubung) antara realitas sosial yang obyektif dengan pengalaman pribadi. Sedangkan menurut Littlejohn (1989), media are organizations that distribute culture products or messages that affect and reflect the culture of society. Media massa juga memiliki peran mediasi antara realitas sosial yang obyektif dengan pengalaman pribadi khalayaknya, di mana media massa menyalurkan produk atau pesan budaya sebagai refleksi budaya masyarakatnya.

Dalam dunia periklanan terkini, Kasali (1992) dan Stout dalam Straubhhar and

LaRose (2006) membedakan media ke dalam tiga (3) kelompok, yaitu :

a. Media lini atas terdiri dari iklan-iklan yang dimuat dalam media cetak, media elektronik (radio, televisi dan bioskop), serta media luar ruang (papan reklame dan angkutan).


(26)

b. Media lini bawah terdiri dari seluruh media selain media di atas, seperti direct mail, pameran, point of sale display material, kalender, agenda, gantungan kunci atau tanda mata.

c. Media interaktif, yaitu internet.

Menurut Stout dalam Straubhaar and LaRose (2006), pengiklan melalui pencipta iklan dalam memilih media untuk beriklan berdasarkan pada apa yang ingin dicapai, jenis pesan atau informasi yang ingin dikomunikasikan dan biaya yang dikeluarkan. Pengiklan berusaha mencapai sejumlah besar khalayak dengan biaya sedikit mungkin. Biaya untuk penggunaan media bergantung pada beberapa faktor, seperti ukuran khalayak, komposisi khalayak (umur, penghasilan, pendidikan, dan sebagainya), dan prestise dari media itu sendiri.

2.2 Televisi sebagai Media Komunikasi Massa

Jenis media yang dipakai dalam berkomunikasi dapat mempengaruhi persepsi dan daya serap pesan bagi penerima. Misalnya televisi memiliki karakteristik yang sarat dengan teknologi audio dan visual. Pada saat menonton acara televisi, secara disadari atau tidak, digunakan kelima panca indera (melihat, mendengar, menyentuh, membaui dan merasa) secara bersamaan.

Dalam konteks mediasi media massa, McQuail (1989) menganggap televisi sebagai medium yang mampu menyajikan realitas seolah-olah nyata, padahal semu bagi pemirsa di ruang-ruang keluarga. Peran televisi seperti ini disebut dengan istilah pseudo reality. Selain itu, karena kemampuan audiovisual yang menarik perhatian individu, maka siaran televisi mampu menjangkau khalayak yang lebih banyak dibandingkan media massa lainnya. Televisi juga berfungsi sebagai pendistribusi bahkan memediasi realitas sosial dengan pengalaman khalayaknya berupa produk atau pesan-pesan budaya yang sebenarnya merefleksikan budaya masyarakat itu sendiri. Selain itu, televisi berfungsi untuk menyebarkan informasi, baik informatif maupun sosial, bahkan sebagai sumber inspirasi tentang bagaimana memecahkan masalah atau mengambil keputusan.

Hal ini sejalan dengan paradigma media massa yang menyatakan bahwa media massa berfungsi sebagai agen pembangunan (agent of development), dalam memberikan informasi, motivasi dan menggerakkan masyarakat, agar tidak hanya mengerti arti pembangunan, namun juga mendukung dan berpartisipasi dalam proses pembangunan


(27)

yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, televisi hampir tidak memperoleh tandingan, antara lain karena efektivitas penyebarannya, pesona gambar dan suaranya serta kemampuan komunikatif yang sempurna (Wright, 1988; McQuail, 1989; Effendy, 1993).

2.2.1 Format Siaran Televisi

Televisi merupakan media massa yang memadu audio sebagai segi penyiaran suaranya dan visual sebagai segi gambar bergeraknya (moving images). Luasnya masyarakat yang dapat dijangkau oleh televisi kadang-kadang dapat menyebabkan penyiaran bersifat umum dan menjemukan. Oleh karena itu segmentasi pasar sebuah stasiun terbagi-bagi menurut rubrik yang disiarkan. Pemirsa terbagi-bagi pada berbagai jenis rubrik yang disukai yang dikaitkan dengan jam siarannya. Misalnya, acara film anak-anak pada pagi dan petang hari menjangkau khalayak anak-anak. Acara memasak, keluarga, film drama dan senam menjangkau ibu-ibu rumah tangga. Acara diskusi pasar modal, siaran berita, serta film-film detektif menjangkau para pria berpendidikan (Kasali, 1992).

Format siaran televisi telah dibuat sedemikian rupa seperti format siaran radio yang membedakan pemirsa satu stasiun dengan pemirsa stasiun lainnya. Misalnya, ada stasiun yang sepanjang hari hanya menyiarkan berita tanpa diselingi oleh film-film cerita, ada yang siarannya sepanjang hari didominasi bermacam-macam kuis, dan ada pula yang hanya film cerita saja atau siaran olah raga. Masing-masing format siaran yang spesifik ini sangat membantu pengiklan dalam melakukan kampanye iklan (Kasali, 1992).

2.2.2 Kekuatan dan Kelemahan Televisi

Kasali (1992) menguraikan kekuatan dan kelemahan televisi sebagai medium iklan sebagai berikut :

a. Kekuatan Televisi

1) Efisiensi biaya. Banyak pengiklan memandang televisi sebagai media yang paling efektif untuk menyampaikan pesan-pesan komersialnya. Salah satu keunggulannya adalah kemampuan menjangkau khalayak sasaran yang sangat luas. Jutaan orang menonton televisi secara teratur. Televisi menjangkau khalayak sasaran yang dapat dicapai oleh media lainnya, tetapi juga khalayak yang tidak terjangkau oleh media cetak. Jangkauan massal ini menimbulkan efisiensi biaya untuk menjangkau setiap kepala.


(28)

2) Dampak kuat. Keunggulan lainnya adalah kemampuannya menimbulkan dampak yang kuat terhadap konsumen, dengan tekanan pada sekaligus dua indera, seperti penglihatan dan pendengaran. Televisi juga mampu menciptakan kelenturan bagi pekerjaan-pekerjaan kreatif dengan mengombinasikan gerakan, kecantikan, suara, warna, drama dan humor.

