Kondisi Nejd di Jaman Pemerintahan Dinasti Turki Lahirnya Da’wah Muhammad bin Abdul Wahab

dari para ulama. Ia pernah mengatakan di dalam kitab al-Rasâil al-Syakhsiyyah, yang kemudian dinukil oleh Ibrahim bin Usman bin Muhammad Al-Farisi di dalam kitab Asyhar Aimmah Dawah Khilal al-Qarnayn, “Diketahui bahwasannya penduduk negriku dan negeri Hijaj yang mengingkari hari kebangkitan itu lebih banyak jumlahnya dari pada yang meyakininya, yang mengenal agama lebih sedikit jumlahnya dari pada yang tidak mengenalnya, yang menyia-nyiakan shalat itu lebih banyak jumlahnya dari pada yang menjaganya dan yang enggan mengeluarkan zakat itu lebih banyak jumlahnya dari pada yang mengeluarkannya”. Dikatakan juga bahwa dalam diri Muhammad bin Abdul Wahab terlihat adanya perpaduan antara karakter ayah dan pamannya. Beliau mempunyai ingatan yang cukup baik dan kecintaan yang luar biasa dalam mencari ilmu, sehingga tidak jarang ia mendebat ayah dan pamannya dalam berbagai masalah. Beliau juga sering mendiskusikan kitab al-Syarh al-Kabîr dan kitab al-Mugni wa al-Inshaf. Ketika berada di Madinah, beliau melihat banyak umat islam di sana yang tidak menjalankan syariat dan berbuat syirik, seperti perbuatan mengunjungi makam seorang tokoh agama kemudian memohon sesuatu kepada kuburan dan penghuninya. Hal ini menurutnya sangat bertentangan dengan ajaran islam yang mengajarkan manusia untuk tidak meminta sesuatu selain kepada Allah. Hal inilah yang mendorong Syekh Muhammad bin Abdul Wahab untuk memperdalam ilmu ketauhidan yang murni ‘aqîdah sahîhah. Beliaupun berjanji pada dirinya sendiri akan berjuang untuk mengembalikan akidah umat islam di sana sesuai keyakinannya, yaitu kepada akidah islam yang murni Tauhid, jauh dari sifat khurâfat, takhayûl, atau bidah. Untuk itu, Beliaupun mulai mempelajari berbagai buku yang ditulis para ulama terdahulu. Lama setelah menetap di Madinah Beliau pindah ke Basrah. Di sana Beliau bermukim lebih lama sehingga banyak ilmu-ilmu yang diperolehnya, terutama di bidang hadits dan musthalah-nya, fiqh dan ushl fiqh-nya, serta ilmu gramatika ilmu qawâ’id.

b. Kondisi Nejd di Jaman Pemerintahan Dinasti Turki

Nejd adalah suatu daerah yang sangat terpencil di pedalaman Arab Saudi, daerah yang tandus dan tidak banyak diperhatikan orang sebelum timbulnya gerakan pembaharuan yang dilancarkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Walaupun daerah ini secara resmi merupakan wilayah kekuasaan Turki pada saat itu, namun pemerintah Turki kurang memperhatikan daerah itu dan tidak mempunyai wakil pemerintahan yang efektif di daerah yang dianggap tidak penting ini. Sehingga kabilah-kabilah Arab yang mendiami daerah ini tetap sebagai kelompok-kelompok yang bebas di bawah bimbingan kepala-kepala suku ‘amir-‘amir. Beberapa sejarawan seperti Ibnu Ghudamah, Ibnu Basyar dan lainnya menggambarkan keadaan penduduk negeri Nejd ketika itu banyak dikuasai oleh praktik-praktik bidah, khurâfat, kesyirikan dan keterbelakangan dalam memahami agama-agama yang benar. Pandangan masyarakat Nejd terhadap seseorang bergantung pada nasab yang ia miliki. Pada masa itu masyarakat Nejd terbagi menjadi dua kelompok atau dua golongan, Hadhari dan Badawi Badui. Orang Badui konsisten dengan kehidupan padang pasirnya. Mereka merasa bahwa orang-orang Hadhari lebih rendah di hadapan mereka. Di awal abad ke-12 H, kawasan Nejd dikuasai oleh kabilah-kabilah. Setiap daerah memiliki ‘amir. Masing-masing daerahkabilah memiliki kemerdekaan penuh mengatur rumah tangganya sendiri sehingga lebih menyerupai kerajaan-kerajaan kecil. Daerah Uyainah dipimpin oleh Alu Mamar, Riyayyah dipimpin oleh Alu Saud, Riyadh oleh Alu Duwas, Hail oleh Alu Ali, Qushaim oleh Alu Hujailan, dan bagian utara Nejd oleh Alu Syubaib.

c. Lahirnya Da’wah Muhammad bin Abdul Wahab

Dalam kondisi yang sangat sulit, situasi yang buruk, serta keadaan yang gelap gulita, terbitlah cahaya kebenaran yang menyinari segenap ufuk cakrawala yaitu ketika Muhammad bin Abdul Wahab berusaha bangkit dengan membawa dawah tauhid dan sunnah Nabi. Peristiwa monumental tersebut terjadi pada pertengahan abad ke-20 Hijriyah, ketika ayah beliau masih hidup. Demi memikirkan masa depan agama dan umat, sang ayah ikut merasa prihatin. Namun, beliau menyuruh putranya agar tetap tegar. Ketika sang ayah meninggal dunia pada tahun 1153 H, Muhammad Bin Abdul Wahab mulai berani terang-terangan menyingkap kebenaran, memantapkan tauhid, mengibarkan sunnah Nabi saw, menyuruh kepada yang maruf, dan mencegah dari yang mungkar. Beliau mengingkari berbagai macam bidah atau sesuatu yang diada-adakan dalam urusan akidah, ibadah dan istiadat. Beliau juga menyebarluaskan ilmu, menegakkan hukum, menyingkap kejelekan keadaan orang- orang yang jahil, serta menentang orang-orang yang suka berbuat bidah dan menuruti keinginan-keinginan hawa nafsu. Pada waktu itulah beliau menjadi terkenal dan ikut bergabung bersamanya orang-orang yang ikhlas, shalih, dan bersemangat dalam memperbaiki agama ini. Ada beberapa orang yang kemudian ikut bergabung bersamanya, terlebih ketika beliau melakukan penebangan terhadap pohon-pohon yang dikeramatkan oleh banyak orang Uyainah. Selanjutnya, beliau merobohkan bangunan-bangunan yang berdiri di atas kuburan dan menghukum rajam terhadap wanita yang mengaku kepadanya telah berzina setelah syarat-syaratnya terpenuhi. Keberanian itu membuatnya semakin terkenal sehingga membuat banyak orang yang kemudian bergabung membelanya secara terang-terangan. Sedangkan, orang-orang yang ragu menjadi takut dan juga segan kepadanya.

d. Dasar-Dasar Da’wah Muhammad bin Abdul Wahab