semangatnya dalam mendalami agama menghantarkannya pada kedudukan mujtahid mutlak.
b. Ide Pembaharuannya
Kerangka dasar pemikiran Ibnu Taimiyah
adalah menunjukkan bahwa islam dan pembaharuan islam memerlukan suatu cara, yaitu jalan tengah dan sintetik
buatan. Pada kenyataannya, jalan tengah harus dipadukan dengan perkembangan dalam islam yang bermacam-macam tersebut dengan tetap berpegang pada ajaran
pokok islam yang termaktub dalam al Qur’an dan sunnah yang murni, yang tidak terkontaminasi oleh budaya-budaya asing. Adapun ide-ide pembaharuan Ibnu
Taimayah adalan sebagai berikut : 1.
melakukan kritik dengan cara yang jauh lebih tajam dan ketat dibanding apa yang telah dilakukan oleh imam gazali.
2. menegakkan dalil dan bukti berdasarkan akidah, hukum dan kaidah-kaidah
islam dengan sseirama dengan apa yang dilakukan Imam Al Gazali, dan bahkan bila dilihat apa yang dikemukakan Imam Al Gazali benyak sekali
mempergunakan istilah-istilah logika. 3.
Ibnu Taimiyah tidak saja menolak segala bentuk taqlid buta, melainkan lebih dari itu.
4. memerangi bid’ah, taqlid, kemajuan berfikir, kesesatan aqidah, dan dekadensi
moral.
Ijtihad dalam islam memegang peran yang sangat besar karena hanya dengan prinsip inilah islam akan selalu menjadi dinamis, hidup dan maju serta tidak akan
pernah ketinggalan zaman. Dengan prinsip ijtihad inilah yang memungkinkan perkembangan dan kemajuan yang bersinambungan didalam syari’ah.
2. Muhammad Ibnu Abdul Wahhab 1703-1787
a. Riwayat Hidup
Muhammad bin Abdul Wahab hidup di tengah-tengah keluarga yang dikenal dengan nama keluarga ‘Musyarraf’ alu Musyarraf. Alu Musyarraf merupakan
cabang dari kabilah Tamin. Sedangkan, Musyarraf adalah kakeknya yang ke-9 menurut riwayat yang rajah. Dengan demikian, nasabnya adalah Muhammad bin
Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali Ahmad bin Rasyid bin Buraid bin Muhamad bin Buraid bin Musyaraf.
Beliau dilahirkan di daerah Uyainah pada tahun 1115 H, terletak di wilayah Yamamah yang masih bagian dari Nejd. Uyainah berada di arah barat laut dari kota
Riyadh yang berjarak sekitar 70 KM. Ia wafat pada 29 Syawal 1206 H 1793 dalam usia 92 tahun, setelah mengabdikan diri dalam dawah dan jihad, termasuk memangku
jabatan sebagai menteri penerangan kerajaan Arab Saudi.
Beliau tumbuh di lingkungan keluarga yang cinta ilmu. Ayahnya adalah seorang ulama besar negara yang memegang jabatan peradilan di beberapa daerah.
Kakeknya, Syaikh Sulaiman bin Ali adalah seorang ulama terkemuka dan juga imam dalam ilmu fiqh. Jabatan lain yang juga diemban Syaikh Sulaiman adalah sebagai
mufti Negara. Dibawah bimbingannya, lahir sejumlah ulama dan para murid yang tersebut di seluruh semenanjung Arab. Maka, wajar jika kemudian lahir seorang
keturunan yang faqih dan alim pula. Muhammad bin Abdul Wahab hafal al-Quran sebelum usianya mencapai sepuluh tahun, ia belajar fiqh dan hadits dengan ayahnya
sendiri, dan belajar tafsir dari guru-guru dari berbagai negeri, terutama di Madinah al- Munawwarah serta memahami Tauhid dari al-Quran dan sunnah.
Ibnu Khadamah, seorang ulama Timur Tengah mengatakan, Muhammad bin Abdul Wahab telah menerapkan semangat menuntut ilmu sejak usia dini. Beliau
memiliki kebiasaan yang sangat berbeda dengan dengan anak-anak sebayanya. Beliau tidak suka bermain-main dan perbuatan yang sia-sia. Karena kecintaannya pada ilmu
sangat tinggi, dan melihat kondisi masyarakatnya yang kacau balau itulah yang membuat Muhammad bin Abdul Wahab melanglang buana untuk bisa menimba ilmu
dari para ulama. Ia pernah mengatakan di dalam kitab al-Rasâil al-Syakhsiyyah, yang kemudian dinukil oleh Ibrahim bin Usman bin Muhammad Al-Farisi di dalam kitab
Asyhar Aimmah Dawah Khilal al-Qarnayn, “Diketahui bahwasannya penduduk negriku dan negeri Hijaj yang mengingkari hari kebangkitan itu lebih banyak
jumlahnya dari pada yang meyakininya, yang mengenal agama lebih sedikit jumlahnya dari pada yang tidak mengenalnya, yang menyia-nyiakan shalat itu lebih
banyak jumlahnya dari pada yang menjaganya dan yang enggan mengeluarkan zakat itu lebih banyak jumlahnya dari pada yang mengeluarkannya”. Dikatakan juga bahwa
dalam diri Muhammad bin Abdul Wahab terlihat adanya perpaduan antara karakter ayah dan pamannya. Beliau mempunyai ingatan yang cukup baik dan kecintaan yang
luar biasa dalam mencari ilmu, sehingga tidak jarang ia mendebat ayah dan pamannya dalam berbagai masalah. Beliau juga sering mendiskusikan kitab al-Syarh al-Kabîr
dan kitab al-Mugni wa al-Inshaf.
Ketika berada di Madinah, beliau melihat banyak umat islam di sana yang tidak menjalankan syariat dan berbuat syirik, seperti perbuatan mengunjungi makam
seorang tokoh agama kemudian memohon sesuatu kepada kuburan dan penghuninya. Hal ini menurutnya sangat bertentangan dengan ajaran islam yang mengajarkan
manusia untuk tidak meminta sesuatu selain kepada Allah. Hal inilah yang mendorong Syekh Muhammad bin Abdul Wahab untuk memperdalam ilmu
ketauhidan yang murni ‘aqîdah sahîhah. Beliaupun berjanji pada dirinya sendiri akan berjuang untuk mengembalikan akidah umat islam di sana sesuai keyakinannya,
yaitu kepada akidah islam yang murni Tauhid, jauh dari sifat khurâfat, takhayûl, atau bidah. Untuk itu, Beliaupun mulai mempelajari berbagai buku yang ditulis para
ulama terdahulu. Lama setelah menetap di Madinah Beliau pindah ke Basrah. Di sana Beliau bermukim lebih lama sehingga banyak ilmu-ilmu yang diperolehnya, terutama
di bidang hadits dan musthalah-nya, fiqh dan ushl fiqh-nya, serta ilmu gramatika ilmu qawâ’id.
b. Kondisi Nejd di Jaman Pemerintahan Dinasti Turki