3) Pengaruh kuat. Televisi mempunyai kemampuan kuat untuk mempengaruhi persepsi khalayak sasaran. Kebanyakan masyarakat meluangkan waktunya di muka televisi, sebagai sumber berita, hiburan dan sarana pendidikan. Kebanyakan calon pembeli lebih ”percaya” pada perusahaan yang mengiklankan produknya di televisi daripada yang tidak sama sekali yang merupakan cerminan bonafiditas pengiklan.

b. Kelemahan Televisi

1) Biaya besar. Kelemahan yang paling serius dalam beriklan di televisi adalah biaya absolut yang sangat ekstrem untuk memproduksi dan menyiarkan siaran komersial. Sekalipun biaya untuk menjangkau setiap kepala adalah rendah, biaya absolut dapat membatasi niat pengiklan. Biaya produksi, termasuk biaya pembuatan film dan honorarium artis yang terlibat, dapat menghabiskan jutaan rupiah. Belum lagi penyiarannya yang harus diulang-ulang pada jam-jam siaran utama.

2) Khalayak tidak selektif. Sekalipun berbagai teknologi telah diperkenalkan untuk menjangkau sasaran yang lebih selektif, televisi tetap sebuah media yang tidak selektif, karena segmentasinya tidak setajam surat kabar atau majalah. Jadi, iklan-iklan yang disiarkan di televisi memiliki kemungkinan menjangkau pasar tidak tepat.

3) Kesulitan teknis. Media ini juga tidak luwes dalam pengaturan teknis. Iklan-iklan yang telah dibuat tidak dapat diubah begitu saja jadwalnya, apalagi menjelang jam-jam siarannya.

2.3 Komunikasi Pemasaran

Untuk memenangkan persaingan bisnis yang semakin ketat, pada tahun 90-an mulai diperkenalkan konsep yang memadukan strategi komunikasi dan pemasaran, sehingga memunculkan istilah komunikasi pemasaran. Harris (1991) memunculkan istilah marketing public relations (MPR). Jefkins (1988) menyebutnya marketing communication. Kasali (1992) menegaskan bahwa perpaduan konsep tersebut disebut


(29)

sebagai bauran komunikasi pemasaran (marketing communication mix). Sedangkan Temporal (2001) dan Stout dalam Straubhaar and LaRose (2006) sepakat dengan istilah komunikasi pemasaran terpadu (integrated marketing communication).

Pada dasarnya istilah bagi konsep komunikasi pemasaran berlandaskan pada dua konsep, yaitu komunikasi dan pemasaran. Strategi komunikasi menekankan pada pengelolaan komunikasi yang bersifat informatif dan persuasif serta kesan-kesan konsumen terhadap perusahaan dan produknya (Harris, 1991). Menurut Rachmadi (1992) komunikasi yang dilakukan adalah komunikasi yang dapat dipercaya untuk menciptakan kemauan baik. Sementara strategi pemasaran menurut Harris (1991) menekankan pada upaya merangsang pembelian dan kepuasan konsumen. Jefkins (2004) menyatakan bahwa kegiatan pemasaran merupakan proses manajemen yang bertanggung jawab mengenali, mengantisipasi dan memuaskan keinginan atau kebutuhan konsumen demi meraih laba.

Jefkins (1988) menyebutkan komunikasi pemasaran aims at creating a favorable marketing situation in advance of selling, distribution, advertising and sales promotion. Menurut Temporal (2001) untuk pembangunan suatu merek diperlukan komunikasi yang bersifat strategis dalam mengkomunikasikan nilai-nilai dan kepribadian merek, yaitu strategi komunikasi pemasaran terpadu. Suatu strategi komunikasi total merupakan strategi yang sangat penting dalam pembangunan merek, karena strategi ini menentukan keefektivan penciptaan citra. Komunikasi-komunikasi mengutarakan janji merek tersebut yang akan dialami oleh para konsumen. Nada dan gaya komunikasi mencerminkan kepribadian merek dan pemilihan media mempengaruhi penetrasi segmennya. Menurut Stout dalam Straubhaar and LaRose (2006) integrated marketing communication assures that the use of all commercial media and messages is clear, consistent, and achieves impact.

Jadi dapat dikatakan bahwa komunikasi pemasaran merupakan suatu strategi dalam membangun produk atau merek dengan cara mengkomunikasikan nilai-nilai dan kepribadian merek melalui upaya penciptaan situasi pemasaran yang menyenangkan melalui periklanan maupun bentuk promosi penjualan lainnya yang bersifat informatif, persuasif, jelas dan konsisten. Dalam penelitian ini difokuskan pada komunikasi pemasaran melalui periklanan.


(30)

Pengertian periklanan adalah bentuk komunikasi yang dibayar dan biasanya bersifat persuasif. Meskipun tujuan periklanan selalu untuk menginformasikan dan membujuk, namun periklanan juga mengalami perubahan yang dramatis sebagai suatu bentuk komunikasi (Stout dalam Straubhar and LaRose, 2006). Sedangkan Kasali (1992) mengungkapkan pengertian periklanan sebagai keseluruhan proses yang meliputi penyiapan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan penyampaian iklan. Sebagai suatu tujuan, Jefkins (1996) mengatakan advertising aims to persuade people to buy.

Dalam dunia industri periklanan terdapat tiga pelaku periklanan yang disebut sebagai hubungan tripartit, yaitu pengiklan, pencipta iklan (biro iklan), dan pihak media. Proses periklanan berlangsung sejak pengiklan membayar komisi kepada biro iklan untuk menciptakan iklan, kemudian mengawasi pekerjaannya. Biro iklan membantu pengiklan dalam menciptakan iklan, mengembangkan kreasi dan membeli ruang dan atau waktu di media, kemudian menempatkan iklan berdasarkan pada data rating. Pihak media membantu menyediakan ruang dan atau waktunya untuk digunakan oleh pengiklan (Kasali, 1992; Stout dalam Straubhaar and LaRose, 2006).

