Upaya Menanggulangi Perdagangan Tenaga Kerja

bersifat represif tidak preventif; harus didukung oleh infrastruktur dengan biaya tinggi;

C. Upaya Menanggulangi Perdagangan Tenaga Kerja

Berbagai upaya telah dan sedang dijalankan pemerintah Indonesia untuk memerangi kejahatan perdagangan perempuan, melalui upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan perdagangan perempuan. Rakyat perlu diperjelaskan tentang keseriusan isu perdagangan perempuan dengan segala implikasinya. Transformasi sosial masyarakat merupakan dasar penting kepada pembasmian gejala sosial, yang merangkumi isu perdagangan perempuan. Transformasi itu membawa implikasi bahwa masyarakat akan memiliki pemikiran dan nurani yang mementingkan kesejahteraan manusia, khususnya perempuan, mengatasi kepentingan keuntungan uang dan pemuasan hawa nafsu. Untuk mencegah terjadinya perdagangan perempuan maka beberapa program perlu dilancarkan seperti program ekonomi, penyebarluasan informasi, dan akses pendidikan di wilayah rentan. Masyarakat daerah asal migran perlu diberdayakan ke arah pemahaman tentang prosedur ketenagakerjaan. Pihak Depnaker setempat harus memainkan perannya lebih aktif bersama-sama secara terpadu dengan pihak terkait tokoh adat, agama, budaya, pemintah tingkat desakelurahan setempat termasuk biro travel untuk membenahi segala kemungkinan bentuk eksploitasi pada calon migran maupun keluarganya. Pemerintah juga perlu membenahi semua lini proses pemberangkatan dan penempatan pekerja migran oleh birokrat atau swasta. Peran swasta yang dominan didalam penempatan pekerja migran justru perlu dikurangkan karena Universitas Sumatera Utara selama ini mereka selalu lepas tanggung jawab apabila muncul persoalan di lapangan. Mengikut harian Pikiran Rakyat 2005, upaya-upaya penghapusan kejahatan perdagangan perempuan di Indonesia agaknya masih setengah hati dan memprihatinkan. Demikian juga dukungan pemerintah terhadap penegakan hak asasi perempuan dan anak-anak masih sebatas politis, belum sampai pada tahap implementasinya. Secara politis Indonesia sudah banyak meratifikasi berbagai kesepakatan dunia mengenai diskriminasi gender dan penghapusan perdagangan perempuan. Akan tetapi implementasinya belum optimal. Belum ada langkah jelas dan nyata seperti dalam bentuk kontrak sosial pemerintah dengan masyarakatnya. Perlu adanya ketegasan dari pemerintah pusat sampai daerah sebagai negara yang ikut meratifikasi agar ada jaminan terhadap ditegakkannya hak asasi perempuan, yakni dengan tindakan hukum dan sanksi keras untuk menghapus perdagangan perempuan. Kepolisian Republik Indonesia masih kesulitan mengatasi kasus perdagangan manusia karena instrumen hukum yang tersedia tidak mencukupi untuk menanggapi kompleksitas kejahatan perdagangan haram ini. Sebelum tahun 2007, UU yang paling relevan dalam kejahatan perdagangan tersebut adalah UU KUHP pasal 297 dan UU Perlindungan Anak pasal 83. Beberapa aspek penting yang tidak memadai dalam perundang-undangan tersebut meliputi definisi, sistem pembuktian kejahatan dan perlindungan korban. UU tersebut tidak memberikan definisi yang jelas mengenai perdagangan manusia sehingga telah membawa masalah serius dalam penerapan Universitas Sumatera Utara kedua UU tersebut dalam kasus yang seharusnya dikategorikan sebagai perdagangan manusia. Di lapangan banyak juga ditemukan bantuk-bentuk kejahatan lebih spesifik yang tidak mampu dijerat oleh pasal-pasal dalam UU tersebut, misalnya modus jeratan hutang. Pemidanaan praktik serupa perdagangan manusia dalam UU yang ada lebih fokus kepada kejahatan perorangan, padahal nyata sekali perdagangan haram ini merupakan kejahatan terorganisir. Secara teknis hukum, penyelidikan dan penyidikan