Kerangka Teori Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Wanita Dalam Kasus Human Trafficking oleh PJTKI belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang tindak pidana perdagangan manusia. Namun jelas berbeda. Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Hukum akan menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat menggunakan hukum menuruti perilakunya, sedangkan dilain pihak efektifitas hukum berkaitan erat dengan masalah kepatuhan hukum sebagai norma. Hal ini berbeda dengan kebijakan dasar yang relatif netral dan bergantung pada nilai universal dari tujuan dan alasan pembentukan undang- undang. 17 17 Lihat, Hikmahanto Juwana, Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia, Disampaikan Pada Seminar Nasional Reformasi Hukum dan Ekonomi, sub tema: Reformasi Agraria Mendukung Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52, Medan, Sabtu 14 Agustus 2004. Universitas Sumatera Utara Selanjutnya, Bismar Nasution melihat bahwa untuk memprediksi efektifitas suatu kaedah hukum yang terdapat dalam undang-undang tidak terlepas dari sistem hukum yang rasional, karena pada sistem hukum rasional yang memberikan panduan adalah hukum itu sendiri bukan sistem hukum yang karismatik yang disebut law prophet. Sistem hukum yang rasional dielaborasi melalui sistem keadilan yang secara profesional disusun oleh individu-individu yang mendapatkan pendidikan hukum, cara demikian membuat orang terhindar dari penafsiran hukum secara black letter rules atau penafsiran legalistic. 18 Kaedah hukum tersebut ada yang berwujud sebagai peraturan-peraturan tertulis, keputusan-keputusan pengadilan maupun keputusan- keputusan lembaga-lembaga kemasyarakatan. 19 Pemikiran tentang sistem hukum rasional yang dikemukakan oleh Bismar Nasution ini pada dasarnya dielaborasi dari pemikiran Max Weber yang terkenal dengan teori Ideal Type-nya. Dalam hukum ada empat type ideal, yaitu yang irrasional formal, irrasional materiel, rasional formal dalam masyarakat modern dengan mendasarkan konsep-konsep ilmu hukum dan rasional materiel. 20 Lain halnya dengan teori sociological jurisprudence dari Eugen Ehrlich yang menekankan hukum pada kenyataannya realitas dari pada kedudukan dan fungsi hukum dalam masyarakat, prinsip teori ini hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, konsep teori ini menunjukkan 18 Lihat, Bismar Nasution, Hukum Rasional Untuk Landasan Pembangunan Ekonomi Indonesia Disampaikan Pada Seminar Nasional Reformasi Hukum dan Ekonomi, sub tema: Reformasi Agraria mendukung Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52, Medan, Sabtu 14 Agustus 2004, hal. 8 19 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Edisi Baru, Raja Grafindo Persada, Jakarta,2001, hal. 3 20 Otje Salman, Sosiologi Hukum Suatu Pengantar, Armico, Bandung, 1983, hal.12 Universitas Sumatera Utara adanya kompromi antara hukum yang tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi kepastian hukum dan living law sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya peran masyarakat dalam pembentukan dan orientasi hukum. 21 Aktualisasi dari living law tersebut bahwa hukum tidak dilihat dalam wujud kaedah melainkan dalam masyarakat itu sendiri. Penerapan suatu sistem hukum rasional dalam sistem peradilan pidana criminal justice system tentunya memberikan dampak pada proses penegakan hukum di Indonesia terutama dalam hal kebijakan pemberlakuan hukum, seperti efektivitas Undang-undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang walaupun pada hakekatnya memiliki muatan politis yang diinginkan oleh pembuat Undang-undang dan masyarakat internasional, hal ini sejalan dengan pendapat Antony Allott yang menyatakan bahwa pembuatan hukum yang kilat atau tergesa-gesa akan dapat mengakibatkan hukum menjadi tidak efektif, yang pada gilirannya membuat apa yang diinginkan hukum itu tidak tercapai. 22 Sedangkan Soerjono Soekanto melihat efektivitas suatu kaedah hukum pada tatanan penegakan hukum sebagai suatu proses yang pada hakekatnya merupakan penerapan kebijakan yang menyangkut membuat keputusan yang secara ketat tidak diatur oleh kaedah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi dan pada hakekatnya direksi berada diantara hukum dan moral etika dalam arti sempit, hal ini 21 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 79 22 Lihat Antony Allot, The Efectiveness of Law, Valparaiso University Law Review, vol.15 Wiater,1981, hal. 233 dalam Bismar Nasution. Ibid, hal. 4 Universitas Sumatera Utara sebagaimana pendapat Roscoe Pound. 23 Meski dari hari ke hari aturan mesti direvisi guna dapat menyalurkan nilai keadilan, kepastian hukum serta kemanfaatan bagi masyarakat. Sebelum membahas permasalahan diatas maka akan terlebih dahulu dikemukakan beberapa pengertian yang terkait erat dengan pembahasan ini antara lain : 1 Perdagangan orang Human Trafficking Pada mulanya belum ada rumusan yang memadai tentang Human Trafficking, penggunaan yang paling mungkin untuk menunjukkan bahwa tindakan perdagangan orang tersebut adalah sebuah kejahatan tersebut tersebar dalam berbagai undang-undang. Misalnya KUHP, Undang-undang Perlindungan Anak, Undang-undang Buruh Migran, dan lain-lain. Karena itu, upaya memasukkan jenis kejahatan ini ke dalam perundang-undangan di Indonesia adalah langkah positif. 