Lembaga pengawas yang terdiri dari pemerintah dan para pesaing berinteraksi atau bahkan mempengaruhi aktivitas pengambilan keputusan pengiklan dengan berbagai cara. Pemerintah berkepentingan dalam memberi rambu-rambu dalam bentuk peraturan pemerintah seperti norma-norma kesusilaan, kesehatan, ataupun keselamatan penggunaan. Sedangkan para pesaing memegang peranan langsung maupun tidak langsung dalam mempengaruhi gerakan pengiklan. Apa yang dilakukan pesaing biasanya tercermin dalam kampanye-kampanye periklanan yang dilakukannya dan akan dipantau terus-menerus (Kasali 1992; Stout dalam Straubhaar and LaRose, 2006). Model proses periklanan dapat dilihat pada Gambar 1.


(31)

Gambar 1. Model Proses Periklanan (diadaptasi dari Kasali, 1992; Stout dalam Straubhaar and LaRose, 2006)

Stout dalam Straubhaar and LaRose (2006) mengatakan bahwa advertising must communicate important information about product (such as price, features, channel of distribution, and the like), but it also requires a creative way of stating these facts that cuts through the clutter of competing advertisements and gets attention of consumers. All messages have an informational dimension and an emotional dimension. Because advertising has to get the attention of audience members who are usually not interested in the message, how the message is conveyed is just as important as what is said. Advertising is as a form of communication in terms of both its style and its content, and the continuity of theme. Advertiser and advertising agency integrate symbols of popular culture. Ultimately, advertising turns out to be a reflection of social and culture norms due to a tendency of communicate in the language of the familiar.

Periklanan dapat dikatakan sebagai keseluruhan proses yang meliputi penyiapan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan penyampaian periklanan dari suatu produk atau merek melalui media massa yang dibayar dengan tujuan menginformasikan dan membujuk orang untuk membeli. Proses periklanan suatu produk atau merek melibatkan hubungan tiga (3) pihak, yaitu pengiklan, pencipta iklan, dan pihak media. Pencipta iklan, berdasarkan informasi produk atau merek dari pengiklan, mengintegrasikan pesan dalam periklanan berupa simbol budaya popular dalam bahasa yang mudah dipahami masyarakat. Di sisi lain, pemerintah berfungsi sebagai lembaga pengawas, sedangkan pesaing berkontribusi dalam mempengaruhi pengiklan dalam pengambilan keputusan. 2.4.1 Pengiklan

Pengiklan Pencipta

Iklan

Media

Khakayak

Komisi Pembelian media

Iklan

Rating

Jalur dari media Pembelian oleh

konsumen Review


(32)

Pengiklan merupakan penggagas awal dalam suatu proses komunikasi pemasaran melalui periklanan. Kasali (1992) mengatakan bahwa pengiklan adalah inti dari sistem manajemen periklanan yang memfokuskan perhatian pada analisa, perencanaan, pengendalian dan aktivitas pengambilan keputusan. Pengiklan melakukan seluruh pengarahan manajerial dan dukungan anggaran untuk mengembangkan program periklanan perusahaan atau lembaga bersangkutan. Sewaktu membuat iklan, pengiklan harus memperhatikan identitas perusahaan, strategi pemasaran dan produk utama andalan perusahaan. Atas dasar itu strategi periklanan diharapkan dapat mendukung program pemasaran tanpa menghilangkan kesan konsumen terhadap kepribadian perusahaan.

Stout dalam Straubhaar and LaRose (2006) mengatakan bahwa dalam penciptaan pesan periklanan pada dasarnya tidak dilakukan oleh pengiklan. Pengiklan mendelegasikan penciptaan pesan periklanannya kepada pencipta iklan (advertising agency). Pengiklan berfokus untuk menghasilkan suatu produk dan menjualnya, sedangkan perencanaan dan pelaksanaan kampanye periklanan dilakukan oleh pencipta iklan yang ditunjuknya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pengiklan berfokus untuk menghasilkan suatu produk dan menjualnya, makanya waktu membuat iklan, pengiklan harus memperhatikan identitas perusahaan, strategi pemasaran dan produk utama andalan perusahaan. Atas dasar itu strategi periklanan diharapkan dapat mendukung program pemasaran tanpa menghilangkan kesan konsumen terhadap kepribadian perusahaan.

2.4.2 Produk

Produk menurut Stanton dalam Alma (2004) adalah seperangkat atribut baik berwujud maupun tidak berwujud termasuk di dalamnya masalah warna, harga, nama baik pabrik, nama baik toko yang menjual (pengecer) dan pelayanan pabrik serta pelayanan pengecer, yang diterima oleh pembeli guna memuaskan keinginannya. Kotler

and Roberto (1989) mengatakan bahwa produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan di pasar, untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen. Produk terdiri atas barang, jasa, pengalaman, events, orang, tempat, kepemilikan, organisasi, informasi dan ide.

Kategori produk lain disebut Kotler and Roberto (1989) sebagai produk sosial. Menurutnya produk sosial terdiri dari ide (idea), praktek sosial (practice) dan produk nyata (tangible object). Tipe ide terdiri dari (a) kepercayaan (belief) merupakan suatu persepsi mengenai sesuatu hal yang faktual; kepercayaan juga meliputi evaluasi, (b)


(33)

sikap (attitude) merupakan evaluasi positif atau negatif mengenai orang, obyek, ide atau peristiwa, (c) nilai (value) merupakan keseluruhan ide mengenai apa yang benar dan salah. Produk bertipe praktek sosial, yaitu tindakan (act) dan perilaku (behavior) yang mungkin saja merupakan peristiwa dari suatu tindakan tunggal, seperti hadir untuk mendapatkan vaksinasi atau memberikan suara dalam pemilu. Praktek tindakan sosial dapat berbentuk tindakan pribadi ataupun pembentukan pola perilaku. Sedangkan produk nyata mengacu kepada produk fisik yang membantu suatu kampanye. Produk nyata merupakan produk pelengkap atau penyempurnaan dari praktek sosial.