kejahatan perorangan dan terorganisir seharusnya berbeda. UU yang ada juga tidak menyediakn bantuan yang memadai bagi korban. Seharusnya ada bantuan untuk korban yang wajib diberikan menurut UU misalnya penangan luka jasmani dan trauma, klaim atas hak sebagai pekerja dan kemudahan berurusan dengan proses hukum sebagai korban tindak pidana. Dalam hal menangani perdagangan perempuan, Pemerintah Thailand lebih maju dibanding Indonesia. Mereka telah mempunyai instrumen HAM nasional di bidang perlindungan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran hak asasi manusia sebagai akibat perdagangan perempuan dan anak yaitu Undang-Undang Pencegahan dan Pelarangan terhadap Prostitusi tahun 1996 Ditjen Ham, 2003. Indonesia sendiri, baru pada awal tahun 2007 ini mempunyai Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang UU PTPPO No 212007. Undang-undang ini agaknya sudah menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam undang-undang sebelumnya yang berkaitan dengan perdagangan perempuan seperti KUHP pasal 297 dan UU Perlindungan Anak pasal 83. Sanksi hukumannya pun lebih berat, yakni Universitas Sumatera Utara hukuman penjara antara 3 sampai 15 tahun atau denda Rp 120 juta hingga Rp 600 juta bagi oknum yang tertangkap akibat melakukan kegiatan perdagangan perempuan. Bagaimanapun, efektifitas dari peraturan perundang-undangan tersebut sangat bergantung pada pelaksanaannya oleh aparat penegak hukum, polisi dan instansi terkait. Kekurangan kesadaran atas kerjasama aparat penegak hukum serta kolusi antara penegak hukum dengan sindikat kriminal sering dinyatakan sebagai faktor-faktor yang menghalangi efektifitas upaya penegakan hukum. Panduan guidelines tentang pekerja migran mengenai pengaturan standar gaji minimum, hak pekerja dan perlindungan pekerja migran sampai saat ini belum tersedia. Untuk itu perlu dibuat perundingan kerjasama antara Menteri Tenaga Kerja Indonesia dan Malaysia. Dalam perundingan tersebut juga harus mengikutsertakan para pengusaha, terutama pengusaha pemasok pekerja migran dan para pengurus konfederasi Serikat Pekerja. Perundingan ini memang sangat berat, apalagi banyak perusahaan pengerah tenaga kerja adalah milik pejabat kerajaan Malaysia. Kesepakatan ini tentunya akan menyebabkan keuntungan mereka berkurang. Bagaimanapun, perundingan ini perlu diwujudkan untuk melindungi pekerja migran dari jeratan perdagangan manusia. Pemerintah Malaysia sampai saat ini juga belum memiliki UU Anti Perdagangan Manusia. Oleh itu pekerja migran tanpa dokumen yang bekerja di Malaysia menjadi rawan kriminalisasi. Pihak Indonesia dapat mengatakan bahwa pekerja migran ilegal tersebut merupakan korban perdagangan manusia karena Indonesia mempunyai UU 212007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Universitas Sumatera Utara Perdagangan Orang. Bagaimanapun, di Malaysia, pekerja migran tersebut justru dikatakan melanggar hukum dan boleh ditahan Polis Diraja Malaysia. MoU antara pemerintah Indonesia dan Malaysia mengenai pekerja migran juga berpotensi menjurus kepada perdagangan manusia, karena majikan boleh menahan paspor buruh migran. Mereka yang kabur karena tidak tahan dengan siksaan majikan malah dianggap pelanggar keimigrasian, seperti dalam kasus Ceriyati Ramadhanny 2007. Sudah saatnya MoU tersebut dikaji ulang. Pemerintah Indonesia juga perlu menghimbau secara tegas kepada kerajaan Malaysia melalui posisi Indonesia di ASEAN dan Dewan HAM PBB, untuk segera membuat UU Anti Perdagangan Manusia agar kedua negara dapat sepaham untuk melindungi buruh migran. Menanggulangi perdagangan tenaga kerja melalui instrumen Hukum Ketenagakerjaan masih menemui kendala ini disebabkan beberapa hal: 1. Substansi