Keaslian Penelitian Konsep Pertanggungjawaban Pidana

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Wanita Dalam Kasus Human Trafficking oleh PJTKI belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang tindak pidana perdagangan manusia. Namun jelas berbeda. Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Hukum akan menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat menggunakan hukum menuruti perilakunya, sedangkan dilain pihak efektifitas hukum berkaitan erat dengan masalah kepatuhan hukum sebagai norma. Hal ini berbeda dengan kebijakan dasar yang relatif netral dan bergantung pada nilai universal dari tujuan dan alasan pembentukan undang- undang. 17 17 Lihat, Hikmahanto Juwana, Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia, Disampaikan Pada Seminar Nasional Reformasi Hukum dan Ekonomi, sub tema: Reformasi Agraria Mendukung Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52, Medan, Sabtu 14 Agustus 2004. Universitas Sumatera Utara Selanjutnya, Bismar Nasution melihat bahwa untuk memprediksi efektifitas suatu kaedah hukum yang terdapat dalam undang-undang tidak terlepas dari sistem hukum yang rasional, karena pada sistem hukum rasional yang memberikan panduan adalah hukum itu sendiri bukan sistem hukum yang karismatik yang disebut law prophet. Sistem hukum yang rasional dielaborasi melalui sistem keadilan yang secara profesional disusun oleh individu-individu yang mendapatkan pendidikan hukum, cara demikian membuat orang terhindar dari penafsiran hukum secara black letter rules atau penafsiran legalistic. 18 Kaedah hukum tersebut ada yang berwujud sebagai peraturan-peraturan tertulis, keputusan-keputusan pengadilan maupun keputusan- keputusan lembaga-lembaga kemasyarakatan. 19 Pemikiran tentang sistem hukum rasional yang dikemukakan oleh Bismar Nasution ini pada dasarnya dielaborasi dari pemikiran Max Weber yang terkenal dengan teori Ideal Type-nya. Dalam hukum ada empat type ideal, yaitu yang irrasional formal, irrasional materiel, rasional formal dalam masyarakat modern dengan mendasarkan konsep-konsep ilmu hukum dan rasional materiel. 20 Lain halnya dengan teori sociological jurisprudence dari Eugen Ehrlich yang menekankan hukum pada kenyataannya realitas dari pada kedudukan dan fungsi hukum dalam masyarakat, prinsip teori ini hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, konsep teori ini menunjukkan 18 Lihat, Bismar Nasution, Hukum Rasional Untuk Landasan Pembangunan Ekonomi Indonesia Disampaikan Pada Seminar Nasional Reformasi Hukum dan Ekonomi, sub tema: Reformasi Agraria mendukung Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52, Medan, Sabtu 14 Agustus 2004, hal. 8 19 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Edisi Baru, Raja Grafindo Persada, Jakarta,2001, hal. 3 20 Otje Salman, Sosiologi Hukum Suatu Pengantar, Armico, Bandung, 1983, hal.12 Universitas Sumatera Utara adanya kompromi antara hukum yang tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi kepastian hukum dan living law sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya peran masyarakat dalam pembentukan dan orientasi hukum. 21 Aktualisasi dari living law tersebut bahwa hukum tidak dilihat dalam wujud kaedah melainkan dalam masyarakat itu sendiri. Penerapan suatu sistem hukum rasional dalam sistem peradilan pidana criminal justice system tentunya memberikan dampak pada proses penegakan hukum di Indonesia terutama dalam hal kebijakan pemberlakuan hukum, seperti efektivitas Undang-undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang walaupun pada hakekatnya memiliki muatan politis yang diinginkan oleh pembuat Undang-undang dan masyarakat internasional, hal ini sejalan dengan pendapat Antony Allott yang menyatakan bahwa pembuatan hukum yang kilat atau tergesa-gesa akan dapat mengakibatkan hukum menjadi tidak efektif, yang pada gilirannya membuat apa yang diinginkan hukum itu tidak tercapai. 22 Sedangkan Soerjono Soekanto melihat efektivitas suatu kaedah hukum pada tatanan penegakan hukum sebagai suatu proses yang pada hakekatnya merupakan penerapan kebijakan yang menyangkut membuat keputusan yang secara ketat tidak diatur oleh kaedah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi dan pada hakekatnya direksi berada diantara hukum dan moral etika dalam arti sempit, hal ini 21 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 79 22 Lihat Antony Allot, The Efectiveness of Law, Valparaiso University Law Review, vol.15 Wiater,1981, hal. 233 dalam Bismar Nasution. Ibid, hal. 4 Universitas Sumatera Utara sebagaimana pendapat Roscoe Pound. 23 Meski dari hari ke hari aturan mesti direvisi guna dapat menyalurkan nilai keadilan, kepastian hukum serta kemanfaatan bagi masyarakat. Sebelum membahas permasalahan diatas maka akan terlebih dahulu dikemukakan beberapa pengertian yang terkait erat dengan pembahasan ini antara lain : 1 Perdagangan orang Human Trafficking Pada mulanya belum ada rumusan yang memadai tentang Human Trafficking, penggunaan yang paling mungkin untuk menunjukkan bahwa tindakan perdagangan orang tersebut adalah sebuah kejahatan tersebut tersebar dalam berbagai undang-undang. Misalnya KUHP, Undang-undang Perlindungan Anak, Undang-undang Buruh Migran, dan lain-lain. Karena itu, upaya memasukkan jenis kejahatan ini ke dalam perundang-undangan di Indonesia adalah langkah positif. 24 Namun setelah lahirnya Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, 23 Lihat Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grapindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 7 24 Dalam Laporan Unicef tahun 1998 diperkirakan jumlah anak yang tereksploitasi seksual atau dilacurkan di Indonesia mencapai 40.000 sd 70.000 anak tersebar di 75.106 tempat di seluruh wilayah Indonesia. Sebuah dokumen, yakni Traficking in Person Report yang diterbitkan oleh Deplu AS dan ESCAP juga telah menempatkan Indonesia pada peringkat ketiga atau terendah dalam upaya penanggulangan trafficking perempuan dan anak. Lihat dalam www.elsam.or.id, Perdagangan Manusia Dalam Rancangan KUHP dalam Agusmidah Makalah disampaikan dalam acara Dialog Interaktif tentang “Tekad Memberantas Perdagangan Perempuan dan Anak Dengan Memberi Advokasi Penegakan Hukum Melalui UU No. 21 Tahun 2007. Diselenggarakan oleh IKA FH USU Medan, 30 Agustus 2007 di FH USU Medan hal.2. Universitas Sumatera Utara penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, atau posisi rentan penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat sehingga, memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan negara atau antar negara tersebut, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi 2 Perdagangan Tenaga Kerja Trafficking in Person for Labor Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum maka bekerjanya sistem peradilan pidana criminal justice system menjadi prioritas utama dalam bidang penegakan hukum. Oleh sebab itu diperlukan keterpaduan antara sub sistem-sub sistem di dalam criminal justice system guna menanggulangi meningkatnya kualitas maupun kuantitas kejahatan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Tujuan dari sistem peradilan pidana adalah: a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan. b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana. c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. 25 Istilah “criminal justice system” menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. 26 Remington dan Ohlin mengemukakan: 25 Lihat, Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta, 1997, hal. 84-85 Universitas Sumatera Utara “Criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme pendekatan sistem mekanisme administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem peradilan pidana merupakan suatu interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sikap itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasan”. 27 Istilah sistem dari bahasa yunani “systema” yang mempunyai pengertian suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian whole compounded of several parts. 28 Secara sederhana sistem ini merupakan sekumpulan unsur-unsur yang saling berkaitan untuk mencapai tujuan bersama, yang tersusun secara teratur dan saling berhubungan dari yang rendah sampai yang tinggi. Stanford Optner menyebutkan bahwa sistem tersusun dari sekumpulan komponen yang bergerak bersama-sama untuk mencapai tujuan keseluruhan. 29 Hagan membedakan pengertian antara “criminal justice process” dan “criminal justice system” yang pertama adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya pada penentuan pidana. Sedangkan yang kedua adalah 26 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Presfektif Eksistensialisme dan Abolisianisme, Binacipta, Bandung, 1996, hal.14 27 Ibid, hal.4 28 Stanford Optner, System Analysis for Business Management, Prentice Hall, Inc., New York, 1968,hal.3, dalam Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, Rajawali, Cet.1. Jakarta, 1986, hal.5 29 Ibid Universitas Sumatera Utara interkoneksi antar keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan. 30 Criminal justice system pada hakikatnya merupakan sistem yang berupaya menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan, baik kepentingan negara, masyarakat maupun individu termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan. Sub sistem yang harus bekerja sama di dalam criminal justice system untuk menanggulangi tindak pidana perdagangan orang keluar negeri adalah: a. DPR-RI b. Presiden RI c. BAPPENAS Badan Perencana Pembangunan Nasional d. Kementrian Kordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat e. Kementrian Pemberdayaan Perempuan f. Departemen Pendidikan Nasional g. Departemen Sosial h. Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata i. Departemen Kesehatan j. Departemen Tenaga Kerja k. Departemen Perhubungan l. Biro Pusat Statistik m. Direktorat Jendral Imigrasi n. Kepolisian o. Kejaksaan 30 Romli Atmasasmita, op.cit, hal.14 Universitas Sumatera Utara p. Pengadilan q. Lembaga Pemasyarakatan Untuk poin n,o,p,q diatas dapat diartikan sebagai sistem peradilan pidana criminal justice system dalam penegakan hukum pidana pada umumnya, 31 namun penulis berpendapat bahwa dalam upaya perlindungan hukum terhadap tenaga kerja wanita dalam kasus human trafficking oleh PJTKI, maka poin a,b,c,d,e,f,g,h,i,j,k,l dan m merupakan bagian sub sistem peradilan pidana yang turut membantu penegakan hukum pidana mengenai perdagangan orang. Penegakan hukum pidana dalam sistem peradilan pidana criminal justice system itu sendiri pada hakikatnya merupakan bagian dari politik kriminal yang menjadi bagian integral dari kebijakan sosial. Politik kriminal ini merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. 32 Sehubungan dengan penegakan hukum pidana ini, maka Lawrence M. Friedman yang mengkaji dari sistem hukum legal system menyatakan bahwa ada tiga komponen yang ikut menentukan berfungsinya suatu hukum dalam hal ini hukum pidana, yaitu struktur hukum structure, substansi hukum substance, dan budaya hukumnya legal culture. Dari ketiga komponen inilah menurut Friedman kita dapat melakukan analisis terhadap bekerjanya hukum sebagai suatu sistem. 33 Dari uraian yang dikemukakan Friedman ini nampak bahwa unsur structure dari suatu sistem hukum mencakup berbagai institusi yang diciptakan oleh sistem 31 Lihat, Mardjono Reksodiputro,Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana,Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta, 1997, hal.141. 32 Lihat, Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hal.99 33 Lihat, Lawrence Friedmen, America Law An Introduction, sebagaimana diterjemahkan oleh Wisnu Basuki PT Tatanusa, Jakarta, 1984, hal.6-7. Universitas Sumatera Utara hukum tersebut dengan berbagai fungsinya dalam rangka bekerjanya sistem tersebut. Salah satu diantara lembaga tersebut adalah pengadilan. Sedangkan komponen substance mencakup segala apa saja yang merupakan hasil dari structure, di dalamnya termasuk norma-norma hukum baik yang berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan, maupun doktrin-doktrin. Lebih jauh Friedman mengatakan bahwa apabila sedikit direnungkan maka sistem hukum itu bukan hanya terdiri atas structure dan substance. Masih diperlukan adanya unsur ketiga untuk bekerjanya suatu sistem hukum yaitu budaya hukum. Kerangka teori dalam menelaah peran serta criminal justice system terhadap upaya perlindungan hukum terhadap tenaga kerja wanita dalam kasus human trafficking oleh PJTKI dalam tatanan legal substance dapat dilihat dari rumusan Mochtar Kusumaatmadja, bahwa hukum adalah sarana pembangunan yaitu sebagai alat pembaharuan dan pembangunan. Mengingat fungsinya, sifat hukum pada dasarnya konservatif. Artinya hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah dicapai. Selain itu hukum harus dapat membantu proses perubahan pembangunan masyarakat tersebut. 34 Berdasarkan teori diatas, peran criminal justice system pada upaya perlindungan hukum terhadap tenaga kerja wanita dalam kasus human trafficking oleh PJTKI harus didasarkan pada pencapaian usaha untuk melakukan pemberantasan dan penanggulangan tindak pidana perdagangan orang dengan mengarahkan secara integrated terpadu seluruh komponen perangkat aturan kriminalisasi perdagangan 34 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dan Pembangunan, Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan Bekerjasama dengan PT. Alumni, Bandung, 2002, hal.13 dan 74 Universitas Sumatera Utara orang yang terbungkus oleh PJTKI dan aparatur penegak hukum dalam sistem peradilan pidana. Peranan perangkat aturan perdagangan orang dalam hukum positif Undang-undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Perdagangan Orang, KUHP dan peraturan perundangan lainnya harus lebih diorientasikan kepada realitasnya dan bukan menempatkan kedudukan dan fungsi hukum positif itu dalam masyarakat. Keberlakuan hukum positif ini harus sesuai dengan hukum yang hidup living law dalam masyarakat, apabila peran criminal justice system lebih diarahkan pada upaya pencapaian penanggulangan sebelum dan sesudah kejahatan perdagangan manusia keluar negeri terjadi. Dapat dikemukakan bahwa trafficking yang dimaksud ini menurut UU No 21 Tahun 2007 Pasal 1 angka 1 adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, atau posisi rentan penjeratan utang, aau memberi bayaran atau manfaat sehingga, memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan negara atau antar negara tersebut, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. 35 Khusus terhadap tuntutan pidana kepada para pelaku kejahatan perdagangan orang, tentu punya warna tersendiri yang harus memiliki daya cegah yang kuat dan berdampak jera, karena terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang ini, Undang-undang RI.No.21 tahun 2007 mencantumkan ancaman pidana penjara 35 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Universitas Sumatera Utara minimum dan pidana denda minimum terhadap semua delik, sehingga dengan demikian diharapkan semangat optimalisasi tuntutan pidana terhadap pelaku kejahatan perdagangan orang dapat diakomodir 36