Seluruh dimensi produk, baik bersifat tangible maupun intangible, yang memberikannya nilai merupakan merek dari produk tersebut. Suatu merek berisi seluruh dimensi yang mengidentifikasi dan memberi nilai unik bagi suatu produk atau perusahaan (Stout dalam Straubhaar and LaRose, 2006). Setiap produk memiliki karakteristik tersendiri. Karakteristik adalah ciri khas yang menunjukkan keistimewaan yang membedakan sesuatu hal. Karakteristik produk menurut Kasali (1992) adalah adanya penonjolan salah satu dari sekian unsur produk yang dapat ditonjolkan. Tetapi ada pula dan dapat pula ditonjolkan dua (2) atau lebih atribut secara bersamaan.

Karakteristik produk tersebut dapat dibagi menjadi tiga (Kasali, 1992), yaitu : a. Karakteristik fisik. Penonjolan karakter ini meliputi sifat-sifat fisik suatu produk,

seperti suhu, warna, ketebalan, kehalusan, jarak, harga, kekenyalan, kekuatan, berat, dan sejenisnya.

b. Karakteristik fisik semu. Karakter ini tidak dapat diukur atau dilihat dengan jelas seperti karakter fisik di atas yang meliputi sifat-sifat yang bertalian dengan rasa, selera, bau (keharuman), simbol-simbol, dan sebagainya.

c. Keuntungan konsumen. Keuntungan ini mengacu pada keuntungan yang dapat dinikmati oleh calon pembeli. Misalnya, tidak berbahaya bagi kulit, aman bagi anak-anak dan wanita hamil, tidak berbau, tidak berlemak, mudah dihidangkan, dan sebagainya. Hal ini disebut keuntungan ekstra.

Dalam mengatasi ledakan produk yang akan terjadi, banyak produsen yang menyadari untuk menyusun ataupun menanamkan produknya dalam benak konsumen. Banyaknya tangga-tangga dalam benak konsumen, memperkeras usaha produsen untuk menduduki tangga pertama dengan memperkenalkan kategori atau variasi produk baru yang diharapkan agar konsumen dapat mencengkram produk tersebut di dalam benaknya apalagi jika produk itu berkaitan dengan produk yang terdahulu.


(34)

Setiap kategori produk apapun, berprospek mengetahui manfaat penggunaan setiap produk. Untuk memanjat tangga produk yang ada pada pikirannya, produsen harus mengaitkan produk yang akan diluncurkan dengan merk-merk lain yang sudah ada dalam benaknya (Ries and Trout, 1981). Menurut Arnold (1996), inti dari sebuah merk merupakan kepribadian merk sekaligus unsur yang harus tampil lain daripada yang lain dalam pasar. Inilah yang membuat konsumen merasa loyal. Dalam produk dapat dilihat adanya keuntungan-keuntungan yang nyata yang diberikan merk tersebut setelah melihat kegunaan merk tersebut dan mendorong untuk berusaha memuaskan, serta memenuhi kebutuhan dan keinginannya.

Sehubungan dengan hal di atas, Kasali (1992) mengungkapkan bahwa karakteristik produk dapat menggambarkan hal berikut :

a. Pengelompokkan atau penggolongan produk b. Mutu implisit produk

c. Pelayanan tambahan

d. Penggolongan produk tradisional e. Tahap daur hidup

f. Distribusi produk

g. Kepribadian produk (citra dan posisinya) h. Kemasan dan penampilan

i. Daya jangkau bagi konsumen

Dapat disimpulkan bahwa karakteristik produk secara tidak langsung mempengaruhi pembelian dari calon konsumen. Karakteristik produk yang mengiringi dapat mempengaruhi suatu produk dalam memberikan alternatif untuk memberikan kepuasan tersendiri bagi konsumen. Karakteristik produk dapat dibentuk berdasarkan : (a) karakteristik fisik, seperti suhu, warna, ketebalan, kehalusan, jarak, harga, kekenyalan, kekuatan, berat, dan sejenisnya; (b) karakteristik fisik semu meliputi sifat yang bertalian dengan rasa, selera, keharuman, simbol-simbol, dan sejenisnya; (c) keuntungan konsumen, seperti tidak berbahaya bagi kulit, aman bagi anak-anak dan wanita hamil, tidak berbau, tidak berlemak, mudah dihidangkan, dan sebagainya. Agar kepribadian dari produk itu tetap ada, karakteristik dari produk diusahakan tidak bertabrakan dengan inti dari merk tersebut malah justru harus menambah nilai plus dari produk tersebut.


(35)

Dalam periklanan, pencipta iklan merupakan bagian dari biro iklan atau perusahaan periklanan (advertising agency). Perusahaan periklanan berisi individu-individu berbakat yang menciptakan dan melakukan perencanaan periklanan. Perencanaan periklanan merupakan suatu dokumen tertulis yang berisi garis besar tujuan dan strategi bagi periklanan suatu produk (Stout dalam Straubhaar and LaRose, 2006).

Dalam perencanaan periklanan, menurut Stout dalam Straubhaar and LaRose (2006) pencipta iklan berpedoman pada beberapa unsur, yaitu :

a. Situation Analysis, yaitu (1) menjelaskan dimana perusahaan saat ini, bagaimana mencapainya dan ingin berada di masa depan, (2) mengidentifikasi persoalan-persoalan relevan yang harus ditujukan oleh periklanan dan memberikan gambaran lengkap tentang konsumen dan produk.

b. Objectives, yaitu (1) segala hal yang berkaitan dengan pencapaian kampanye periklanan, (2) berdasarkan pada sifat produk, persaingan, permintaan konsumen dan ketersediaan anggaran.

c. Target Market Profile, yaitu gambaran individu-individu yang paling mungkin membeli produk, seperti sifat demografik dan psikografiknya.

d. Positioning Statement, yaitu paragraf singkat yang menjelaskan bagaimana perusahaan menginginkan konsumen mempersepsi produk.

e. Creative Strategy, yaitu bagian dari perencanaan yang menggambarkan tema spesifik dan pendekatan periklanan tentang apa yang ingin ditampilkan periklanan secara nyata. Strategi kreatif berisi ”a big idea” atau suatu cara yang menyegarkan

dan menarik untuk menganggap penting suatu produk.

f. Media plan, yaitu perencanaan media yang akan digunakan dalam melancarkan kampanye periklanan.