dalam Peraturan Ketenagakerjaan yang ada masih belum cukup efektif memberi perlindungan; 2. Belum adanya kerjasama terpadu antar sektor dan instansi terkait; 3. Minimnya pengetahuan masyarakat terhadap Hukum Ketenagakerjaan umumnya dan prosedur penempatan TKI ke luar negeri khususnya. Ad.1. Substansi dalam Peraturan Ketenagakerjaan yang ada masih belum cukup efektif memberi perlindungan; Dari data yang terhimpun dapat diketahui bahwa perdagangan tenaga kerja perempuan dan anak secara kuantitas terjadi dengan modus menjanjikan pekerjaan di luar negeri sebagai TKWburuh migran dan kenyataannya kemudian mereka Universitas Sumatera Utara dieksploitasi baik sebagai pekerja di sektor formal manufaktur, pertanian, perkebunan dan sebagainya maupun informal pembantu rumah tangga namun tidak sedikit diantaranya yang dijerumuskan sebagai pekerja seks prostitusipelacuran. 58 Menjadi TKWburuh migran memang masih menjadi harapan banyak perempuan dan anak-anak Indoneia karena mengharap upah tinggi guna memperbaiki kondisi kehidupan keluarganya. Faktor pemicunya antara lain kondisi pasar tenaga kerja dalam negeri dewasa ini dimana tingginya tingkat pengangguran yang umumnya dialami kaum muda, serta di sisi lain perempuan masih menjadi pekerja ”kelas dua” utamanya di sektor pekerjaan bergaji, perempuan masih belum terwakili hanya 29,3 sebaliknya perempuan lebih banyak di sektor kerja paruh waktu 56,4 59 yang tidak menjanjikan kesejahteraan sebagaimana diharapkan. Kemiskinan 60 juga memainkan peran besar terjadinya perdagangan tenaga kerja Indonesia yang timbul dari proses pengiriman TKI ke LN. 61 Beberapa aspek pemicu timbulnya perdagangan tenaga kerja yang dilatarbelakangi kemiskinan adalah: 58 Data Perdagangan Manusia di Indonesia dalam www.lfip.orgreporttraffickingdata in Indonesia table pdf 59 ILO, Dimensi Ketenagakerjaan dalam Kebijakan Makro dan Sektoral, Seri Rekomendasi Kebijakan, Kerja Layak dan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia, Jakarta, 2004, hlm.3. 60 Berdasarkan data statistic kemiskinan di Indonesia berdimensi gender, ini merupakan sebuah lingkaran setan dilihat dari aspek pendidikan, jenis pekerjaan, lapangan kerja, upah dan keterwakilan politik perempuan masih sangat rendah. ILO, Gender dan Kemiskinan, hlm.2. Lihat juga dalam ILO, Migrasi: Peluang dan Tantangan bagi Pengentasan Kemiskinan, dimana disebutkan bekerja ke LN migrasi ada kaitan yang erat dengan kemiskinan karena dengan migrasi dianggap sebagai alternative untuk keluar dari jerat kemiskinan mayoritas adalah kaum perempuan, hlm. 1 dan 4. 61 ILO, Migrasi: Peluang dan Tantangan bagi Pengentasan Kemiskinan, Seri Rekomendasi Kebijakan, Kerja Layak dan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia, Jakarta, 2004, dimana disebutkan bekerja ke LN migrasi ada kaitan yang erat dengan kemiskinan karena dengan migrasi dianggap sebagai alternative untuk keluar dari jerat kemiskinan mayoritas adalah kaum perempuan, hlm. 1 dan 4. Universitas Sumatera Utara a. Pekerja kontrak di luar negeri berasal dari daerah pedesaan dan diantaranya dari wilayah-wilayah paling miskin; b. Tidak memiliki keterampilan; c. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan memicu maraknya tenaga kerja illegal; d. Pelatihan dan bekal keterampilan belum menjadi hal penting; Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri diatur dalam UU No. 39 Tahun 2004, sayangnya UU ini masih belum memberi cukup perlindungan. Hal ini terjadi karena substansi dalam UU tersebut masih mengandung ketidak jelasan, dan ketidaktegasan yang sangat berpengaruh terhadap penegakan dan penerapan sanksi. Berikut ini tabel yang menjelaskan beberapa kelemahan yang terdapat dalam UU 