2. Landasan Konsepsional

Bagian landasan konsepsional ini, akan dijelaskan hal-hal yang berkenaan dengan konsep yang digunakan oleh peneliti dalam penulisan tesis ini. Konsep adalah suatu bagian yang terpenting dari perumusan suatu teori. Peranan konsep pada dasarnya dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi generalisasi dan realitas. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus yang disebut dengan defenisi operasional. Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian antara penafsiran mendua dubius dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian tesis ini. Dalam penelitian ini ada dua variabel, yakni: Pertama, Perlindungan Hukum terhadap Tenaga Kerja Wanita. Kedua, Human Trafficking Perdagangan Manusia oleh PJTKI. Dari kedua variabel ini akan dijelaskan pengertian masing-masing sebagai berikut: 1. Perlindungan Hukum terhadap Tenaga Kerja Wanita 36 Makalah Maju Ambarita SH,MH. Kendali dan Pedoman Tuntutan Pidanaterhadap Pelaku Kejahatn Perdagangan Orang. Makalah disampaikan pada acara Dialog Interaktif yang diselenggarakan oleh IKA FH. USU Medan, 30 Agustus 2007 di FH USU Medan, hal. 6. Universitas Sumatera Utara Analisis hukum pidana merupakan sebuah proses menganalisa ketentuan- ketentuan hukum pidana yang ada beserta segala sesuatu yang terkait didalamnya. Ketentuan hukum pidana ini juga mempunyai pengertian yang berdekatan dengan sistem peradilan pidana yaitu sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan dalam arti sebagai usaha guna mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. 37 Salah satu aspek hukum pidana yang menarik dibandingkan dengan bidang hukum lainnya ialah, bahwa hukum pidana mengandung sifat kontradiktif, dualistik, atau paradoksal. Di satu pihak hukum pidana bermaksud melindungi kepentingan benda hukum dan hak asasi manusia dengan merumuskan norma-norma perbuatan yang terlarang, namun di lain pihak hukum pidana menyerang kepentingan hukum HAM seseorang dengan menggunakan sanksi pidana tindakan kepada si pelanggar norma. Sifat paradoksal dari hukum pidana ini sering digambarkan dengan ungkapan yang sangat terkenal: “Rechts guterschutz durch Rechtsguterverletzung” “Perlindungan benda hukum melalui penyerangan benda hukum”,. Oleh karena itu sering dikatakan, bahwa ada sesuatu yang menyedihkan tragic dalam hukum pidana, sehingga hukum pidana sering dinyatakan pula sebagai “pedang bermata dua”. 38 2. Human Trafficking Perdagangan Orang oleh PJTKI Perdagangan orang keluar negeri disini dengan kata lain adalah kejahatan yang berasal dari pengiriman orang keluar negeri yang didapatkan secara tidak sah 37 Lihat, Mardjonop Reksodiputro,op-cit, hal.8 38 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakkan dan Pengembangan Hukum Pidana. PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998,hal.17 Universitas Sumatera Utara melalui orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan merupakan hasil dari tindak pidana. Secara sederhana perdagangan orang keluar negeri merupakan suatu perbuatan yang memenuhi salah satu atau lebih unsur-unsur proses seperti perekrutan, pengiriman, penyerahterimaan, perempuan ditambah salah satu atau lebih dari unsur cara yaitu menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan, atau penjeratan hutang, dan memenuhi salah satu atau lebih dari unsur tujuan yaitu eksploitasi ekonomi, seksual, adopsi anak, penjualan organ tubuh perempuan, serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya dan dilakukan keluar negeri. Selain landasan hukum tersebut sebagai dasar pemikiran, Pemerintah Republik Indonesia juga mengeluarkan paraturan melalui Keputusan Presiden RI No.88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional RAN Penghapusan Perdagangan Trafficking orang, ini juga memperhatikan peraturan dan perundang-undangan lain yang masih berlaku, terkait dengan upaya meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan terhadap perempuan dan anak, sehingga dapat mencegah bahkan memberantas terjadinya perdagangan orang yang dilakukan oleh PJTKI

G. Metode Penelitian 1. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal doctrinal research yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku law Universitas Sumatera Utara as it is written in the book, maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan law it is decided by the judge through judicial process adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan library research, sebagai suatu teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literature berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, karya-karya ilmiah, bahan kuliah, putusan pengadilan, wawancara, serta sumber data sekunder lain yang dibahas oleh penulis. Digunakan pendekatan yuridis normatif karena masalah yang diteliti berkisar mengenai keterkaitan peraturan yang satu dengan yang lainnya.

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriftip analitis. Deskriftip berarti bahwa penelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaanya, serta menganalisis fakta secara cermat tentang penggunaan peraturan perundang-undangan dalam kasus human trafficking oleh PJTKI terhadap tenaga kerja wanita yang mesti mendapat upaya perlindungan hukum .

3. Sumber data Penelitian

Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: a. Data Sekunder Data sekunder tersebut diperoleh dengan cara menelusuri bahan-bahan hukum secara teliti terhadap 1. Bahan Hukum Primer terdiri dari: a. Peraturan dasar, yaitu Undang-Undang Dasar yang berkaitan dengan pokok permasalahan diatas. Universitas Sumatera Utara b. Peraturan perundang-undangan tentang Perdagangan Orang c. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya. 3. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan “hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder, seperti : kamus umum, kamus hukum, kamus kesehatan, majalah dan jurnal ilmiah”. 39 b. Data Primer Data primer atau data dasar dalam penelitian ini diperlukan untuk memberikan pemahaman yang jelas, lengkap dan komprehensif terhadap data sekunder yang diperoleh langsung dari sumber pertama, yakni responden. 40

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara : 1. Studi kepustakaan Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan- tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, dan putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini. 39 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 1990. hal. 14-15. 40 Ibid, hal. 20. Universitas Sumatera Utara

5. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan perundang- undangan, putusan-putusan pengadilan dan hasil wawancara diolah dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan : 1. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum konseptualisasi yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut ; 2. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau berkaitan. Kategori-kategori dalam penelitian ini adalah aspek hukum pidana dalam kasus human trafficking oleh PJTKI terhadap tenaga kerja wanita; 3. Menemukan hubungan diantara pelbagai kategori atau peraturan kemudian diolah ; 4. Menjelaskan dan menguraikan hubungan diantara pelbagai kategori atau peraturan perundang-undangan, kemudian dianalisis secara deskriftip kualitatif. Sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN TENAGA KERJA WANITA TKW