Stout dalam Straubhaar and LaRose (2006) mengatakan bahwa a key element in the advertising plan is the creative strategy, or what the advertising will say in order to achieve the objectives of the campaign. Using the research data as a foundation, copywriters and graphic designer begin work on a creative concept or “big idea”. Concepting is the act of saying something in a unique way but at the same time ensuring that the message is “on strategy” with what needs to be communicated for the product to sell.

Peran besar pencipta iklan dalam kampanye periklanan adalah bagaimana menciptakan konsep kreatif atau “big idea” bagi komunikasi suatu produk. Copywriter


(36)

mengenai produk, pasar dan konsumen sasaran dan kemudian menginkubasinya untuk menghasilkan positioning tertentu di dalam komunikasi yang kemudian dapat dipakai untuk merumuskan tujuan iklan (Kasali, 1992; Stout dalam Straubhaar and LaRose, 2006). Dalam hal ini, pencipta iklan melakukan proses pembentukan dan penentuan

positioning bagi produk yang akan diiklankan. Pencipta iklan melandaskan pekerjaannya berdasarkan pada perencanaan periklanan yang meliputi analisis situasi, tujuan, profil

target market, pernyataan positioning, strategi kreatif dan perencanaan media. Untuk itu dilakukan reproduksi dengan cara mengkonstruksi informasi-informasi bersifat sosial tersebut untuk diwujudkan ke dalam pesan sebuah iklan.

2.4.4 Iklan

Definisi iklan menurut Kasali (1992) adalah pesan yang menawarkan suatu produk yang ditujukan kepada masyarakat lewat suatu media. Menurut Kotler (1994), iklan merupakan bentuk komunikasi non-personal yang dilaksanakan lewat media dan dibayar oleh sponsor yang jelas. Iklan menurut Effendy (1989) adalah pesan komunikasi yang disebarluaskan kepada khalayak untuk menawarkan barang dan jasa dengan menyewa media. Iklan juga merupakan informasi, baik verbal maupun non verbal yang berfungsi untuk membujuk konsumen untuk membeli produk yang ditawarkan. Sandage (1975) menyatakan bahwa iklan berfungsi sebagai pembimbing bagi konsumen yang memberitahukan adanya suatu produk yang dapat memuaskan suatu kebutuhan, tempat dimana produk itu dapat diperoleh dan mutu yang ditawarkan barang tersebut.

Rangsangan agar konsumen membeli produk yang ditawarkan, dibutuhkan juga iklan yang semenarik mungkin dengan visual seekspresif mungkin, sehingga dapat menggambarkan produk yang dimaksud. Dengan menampilkan iklan baik yang sifatnya informatif dan persuasif, diharapkan mampu merangsang dan membujuk orang untuk membeli.

Littlejohn (1989) menyatakan informatif adalah pesan yang mampu mengurangi ketidakpastian dan untuk membuat peramalan keputusan. Persuasif adalah bagaimana seorang individu berubah sikap sebagai hasil transaksi dengan pihak lain. Dengan tersiratnya makna persuasif dalam sebuah iklan diharapkan konsumen dapat merubah sikap dan loyal terhadap produk yang diiklankan.

Isi pesan iklan menurut Stout dalam Straubhaar and LaRose (2006) bermakna tersembunyi dan implisit. Pesan tersembunyi dalam iklan adalah pesan yang bersifat halus dan memanipulasi yang secara tidak disadari merangsang pembelian. Sedangkan pesan implisit adalah pesan bersifat tegas yang tidak hanya menjual produk, tetapi juga


(37)

mempromosikan gaya hidup materialistik dimana kebahagiaan hidup dapat dicapai dengan mengkonsumsi barang materi.

Banyaknya iklan produk dan jasa di televisi, terutama iklan yang sejenis, menyebabkan pesan dalam sebuah iklan di televisi harus dapat memberikan daya tarik dan citra tersendiri bagi khalayaknya. Hal tersebut dimaksudkan agar terjadi kesesuaian antara isi pesan yang terkandung dalam iklan dengan yang dipersepsikan oleh khalayak, sehingga pesan tersebut mampu memposisikan merek dari produk atau jasa yang diiklankan ke dalam benak khalayak.

Nurrahmawati (2002) mengatakan pengingatan nama merek dalam pesan iklan merupakan respon yang perlu ditanamkan dalam benak calon konsumen untuk bertindak melakukan pembelian. Menurut Mulyana (1997), iklan televisi bukan bercerita mengenai sifat produk yang ditawarkan, tetapi sifat para pembelinya, sehingga konsumen membeli bukan karena produknya, tetapi karena sentuhan emosi dari pesan iklannya. Iklan televisi mengarahkan konsumen untuk mempercayai realitas yang ditampilkan dalam bentuk simbol-simbol produk sosial.

Dalam menyampaikan pesannya, iklan-iklan tersebut sangat berpengaruh pada khalayak, di mana khalayak dipaksa untuk menerima informasi-informasi di luar batas kemampuan khalayak itu sendiri, karena terlalu banyaknya informasi yang disampaikan yang khalayak terima, sehingga khalayak merasa jenuh. Informasi-informasi tersebut tidak lagi dapat diseleksi secara rasional. Untuk itu, informasi-informasi tersebut disusun menurut tangga-tangga, di mana anak tangga pertama dipersepsikan sebagai yang paling bagus dan paling bermutu. Sedangkan anak tangga kedua dipersepsikan sebagai kurang bermutu atau sebagai merk kedua (Kasali, 1992).

Untuk menjadi anak tangga pertama tidaklah mudah, karena kesemuanya itu menyangkut persepsi dari seseorang, yaitu bagaimana cara untuk menyakinkan calon pembeli untuk menentukan mereknya pada tangga pertama. Di sini manusia melakukan proses seleksi di dalam pikirannya dalam menerima pesan-pesan komunikasi yang merupakan satu bagian dari proses persepsi dalam pikiran manusia pada saat proses komunikasi berlangsung (Kasali, 1992).

Untuk mencapai tangga pertama diperlukan positioning, karena untuk mencapai anak tangga pertama seseorang harus memahami dan telah mengingat merek produk tertentu di antara produk-produk sejenis lainnya. Strategi positioning digunakan sebagai jalan untuk menempatkan produk di dalam pikiran konsumen dengan menonjolkan salah satu keunggulan di antara keunggulan-keunggulan yang lain (Kasali, 1992).