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Analisa Terhadap Kelemahan UU 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri 62 No Pasal dan Substansinya Uraian 1 Pasal 4: Orang perorangan dilarang menempatkan warga negara Indonesia untuk bekerja di luar negeri. Ketentuan ini inkonsisten bertentangan dengan Pasal 30 yang menetapkan bahwa setiap orang dilarang menempatkan calon TKITKI pada jabatan dan tempat pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan norma kesusilaan serta peraturan perundang-undangan, baik di Indonesia maupun di negara tujuan yang telah 62 Dirangkum dan diolah kembali oleh Agusmidah dari tulisan Aloysius Uwiyono, Aspek Yuridis Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Makalah, Seminar tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Penyelenggara BPHN, FH Unair dan Kanwil Depkum dan Ham Prov. Jawa Timur, Surabaya, 30-31 Agustus 2005. 2005 Universitas Sumatera Utara dinyatakan tertutup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27. Kata ’setiap orang’ dalam merujuk pada orang perorangan yang dalam pasal 4 dilarang melakukan penempatan, sehingga kedua pasal ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebaliknya subjek dalam Pasal 30 lebih diperjelas sehingga ketentuan ini dapat efektif. 2 Pasal 20 ayat 1: ”Untuk mewakili kepentingannya pelaksana penempatan TKI swasta wajib mempunyai perwakilan di Negara TKI ditempatkan” Kewajiban ini tidak disertai sanksi pidana, padahal substansinya untuk membangun sistem penempatan TKI di Luar Negeri yang memperhatikan perlindungan kerja. Sanksi administratif saja belum cukup kuat. Sanksi hukum yang tidak tegas belum menjadikan ketentuan ini norma hukum, melainkan sekedar norma sosial atau norma sopan santun. 3 Pasal 21 ayat 1: ”PPTKI swasta dapat membentuk kantor cabang di daerah di luar wilayah domisili kantor pusatnya” Dari segi substansinya Pasal di atas sangatlah penting dan strategis dalam proses rekruitmen yang tepat untuk mencegah hal-hal yang tidak sesuai seperti TKI illegal, human trafficking, penipuan dan pencaloan, dan sebagainya, namun rumusan “dapat” yang dapat diartikan ”boleh” menjadi tidak sesuai dengan maksud yang dituju, sebaiknya pasal ini merumuskan ”harus”, sehingga tujuan rumusan pasal tersebut tercapai. 4 Pasal 24 ayat 2: ”Mitra usaha sebagimana dimksud ayat 1 harus berbentuk badan hukum yang didirikan sesuai dengan peraturan perundang di negara tujuan Pasal ini tidak akan efektif karena subjek hukum berada di luar batas wilayah Indonesia. 5 Pasal 27 Ayat 1 : ”Penempatan TKI di luar negeri hanya dilkukan ke negara yng pemerintahannya telah membuat perjanjian tertulis dengan pemerintah Republik Indonesia atau ke negara tujuan yang mempunyai peraturan perundang-undangan yang melindungi tenaga kerja asing” Dari sudut legal drafting hal ini merupakan postulat hukum yang harus di breakdown dalam norma hukum, apalagi sanksi hukum tidak dapat dirumuskan karena tidak jelas siapa subjek hukumnya. Universitas Sumatera Utara 6 Pasal 29 ayat 1: ”Penempatan calon TKITKI di luar negeri diarahkan pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat dan kemampuan” Ketentuan ini juga tidak memberi kejelasan siapa subjek hukumnya sehingga si pelanggar dapat dikenakan sanksi. Rumusan di atas perlu dikonkritkan menjadi norma hukum dengan demikian sanksi hukum dan siapa yang terkena kewajiban hukum menjadi jelas. Analisa normatif terhadap substansi UU 39 Tahun 2004 di atas memperlihatkan bahwa dalam UU ini sistem penempatan dan perekrutan buruh migran belum berpihak pada perlindungan tenaga kerja. Hal ini tercermin dalam hal- hal sebagai berikut: 63 1. Pencalonan masih akan berlangsung karena tidak ada kewajiban PJTKI