DALAM KASUS HUMAN TRAFFICKING OLEH PJTKI

A. Ketentuan Pidana Yang Mengatur Tentang Perdagangan Tenaga Kerja Wanita

1.Unsur-unsur delik: Protokol Vs RUU KUHP Sebagai norma baru yang diatur dalam instrument internasional pemberantasan perdagangan orang, maka sudah barang tentu karakter dan unsur substansi hukum yang dikandungnya sama sekali norma baru dalam hukum positif di Indonesia. Karena itu, tidak diperoleh padanan yang kongruen apalagi persis serupa jika dirujuk ke dalam norma hukum nasional. Baik norma hukum yang sudah terkodifikasi dalam KUHP maupun hukum nasional lainnya yang terserak-serak di luar KUHP. Misalnya saja rumusan kejahatan perdagangan orang, KUHP tidak memiliki padanan yang bisa mengikuti alur normatif dan unsur yang diatur dalam Protokol. Bahkan dalam RUU KUHP yang sedang disiapkan sekalipun, rumusan kejahatan perdagangan orang versi Pasal 544 RUU KUHP sungguh tidak memadai. Oleh karena banyak unsur perbuatan yang terabaikan. Pembuatan draft RUU KUHP Pasal 544 justru apabila disahkan menghilangkan sejumlah unsur sehingga jelas hanya kriminalisasi terbatas saja atas kejahatan perdagangan orang. Universitas Sumatera Utara Setiap Orang Melakukan: Dengan menggunakan: Untuk tujuan: - Perekrutan - Pengiriman - Penyerah- terimaan orang - Kekerasan atau ancaman kekerasan - Penipuan - Penculikan - Penyekapan - Penyalahgunaan kekuasaan - Pemanfaatan posisi kerentanan, atau - Penjeratan utang. - Mengeksploitasi - Atau perbuatan yang dapat tereksploitasi orang tersebut. Rumusan yang serupa dengan Pasal 544 RUU KUHP, ditemukan dalam rumusan Pasal 1 angka 1 UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang UU PTPPO. Dengan demikian, antara RUU KUHP Pasal 544 dan UU PTPPO Pasal 1 angka 1, saling mengambil alih, karena rumusannya sama, jadi saling menguatkan antara Pasal 544 RUU KUHP dan Pasal 1 angka 1 UU PTPPO Jika dibandingkan dengan rumusan dalam Protocol maka dapat dengan terang benderang diidentifikasi adanya kelemahan dalam merumuskan pengertian perbuatan perdagangan orang. Ini adalah biang utama dalam meloloskan pelaku kejahatan trafiking. Universitas Sumatera Utara Berikut ini bandingkan dengan anasir dalam Protokol, sebagai berikut: Setiap Orang melakukan perlintasan: Modus perbuatan: Untuk tujuan atau akibat eksploitasi: - Perekrutan recruitment; - Pengangkutan transportation; - Pemindahan transfer; - Melabuhkan harbouring; - Menerima receipt. - penggunaan ancaman use of force atau; - penggunaan bentuk tekanan lain other forms of coercion; - penculikan; - penipuan; - kecurangan; - penyalahgunaan kekuasaan; - kedudukan beresikorawan; - memberimenerima pembayaran; - Eksploitasi prostitusi, - Eksploitasi seksual - Kerja paksa, atau - Pelayanan paksa; - Perbudakan; - Praktek serupa perbudakan; - Perhambaan; - Peralihan organ removal organ. Pengertian perdagangan orang menurut protokol jauh lebih lengkap dan menyeluruh dibandingkan dengan pengertian perdagangan orang yang terdapat di dalam Pasal 1 angka 1 UU no 21 tahun 2007 tentang PTPPO dan Pasal 544 RUU KUHP, karena untuk tujuan peralihan organ juga merupakan unsur dalam protokol, serta pencantuman berbagai modus dalam melakukan kejahatan perdangan manusia, Universitas Sumatera Utara begitu juga yang menerima, dan juga tempat singgah merupakan unsur perdagangan manusia dalam protokol tersebut. 2 Elemen “Persetujuan” Korban bukan Pembenar Perbuatan Selain itu, dalam pengertian kejahatan perdagangan orang itu, tidak memberikan unsur persetujuan by consent dari korban. Karena tidak lagi dipersoalkan ada atau tidaknya unsur persetujuan korban apabila dilakukan bentuk- bentuk modus perbuatan yang dilakukan untuk perdagangan orang. Kehilangan elemen ini dalam rumusan Pasal akan menjadi dalih untuk membebaskan pelaku, karena selalu dikemukakan adanya persetujuan korban. Karena dalam banyak kasus dan praktek perdagangan orang yang muncul di lapangan, pelaku kerapkali berdalih bahwa korban yang dibawanya “sudah setuju”, sudah ada “kehendak sendiri dari korban”, “korban mau dan setuju ikut”. Apalagi jika korbannya adalah anak-anak sehingga elemen sudah adanya persetujuan dari korban sudah diterima secara normatif tidak diperlukan lagi. Namun, dalam RUU KUHP Pasal 544, unsur persetujuan ini tidak dieksplisitkan ke dalam pasal 544 RUU KUHP. 3 RUU KUHP dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang PTPPO Mempersempit Tujuan untuk Eksploitasi Dalam Pasal 544 RUU KUHP, perbuatan yang dilarang dipersempit hanya untuk tujuan eksploitasi. Namun tidak secara eksplisit dikemukakan eksploitasi seksual dan eksploitasi ekonomi seperti dalam Protokol. Universitas Sumatera Utara Selain itu, dalam Protokol bukan saja maksud perbuatan mengakibatkan atau bertujuan eksploitasi, namun bisa juga terjadinya perhambaan dan transfer organ. Oleh karena itu, Pasal 544 RUU KUHP mengeliminir banyak unsur dalam Protokol. Implikasinya, jika tidak ada unsur eksploitasi, sebagaimana dalam rumus RUU KUHP dan UU PTPPO, maka bukanlah Trafiking. Sedangkan eksploitasi, dalam kasus jual beli bayi untuk transfer organ, tidak dapat diidentifikasi eksploitasi atas korban. Berikut ini perbandingannya. RUU KUHP Protokol - Mengeksploitasi; - Atau perbuatan yang dapat tereksploitasi orang tersebut. - Eksploitasi seksual - Kerja paksa, atau - Pelayanan paksa; - Perbudakan; - Praktek serupa perbudakan; - Penghambaan; - Peralihan organ Secara umum, hukum nasional di Indonesia belum mengintegrasikan seluruh unsur dalam Protokol pemberantasan perdagangan orang. Karena itu, kelemahan dalam mengharmonisasi rumusan perbuatan pidana perdagangan orang ini, akan berimplikasi kepada bentuk-bentuk perbuatan pidana yang merupakan ikutan atau turunan dari perbuatan perdagangan orang. Universitas Sumatera Utara 4 Pemberatan Hukuman Dalam UU PTPPO, pemberatan hukuman atas korban anak yang diperdagangkan oleh orang tua atau walinya yang sah, dapat dijatuhkan hukuman tambahan sepertiga dari pidana maksimum. Terkesan norma pemberatan hukuman ini bermanfaat, namun tidak secara kuat mengikat hakim oleh karena hakim dapat mengelak dengan menggunakan kata “dapat”, yang boleh diterapkan boleh tidak. Sehingga tidak merupakan hukum memaksa imperatif bagi hakim. Pemberatan hukuman ini relevan jika secara sistematis dirujuk dengan Pasal 58 ayat 2 UU No.391999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menegaskan bahwa orangtua atau wali atau pengasuh anak yang melakukan segala bentuk penganiayaan, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual, termasuk perkosaan dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindunginya, maka harus dikenakan pemberatan hukuman. Pasal ini bisa dipergunakan walaupun tidak secara eksplisit menyebutkan kejahatan perdagangan anak di dalamnya. 5 Norma Repatriasi yang Masih Hampa Dalam UU PTPPO, masalah pemulangan repatriasi korban perdagangan orang hanya diatur dalam satu pasal 44 UU PTPPO. Padahal dalam totalitas Protokol, masalah repatriasi diatur dalam banyak aspek. Sebab, repatriasi bukan saja masalah pemulangan anak saja, namun memastikan bagaimana korban memperoleh kembali hak-haknya atas dokumen perjalanan sementara, pengembalian hak-hak pribadinya, perawatan sebelum repatriasi, dan perlindungan fisiknya dari kejaran sindikat. Universitas Sumatera Utara Dengan demikian, norma Pasal 44 ayat 1 UU PTPPO masih hampa dan lunglai untuk memberikan kepastian hukum dalam melindungi korban yang berada di luar negeri. Belum lagi untuk memastikan siapakah yang bertindak mewakili atas nama negara di luar negeri. Apakah yang mewakili Indonesia adalah KBRI-seperti yang diatur dalam UU Nomor 371999 tentang Hubungan Luar Negeri. Apabila mengikuti norma Pasal 40 ayat 3 UU PTPPO. Jika demikian, maka menjadi pertanyaan apakah KBRI dengan norma versi UU No.371999 itu sudah cukup mampu dan mempunyai dasar yang kuat untuk menangani masalah repatriasi korban perdagangan orang? Menurut hemat saya tidak terlalu kuat karena tidak secara spesifik dimaksudkan untuk menangani kasus perdagangan orang. Sebab, de facto, dalam hal menangani kasus TKI di luar negeri saja, KBRI masih belum maksimal, apalagi diberikan beban yang besar menangani kasus perdagangan orang khususnya anak. Memang de jure, Pasal 21 UU No. 371999 menentukan bahwa: “Dalam hal warga negara Indonesia terancam bahaya nyata, Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban memberikan perlindungan, membantu, dan menghimpun mereka di wilayah yang aman, serta mengusahakan untuk memulangkan mereka ke Indonesia atas biaya negara”. Namun, norma Pasal 21 UU No.371999 itu masih labil dan terlalu sumir dalam mendefenisikan ancaman bahaya nyata, serta hanya terbatas perlindungan fisik saja. Sementara masalah pemulangan, tidak bersifat imperatif, dengan norma yang berbunyi “mengusahakan untuk memulangkan ke Indonesia”. Universitas Sumatera Utara Karena itu, untuk memastikan perlindungan korban secara maksimum termasuk dalam hal repatriasi, maka perlu ditambahkan norma untuk mengaturnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah PP tentang Repatriasi korban di Luar negeri. Pengaturan mengenai perlindungan TKI lebih banyak diakomodir di dalam UU No. 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, hal ini diatur dalam Pasal 86 sampai Pasal 90 UU No. 39 tahun 2004, dan juga diatur di dalam pasal 77 sampai pasal 84 UU ini. Khusus masalah purna penempatan pemulangan diatur lebih jelas di dalam Pasal 73, Pasal 74 dan Pasal 75 UU No. 39 tahun 2004 Pasal 73 1 Kepulangan TKI terjadi karena : a. berakhirnya masa perjanjian kerja; b. pemutusan hubungan kerja sebelum masa perjanjian kerja berakhir; c. terjadi perang, bencana alam, atau wabah penyakit di negara tujuan; d. mengalami kecelakaan kerja yang mengakibatkan tidak bisa menjalankan pekerjaannya lagi; e. meninggal dunia di negara tujuan; f. cuti; atau g. dideportasi oleh pemerintah setempat. 2 Dalam hal TKI meninggal dunia di negara tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf e, pelaksana penempatan TKI berkewajiban : a. memberitahukan tentang kematian TKI kepada keluarganya paling lambat 3 tiga kali 24 dua puluh empat jam sejak diketahuinya kematian tersebut; Universitas Sumatera Utara b. mencari informasi tentang sebab-sebab kematian dan memberitahukannya kepada pejabat Perwakilan Republik Indonesia dan anggota keluarga TKI yang bersangkutan; c. memulangkan jenazah TKI ke tempat asal dengan cara yang layak serta menanggung semua biaya yang diperlukan, termasuk biaya penguburan sesuai dengan tata cara agama TKI yang bersangkutan; d. mengurus pemakaman di negara tujuan penempatan TKI atas persetujuan pihak keluarga TKI atau sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan; e. memberikan perlindungan terhadap seluruh harta milik TKI untuk kepentingan anggota keluarganya; dan f. mengurus pemenuhan semua hak-hak TKI yang seharusnya diterima. 3 Dalam hal terjadi perang, bencana alam, wabah penyakit, dan deportasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf c, dan huruf g, Perwakilan Republik Indonesia, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah bekerja sama mengurus kepulangan TKI sampai ke daerah asal TKI. Pasal 74 1 Setiap TKI yang akan kembali ke Indonesia wajib melaporkan kepulangannya kepada Perwakilan Republik Indonesia negara tujuan. 2 Pelaporan bagi TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan dilakukan oleh pelaksana penempatan TKI swasta. Universitas Sumatera Utara Pasal 75 1 Kepulangan TKI dari negara tujuan sampai tiba di daerah asal menjadi tanggung jawab pelaksana penempatan TKI. 2 Pengurusan kepulangan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi hal : a. pemberian kemudahan atau fasilitas kepulangan TKI; b. pemberian fasilitas kesehatan bagi TKI yang sakit dalam kepulangan; dan c. pemberian upaya perlindungan terhadap TKI dari kemungkinan adanya tindakan pihak-pihak lain yang tidak bertanggung jawab dan dapat merugikan TKI dalam kepulangan. 3 Pemerintah dapat mengatur kepulangan TKI. 4 Ketentuan lebih lanjut mengenai pemulangan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. 5 Identifikasi Hukum Nasional Yang Sudah Ada Untuk memberikan perspektif yang lebih maju dalam menelaah, protokol, dan untuk mengembangkan RUU KUHP serta UU Pemberantasan Perdagangan Orang, berikut ini dikemukakan identifikasi berbagai norma hukum dan hukum nasional, yang tidak kongruen dan tidak serupa dengan rumusan yang ditemukan dalam Protokol,tetapi rumusan ini digunakan sebagai ketentuan pidana yang mengatur tentang perdagangan anak. 1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP Di dalam KUHP terdapat beberapa pasal yang terkait dengan kejahatan yang dikualifikasi sebagai trafiking, yakni : Universitas Sumatera Utara 1.1. Pasal 285 KUHP: “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam dengan melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”. 1.2. Pasal 287 ayat 1 KUHP: “Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun”. 1.3. Pasal 287 ayat 2 KUHP: “Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan kecuali jika umur wanita belum sampai 12 tahun atau jika salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal 294” 1.4. Pasal 288 KUHP: diancam dengan paling lama 4 tahun penjara, barangsiapa yang bersetubuh dengan seorang wanita di dalam pernikahan, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa ia belum mampu dikawin, apabila perbuatan tersebut mengakibatkan luka-luka. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama 8 tahun. Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama 12 tahun. 1.5. Pasal 289 KUHP: barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan. Universitas Sumatera Utara 1.6. Pasal 290 KUHP: Diancam paling lama 7 tahun penjara Ayat 2: barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum 15 tahun atau kalau umurnya tidak ternyata tidak jelas, bahwa belum mampu kawin. Ayat 3: barangsiapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain. 1.7. Pasal 291 KUHP: Jika perbuatan sesuai pasal 286, 287, 289 dan 290 mengakibatkan luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama 12 tahun. Jika mengakibatkan kematian, dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 tahun. 1.8. Pasal 292 KUHP: diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun, terhadap orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa belum cukup umur. 1.9. Pasal 293 KUHP: 1 Barang siapa dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan pembawa yang timbul dari hubungan keadaan kekuasaan, atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seseorang yang belum dewasa dan baik tingkah lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, Universitas Sumatera Utara padahal dia diketahui atau patut diduga belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