(38)

Iklan adalah pesan komunikasi verbal maupun non verbal yang disampaikan kepada komunikan dengan maksud agar membeli dan tetap loyal kepada produknya. Tanpa harus mengabaikan bagaimana cara agar orang melihat, tertarik, memahami dan membeli setelah melihat iklan dengan cara membuat iklan semenarik mungkin serta harus disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan konsumen.

Kebanyakan hanya sedikit khalayak menyimak iklan yang ditayangkan di televisi. Hal demikian menurut Collet dalam Kasali (1992) dikarenakan :

a. Sifat iklan itu sendiri yang mencerminkan sifat produk yang diiklankan.

b. Sifat khalayak pemirsa itu sendiri. Sebagian dari khalayak sama sekali tidak mau disuguhi iklan, sedangkan sebagian lainnya lagi memang commercial consumers. c. Positioning iklan tersebut di dalam keseluruhan program siaran televisi, terutama

saat-saat penyiaran dan acara yang disela.

d. Perhatian pemirsa acap kali sangat ditentukan oleh kehadiran orang lain di dalam ruang tempat menonton. Semakin banyak orang yang berada di situ, semakin kecil perhatian pemirsa terhadap iklan.

e. Pemuatan iklan. Jika iklan disela di antara adegan-adegan yang menarik dari suatu program yang banyak disukai orang, makin banyak waktu yang dihabiskan oleh pemirsa untuk melihat iklan.

Menurut Bettinghaus (1973), pesan persuasif dibentuk atau dirancang melalui penggunaan sistem kode secara efektif. Sistem kode tersebut, yaitu sekelompok simbol dan sekelompok aturan yang tergabung menjadi unit-unit bermakna. Sistem kode tersebut merupakan unsur dasar dari sistem bahasa, seperti kata-kata yang merupakan bahasa verbal atau sistem kode verbal. Selain itu sistem kode nonverbal, seperti ekspresi wajah, kerutan dahi, senyuman, gerak tubuh, isyarat dan lainnya. Meskipun unsur dalam sistem kode nonverbal berbeda, namun aturan dalam membentuk makna tidak berbeda karakteristiknya dengan sistem kode verbal. Bahkan fungsi pesan nonverbal

mempertegas makna pesan verbal.

Pesan dalam sebuah iklan dapat disebut teks iklan. Sebagai suatu teks, pesan dalam iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas lambang, baik verbal maupun berupa ikon. Iklan juga menggunakan tiruan indeks, terutama dalam iklan radio, televisi dan film. Pada dasarnya, lambang yang digunakan dalam iklan terdiri atas dua jenis, yaitu verbal maupun nonverbal. Lambang verbal adalah bahasa yang dikenal; lambang

nonverbal adalah bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan, yang tidak secara khusus meniru rupa atau bentuk realitas. Ikon adalah bentuk dan warna yang serupa atau


(39)

mirip dengan keadaan yang sebenarnya seperti gambar benda, orang, atau binatang. Ikon di sini digunakan sebagai lambang (Sobur, 2003).

2.4.5 Iklan Televisi

Iklan televisi sangat tergantung pada bentuk siarannya, apakah merupakan bagian dari suatu kongsi atau sindikat, jaringan, lokal, kabel, atau bentuk lainnya (Kasali, 1992). Lebih lanjut, Kasali (1992) membagi iklan televisi ke dalam empat (4) bentuk, yaitu :

a. Pensponsoran. Banyak sekali acara televisi yang penayangan dan pembuatannya dilakukan atas biaya sponsor atau pengiklan. Pihak sponsor bersedia membiayai seluruh biaya produksi plus fee untuk televisi.

b. Partisipasi. Iklan disisipkan di antara satu atau beberapa acara (spots). Pengiklan dapat membeli waktu yang tersedia, baik atas acara yang tetap maupun yang tidak tetap.

c. Spot Announcement. Iklan ditempatkan pada pergantian acara.

d. Public Service Announcement. Iklan layanan masyarakat yang ditempatkan di tengah-tengah suatu acara. Iklan ini biasanya dimuat atas permintaan pemerintah atau suatu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk menggalang solidaritas masyarakat atas suatu masalah.

Menurut Kasali (1992) di dalam dunia periklanan, kata kreatif banyak dipakai bersama beberapa kata lain untuk merujuk pada istilah dan pengertian berbeda, antara lain (1) orang kreatif, (2) strategi kreatif dan (3) pengerjaan kreatif. Strategi kreatif merupakan berbagai informasi mengenai produk, pasar dan konsumen sasaran, ke dalam suatu posisi tertentu di dalam komunikasi yang kemudian dapat dipakai untuk merumuskan tujuan iklan. Pengerjaan kreatif mencakup pelaksanaan dan pengembangan konsep atau ide yang dapat mengemukakan strategi dasar dalam bentuk komunikasi efektif. Termasuk pembuatan judul dan atau kepala tulisan (headline), perwajahan dan naskah, baik dalam bentuk kopi untuk iklan-iklan media cetak, tulisan untuk iklan-iklan radio, maupun storyboards untuk iklan-iklan televisi. Kreativitas iklan televisi diciptakan dengan memperhatikan karakter produk untuk memiliki kemampuan memposisikan (positioning) yang khas di dalam benak khalayak sasaran.

Proses kreatif sebuah iklan televisi memang unik dan memerlukan kepiawaian, serta kecermatan khusus dalam penggarapannya. Sifat medianya yang sangat khas, menuntut tampilan yang khas. Mulai dari konsep yang dapat mengoptimalkan kekuatan media tersebut, hingga mengurangi atau menghilangkan kelemahan-kelemahannya.


(1)

sosial termanifes dalam bentuk terjadinya pertukaran lambang komunikasi, baik verbal maupun nonverbal. Oleh karena masing-masing sadar akan adanya kehadiran pihak lain yang menyebabkan perubahan-perubahan dalam diri orang bersangkutan. Hal demikian membangkitkan kesan dalam pikiran seseorang, hingga kemudian akan memutuskan tindakan apa yang akan dilakukan.