24 Namun setelah lahirnya Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, 23 Lihat Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grapindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 7 24 Dalam Laporan Unicef tahun 1998 diperkirakan jumlah anak yang tereksploitasi seksual atau dilacurkan di Indonesia mencapai 40.000 sd 70.000 anak tersebar di 75.106 tempat di seluruh wilayah Indonesia. Sebuah dokumen, yakni Traficking in Person Report yang diterbitkan oleh Deplu AS dan ESCAP juga telah menempatkan Indonesia pada peringkat ketiga atau terendah dalam upaya penanggulangan trafficking perempuan dan anak. Lihat dalam www.elsam.or.id, Perdagangan Manusia Dalam Rancangan KUHP dalam Agusmidah Makalah disampaikan dalam acara Dialog Interaktif tentang “Tekad Memberantas Perdagangan Perempuan dan Anak Dengan Memberi Advokasi Penegakan Hukum Melalui UU No. 21 Tahun 2007. Diselenggarakan oleh IKA FH USU Medan, 30 Agustus 2007 di FH USU Medan hal.2. Universitas Sumatera Utara penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, atau posisi rentan penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat sehingga, memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan negara atau antar negara tersebut, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi 2 Perdagangan Tenaga Kerja Trafficking in Person for Labor Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum maka bekerjanya sistem peradilan pidana criminal justice system menjadi prioritas utama dalam bidang penegakan hukum. Oleh sebab itu diperlukan keterpaduan antara sub sistem-sub sistem di dalam criminal justice system guna menanggulangi meningkatnya kualitas maupun kuantitas kejahatan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Tujuan dari sistem peradilan pidana adalah: a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan. b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana. c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. 25 Istilah “criminal justice system” menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. 26 Remington dan Ohlin mengemukakan: 25 Lihat, Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta, 1997, hal. 84-85 Universitas Sumatera Utara “Criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme pendekatan sistem mekanisme administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem peradilan pidana merupakan suatu interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sikap itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasan”. 27 Istilah sistem dari bahasa yunani “systema” yang mempunyai pengertian suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian whole compounded of several parts. 28 Secara sederhana sistem ini merupakan sekumpulan unsur-unsur yang saling berkaitan untuk mencapai tujuan bersama, yang tersusun secara teratur dan saling berhubungan dari yang rendah sampai yang tinggi. Stanford Optner menyebutkan bahwa sistem tersusun dari sekumpulan komponen yang bergerak bersama-sama untuk mencapai tujuan keseluruhan. 29 Hagan membedakan pengertian antara “criminal justice process” dan “criminal justice system” yang pertama adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya pada penentuan pidana. Sedangkan yang kedua adalah 26 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Presfektif Eksistensialisme dan Abolisianisme, Binacipta, Bandung, 1996, hal.14 27 Ibid, hal.4 28 Stanford Optner, System Analysis for Business Management, Prentice Hall, Inc., New York, 1968,hal.3, dalam Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, Rajawali, Cet.1. Jakarta, 1986, hal.5 29 Ibid Universitas Sumatera Utara interkoneksi antar keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan. 30 Criminal justice system pada hakikatnya merupakan sistem yang berupaya menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan, baik kepentingan negara, masyarakat maupun individu termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan. Sub sistem yang harus bekerja sama di dalam criminal justice system untuk menanggulangi tindak pidana perdagangan orang keluar negeri adalah: a. DPR-RI b. Presiden RI c. BAPPENAS Badan Perencana Pembangunan Nasional d. Kementrian Kordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat e. Kementrian Pemberdayaan Perempuan f. Departemen Pendidikan Nasional g. Departemen Sosial h. Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata i. Departemen Kesehatan j. Departemen Tenaga Kerja k. Departemen Perhubungan l. Biro Pusat Statistik m. Direktorat Jendral Imigrasi n. Kepolisian o. Kejaksaan 30 Romli Atmasasmita, op.cit, hal.14 Universitas Sumatera Utara p. Pengadilan q. Lembaga Pemasyarakatan Untuk poin n,o,p,q diatas dapat diartikan sebagai sistem peradilan pidana criminal justice system dalam penegakan hukum pidana pada umumnya, 31 namun penulis berpendapat bahwa dalam upaya perlindungan hukum terhadap tenaga kerja wanita dalam kasus human trafficking oleh PJTKI, maka poin a,b,c,d,e,f,g,h,i,j,k,l dan m merupakan bagian sub sistem peradilan pidana yang turut membantu penegakan hukum pidana mengenai perdagangan orang. Penegakan hukum pidana dalam sistem peradilan pidana criminal justice system itu sendiri pada hakikatnya merupakan bagian dari politik kriminal yang menjadi bagian integral dari kebijakan sosial. Politik kriminal ini merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. 32 Sehubungan dengan penegakan hukum pidana ini, maka Lawrence M. Friedman yang mengkaji dari sistem hukum legal system menyatakan bahwa ada tiga komponen yang ikut menentukan berfungsinya suatu hukum dalam hal ini hukum pidana, yaitu struktur hukum structure, substansi hukum substance, dan budaya hukumnya legal culture. Dari ketiga komponen inilah menurut Friedman kita dapat melakukan analisis terhadap bekerjanya hukum sebagai suatu sistem. 33 Dari uraian yang dikemukakan Friedman ini nampak bahwa unsur structure dari suatu sistem hukum mencakup berbagai institusi yang diciptakan oleh sistem 31 Lihat, Mardjono Reksodiputro,Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana,Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta, 1997, hal.141. 32 Lihat, Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hal.99 33 Lihat, Lawrence Friedmen, America Law An Introduction, sebagaimana diterjemahkan oleh Wisnu Basuki PT Tatanusa, Jakarta, 1984, hal.6-7. Universitas Sumatera Utara hukum tersebut dengan berbagai fungsinya dalam rangka bekerjanya sistem tersebut. Salah satu diantara lembaga tersebut adalah pengadilan. Sedangkan komponen substance mencakup segala apa saja yang merupakan hasil dari structure, di dalamnya termasuk norma-norma hukum baik yang berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan, maupun doktrin-doktrin. Lebih jauh Friedman mengatakan bahwa apabila sedikit direnungkan maka sistem hukum itu bukan hanya terdiri atas structure dan substance. Masih diperlukan adanya unsur ketiga untuk bekerjanya suatu sistem hukum yaitu budaya hukum. Kerangka teori dalam menelaah peran serta criminal justice system terhadap upaya perlindungan hukum terhadap tenaga kerja wanita dalam kasus human trafficking oleh PJTKI dalam tatanan legal substance dapat dilihat dari rumusan Mochtar Kusumaatmadja, bahwa hukum adalah sarana pembangunan yaitu sebagai alat pembaharuan dan pembangunan. Mengingat fungsinya, sifat hukum pada dasarnya konservatif. Artinya hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah dicapai. Selain itu hukum harus dapat membantu proses perubahan pembangunan masyarakat tersebut. 34 Berdasarkan teori diatas, peran criminal justice system pada upaya perlindungan hukum terhadap tenaga kerja wanita dalam kasus human trafficking oleh PJTKI harus didasarkan pada pencapaian usaha untuk melakukan pemberantasan dan penanggulangan tindak pidana perdagangan orang dengan mengarahkan secara integrated terpadu seluruh komponen perangkat aturan kriminalisasi perdagangan 34 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dan Pembangunan, Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan Bekerjasama dengan PT. Alumni, Bandung, 2002, hal.13 dan 74 Universitas Sumatera Utara orang yang terbungkus oleh PJTKI dan aparatur penegak hukum dalam sistem peradilan pidana. Peranan perangkat aturan perdagangan orang dalam hukum positif Undang-undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Perdagangan Orang, KUHP dan peraturan perundangan lainnya harus lebih diorientasikan kepada realitasnya dan bukan menempatkan kedudukan dan fungsi hukum positif itu dalam masyarakat. Keberlakuan hukum positif ini harus sesuai dengan hukum yang hidup living law dalam masyarakat, apabila peran criminal justice system lebih diarahkan pada upaya pencapaian penanggulangan sebelum dan sesudah kejahatan perdagangan manusia keluar negeri terjadi. Dapat dikemukakan bahwa trafficking yang dimaksud ini menurut UU No 21 Tahun 2007 Pasal 1 angka 1 adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, atau posisi rentan penjeratan utang, aau memberi bayaran atau manfaat sehingga, memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan negara atau antar negara tersebut, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. 35 Khusus terhadap tuntutan pidana kepada para pelaku kejahatan perdagangan orang, tentu punya warna tersendiri yang harus memiliki daya cegah yang kuat dan berdampak jera, karena terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang ini, Undang-undang RI.No.21 tahun 2007 mencantumkan ancaman pidana penjara 35 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Universitas Sumatera Utara minimum dan pidana denda minimum terhadap semua delik, sehingga dengan demikian diharapkan semangat optimalisasi tuntutan pidana terhadap pelaku kejahatan perdagangan orang dapat diakomodir 36

2. Landasan Konsepsional