1.10. Pasal 294 KUHP: diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun,

barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak dibawah pengawasannya, yang belum cukup umur, atau dengan orang yang belum cukup umur yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur. Diancam dengan pidana yang sama, pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya. Juga diancam pidana yang sama, seorang pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit ingatan atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan kedalamnya. 1.11. Pasal 295 ayat 1 KUHP: diancam dengan pidana 5 tahun penjara ke

1: Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan

dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak dibawah pengawasannya yang belum dewasa, atau oleh orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya, ataupun oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain; Universitas Sumatera Utara ke 2: Diancam dengan pidana penjara 4 tahun barangsiapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul, kecuali yang tersebut dalam butir 1 diatas, yang dilakukan oleh orang yang diketahuinya belum dewasa atau yang sepatutnya harus diduganya demikian, dengan orang lain. 1.12. Pasal 296 KUHP: “Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah” 1.13. Pasal 297 KUHP: “Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”. 1.14. Pasal 298 KUHP: sebagai akibat dari kejahatannya, hak perwalian pelaku penjualan anak atas anak tersebut dapat dicabut, juga hak untuk melakukan pencarian di bidang tersebut. 1.15. Pasal 506: diancam dengan kurungan paling lama satu tahun, barangsiapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian. 1.16. Pasal 332 KUHP ayat 1: diancam dengan pidana penjara; 1. Paling lama tujuh tahun, barang siapa membawa pergi seorang wanita yang belum dewasa, tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya tetapi dengan persetujuannya. Dengan maksud untuk memastikan Universitas Sumatera Utara penguasaan terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan; 2. Paling lama sembilan tahun, barang siapa membawa pergi seorang wanita dengan tipu muslihat; kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan. 1.17. Pasal 330 KUHP: “1 Barangsiapa dengan sengaja menarik seorang wanita yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang- undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwewenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. 2 Bilamana dalam hal ini dilakukan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau bilamana anaknya belum berumur dua belas tahun, dijatuhkan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.

1.18. Pasal 328 KUHP: “Barang siapa membawa pergi dari tempat

kediamannya atau tempat tinggal sementaranya dengan maksud untuk menempatkan orang itu secara melawan hukum di bawah kekuasaannya atau kekuasaan orang lain, atau untuk menempatkan dia dalam keadaan sengsara, diancam karena penculikan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. 1.19. Pasal 329 KUHP: “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum mengangkut orang ke daerah lain, padahal orang itu telah membuat perjanjian untuk bekerja di suatu tempat tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”. Universitas Sumatera Utara

1.20. Pasal 331 KUHP: Diancam pidana penjara paling lama 4 tahun,

barangsiapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang belum cukup umur, yang ditarik atau menarik sendiri dari kekuasaan yang menurut UU ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwewenang untuk itu, atau dengan sengaja menariknya dari penyidikan pejabat kehakiman atau kepolisian. Jika anak itu umurnya dibawah 12 tahun, diancam paling lama 7 tahun penjara.

1.21. Pasal 333 KUHP: “1 Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum

merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun. 2 Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. 3 Jika mengakibatkan mati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. 4 Pidana yang ditentukan dalam pasal ini diterapkan juga bagi orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan”. 1.22. Pasal 334 KUHP: “1 Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan seorang dirampas kemerdekaaannya secara melawan hukum, atau diteruskannya perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah. 2 Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidana kurungan paling lama Universitas Sumatera Utara sembilan bulan. 3 Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun. 2. UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 secara substansi jauh lebih maju dan demokratis dari pada Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958, karena dalam pembentukan Undang-Undang tersebut telah mengakomodasi berbagai pemikiran yang mengarah pada pemberian perlindungan warganegaranya dengan memperhatikan kesetaraan gender, tapi yang tidak kalah penting adalah pemberian perlindungan terhadap anak-anak hasil perkawinan campuran antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing. Contoh perlindungan terhadap anak oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 adalah pemberian status kewarganegaraan ganda terbatas kepada anak hasil perkawinan campuran sampai dengan batas usia 18 tahun dan setelah sampai batas usia tersebut, ia diwajibkan memilih salah satu kewarganegaraannya, apakah tetap mempertahankan kewarganegaraan Indonesianya ataukah memilih kewarganegaraan asingnya. Selain itu, secara yuridis, ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi warga negara Indonesia, dan memberikan jaminan perlindungan hukum kepada warga negara terhadap kejahatan termasuk kejahatan trafficking dan perlindungan hak- haknya. 3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana “KUHAP”; Universitas Sumatera Utara Oleh karena dalam hukum nasional kedudukan kejahatan trafficking masuk dalam kualifikasi kejahatan biasa vide Pasal 297 KUHP, maka penanganan due process of law-nya dilakukan sesuai dengan KUHAP. Dalam KUHAP diatur tentang hukum acara pidana yakni tatacara mengelola perkara pidana, mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sidang pengadilan. 4. Undang-undang No.11974 tentang Perkawinan: Dalam Pasal 1 ayat 1 UU No. 11974 disebutkan secara tegas bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama masing-masing. Pencatatan dilakukan bersifat administratif saja, namun tetap merupakan keharusan untuk melakukan pencatatan perkawinan oleh petugas pencatat perkawinan. Ketentuan ini menjadi dasar untuk melindungi anak wanita dari kejahatan trafficking, namun kerapkali lembaga perwakilan yang hanya mengacu kepada formalitas perkawinan sangat mungkin menjadi media untuk melakukan tindakan topengan atau penyeludupan hukum, yakni tindak pidana trafficking. 5. UU No.11979 tentang Ekstradisi Dalam lampiran UU No.11979 berjudul “Daftar Kejahatan Yang Pelakunya Dapat Diekstradisi”, ditemukan beberapa kejahatan yang terkait dengan kejahatan trafficking, yakni: 1 melarikan wanita dengan kekerasan, ancaman kekerasan atau tipu muslihat, dengan sengaja melarikan seseorang yang belum cukup umur; 2 Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur; 3 Penculikan dan penahanan melawan hukum; Universitas Sumatera Utara 4 Perbudakan”. Ketentuan ini bisa menjadi dasar untuk meminta dilakukan ekstradisi terhadap pelaku yang melakukan tindak pidana sebagaimana di atas, namun telah melarikan diri ke luar Indonesia. 6. UU No. 91992 tentang Keimigrasian : a. Pasal 3: “Setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia wajib memiliki Surat Perjalanan”. b. Pasal 17: “Penangkalan terhadap orang asing dilakukan karena: a.diketahui atau diduga terlibat dengan kegiatan sindikat kejahatan internasional; b. …..,dst.” Ketentuan ini dapat menjadi dasar untuk mencegah dan menangkal actor yang diduga melakukan kejahatan trafficking, baik dengan modus yang berdokumen, legal maupun illegal. 7. UU No. 231992 tentang Kesehatan:

a. Pasal 34 ayat 1 : “Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh hanya dapat

dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu”. b. Pasal 34 ayat 2 : “Pengambilan organ dan atau jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan kesehatan donor yang bersangkutan dan atas persetujuan donor dan ahli waris atau keluarganya”. c. Pasal 80 ayat 3 : “Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan dengan tujuan komersial dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh atau jaringan tubuh atau transfuse darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat 2 Universitas Sumatera Utara dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 lima belas tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000,- tiga ratus juta rupiah” d. Pasal 81 ayat 1 huruf a: “Barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja: a. melakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 ayat 1: b. …..; c. ….., dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tujuh tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp. 140.000.000,- seratus empat puluh juta.” e. Ketentuan ini dapat dipergunakan untuk melindungi anak dari transfer organ secara tidak sah dan melawan hukum, serta menjerat perbuatan trafficking yang dilakukan untuk tujuan transfer organ. 8. UU No. 81994 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi Antara Republik Indonesia dan Australia. a. UU No. 81994 mengesahkan Perjanjian Ekstradisi antara Pemerintah RI dengan Australia yang telah ditandatangani pada 22 April 1992. b. Dalam Perjanjian Ekstradisi dimaksud, kedua Negara menyetujui bentukjenis kejahatan yang dapat diekstradisi yang dituangkan dalam Pasal 2 Perjanjian Ekstradisi. c. Pasal 2 butir 10 Perjanjian Ekstradisi : “Memberikan sarana, atau memperjualbelikan wanita atau orang muda dengan maksud amoral, hidup dari pelacuran, setiap kejahatan lain terhadap hukum mengenai pelacuran”. d. Pasal 2 butir 12 Perjanjian Ekstradisi: “Penculikan, melarikan wanita, memenjarakan secara tidak sah perdagangan budak”. Universitas Sumatera Utara 9. UU No. 132003 tentang Ketenagakerjaan: a. Pasal 68 UU No.132003: “Pengusaha dilarang mempekerjakan anak”. b. Pasal 69 ayat 1 UU No.132003: “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dikecualikan bagi anak berumur 13 tiga belas tahun sampai 15 lima belas tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial”. c. Pasal 69 ayat 2 No.132003: “Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus memenuhi persyaratan: c.1. izin tertulis dari orang tua atau wali; c.2. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali; c.3. waktu maksimum 3 tiga jam; c.4. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah; c.5 keselamatan dan kesehatan kerja; c.6 adanya hubungan kerja yang jelas; dan c.7 menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku”. d. Pasal 74 ayat 1 UU No. 132003: “Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan terburuk”; e. Pasal 74 ayat 2 UU No. 132003: “Pekerjaan-pekerjaan terburuk yang dimaksudkan dalam ayat 1 meliputi: e.1. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya; Universitas Sumatera Utara e.2. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian; e.3. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan atau e.4. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak”. 10. UU No. 12000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning No.182 Concerning The Prohibition and Immediate Action for The Elimination of The Worst Form of Child Labour Konvensi ILO No.182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak: a. Pasal 3 UU No. 12000: “Dalam konvensi ini, istilah “bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak” mengandung pengertian: a.1. segala bentuk perbudakan atau praktik-praktik sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak-anak, kerja ijon dan penghambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak-anak untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata; a.2. pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornagrafi, atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno; a.3. pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan haram, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan; Universitas Sumatera Utara a.4. pekerjaan yang sifatnya atau lingkungan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak-anak”. b. Pasal 7 ayat 1 UU No. 12000: “Setiap anggota wajib mengambil semua tindakan yang perlu untuk memastikan agar ketentuan-ketentuan yang memberlakukan konvensi ini dapat diterapkan dan dilaksanakan secara efektif, termasuk ketentuan dan penerapan sanksi pidana atau sanksi-sanksi lain sebagaimana perlunya”. 11. UU No. 391999 tentang Hak Asasi Manusia : a. Pasal 64 UU No.391999: “Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kekerasan fisik, moral, kehidupan moral, kehidupan sosial dan mental spiritualnya”. b. Pasal 65 UU No. 391999. “Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya”. Akan tetapi, dalam UU No. 391999 ini tidak memuat norma tentang ketentuan sanksi hukuman bagi pelanggar hak asasi manusia, termasuk pasal tentang perdagangan anak. Universitas Sumatera Utara 12. UU No.22002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia UU No. 22002 disahkan untuk mengganti UU No. 281997, yang antara lain mengatur tentang wewenang kepolisian melakukan penyelidikan dan penyidikan atas semua tindak pidana. Pasal 14 ayat 1 huruf g UU No.22002 berbunyi: “melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya”. Dengan demikian, adalah kewajiban kepolisian untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan atas perbuatan kejahatan trafficking, baik yang diadukan ataupun tidak diadukan oleh korban atau orang lain. Setelah diberlakukannya UU No. 232002 tentang Perlindungan Anak, ancaman atas kejahatan perdagangan anak lebih tinggi dari KUHP. 13. UU No. 152002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan UU No.252003 tentang Amandemen UU No. 152002: a. Pasal 2 UU No.252003: “Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana : a.1. penyelundupan tenaga kerja; a.2. penyelundupan imigran; a.3. perdagangan orang; 14. UU No.232002 tentang Perlindungan Anak: a. Pasal 59 UU No.232002: “Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada ….., anak tereksploitasi secara ekonomi seksual, anak yang Universitas Sumatera Utara diperdagangkan, ….., anak korban penculikan, penculikan dan perdagangan, …..”. b. Pasal 66 ayat 1: “Perlidungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi danatau seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggungjawab pemerintah dan masyarakat”; c. Pasal 66 ayat 2: “Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan melalui: c.1. penyebarluasan danatau sosialisasi ketentuan peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi danatau seksual; c.2. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan c.3. pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi danatau seksual. d. Pasal 68 ayat 1: “Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan anak sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat”. e. Pasal 68 ayat 2: “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1”. f. Pasal 81 ayat 1:”Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya Universitas Sumatera Utara atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 lima belas tahun dan paling singkat 3 tiga tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,- tiga ratus juta rupiah dan paling sedikit Rp. 60.000.000,- enam puluh juta rupiah. g. Pasal 81 ayat 2: “Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. h. Pasal 82: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 lima belas tahun dan paling singkat 3 tiga tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,- tiga ratus juta rupiah dan paling sedikit Rp.60.000.000,- enam puluh juta rupiah. i. Pasal 83: “Setiap orang yang memperdagangkan, menjual atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 lima belas tahun dan paling singkat 3 tiga tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- tiga ratus juta rupiah dan paling sedikit Rp. 60.000.000,- enam puluh juta rupiah. j. Pasal 84: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan transplantasi organ danatau jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara Universitas Sumatera Utara paling lama 10 sepuluh tahun dan atau denda paling banyak Rp.200.000.000,- dua ratus juta rupiah. k. Pasal 85 ayat 1: “Setiap orang yang melakukan jual beli organ tubuh danatau jaringan tubuh anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 lima belas tahun danatau denda paling banyak Rp.300.000.000,- tiga ratus juta rupiah. l. Pasal 85 ayat 2: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan pengambilan organ tubuh danatau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizing orang tua atau tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun danatau denda paling banyak Rp.200.000.000,- dua ratus juta rupiah. 15. PP No. 22002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat; a. Pasal 2 ayat 1 PP No. 22002: “Setiap korban atau saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak memperoleh perlindungan dari aparat penegak hukum dan aparat keamanan”; b. Pasal 4 PP No. 22002: “Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi: b.1. perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi dan ancaman fisik dan mental; b.2. perahasiaan identitas korban dan saksi; Universitas Sumatera Utara b.3. pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka”. 16. PP No. 32002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia: a. Pasal 2 ayat 1 PP No.32002: “Kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi diberikan kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya”. b. Pasal 2 ayat 2 PP No.32002: “pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus dilaksanakan secara tepat, cepat, dan layak”; c. Pasal 4 PP No.32002: “Pemberian restitusi dilaksanakan oleh pelaku atau pihak ketiga berdasarkan perintah yang tercantum dalam amar putusan Pengadilan HAM”. 17. UU No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Khusus dalam UU 39 tahun 2004 tentang PPTKI diperuntukkan bagi pekerjaburuh migran TKI yang bekerja ke luar negeri. UU inilah sesungguhnya yang secara langsung berkenaan dengan pencegahan dan upaya penanggulangan perdagangan tenaga kerja perempuan dan anak ke luar wilayah negara Indonesia. Sebagaimana dinyatakan dalam UU 39 tahun 2004: 41 ”bahwa tenaga kerja Indonesia di luar negeri sering dijadikan objek perdagangan manusia termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban 41 Lihat dictum Menimbang pada poin c dalam UU 39 Tahun 2004 Universitas Sumatera Utara kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia.” Peraturan-peraturan perundangan di atas merupakan ketentuan-ketentuan pidana yang mengatur tentang perdagangan manusia khususnya wanita sebagai Tenaga Kerja Wanita yang masih memiliki beberapa kelemahan-kelemahan seperti sudah disebutkan di atas. B. Tindak Pidana Perdagangan Tenaga Kerja Wanita TKW Dalam Kasus Human Trafficking Oleh PJTKI Dari defenisi perdagangan orang sebagaimana termuat dalam UU No. 21 Tahun 2007 pada Pasal 1 ayat 1 tersebut di atas memberikan rumusan yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan perdagangan manusia. Uraian lebih lanjut atas rumusan di Pasal 1 ayat 1 UU ini mendekatai uraian yang dipaparkan dalam menanggapi Protokol PBB untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Pelaku Trafficking terhadap manusia, bahwa dari defenisi di atas ada beberapa elemen yang berbeda yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya yakni: Tindakan atau Perbuatan Tindakan atau perbuatan yang dikategorikan perdagangan manusia dapat berupa tindakan : Perekrutan, Pengangkutan, Penampungan, Pengiriman, Pemindahan, atau penerimaan seseorang; Dengan Cara Tindakan atau perbuatan di atas dilakukan dengan cara: dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang attau memberi Universitas Sumatera Utara bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, Tujuan Atau Maksud Tujuan atau maksud tindakan dan