untuk membentuk kantor cabang di daerah rekrut; 2. Penempatan TKI illegal masih terbuka lebar karena tidak ada ketentuan tegas yang melarang; 3. Pelatihan yang diserahkan pada PJTKI menimbulkan permasalahan pengawasan yang umumnya masih lemah; 4. Ditemukan ketentuan-ketentuan yang tidak jelas subjek hukumnya padahal dapat diancam sanksi pidana; 5. Ditemukan ketentuan yang lemah yang dirumuskan dalam bentuk kebolehan padahal sebaiknya keharusan; 6. Ada ketentuan yang dirumuskan sebagai keharusan namun tidak ada ancaman sanksi pidananya; 7. Adanya peraturan yang bertentangan inkonsisten. 63 Ibid., hlm. 8-9 Universitas Sumatera Utara 8. Adanya ketentuan yang tidak efektif karena mengatur subjek hukum yang berada di luar batas wilayah NKRI. Perlindungan TKI di negara tempat bekerja dapat diupayakan pemerintah melalui penyusunan peraturan perundangan yang tepat berdasar logika hukum di antaranya: a Dibentuk peraturan perundangan yang mampu menyentuh persoalan yang mengandung unsur asing mengingat perjanjian kerja yang dilakukan di luar negeri menganut asas lex loci executionis lex loci delicti commisi. Oleh karenanya perangkat hukum yang dapat digunakan selama masa penempatan adalah Hukum Perdata Internasional melalui Bilateral Agreement atau Multilateral Agreement bukan peraturan perundang- undangan Indonesia. 64 b Menetapkan sanksi yang tegas baik pidana maupun administratif terhadap pelanggaran atas ketentuan-ketentuan yang mendasar agar menimbulkan efek jera. 65 c Rekruitmen TKI dilakukan secara tepat dengan asas mudah, murah dan cepat untuk menghindarkan TKI illegal karena alasan prosedur yang rumit dan lama, sehingga kerjasama antar instansi terkait perlu dilakukan. d Mengefektifkan sistem pengawasan pemerintah. 64 Antara lain berisi: besar upah, jam kerja, jam istirahat, cuti, upah lembur, fasilitas jaminan sosial sakit, kecelakaan, dll, fasilitas sosial yang memadai tempat tinggal, makan, dll, kebebasan beragama dan menjalankan ibadah, hak berserikat, asuransi, mekanisme penyelesaian perselisihan. Bandingkan dengan Aloysius Uwiyono 2005, Ibid., hlm. 13. 65 Ari Hernawan, Perlindungan dan Pembelaan Tenaga Kerja Indonesia, Mimbar Hukum, Jurnal Berkala FH UGM, Vol. 19, No. 1, Februari 2007, hlm. 109-110 dan Aloysius Uwiyono, Ibid., hlm. 14. Universitas Sumatera Utara Perlindungan TKI yang bekerja di luar negeri disamping menggunakan sarana hukum dapat pula dibarengi dengan menyelenggarakan kerjasama diplomatik mengenai penempatan tenaga kerja. Cara ini akan lebih efisien dan mudah dilakukan karena bersifat politis, yang diperlukan adalah adanya hubungan baik antar negara. Ad.2. Belum adanya kerjasama terpadu antar sektor dan instansi terkait; Dalam hal penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri berdasarkan UU 39 tahun 2004 tanggung jawab pelaksanaan penempatan dan perlindungan TKI ada pada empat faktor: 1. Pemerintah pusat instansi terkait pelayanan penempatan dan perlindungan TKI 2. Perwakilan TKI 3. Pemerintah Daerah 4. Pelaksanaan penempatan TKI PPTKI Keterkaitan peran dan tanggung jawab keempat unsur tersebut menunjukkan adanya saling keterkaitan sebab akibat masih terjadinya perdagangan tenaga kerja. Timbulnya perdagangan tenaga kerja tidak dapat dipungkiri timbul karena sistem pelayanan penempatan calon TKI ke luar negeri sebagai sebuah rimba raya yang tidak sepenuhnya dipahami oleh orang awam termasuk para calon TKI, oleh karenanya timbul pencaloan yang seringkali berdampak pada tindakan penipuan, pemerasan, dan berujung pada perdagangan manusia. Universitas Sumatera Utara Jika diidentifikasi ada beberapa ruang yang menjadi peluang timbulnya perdagangan tenaga kerja antara lain: 66 a. pelayanan penempatan