Interaksi sosial mengandung dua (2) proses, yaitu adanya kontak sosial dan adanya komunikasi. Kedua proses ini saling mengkait satu sama lain. Dalam kontak sosial dapat dipastikan melibatkan komunikasi, yang disebut oleh Effendy (1993) sebagai proses pernyataan antar manusia. Kontak sosial berdasarkan komunikasi tersebut membentuk pola-pola interaksi di antara para pihak yang terlibat (partisipan). Menurut Soekanto (2002) proses interaksi sosial merupakan proses yang bersifat asosiatif dan disosiatif. Proses tersebut membentuk pola-pola interaksi berupa kerjasama (cooperation), persaingan (competition) dan pertentangan/pertikaian (conflict).

Dalam konteks komunikasi, terjadi proses pemaknaan dan penafsiran oleh masing-masing partisipan terhadap lambang-lambang komunikasi yang dipakainya. Hal ini menggambarkan bahwa dalam berinteraksi, masing-masing orang tersebut memiliki kedudukan yang sangat penting dan memiliki fakta subyektif meskipun memiliki batasan-batasan dengan konsekuensi-konsekuensi riilnya (Poloma, 2000).

Poloma (2000) mengatakan bahwa dalam pandangan interaksionis simbolis manusia bukan dilihat sebagai produk yang ditentukan oleh struktur atau situasi obyektif, tetapi paling tidak sebagian, merupakan aktor-aktor yang bebas. Pendekatan kaum interaksionis simbolis menekankan perlunya sosiologi memperhatikan definisi atau interpretasi subyektif yang dilakukan aktor terhadap stimulus obyektif, bukannya melihat aksi sebagai tanggapan langsung terhadap stimulus sosial.

Littlejohn (1989) yang mengutip Blumer mengawali interaksi simbolik dengan tiga (3) dasar pemikiran berikut :

a. Manusia berperilaku terhadap hal-hal berdasarkan makna yang dimiliki hal-hal tersebut baginya.

b. Makna hal-hal itu berasal dari, atau muncul dari interaksi sosial yang pernah dilakukan dengan orang lain.

c. Makna-makna itu dikelola dalam dan diubah melalui proses penafsiran yang dipergunakan oleh orang yang berkaitan dengan hal-hal yang dijumpainya.

Pendapat Blumer dalam Effendy (1993) tentang interaksi simbolik meliputi lima (5) konsep dasar berikut :


(2)

a. Konsep Diri. Manusia bukan semata-mata organisme yang bergerak di bawah pengaruh perangsang-perangsang, baik dari dalam maupun dari luar, melainkan organisme yang sadar akan dirinya (an organism having a self). Oleh karena seorang diri, maka mampu memandang dirinya, sebagai obyek pikirannya dan berinteraksi dengan dirinya sendiri, yaitu mengarahkan dirinya ke berbagai obyek, termasuk dirinya sendiri, berunding dan berwawancara dengan dirinya sendiri; mempermasalahkan, mempertimbangkan, menguraikan dan menilai hal-hal tertentu yang telah ditarik ke dalam lapangan kesadarannya, serta akhirnya merencanakan dan mengorganisasikan perilakunya. Antara perangsang dan perilakunya tersisiplah proses interaksi dengan diri sendiri tadi. Hal tersebut merupakan kekhasan manusia. b. Konsep Kegiatan. Oleh karena perilaku manusia dibentuk dengan proses interaksi

dengan diri sendiri, maka kegiatannya berlainan sama sekali dengan kegiatan makhluk-makhluk lain. Manusia menghadapkan dirinya pada berbagai hal, seperti tujuan, perasaan, kebutuhan, perbuatan dan harapan, serta bantuan orang lain, citra dirinya (self image), cita-citanya, dan lain sebagainya. Maka dari itu, perancangan kegiatannya tidak semata-mata sebagai reaksi biologis terhadap kebutuhannya, norma kelompoknya, atau situasinya, melainkan merupakan konstruksi. Dalam hal ini manusia sendiri menjadi konstruktor perilakunya.

c. Konsep Obyek. Manusia hidup ditengah-tengah obyek. Obyek meliputi segala sesuatu yang menjadi sasaran perhatian manusia. Obyek bersifat konkret seperti kursi, dapat pula abstrak seperti kebebasan, bersifat pasti seperti golongan darah, atau agak kabur seperti ajaran filsafat. Inti hakiki obyek tidak ditentukan oleh ciri-ciri instriknya, melainkan oleh minat seseorang dan makna yang dikenakan kepada obyek tersebut, maka tidak hanya kegiatan atau perbuatan yang harus dilihat sebagai konstruksi, tetapi juga obyek.

d. Konsep Interaksi Sosial. Interaksi berarti proses pemindahan diri perilaku yang terlibat secara mental ke dalam posisi orang lain. Dengan demikian, mencoba mencari makna yang oleh orang lain diberikan kepada aksinya yang memungkinkan terjadinya komunikasi atau interaksi. Jadi, interaksi tidak hanya berlangsung melalui gerak-gerak secara fisik, melainkan melalui lambang-lambang yang maknanya perlu dipahami. Dalam interaksi simbolik seseorang mengartikan dan menafsirkan gerak-gerak orang lain dan bertindak sesuai dengan makna yang dikandungnya. Orang-orang menimba perbuatan masing-masing secara timbal balik, dalam arti tidak hanya merangkaikan perbuatan orang yang satu dengan perbuatan orang lainnya,


(3)

melainkan seolah-olah menganyam perbuatan-perbuatannya menjadi apa yang barangkali dapat disebut transaksi, dalam arti kata perbuatan-perbuatan yang berasal dari masing-masing pihak itu diserasikan, sehingga membentuk suatu aksi bersama yang menjembataninya.

e. Konsep Aksi Bersama. Aksi bersama berarti kegiatan kolektif yang timbul dari penyesuaian dan penyerasian perbuatan orang-orang satu sama lain. Misalnya, transaksi dagang, makan bersama keluarga, upacara pernikahan, diskusi, sidang pengadilan, peperangan, dan sebagainya. Analisis aksi bersama ini menunjukkan bahwa hakikat masyarakat, kelompok atau organisasi tidak harus dicari dalam struktur relasi-relasi yang tetap, melainkan dalam proses aksi yang sedang berlangsung. Tanpa aksi setiap struktur relasional tidak dapat dipahami secara atomistis, melainkan sebagai aksi bersama, di mana unsur-unsur individual dicocokkan satu sama lain dan melebur.