perbuatan tersebut adalah untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Eksploitasi mencakup setidak- tidaknya eksploitasi pelacuran dari orang lain atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan 42 dan pengambilan organ tubuh. Dalam Protokol PBB tersebut juga ditetapkan bahwa persetujuan yang telah diberikan oleh korban perdagangan manusia berkenaan dengan eksploitasi yang menjadi tujuan dari perdagangan tersebut kehilangan relevansinya tidak lagi berarti, bilamana cara-cara pemaksaan atau penipuan sebagaimana diuraikan dalam defenisi di atas telah digunakan. Kemudian, setiap tindakan rekruitmen, transportasi, pemindahan, penempatan atau penerimaan seorang anak dengan maksud-tujuan eksploitasi, dianggap sebagai “perdagangan manusia” sekalipun cara-cara pemaksaan atau penipuan yang diuraikan dalam defenisi di atas tidak digunakan. Hal ini menegaskan bahwa untuk korban perdagangan anak, tanpa terpenuhinya elemen kedua, yakni dengan menggunakan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk- 42 Kerja paksa, perbudakan dan perhambaan merupakan jenis eksploitasi terhadap orang dengan memanfaatkn tenaga mereka untuk bekerja tanpa dibarengi kewajiban menyelenggarakan hak- hak sosial ekonominya. Dalam perbudakan, kerja paksa dan penghambaandicirikan adanya ketidakmampuan si pekerja buruh untuk melakukan perlawanan dikarenakan kuasa pemilik yang sangat dominant. Budak dari sejarahnya merupakansebuah kelas masyarakat terendah yang turun temurun, dapat diperjualbelikan sama seperti barang, perhambaan pandelingschap terjadi atas peristiwa pemberian pinjaman uang, dimana seseorang si ber-utang ataupun orang lain yang dikuasainya diserahkan pada si pemberi piutanggadai untuk bekerja padanya sampai uang pinjaman dilunasi, untuk lebih jelas baca dalam Iman Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Djambatan, Jakarta, 2001, hlm., 10-26. Universitas Sumatera Utara bentuk paksaan lain, penculikan, tipu daya, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang-orang sudah merupakan sebuah bentuk perdagangan orang. Hal lain yang dapat diambil dari protocol PBB ini yaitu dicakupkannya unsur tipu daya, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan rentan, merupakan pengakuan bahwa perdagangan manusia dapat terjadi tanpa adanya penggunaan kekerasan fisik. 43 Dalam penafsiran istilah penyalahgunaan kedudukan rentan abuse of position of vulnerability haruslah dimengerti sebagai sebuah situasi dimana seseorang tidak memiliki alternative nyata atau yang dapat diterima, terkecuali untuk pasrah pada penyalahgunaan yang terjadi. Unsur umum dari semua cara yang tersebut di dalam UN Trafficking Protocol adalah terdistorsinya kehendak bebas seseorang. Tipu daya atau penipuan berkenaan dengan apa yang dijanjikan dan realisasinya, yakni mencakup jenis pekerjaan dan kondisi kerja. Paparan di atas menunjukkan bahwa perdagangan tenaga kerja adalah merupakan sebahagian dari perdagangan manusia umumnya, dimana dalam perdagangan tenaga kerja ini dapat terjadi: 1. Tujuannya adalah eksploitasi tenaga kerja 2. Korbannya adalah para tenaga kerja yang memang dijanjikan untuk mendapatkan pekerjaan yang baik. Khusus dalam UU 39 tahun 2004 tentang PPTKI diperuntukkan bagi pekerjaburuh migran TKI yang bekerja ke luar negeri. UU inilah sesungguhnya 43 Elsam, Ibid. Universitas Sumatera Utara yang secara langsung berkenaan dengan pencegahan dan upaya penanggulangan perdagangan tenaga kerja perempuan dan anak ke luar wilayah negara Indonesia. Sebagaimana dinyatakan dalam UU 39 tahun 2004: 44 ”bahwa tenaga kerja Indonesia di luar negeri sering dijadikan objek perdagangan manusia termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang- wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia.” Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 105 Tahun 1957 Tentang Penghapusan Kerja Paksa Abolition of Forced Labour Convention, menuangkannya dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1999. Konvensi ini mengharuskan kerja paksa dalam bentuk apapun harus dihapus dari perundangan nasional, selain itu juga Negara wajib menerapkan hukuman pada orang-orang yang secara illegal menerapkan kerja paksakerja wajib. Fakta yang ditemukan masyarakat bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perdagangan orang antara lain; 45 1. Kurangnya Lapangan Pekerjaan Di Indramayu, keterbatasan lapangan pekerjaan, khususnya bagi perempuan, membuat orang beralih ke sektor PRT migrant dan pelacuran. Menjadi PRT migran adalah pilihan yang lebih baik ketimbang menjadi pelacur. Menjadi pelacur adalah lebih baik dari pada menjadi buruh tani atau buruh garam. Kemiskinan membuat masyarakat cenderung nekad mencari pekerjaan, termasuk 44 Lihat dictum Menimbang pada poin c dalam UU 39 Tahun 2004 45 Hendro Pratama, Penyebab Traffickjing di Jawa , Harian Pelita Pos, 25 Juni 2008, hal 7 Universitas Sumatera Utara ke luar negeri. Meski jauh dan banyaknya informasi tentang kekerasan terhadap buruh migran, tidak menyurutkan niat untuk bekerja di luar negeri. 2. Terpengaruh orang sekitar yang pernah berimigrasi dan sukses Anak perempuan cenderung dipengaruhi oleh faktor lingkungan setempat, misalnya tatkala melihat teman sebaya yang bekerja. Dibiarkan dengan adanya sikap pembiaran oleh orang tua, keluarga dan masyarakat setempat. Gaya hidup yang dibawa pulang oleh mantan Pembantu Rumah Tangga PRT, kuat melekat dan menjadi pemicu bagi anak perempuan untuk menirunya. 3. Mencari gaji yang lebih besar Gaji besar menjadi daya tarik utama bagi mereka yang ingin bekerja ke luar negeri. Di Indramayu, kebanyakan masyarakat yang awalnya bekerja sebagai buruh tani, buruh garam, dan PRT dalam negeri, melihat bekerja ke luar negeri sebagai peluang mendapat gaji besar. Di Cirebon Desa Serang Wetan, Kecamatan Babakan, Cirebon tercatat 326 warga yang berimigrasi, sebagian besar perempuan dengan jumlah 293 orang. Jumlah ini merupakan data yang tercatat di aparat desa. Jumlah ini kemungkinan besar berbeda dengan fakta, sebab sering ditemukan warga yang berimigrasi dengan tidak menggunakan alamat sebenarnya. Dari data tersebut sebagian besar memilih negara tujuan Timur Tengah karena relatif lebih cepat diberangkatkan, tidak begitu lama di penampungan, biaya yang dikeluarkan sedikit dan cabutan potongan gaji sedikit. Faktor lain yang menyebabkan anak lebih rentan menjadi korban perdagangan orang adalah pengetahuan dan informasi yang sangat terbatas, keinginan anak Universitas Sumatera Utara untuk bekerja tidak dibarengi dengan pengetahuan dan informasi jenis pekerjaan dan situasi lingkungan kerja. 46 Pembangunan ekonomi di negara miskin dipengaruhi golongan berkuasa di negara kapitalis maju Baran 1957. Kemunduran dan kemiskinan di negara- negara Dunia Ketiga ini dianggap sebagai hasil pergantungan negara tersebut ke dalam sistem ekonomi dunia. Keadaan ini dikenal juga sebagai perhubungan antara pusat dan pinggiran dimana negara-negara maju telah mengeksploit negara-negara pinggiran. Keadaan ini berlangsung sampai kepada tataran kehidupan di pedesaan. Menurut pendekatan struktur, kemiskinan yang terjadi di pedesaan berakar umbi kepada sistem produksi dan bukannya faktor internal individu tersebut Frank 1978. Kekurangan ketiadaan sumber kebendaan menimbulkan halangan membuat dan menikmati pilihan di kalangan golongan miskin tersebut. Keadaan ini berimbas kepada munculnya perempuan-perempuan pedesaan yang miskin dan tidak berpenghasilan. Ketidak berdayaan perempuan- perempuan pedesaan tersebut telah dijadikan peluang oleh jaringan perdagangan haram untuk mengeksploit mereka. Selain kemiskinan perempuan pedesaan, masih banyak lagi faktor-faktor penyebab perdagangan manusia. Sebab-sebab ini rumit dan seringkali saling memperkuat satu sama lain. Jika melihat perdagangan manusia sebagai pasar global, maka para korban merupakan sisi penawaran persedian dan para majikan yang kejam atau pelaku eksploitasi seksual mewakili permintaan. 46 Ibid Universitas Sumatera Utara Faktor-faktor yang mempengaruhi dari sisi penawaran antara lain ialah kemiskinan, pendidikan dan ketrampilan yang rendah, kekurangan informasi, daya tarik standar hidup di tempat lain yang lebih tinggi, strukur sosial dan ekonomi yang lemah, kesempatan bekerja yang kurang, kejahatan yang terorganisir, kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, diskriminasi terhadap perempuan, budaya patriarkhi, penegakan hukum yang lemah, korupsi pemerintah, ketidakstabilan politik, konflik bersenjata, dan tradisi-tradisi budaya seperti perbudakan tradisional. Di beberapa masyarakat, sebuah tradisi memungkinkan anak ketiga atau keempat dikirim untuk hidup dan bekerja di kota dengan seorang anggota keluarga jauh seringkali seorang “paman”, dengan janji akan memberi pendidikan dan pelajaran berdagang kepada anak. Dengan mengambil keuntungan dari tradisi ini, para pelaku perdagangan seringkali memposisikan diri mereka sebagai agen pekerjaan, yang membujuk para orang tua untuk berpisah dengan seorang anak, tetapi kemudian memperdagangkan anak tersebut untuk bekerja sebagai pekerja seks, pelayan rumah atau perusahaan komersial. Di sisi permintaan, faktor-faktor yang membawa pada perdagangan manusia mencakup industri seks dan permintaan akan tenaga kerja yang dapat dieksploitasi. Pariwisata seks dan pornografi telah menjadi industri dunia luas, yang difasilitasi oleh teknologi seperti internet, yang secara berlebihan memperluas pilihan-pilihan yang tersedia bagi para pelanggan dan memungkinkan adanya transaksi yang cepat dan hampir tidak terdeteksi. Perdagangan haram untuk tujuan prostitusi ini semakin tumbuh subur karena Universitas Sumatera Utara keuntungannya sangat luar biasa. Perdagangan manusia juga ditimbulkan oleh adanya permintaan global atas tenaga kerja yang murah, rentan, dan illegal. Di Cirebon, kebanyakan anak perempuan di bawah umur menjadi PRT dengan memalsukan dokumen seperti KTP. Data yang paling sering dipalsukan adalah usia, pemalsuan inilah yang membuat anak perempuan di bawah umur rentan menjadi korban perdagangan orang. Di Cirebon, perekrutan PRTA dari beberapa daerah Jawa Tengah dilakukan oleh calo yang masih merupakan kerabat. Adapula beberapa PRT migran, perekrutannya dalam negeri dapat dilakukan tanpa melalui calo. Majikan atau pengguna jasa sering mencari tenaga PRT melalui non yayasan atau non calo, misalnya dengan menghubungi keluarga dan teman, bahkan mendatangi sendiri calon PRT bersangkutan. Informasi mengenai tersedianya pekerjaan kadangkala di dapat dari teman yang juga direkrut sebagai PRT. Anak perempuan yang sedang direkrut menjadi PRT tidak jarang diminta mencarikan beberapa temannya untuk direkrut secara bersamaan. Calo kemudian mengurusi semua persyaratan, termasuk dokumen. Aparat desa setempat terkadang tidak mau memberikan surat-surat yang dibutuhkan jika calon PRT migran berusia di bawah 18 tahun. Ini menyebabkan para sponsor kemudian memalsukan identitas orang yang dbawanya ke daerah lain. Pemalsuan identitas yang dilakukan kebanyakan adalah umur dan alamat asal. Selanjutnya perdagangan orang yang terjadi di masyarakat adalah pengiriman buruh migran untuk menjadi pekerja rumah tangga di luar negeri PRT migran dan eksploitasi seksual komersial anak ESKA. Beberapa PRT migran mengatakan Universitas Sumatera Utara bahwa mereka tidak mengurus ijin dari desa. Hal ini juga dibenarkan oleh aparat desa yang terkadang tidak mengetahui warganya yang berangkat bekerja ke luar negeri. Mereka mengetahui bahwa warganya telah bermigrasi dari ucapan mulut ke mulut. Negara yang menjadi tujuan migrasi adalah negara-negara di Timur Tengah dan Hongkong. Sebagian besar responden bekerja di negara Timur Tengah dan Hongkong. Sebagian besar responden yang bekerja di negara Timur Tengah, mengikuti jejak orang disekitar mereka yang sebelumnya pernah bekerja di Timur Tengah. Beberapa Lembaga Perempuan telah melakukan advokasi, Cirebon cenderung dinilai paling banyak korban perdagangan perempuan. Untuk menekan dan mengurangi jumlah korban berikutnya, maka cara yang paling tepat adalah dengan mensosialisasikan peraturan hukum yang berlaku di Indonesia, yang mana salah satunya adalah sosialisasi tentang “Convention on The Elimination of All Form of Discrimination Againts Women” CEDAW Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap perempuan, diadopsi oleh majelis umum PBB pada tahun 1979, merupakan dokumen internasional pertama yang mengakui hak asasi perempuan international bill of rights of women dan bersifat mengikat negara peratifikasi. Di dalamnya dimuat hak-hak perempuan secara konfrehensif meliputi bidang-bidang ekonomi, sosial, budaya, dan politik dan hukum. Pemerintah Indonesia menjadi salah satu negara yang telah menandatangani konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap perempuan. Pada tanggal 24 Juli 1984 pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan menjadi UU RI No.7 tahun 1984. Universitas Sumatera Utara Beberapa upaya telah dilakukan lembaga perempuan yang concern terhadap masalah perempuan dan anak. Khususnya masalah perdagangan orang, secara maksimal telah dilakukan sosialisasi dan temu bicara dengan para tokoh agama dan masyarakat. Tetapi dalam pelaksanaannya selalu terbentur dengan para calon migran atau para pencari kerja. Mereka lebih memilih membuat dan memalsukan identitas KTP di daerah lain, yang mana semua urusannya beres melalui pembayaran uang. Sampai saat ini sosialisasi dan penyadaran hukum masih terus diupayakan, akan tetapi kenyataannya akan selalu dikembalikankepada calon buruh migran yang mana lebih memikirkan urusan perut. Direktur LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan LBH APIK, Cut Betty, mengatakan, jumlah trafficking saat ini semakin meningkat di Sumatera Utara, dan kebanyakkan korban trafficking itu terjadi di Perusahaan Jawatan Tenaga Kerja Indonesia PJTKI. 