masih dilakukan secara parsial dan sektoral, kondisi ini dimanfaatkan oleh calo dan sindikat untuk memanipulasi data dan berbagai dokumen TKI untuk tujuan menempatkan TKI secara illegal; b. kecenderungan pengusaha majikan untuk lebih menerima TKI illegal karena untuk menghindari membayar upah sesuai ketentuan, membayar pajak dan hak-hak perburuhan lainnya, sehingga TKI illegal tetap menjadi komoditas menarik bagi para calo dan sindikat; Ad.3. Minimnya pengetahuan masyarakat terhadap Hukum Ketenagakerjaan Hukum Ketenagakerjaan sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan seyogyanya dipahami oleh semua orang tidak hanya mereka yang memang menekuni bidang ilmu hukum. Alasan pertama adalah bahwa setiap orang adalah pencari kerja angkatan kerja yang akan berhubungan langsung dengan masalah perekrutan, pelaksanaan dan pengakhiran kerja pra, during and post employment. Alasan kedua adalah bahwa Indonesia menuju pada negara industrialis, sebagaimana terjadi pada Negara-negara lain di dunia makasudah selayaknya pembekalan terhadap hukum hubungan industrial diterapkan dalam semua disiplin ilmu, bila perlu sejak di masa Sekolah Menengah Atas Umum. 66 Disarikn dari I Gusti Made Arka, Dirjen PPTKLN Depnakertrans, Peran dan Tanggungjawab Departemen Tenaga Kerja dalam Proses Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri, Makalah dalam Seminar entang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri penyelenggara BPHN, FH Unair dan Kanwil Depkum dan Ham Prov. Jawa Timur, Surabaya. 30-31 Agustus 2005. Universitas Sumatera Utara Selama ini yang terjadi di lapangan masyarakat awam kurang memahami tentang hak-hak atas kerja dan pekerjaan dalam makna yang luas yaitu hak bekerja dan hak di tempat kerja. Termasuk adanya pengkhususan atas pekerja anak dan pekerja perempuan untuk tujuan non eksploitasi dan non diskriminasi. Kondisi ini membawa pengaruh signifikan, yaitu semakin memberi ruang gerak yang luas terhadap pencaloan tenaga kerja berkedok agen penyalur tenaga kerja 67 yang seringkali menjadi pelaku perdagangan manusia. Bentuk bahaya eksploitasi yang ditemukan adalah eksploitasi dalam kerja rumah tangga dan eksploitasi seksual. Situasi eksploitasi kerja rumah tangga yang dialami korban meliputi lamanya jam kerja, terbatasnya waktu istirahat, tidak ada hari libur mingguan, dan rendahnya gaji dan gaji tidak dibayar. Selain ketiga unsur trafficking di atas, dalam banyak kasus trafficking, ditemukan dimensi kekerasan yang menyertai korban dalam tahapan proses. Mayoritas kekerasan yang terjadi pada tahap penerimaan. Bentuk-bentuk kekerasan yang ditemukan adalah kekerasan psikis ancaman, penghinaan, dimaki, kekerasan fisik penyiksaan, dan kekerasan seksual pelecehan seksual dan perkosaan. Dalam rangka menuntut pelaku perdagangan, dan memenuhi keadilan bagi korban perdagangan, LSM dan masyarakat sipil lainnya seperti organisasi keagamaan dan organisasi kemasyarakatan, memainkan peranan yana sangat strategis. Peranan ini minimal dapat berupa peranan mendampingi korban saat sedang menjalani proses hukum. 67 Sistem kerja kontrak semakin memarginalkan posisi pencari kerja, antara lain untuk bisa diterima bekerja harus membayar sejumlah uang pada agen, ketidakpastian atas kelangsungan pekerjaan karena dibatasi oleh kontrak jangka waktu tertentu. Universitas Sumatera Utara Untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya korban berikut karena banyak perempuan dan anak yang berimigrasi ke luar negeri dengan maksud bekerja sebagai buruh migran, YLBH-PIK lalu melakukan penyadaran hukum di desa-desa agar tidak mudah terbujuk dan terpancing dengan rayuan para pengeksploitasi. Advokasi Penegakan Hukum Bahwa dalam