Poloma (2000) mengemukakan bahwa dalam interaksi simbolik mengandung sejumlah ide-ide dasar berikut :

a. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan tersebut saling bersesuaian melalui tindakan bersama, yaitu membentuk apa yang dikenal sebagai organisasi atau struktur sosial.

b. Interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan manusia lain. Interaksi-interaksi nonsimbolis mencakup stimulus-respon yang sederhana, seperti halnya batuk untuk membersihkan tenggorokan seseorang. Interaksi simbolis mencakup ”penafsiran tindakan”. Bila dalam pembicaraan seseorang pura-pura batuk ketika tidak setuju dengan pokok-pokok yang diajukan oleh si pembicara, batuk tersebut menjadi suatu simbol berarti yang dipakai untuk menyampaikan penolakan. Bahasa tentu saja merupakan simbol berarti yang paling umum.

c. Obyek-obyek tidak mempunyai makna yang intrinsik; tetapi makna lebih merupakan produk interaksi simbolis. Obyek-obyek dapat diklasifikasikan ke dalam tiga (3) kategori yang luas, yaitu (1) obyek fisik, seperti meja, tanaman, atau mobil; (2) obyek sosial, seperti Ibu, Guru, Menteri, atau Teman; dan (3) obyek abstrak, seperti nilai-nilai, hak dan peraturan. Obyek dibatasi sebagai ”segala sesuatu yang berkaitan dengannya”. Dunia obyek ”diciptakan, disetujui, ditransformir dan dikesampingkan” lewat interaksi simbolis.


(4)

d. Manusia tidak hanya mengenai obyek eksternal, karena dapat melihat dirinya sebagai obyek. Pandangan terhadap diri sendiri ini, sebagaimana dengan semua obyek, lahir di saat proses interaksi simbolis.

e. Tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat oleh manusia itu sendiri. f. Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota kelompok.

Hal ini disebut sebagai tindakan bersama yang dibatasi sebagai ”organisasi sosial dari perilaku tindakan-tindakan berbagai manusia”.

2.6.3 Proses Semiosis dalam Pembentukan Positioning Iklan Televisi

Pencipta iklan ketika berhadapan dengan lambang-lambang verbal maupun nonverbal melakukan proses penafsiran dan pemaknaan terhadap lambang tersebut. Proses tersebut berlangsung terus menerus hingga mencapai makna terhadap tanda yang diinginkan. Pemaknaan yang diharapkan adalah penciptaan citra dari produk yang diiklankan. Proses demikian disebut sebagai proses semiosis.

Menurut Peirce dalam Budiman (2004) sebuah tanda atau representamen adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Sesuatu yang lain itu dinamakan interpretan dari tanda pertama, yang pada gilirannya mengacu pada obyek. Sebuah tanda atau representamen memiliki relasi triadik langsung dengan interpretan dan obyeknya. Apa yang dimaksud dengan proses semiosis merupakan proses memadukan entitas yang disebut sebagai representamen tadi dengan entitas lain yang disebut sebagai obyek. Proses semiosis sering disebut sebagai signifikansi. Bagi pencipta iklan, proses semiosis yang dilakukannya dibatasi oleh ruang dan waktu. Pencipta iklan bekerja berdasarkan tenggat waktu yang telah ditetapkan dalam kontrak kerja dengan pengiklan.

Bagaimana proses semiosis berlangsung dijabarkan oleh Budiman (2004) pada Gambar 2.


(5)

Gambar 2. Proses Semiosis menurut Peirce yang dikembangkan oleh Budiman (2004).

Klasifikasi sebuah tanda atau yang disebut sebagai representamen, menurut Peirce dalam Budiman (2004) dan Sobur (2003) sebagai berikut :

a. Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan ”rupa” sebagaimana dapat dikenali oleh pemakainya. Di dalam ikon hubungan antara representamen dan objeknya terwujud sebagi ”kesamaan dalam beberapa mutu”. Setiap tanda yang mengikuti sifat obyeknya disebut sebuah ikon. Misalnya, rambu-rambu lalu lintas sebagian besar adalah ikon.

b. Indeks adalah tanda yang memiliki keterkaitan fenomenal atau eksistensial di antara representamen dan obyeknya. Di dalam indeks hubungan antara tanda dan obyeknya bersifat konkret aktual dan biasanya melalui suatu cara sekuensial atau kausal. Setiap tanda yang menjadi kenyataan dan keberadaannya berkaitan dengan obyek individual, maka disebut sebuah indeks. Jejak telapak kaki di permukaan tanah, misalnya, merupakan indeks dari seseorang yang telah lewat di sana.

Representamen interpretan

…...Representamen obyek

obyek

obyek Representamen

interpretan


(6)

c. Simbol merupakan jenis tanda yang bersifat arbitrer dan konvensional. Tanda yang diinterpretasikan sebagai obyek denotatif sebagai akibat dari suatu konvensi disebut sebuah simbol. Misalnya rambu lalu lintas ”dilarang masuk” adalah simbol yang bersifat arbitrer dan secara konvensi diterima masyarakat.

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Pikir Penelitian

Iklan rokok Sampoerna A Mild adalah salah satu iklan yang menggunakan televisi untuk mengkampanyekan produk sosialnya kepada masyarakat. Pesan dalam iklan rokok harus menyajikan ciri yang membedakan dengan produk sejenisnya. Agar khalayak sasaran dapat membedakan produknya dengan produk sejenis lainnya, maka iklan rokok Sampoerna A Mild menyajikan pesan dengan cara memposisikan produk rokok tersebut melalui penentuan dan pembentukan positioning berbeda.

Positioning yang berbeda dimaksudkan sebagai pencitraan produk yang memiliki kepribadian yang kuat di antara produk lainnya. Agar kepribadian produk tetap ada, maka karakteristik produk diusahakan tidak bertabrakan dengan inti dari merk tersebut dan justru menambah nilai plus dari produk tersebut.