KESIMPULAN Pertanggungjawaban Pidana PJTKI dalam kasus Human Trafficking

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

UU 39 tahun 2004 tentang PPTKI diperuntukkan bagi pekerjaburuh migran TKI yang bekerja ke luar negeri. UU inilah sesungguhnya yang secara langsung berkenaan dengan pencegahan dan upaya penanggulangan perdagangan tenaga kerja perempuan dan anak ke luar wilayah negara Indonesia. Sebagaimana dinyatakan dalam UU 39 tahun 2004: ”bahwa tenaga kerja Indonesia di luar negeri sering dijadikan objek perdagangan manusia termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia.” Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 105 Tahun 1957 Tentang Penghapusan Kerja Paksa Abolition of Forced Labour Convention, menuangkannya dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1999. Konvensi ini mengharuskan kerja paksa dalam bentuk apapun harus dihapus dari perundangan nasional, selain itu juga Negara wajib menerapkan hukuman pada orang-orang yang secara illegal menerapkan kerja paksakerja wajib. Sistem pertanggungjawaban pidana pelaku pidana dalam kasus perdagangan anak keluar negeri pada dasarnya masih sama dengan sistem pertanggungjawaban pidana kasus lainnya, yaitu berorientasi pada si pelaku secara pribadiindividual. Jadi menganut sistem pemidanaan atau “pertanggungjawaban individual personal” “individualpersonal responsibility”. Bahwa ancaman hukuman yang berat, merupakan salah satu cara untuk menghentikan perdagangan orang, akan tetapi bukan Universitas Sumatera Utara jaminan berhentinya transaksi memperdagangkan orang, karena besarnya keuntungan finansial dan bebas pajak dari bisnis tersebut disamping korbannya dalam posisi tawar lemah, karena berada dalam status sosial dan ekonomi lemah. Selama permintaan pasar tetap tinggi, maka ada saja pihak-pihak yang bermain untuk mendapatkan keuntungan dari perdagangan orang. Dengan adanya putusan-putusan dimana penghukumannya dijatuhkan dengan hukuman maksimal, dan konsisten, maka dapat dipastikan kejahatan memperdagangkan orang akan berhenti,setidak-tidaknya berkurang secara signifikan. Apalagi penegakan hukumnya dilakukan secara menyeluruh, termasuk kepada Kepala Desa, Camat, Calo dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam memalsukan identitas atau membantu terjadinya perdagangan anak dapat diseret ke Pengadilan dan dijatuhi hukuman. Kemauan politik untuk penegakan hukum dari aparat hukum sangat dinantikan. Pranata hukum dalam bentukundang-undang, sudah ada, tinggal tindakan tegas dan berkesinambungan. Orang Jepang mengatakan: Vision without action is a day dream. Action without vision is a nightmare. Peribahasa tersebut mengingatkan kitavisi konsep harus sejalan dengan tindakan. Undang-undang yang baik tidak menjadi jaminan adanya penegakan hukum yang baik. Tanpa aparat penegak hukum yang punya visi, integritas moral yang memadai dan kerja keras, sulit untuk mengharap perdagangan orang dapat dihentikan. Parameternya dapat dilihat dari putusan-putusan Pengadilan, karena putusan Pengadilan tersebut merupakan hasil akhir dari penegakan hukum. Pada tataran politis pemerintah telah menunjukkan keseriusan untuk menghapuskan perdagangan manusia termasuk perdagangan tenaga kerja, ini dibuktikan dengan telah diratifikasinya konvensi-konvensi internasional dan Universitas Sumatera Utara menuangkannya dalam peraturan nasional, namun pada tataran praktis instrumen Hukum Ketenagakerjaan sejauh ini masih memberi celah bagi perdagangan manusia untuk tujuan eksploitasi pekerja maupun dalam lembah prostitusi. Celah tersebut baik berasal dari peraturan perundang-undangan yang secara substansi masih belum jelas dan tegas, juga dari segi penegakannya masih parsialsektoral sebaiknya dilakukan kerjasama terpadu antar instansi.

B. SARAN