47 “Sebab PJTKI kebanyakan tidak menyalurkan tenaga kerjanya sesuai yang diharapkan,” katanya kepada Waspada Online, malam ini. Dijelaskan, para tenaga kerja yang masuk ke PJTKI menginginkan kerja ke luar negeri, tapi malah dipekerjakan di daerah sendiri. Ironisnya lagi, gaji yang diberikan juga tidak memadai. “Jadi, aparat keamanan kepolisian seharusnya menindak tegas para PJTKI, yang melakukan perbuatan tersebut, dan memberikan sanksi tegas,” katanya. 47 Waspada Online, www.waspada.co.id Maret 2009 Universitas Sumatera Utara Jika itu diberlakukan, katanya, PJTKI tentu tidak berani berbuat demikian kepada para kaum perempuan. Diduga tak memenuhi syarat, PT Karya Semesta Sejahtera KSS, sebuah Perusahaan Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia PJTKI digerebek polisi. Selain tak memenuhi syarat perizinan, PJTKI yang berkantor di Ruko Larangan, Sidoarjo itu juga diduga melakukan trafficking. Kami juga mengamankan pasutri pengelola PJTKI itu, ujar Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak PPA Satreskrim Polwiltabes Surabaya, AKP Eusebia Torimtubun kepada wartawan di Mapolwiltabes, Jalan Sikatan, Rabu 10122008. Pasutri itu adalah Ngoey Bambang Djumali 59 dan Sofia Nohemy Dewi 41, yang bertempat tinggal di Darmo Hill Blok M. Sebi menceritakan bahwa berawal dari laporan praktek trafficking di sebuah PJTKI, pihaknya selama seminggu terus menyelidikinya. Dan hasilnya mengarah kepada PT KSS. Petugas pun segera menggerebek PT KSS. PT KSS sendiri mempunyai 3 tempat penampungan calon TKI yakni Ruko Putat Gede, Darmo Hill dan Jalan Raya Sekarpuro, Malang. Semua tempat itu sudah digeledah petugas. Hasilnya, untuk perizinan tempat penampungan di Putat Gede dan Jalan Raya Sekarpuro sudah terpenuhi. Sedangkan tempat penampungan di Darmo Hill ternyata tak berizin. Dari 3 tempat itu petugas juga menemukan 64 calon TKI yang kesemuanya adalah wanita. Mereka rencananya akan dikirim bekerja di Taiwan, Universitas Sumatera Utara Hongkong, Malaysia, Singapura dan Brunei. Dari hasil pemeriksaan, diketahui bahwa 8 diantara mereka terbukti tak memenuhi persyaratan. Sebi mengatakan Bahwa Satu orang tak memenuhi persyaratan pendidikan dan tujuh lainnya tak memenuhi persyaratan umur. Menurut UU nomor 392004, persyaratan pendidikan minimal seorang calon TKI ke luar negeri adalah lulus SMP dan batas umur minimal yang diperbolehkan adalah 21 tahun. Tetapi kedelapan calon TKI itu tak memenuhi dua persyaratan tersebut. Sebi menduga bahwa dokumen kedelapan calon TKI itu telah dipalsukan karena mereka mempunyai KTP, KK dan paspor yang mana datanya tidak sesuai dengan identitas mereka sebenarnya. PT KSS sendiri mengambil untung dari calon TKI itu dengan cara memotong gaji mereka selama tujuh bulan. Saat masuk, mereka tidak diwajibkan membayar apa-apa. Namun begitu mereka sudah mulai bekerja, gaji para TKI itu etiap bulannya dipotong sekitar HKD 3.000 Rp 45 juta selama tujuh bulan. Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia PJTKI ilegal yang telah mengirimkan sebanyak 200 orang sebagai pekerja seks komersil PSK. Pengiriman 200 TKI tersebut sudah berlangsung sejak tiga bulan lalu lalu, kata Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Reskrim Polres Metro Tangerang Komisaris Pol Budhi Herdi Susianto di Tangerang, Provinsi Banten, Rabu 2110. Universitas Sumatera Utara Budhi mengungkapkan seluruh tenaga kerja tersebut, adalah pekerja wanita yang awalnya dijanjikan akan diperkerjakan sebagai pembantu rumah tangga atau pelayan di kafe atau restoran. Namun perusahaan penyalur tenaga kerja itu, menempatkan seluruh tenaga kerjanya sebagai wanita penghibur di kafe dan tempat karaoke yang menjadi lokalisasi di Malaysia dan Singapura. Budhi mengatakan bahwa polisi membongkar kasus ini setelah salah satu korban yang berada di Singapura, menghubungi pihak keluarganya melalui sambungan telepon. Korban tersebut mengeluh karena dirinya diperkerjakan sebagai wanita penghibur, padahal awalnya dijanjikan menjadi pelayan di restoran, kemudian pihak keluarga melaporkan perusahaanya kepada Polres Metro Tangerang. Selanjutnya polisi mencari alamat perusahaan pengirim tenaga kerja itu, lalu petugas menyergap lokasi PJTKI dan berhasil mengamankan Yan 65 yang diduga sebagai pengelola. Polisi juga mengamankan dua calon tenaga kerja, yakni SR dan FA yang belum diberangkatkan, untuk dimintai keterangan seputar keberadaan dan aktifitas selama dikarantina pihak pengelola. Selain itu, petugas juga menyita berbagai kelengkapan dokumen untuk memberangkatkan para korban, seperti paspor dan visa kunjungan yang berlaku kurang dari 30 hari. Universitas Sumatera Utara Budhi menuturkan pihaknya menuduh pengelola PJTKI tidak memiliki izin resmi dari Departemen Tenaga Kerja dan menempatkan pekerja di tempat yang tidak sesuai dengan norma susila. Sehingga pengelola terjerat Pasal 102 ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri dengan ancaman 10 tahun penjara dan denda Rp 15 miliar. Dalam menjalankan usahanya PJTKI harus memenuhi beberapa syarat-syarat yang dibutuhkan, syarat-syarat tersebut tercantum dalam Ringkasan Keputusan Menteri nomor KEP-204MEN1999 dan NO:KEP-138MEN2000 tentang Penempatan Tenaga Kerja ke Luar Negeri yang Berkaitan dengan TKI 1. Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut TKI adalah warga negara Indonesia baik laki-laki maupun perempuan yang bekerja di luar negeri dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian kerja. 2. TKI dapat bekerja ke seluruh negara tujuan penempatan, dimana negara tujuan tersebut memiliki peraturan perlindungan terhadap tenaga kerja asing dan tidak membahayakan keselamatan TKI. 3. TKI dapat melakukan pekerjaan di darat, laut maupun udara. 4. Penempatan TKI dapat dilakukan oleh lembaga pelaksanaan penempatan yang terdiri dari : a. Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia PJTKI; b. Instansi Pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara; c. Badan Usaha Swasta untuk kepentingan sendiri. Universitas Sumatera Utara 5. Pendataan calon TKI dapat dilakukan oleh petugas pengantar kerja pemerintah dan atau petugas Perwakilan Daerah PJTKI, dengan tidak dipungut biaya. Pendataan tersebut belum merupakan jaminan penempatan. 6. Untuk dapat melakukan pendaftaran calon TKI, PJTKI harus memiliki dokumen perjanjian kerjasama penempatan, surat permintaan tenaga kerja job order, perjanjian kerja dan perjanjian penempatan. 7. Permintaan tenaga kerja job order sekurang-kurangnya harus memuat : a. jumlah TKI yang akan ditempatkan; b. jenis dan uraian pekerjaan atau jabatan; c. kualifikasi TKI; d. syarat-syarat kerja; e. kondisi kerja; f. jaminan social; dan g. masa berlakunya surat permintaan TKI. 8. Perjanjian penempatan sekurang-kurangnya harus memuat : a. Kepastian waktu pemberangkatan calon TKI; b. Biaya penempatan calon TKI ke negara tujuan; c. Jabatan atau pekerjaan calon TKI. 9. Perjanjian kerja sekurang-kurangnya harus memuat : a. nama dan alamat pengguna b. jenis dan uraian pekerjaan atau jabatan c. kondisi dan syarat kerja yang meliputi antara lain jam kerja, upah dan cara pembayaran, upah lembur, cuti dan waktu istirahat serta jaminan sosial Universitas Sumatera Utara 10. Persyaratan calon TKI: a. usia minimal 18 tahun kecuali negara tujuan menentukan lain. b. Memiliki kartu kartu tanda penduduk c. Sehat mental dan fisik yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter d. Sekurang-kurangnya tamat SLTP, memiliki keterampilan atau keahlian atau pengalaman sesuai dengan persyaratan jabatan atau pekerjaan yang diperlukan e. Ijin dari orang tua atau wali bagi yang belum berkeluarga dan Suami atau isteri bagi yang sudah berkeluarga. 11. Calon TKI mengurus paspor ke kantor imigrasi setempat berdasarkan daftar nominasi calon TKI 12. Pengurusan visa kerja calon TKI dilakukan oleh PJTKI sesuai dengan ketentuan yang berlaku 13. Sebelum diberangkatkan calon TKI harus menandatangani perjanjian kerja PK yang isinya telah disetujui oleh pengguna. Penandatanganan PK ditandatangani setelah TKI memperoleh visa kerja. Pelaksanaan penandatanganan PK dihadapan dan diketahui oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan di Kantor BP2TKI atau Kantor Wilayah Depnaker. 14. PJTKI wajib mengikutsertakan calon TKI dalam program asuransi perlindungan TKI 15. PJTKI wajib memberikan pembekalan akhir pemberangkatan sebelum TKI berangkat ke luar negeri 16. Semua biaya penempatan TKI pada prinsipnya menjadi tanggung jawab pengguna, kecuali ditentukan lain atau persetujuan Dirjen Universitas Sumatera Utara 17. Biaya penempatan yang dapat dibebankan kepada calon TKI meliputi biaya: a. dokumen jati diri tenaga kerja b. tes kesehatan c. visa kerja d. transportasi local e. akomodasi dan konsumsi f. uang jaminan sesuai dengan negara tujuan penempatan Ringkasan Keputusan Menteri nomor KEP-204MEN1999 dan NO:KEP- 138MEN2000 tentang Penempatan Tenaga Kerja ke Luar Negeri yang Berkaitan dengan PJTKI 1. Persyaratan SIUP PJTKI : a. badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas PT atau koperasi yang dalam akte pendiriannya mencantumkan kegiatan di bidang penempatan TKI; b. mempunyai NPWP. c. mempunyai jaminan deposito sebesar Rp. 250.000.000,- atas nama menteri. d. memiliki modal disetor yang tercantum dalam akte pendirian perusahaan sekurang-kurangnya Rp.750.000.000,- e. mempunyai tempat penampungan. f. surat keterangan undang-undang gangguan. g. mempunyai bukti wajib lapor ketenagakerjaan No: tahun 1981. h. mempunyai rencana kegiatan perusahaan minimal untuk 3 tahun. i. mempunyai pegawai yang berpengalaman di bidang ketenagakerjaan yang dibuktikan dengan surat pengalaman kerja. Universitas Sumatera Utara j. badan hokum koperasi harus mendapat rekomendasi dari instansi pemerintah yang bertanggung-jawab di bidang koperasi. k. penanggung jawab perusahaan atau badan hokum pemohon tidak pernah dijatuhi sanksi pidana 5 lima tahun atau lebih berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 2. Untuk melaksanakan operasional di daerah PJTKI dapat mendirikan Perwada yang didaftarkan ke Kanwil Depnaker. 3. PJTKI wajib menyelesaikan permasalahan dan atau perselisihan yang terjadi antara TKI dan Pengguna. Untuk menyelesaikan permasalahan PJTKI berkoordinasi dengan Perwalu, Mitra Usaha dan dapat meminta bantuan Perwakilan RI. Universitas Sumatera Utara

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PJTKI DALAM KASUS

PERDAGANGAN TENAGA KERJA WANITA

A. Konsep Pertanggungjawaban Pidana

a.1. Kemampuan Bertanggung Jawab Kitab Undang-undang Hukum pidana di seluruh dunia pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertanggungjawab. Yang diatur ialah kebalikannya, yaitu ketidakmampuan bertanggungjawab, seperti isi pasal 44 KUH Pidana Indonesia, yang masih memakai rumusan pasal 37 lid 1 W.v.S. Nederland tahun 1886 yang berbunyi terjemahan secara harfiah penulis Tidak dapat di pidana ialah barang siapa yang mewujudkan sesuatu peristiwa, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kekurangsempurnaan pertumbuh atau gangguan sakit kemampuan akalnya. Terjemahan tersebut tentu janggal, yang kalau dikalimatkan dalam bahasa Indonesia akan lebih baik jikalau berbunyi : Tidak boleh dipidana barangsiapa yang mewujudkan suatu delik, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya disebabkan oleh kekurangsempurnaan pertumbuhan oleh kekurangsempurnaan pertumbuhan akalnya atau sakit gangguan akal. Perlu penulis kemukakan, bahwa Code Penal Perancis 1810, yang berlaku di Nederland dari tahun 1811 sampai dengan tahun 1886, hanya mengakui etat de demence, yaitu penyakit gila yang sepenuhnya, sebagai dasar ketidakmampuan bertanggungjawab. Jadi bunyi pasal 37 lid W.v.S. lama sudah mengandung Universitas Sumatera Utara kemajuan, karena dikenalnya katidaksempurnaan verstandelijke vermogens kemampuan akal, sama dengan bunyi pasal 44 1 KUH Pidana Indonesia sekarang. Sebenarnya rancangan pasal 37 lid W.v.S.yang disusun oleh pemerintahan Nederland menghendaki istilah ketidaksempurnaan jiwa geestvermogens, tetapi karena pengaruh Ramaer seorang psikiater, maka diganti dengan verstandelijke vermogens, bahkan Ramaer mengusulkan penggunaan gebrekkige hersenvorming bentuk otak yang cacad, tetapi tidak diterima oleh pembentuk undang-undang. Pendapat hakim yang merumuskan Durhmrule dan Niebour dapat memudahkan hakim dalam menentukan kemampuan atau ketidakmampuan bertanggungjawab terdakwa. Hakim hanya menanyakan kepada psikiater. Apakah delik yang diwujudkan oleh terdakwa dipengaruhi sekali atau diinvidualisasikan oleh penyimpangan jiwa terdakwa. Apabila jawaban membenarkan pertanyaan itu, maka hakim dapat menyatakan bahwa terdakwa mampu bertanggungjawab atau menjatuhkan pidana. Defenisi opset kesengajaan menurut pasal 11 Crimineel Wetboek van Nederland pada tahun 1809 tidak dimasukkan ke dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Nederland pada tahun 1881, oleh karena itu pada hakikatnya dianggap pengertian itu sudah jelas bagi setiap orang. Oleh karena itu dengan sendirinya defenisi sengaja itu tidak dimasukkan pula di dalam Wetboek van Strafrecht van Nederland Indie, yang kemudian dengan sedikit perubahan dan tambahan menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia kecuali redaksi yang belum diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. Universitas Sumatera Utara Penjelasan mengenai kesengajaan opzet dikemukakan oleh Menteri Kehakiman Nederland Mr. Modderman yang tercatat dalam Memorie van Toelichting Risalah penjelasanWvS. Perlu dikemukakan bahwa KUH Pidana yang merupakan copy Ned. Wetboek van Strafrecht berpandangan monistis terhadap delik, yaitu mencampurkan unsur- unsur perubahan dan unsur-unsur pembuat, berbeda dengan Code Penal Swis dan KUH Pidana Yugoslavia yang berpandangan monistis, sehingga sarjana hukumlah yang harus memisahkan kedua bagian itu yang merupakan syarat-syarat pemidanaan Strafvoraussetzungen. a.2. Jenis Kesengajaan Selain kesengajaan yang terdiri atas tiga corak Schakeringen yang telah diuraian, kepustakaan masih mengenal jenis lain, yaitu : 1. Dolus malus, yang dahulu di Nederland oleh pasal 4 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Nederland tahun 1804 dan beberapa Undang-undang Pidana lain pada abad XIX, dikenal, antara lain Undang-undang Hukum PidanaBeiren tahun 1813 yang penciptanya adalah Anselm von Feuerbach, perumus asas legalitas dalam bahasa latin. 2. Dolus indirectus dan dolus directus Bentuk kesengajaan demikian masih dikenal oleh Code Penal Perancis. Kesengajaan tak langsung demikian dipandang ada pada pembuat delik, jikalau dari perbuatan yang dilakukannya dengan sengaja, menyusul akibat yang tidak dikehendaki olehnya. Kebalikan dolus indirectus ialah dolus directus atau sengaja langsung. Universitas Sumatera Utara 3. Dolus Determinatus versus Indeterminatus Menurut Hazewinkel-Suringa bahwa pembedaan kedua dolus tersebut telah ketinggalan zaman. Hal itu berdasarkan pendapat yang benar, yang menyatakan bahwa kesengajaan itu banyak atau sedikit dapat ditentukan. Suatu kesengajaan yang tidak tertentu tidak ada ; kesengajaan untuk suatu objek yang tidak ada tidak pernah ada ; yang ada ialah kehendak untuk membunuh dengan tidak mempedulikan siapa yang menjadi korban. Menurut Jonkers 1946 ; 55 bahwa dolus determinatus terdapat pada pembuat delik yang hendak membunuh orang tertentu, sedangkan dolus indeterminatus terdapat bila pembuat menghendaki untuk membunuh sembarang orang lain.Dolus indeterminatus determinatur eventul. 4. Dolus Alternativus Dolus Alternativus adalah kesengajaan yang tertuju kepada A atau B atau pembuat delik menghendaki akibat yang satu atau akibat yang lain. 5. Dolus Generalis Kesengajaan umum menurut Jonkers terdapat bila mana pada penyerangan terhadap begitu banyak orang, misalnya penyerangan terhadap suatu pertemuan orang-orang. Hazewinkel memasukkan juga contoh Dolus Alternativus diatas, namun mencakup juga kasus posisi sebagai berikut : Kalau pembuat delik menghendaki sasaran satu orang saja, tetapi melakukan beberapa perbuatan untuk mewujudkan tujuan yang diinginkannya. 48 a.3. Eror atau Dwaling kekhilafan 48 Prof. Dr. A. Zainal Abidin Farid, SH. Hukum Pidana I, Sinar Grafika, 1995, Jakarta, halaman 312 Universitas Sumatera Utara Eror atau kekhilapan ataupun kesalahpahaman menurut Satochid Kartanegara terbagi atas : a. Kesalahpahaman yang sebenarnya Feitelijke dwaling. b. Kesalahpahaman Hukum a.4. Culpa Lata Kealpaan dan kelalaian Culpa Lata atau Grove Schuld kesalahan berat disebut dalam bahasa Belanda dengan istilah Onachtzaamheid kealpaan dan nalatigheid kelalaian, yang sering juga disebut dengan Schuld in enge zin, yang berarti kesalan dalam arti sempit, karena tidak mencakup kesengajaan. Sebenarnya kesalahan tidak sama pengertiannya dengan Schuld di dalam bahasa Belanda, tetapi karena tidak ada bahasa Indonesianya yang penulis temukan, maka dipakai saja istilah kesalahan, yang sudah tentu pengertian schuld menurut hukum pidana, dan bukan dalam arti sisial etis, atau pengertian sehari-hari. Yang relevan bagi hukum pidana adalah hanya culpa lata, yaitu kelalaian yang sangat besar, sehingga orang yang mempunyai sikap batin yang demikian tercela, karena tidak menghiraukan kepentingan orang lain yang dilindungi oleh hukum culpa levis, yaitu yang bersifat ringan tidak diakui sebagai unsur pertanggungjawaban pidana pembuat delik. 49 Culpa Lata terdiri atas : a. Culpa Lata yang disadari atau alpa b. Culpa Lata yang tidak disadari alpa

B. Pertanggungjawaban Pidana PJTKI dalam Kasus Perdagangan Tenaga Kerja Wanita