praktek, permasalahan- permasalahan hukum yang dialami oleh korban perdagangan orang sangat kompleks. Perdagangan orang biasanya dikelola oleh kelompok yang sudah terorganisir, berpengalaman dan dilindungi oleh preman. Dalam beberapa kasus,kelompok ini malah dilindungi oleh oknum-oknum aparat keamanan dan ditempatkan pada lokasi terselubung. Berbagai kasus sudah ditangani advokaddilapangan, antara lain yang populer dengan kasus “perempuan tiga anak”. Perempuan tersebuut berhasil ditipu dan dijual ke Tanjung Balai, kepulauan Riau. Pembebasan perempuan ini memakan waktu yang cukup lama oleh Yayasan Jurnal Perempuan. Pada akhirnya ibu 3 anak tersebut dapat diselamatkan dan dipulangkan ke Cimahi, Bandung. Pembebasan ibu 3 anak ini memakan waktu yang lama, tenaga dan dana yang tidak sedikit. Kasus lain yang ditangani oleh LBH APIK, Pontianak tahun 2001, sebanyak 183 kasus, antara lain: No. Kasus Jumlah Korban 1. Melarikan diri dari majikan, gaji tidak dibayar, sering dimarahi, dianiaya, dan paspor ditahan majikan 102 2. Melarikan diri dari majikan, mengalami pelecehan seksual akan diperkosa majikan laki-laki 8 Universitas Sumatera Utara 3 Melarikan diri dari majikan, dipaksa bekerja di tempat prostitusi 3 4. Melarikan diri dari agen karena Malaysia Timur dipaksa untuk bekerja di tempat prostitusi 18 5. Melarikan diri dari agen karena disekap di rumah agen 27 6. Melarikan diri, diperkosa oleh agen Malaysia Timur 2 7. Melarikan diri dan dianiaya oleh agen 10 8. Melarikan dirikarena kerja terlalu berat dan tidak sesuai dengan perjanjian 9 9. Mengalami stress dan sakit jiwa 4 Jumlah Total 183 Putusan kasus perdagangan orang di Indonesia tahun 2003-2004 No. Tahun Terdakwa Vonis Hukuman 1. 2003-2004 84 27 Hukuman yang dijatuhkan berkisar dari 5-6 bulan hukuman penjarasampai tertinggi 4 tahun. 2. 2004-2005 53 44 9 Hukuman yang dijatuhkan ada yang bebas, divonis hukuman penjara dari 6 bulan sampai tertinggi 13 tahun. Rata-rata hukuman 3 tahun 3 bulan. . Tidak jelas vonis yang dijatuhkan Diolah dari berbagai sumber 2005 Universitas Sumatera Utara Kasus-kasus tersebut menjadi gambaran umum bahwa kejahatan perdagangan orang sudah menjadi kejahatan manusia yang nyata. Cakupan locus delicti kejahatan perdagangan orang sudah meliputi wilayah Sumatera Utara, Riau, Bengkulu, Banten, Jakarta, Indramayu, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantam Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara dan Papua. Biasanya kasus-kasus yang terungkap dan dilaporkan jauh lebih sedikit dari pada kenyataan yang ada, seperti fenomena Gunung Es. Yang kelihatan dipermukaan hanya sedikit, sedangkan bagian bawah yang tidak kelihatan jauh lebih besar. Pada saat ini, dengan bantuan Aparat Hukum, Mass Media, LSM, kasus-kasus yang terungkap akan lebih besar. Di dalam persidangan di Pengadilan, peranan advokad diatur berdasarkan pasal 39 UU No. 21 Tahun 2007, dikutip sebagai berikut: Pasal 39 1 Sidang tindak pidana perdagangan orang untuk memeriksa saksi dan atau korban anak dilakukan dalam sidang tertutup. 2 Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 saksi dan atau korban anak wajib didampingi orang tua wali, orang tua asuh, advokad, atau pendamping lainnya. Bahwa peranan Advokad dalam Undang-undang ini sangat penting, karena korban perdagangan orang wajib didampingi orang tua wali orang tua asuh, dan advokad, atau pendamping lainnya. Advokad memberikan advokasi disidang pengadilan dalam rangka mendampingi dan memberi nasehat hukum untuk korban. Dalam persidangan pidana perdagangan orang, Jaksa Penuntut Umum dan Advokad bekerja sama untuk Universitas Sumatera Utara kepentingan hukum saksi korban. Dalam proses beracara perkara pidana perdagangan orang, ada ciri khas dibandingkan perkara pidana lainnya, karena ada 2 advokad berhadap-hadapan, dalam kepentingan yang berbeda. Satu advokad membela kepentingan saksi korban dan advokad lainnya membela kepentingan terdakwa. Pasal-pasal yang berkaitan langsung dengan kejahatan perdagangan orang dapat ditemukan dalam KUH. Pidana maupun Undang-undang Khusus lainnya. Pasal 297 KUH. Pidana “ Perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana paling lama enam tahun” Pasal 83 UU No.23 tahun 2002, tentang Perlindungan Anak “ Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 lima belas tahun dan paling singkat 3 tiga tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- tiga ratus juta rupiah dan paling sedikit Rp. 60.000.000,- enam puluh juta rupiah” Bahwa maraknya perdagangan perempuan dan anak sejak awal tahun 2000, menimbulkan adanya kesadaran hukum masyarakat agar memperberat hukuman terhadap kejahatan tersebut. Ancaman hukuman maksimal 6 tahun, tanpa ada batas minimal, dirasakan tidak adil untuk pelaku perdagangan orang. Cakupan pasal tersebutpun dirasa terbatas sehingga tidak dapat menjaring semua pelaku tindak pidana penjualan orang trafficker. Ketentuan-ketentuan pidana tersebut hanya mengatur korban perempuan dan anak-anak, padahal tidak tertutup korbannya adalah laki-laki dewasa. Hal inilah penyebab adanya desakan yang kuat untuk menerbitkan Undang-undang khusus untuk kejahatan perdagangan orang yang lebih koprehensif, agar pelaku kejahatan perdagangan orang dihukum berat. Universitas Sumatera Utara Hal inilah yang mendasari diundangkannya UU No. 21 Tahun 2007. Pasal 2 samapi dengan pasal7, sudah ditentukan secara limitatif hukum pidana paling singkat 3 tahun dan paling berat seumur hidup. Denda paling sedikit Rp.120.000.000,- dan paling banyak 5.00.000.000,-. Ancaman hukum yang berat tersebut, diharapkan membuat para pelaku jera untuk melakukan kejahatan perdagangan orang. Pasal 2 sampai dengan pasal7, ditujukan kepada pelaku. Pasal 8 ditujukan kepada aparat Negara. Pasal 9 , terhadap pembujuk dan pembantu kejahatan atau percobaan dan yang merencanakan atau melakukan permufakatan jahat diatur dalam pasal 10 dan 11, yang hukumannya sama dengan pelaku. Demikian pula terhadap pemalsu dokumen atau bukti palsu untuk mempermudah terjadinya kejahatan perdagangan orang atau membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang, juga dapat dipidana berdasarkan Undang-undang ini. Diundangkannya UU No. 21 Tahun 2007 tersebut, tentunya dengan tujuan utama; Terhapusnya segala bentuk perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi. Untuk mencapai tujuan utama tersebut tentu diperlukan target khusus untuk mencapai tujuan utama tersebut yang meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Adanya norma hukum dan tindakan hukum terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang; 2. Terlaksananya rehabilitasi dan reintegrasi sosial terhadap korban yang dijamin secara hukum; 3. Terlaksananya pencegahan segala bentuk praktek perdagangan orang di keluarga dan masyarakat; Universitas Sumatera Utara 4. Terciptanya kerjasama dan koordinasi dalam penghapusan perdagangan orang antar instansi di tingkat nasional maupun internasional. Lihat Keppres No. 88 Tahun 2002 tentang RAN P3A tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak dengan tujuan : - Menjamin peningkatan atas upaya perlindungan terhadap korban trafiking khususnya perempuan dan anak - Mewujudkan kegiatan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan atas praktek trafiking khususnya perempuan dan anak - Mendorong penyempurnaan peraturan yang berkaitan dengan trafiking. Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN