KUALITAS HIDUP HASIL DAN PEMBAHASAN

37 Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015

6. Kondisi Kesejahteraan Sosial

Kondisi Kesejahteraan sosial keluarga Indonesia, terbagi dari dimensi pertama ; kualitas hidup dengan parameter dari pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, papan, baik secara obyektif maupun subyektif. Dimensi kedua; kohesi sosial dengan indikator parameter dari aksesibilitas terhadap layanan dan ketersediaan layanan, serta relasi sosial dan pendidikan sebagai modal sosial penduduk. Dimensi ketiga yakni keberlanjutan dengan parameter rasa aman dan kesehatan. Dimensi terakhir yakni Perubahan sosial dengan indikator pada struktur ekonomi, demograi serta sikap dan nilai.

B. KUALITAS HIDUP

Pada variabel kualitas hidup ini dihimpun data yang berkaitan dengan pangan, pakaian dan tempat tinggal. Selanjutnya, pada ketiga aspek tersebut masing-masing disajikan data obyektif dan data subyektif. Penyajian dua jenis data ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang komprehensif tentang kualitas hidup sebagai salah satu variabel kesejahteraan sosial keluarga Indonesia.

1. Pemenuhan Kebutuhan Pangan

Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang memerlukan pemenuhan, karena berkaitan langsung dengan kelangsungan hidup manusia. Pengertian pangan menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 28 tahun 2004 adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Pangan atau makanan pokok adalah makanan yang menjadi gizi dasar. Makanan pokok biasanya dilengkapi dengan lauk pauk untuk mencukupkan kebutuhan nutrisi seseorang dan mencegah kekurangan gizi. Makanan pokok berbeda-beda sesuai dengan keadaan tempat dan budaya, tetapi biasanya berasal dari tanaman. Contoh jenis makanan pokok, yaitu beras, jangung, sagu, gandum, kentang dan singkong. Berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan pangan, digali data tentang frekuensi makan keluarga minimal 2 dua dalam seminggu terakhir. Frekuensi makan merupakan jumlah makan sehari-hari, baik kualitatif maupun kuantitatif. Kebiasaan atau frekuensi makan sehari-hari dipengaruhi oleh faktor perilaku termasuk cara berpikir, beperasaan 38 Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015 dan pandangan tentang makanan kemudian dinyatakan dalam bentuk tindakan, dan jika berulang-ulang akan menjadi kebiasaan. Faktor lingkungan sosial, lingkungan ekonomi dan ketersediaan bahan pangan turut berpengaruh terhadap kebiasaan tersebut. Pada survei ini, apabila suatu keluarga makan minimal dua kali sehari, Hasil survei menunjukkan, bahwa sebagian besar anggota keluarga dalam seminggu terakhir makan makanan pokok minimal 2 dua kali sehari, sebagaimana tampak pada gambar diatas. Berdasarkan data pada tabel tersebut, anggota keluarga sebagian besar atau lebih dari 99 persen, dalam seminggu terakhir makan makanan pokok minimal 2 dua kali sehari. Data tersebut menggambarkan, bahwa pada umumnya keluarga-keluarga memiliki cadangan pangan, sehingga kebutuhan pangannya dapat terpenuhi. Tabel 4.3. : Keluarga yang Mengkonsumsi Makanan Pokok Minimal 2 dua kali dalam Seminggu Terakhir. PROVINSI PERSENTASE SUMATERA UTARA 99,35 RIAU 99,66 LAMPUNG 99,90 JAWA BARAT 99,77 JAWA TIMUR 99,79 BALI 99,56 NUSA TENGGARA BARAT 99,73 KALIMANTAN BARAT 99,68 KALIMANTAN TIMUR 99,89 SULAWESI SELATAN 99,56 SULAWESI BARAT 100,00 PAPUA BARAT 100,00 INDONESIA 99,71 Sedangkan bagi keluarga-keluarga yang tidak mampu makan makanan pokok dalam seminggu terakhir minimal 2 dua kali sehari, yang besarnya sekitar satu persen, disebabkan oleh berbagai alasan, seperti : tidak mampu membeli, bahan pangan makanan pokok tidak tersedia di pasar dan karena faktor kesehatan. Selanjutnya, untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan pangan perlu diketahui pula kemampuan keluarga mengkosumsi lauk pauk. Lauk 39 Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015 pauk adalah segala macam makanan yang disajikan sebagai peneman utama hidangan nasi, umumnya banyak mengandung protein, baik nabati maupun hewani. Lauk pauk nabati adalah semua bahan makanan sumber lauk pauk nabati, biasanya dikenal sebagai sumber protein nabati. Contoh lauk pauk nabati, seperti: tempe, tahu, susu kedelai, sereal, dan kacang-kacangan kacang kedele, kacang hijau, kacang tanah, kacang tolo, kacang merah, kacang kara, kacang mede dan kapri. Hasil survei menunjukkan, bahwa secara nasional sebagian besar keluarga atau 95.80 persen mengkonsumsi lauk pauk nabati dalam seminggu terakhir, sebagaimana tampak pada gambar berikut: Gambar 4.7. Keluarga makan lauk pauk nabati dalam Seminggu Terakhir Berdasarkan data, menunjukkan bahwa sebagian keluarga mengkonsumsi lauk pauk nabati. Hal ini juga dapat menggambarkan, bahwa keluarga-keluarga memiliki alternatif dalam memenuhi protein yang diperlukan tubuh. Hasil survei menunjukkan, bahwa pada seminggu terakhir, sebagian keluarga mengkonsumsi lauk pauk nabati dengan frekuensi 3-7 kali sebesar 40.37 persen, 2 dua kali sebesar 32.48 persen, dan di atas 8 delapan kali sebesar 27,15 persen, sebagaimana tampak pada tabel berikut: 40 Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015 Tabel 4.4. : Frekuensi Keluarga Makan Lauk Pauk Nabati dalam Seminggu Terakhir PROVINSI 2 kali 3-7 kali 8-13 kali 14 kali SUMATERA UTARA 51,82 32,52 9,89 5,78 RIAU 44,44 42,22 9,91 3,42 LAMPUNG 34,89 41,63 13,48 10,00 JAWA BARAT 37,85 42,17 10,08 9,91 JAWA TIMUR 15,22 42,06 17,67 25,05 BALI 32,52 32,52 13,59 21,36 NUSA TENGGARA BARAT 38,15 41,14 11,51 9,20 KALIMANTAN BARAT 45,32 34,66 10,47 9,55 KALIMNATAN TIMUR 52,84 31,11 8,64 7,41 SULAWESI SELATAN 33,22 40,06 14,75 11,98 SULAWESI BARAT 65,37 33,07 1,17 0,39 PAPUA BARAT 54,62 33,61 10,50 1,26 INDONESIA 32,48 40,37 12,91 14,24 Dari data pada tabel tersebut, yang menarik bahwa terdapat 12.91 persen keluarga yang mengkonsumsi lauk pauk nabati dengan frekuensi delapan kali dan lebih dalam seminggu terakhir, atau rata-rata mengkonsumsi setiap hari. Tidak ada informasi yang dihimpun melalui survei ini, apa alasan keluarga mengkonsumsi lauk pauk nabati sebagai sumber protein. Sementara itu, keluarga yang tidak mengkonsumsi lauk pauk nabati secara nasional sekitar 4.20 persen memberikan alasan, seperti: tidak mampu membeli, tidak tersedia di pasar, kendala transportasi dan kesehatan. Kemudian, melalui survei ini dikumpulkan pula data tentang lauk pauk yang bersumber dari hewan atau dikenal pula dengan protein hewani. Lauk pauk hewani, antara lain : daging sapi dan kerbau, kambing, rusa, unggas ayam, bebek, burung, udang, telor dan ikan. Hasil survei menunjukkan, bahwa sebagian besar keluarga mengkonsumsi lauk pauk hewani, dengan data nasional sebesar 92.28 persen. Kemampuan keluarga mengkonsumsi lauk pauk hewani sebagaimana tampak pada gambar 4.8. Berdasarkan data pada gambar berikut, mampu mengkonsumsi lauk pauk hewani dalam tiga bulan terakhir. Namun demikian, apabila memperhatikan data pada kemampuan keluarga mengkonsumsi lauk pauk nabati, secara nasional keluarga yang mengkonsumsi lauk pauk hewani, menunjukkan angkanya lebih rendah meskipun tidak signiikan. 41 Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015 Gambar 4.8. Keluarga yang Mengkonsumsi Lauk Pauk Hewani dalam Seminggu Terakhir Untuk mengetahui lebih jauh kemampuan keluarga mengkonsumsi lauk pauk hewani, pada survei ini dikumpulkan data tentang frekuensi keluarga mengkonsumsi lauk pauk hewani. Hasil survei frekuensi keluarga mengkonsumsi lauk pauk hewani sebagaimana tampak pada tabel berikut: Tabel 4.5.: Frekuensi Keluarga Mengkonsumsi Lauk Pauk Hewani dalam Seminggu Terakhir PROVINSI 2 kali 3-7 kali 8-13 kali 14 kali SUMATERA UTARA 29,14 43,09 19,21 8,56 RIAU 38,34 47,53 10,78 3,36 LAMPUNG 50,32 37,13 9,57 2,98 JAWA BARAT 46,44 41,39 8,02 4,15 JAWA TIMUR 36,43 46,43 9,81 7,33 BALI 28,64 38,50 20,66 12,21 NUSA TENGGARA BARAT 40,82 43,76 11,28 4,14 KALIMANTAN BARAT 37,63 40,11 11,57 10,69 KALIMANTAN TIMUR 35,18 40,14 11,69 12,99 SULAWESI SELATAN 15,93 43,58 19,48 21,00 SULAWESI BARAT 36,86 58,33 2,88 1,92 PAPUA BARAT 22,10 53,62 19,93 4,35 INDONESIA 38,52 43,34 11,14 7,01 42 Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015 Berdasarkan data pada tabel tersebut, Persentase frekuensi keluarga mengkonsumsi lauk pauk hewani pada frekuensi 3-7 kali dalam seminggu terakhir sebesar 43.34 persen. Kemudian keluarga yang mengkonsumsi dengan frekuensi delapan kali dan lebih sebesar 18.15 persen. Data ini dapat dipersepsi terdapat 18.15 persen keluarga yang setiap hari mampu mengkonsumsi lauk pauk hewani. Selanjutnya, secara nasional terdapat keluarga yang tidak mampu mengkonsumsi lauk pauk hewani sebesar 7.82 persen. Berbagai alasan dikemukakan oleh keluarga-keluarga yang tidak mampu mengkonsumsi lauk pauk hewani, yaitu tidak mampu membeli, tidak tersedia di pasar, kendala transportasi dan kesehatan. Tabel 4.6. Pemenuhan Kebutuhan Pangan PROVINSI Sangat tidak terpenuhi Tidak terpenuhi Kurang terpenuhi Terpenuhi Sangat terpenuhi SUMATERA UTARA 2,57 7,97 38,51 50,16 0,79 RIAU 0,50 3,65 30,23 64,62 1,00 LAMPUNG 1,68 6,53 52,11 38,95 0,74 JAWA BARAT 1,08 3,28 42,41 52,34 0,88 JAWA TIMUR 0,69 2,96 29,06 66,48 0,82 BALI 0,45 1,35 43,50 52,91 1,79 NUSA TENGGARA BARAT 1,93 9,14 43,85 44,49 0,59 KALIMANTAN BARAT 2,34 8,41 36,94 51,01 1,29 KALIMANTAN TIMUR 0,46 2,41 28,18 67,58 1,37 SULAWESI SELATAN 0,66 3,58 32,86 62,18 0,72 SULAWESI BARAT 1,03 10,51 32,31 55,38 0,77 PAPUA BARAT 2,41 3,45 23,10 70,00 1,03 INDONESIA 1,13 4,16 37,04 56,79 0,88 Berdasarkan data pada tabel tersebut, terdapat 2 dua provinsi yang belum mampu memenuhi kebutuhan pangannya kurang dari 45 persen, yaitu Lampung 38,95 , dan Nusa Tenggara Barat 44,49 . Apabila dilihat secara nasional, kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan dapat dilihat pada gambar berikut : 43 Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015 Gambar 4.9. Pemenuhan Kebutuhan Pangan secara Nasional Berdasarkan data pada gambar tersebut, keluarga yang mampu memenuhi kebutuhan pangan secara nasional sebesar 57,67 persen, dan sebesar 42,33 persen belum memiliki kemampuan atau menghadapi masih hambatan dalam memenuhi kebutuhan pangan. Meskipun demikian, setiap keluarga senantiasa berupaya untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan. Upaya yang dilakukan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan. Menunjukkan bahwa diatur secukupnya disusul dengan meminjam atau berhutang, dan meminta bantuan, menjadi solusi keluarga dalam mengatasi kekurangan kebutuhan pangan. Sementara untuk menggadaikan barang dan menjual barang persentasenya cukup rendah. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa keluarga di Indonesia tidak sampai harus menggadaikan atau menjual barang untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sehari-hari. Berikut tabel upaya yang dilakukan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Tabel 4.7. Upaya yang Dilakukan dalam Memenuhi Kebutuhan Pangan. PROVINSI Pinjam hutang minta bantuan jual barang gadai diatur secukupnya SUMATERA UTARA 61,94 30,68 3,03 4,06 57,62 RIAU 72,28 35,12 4,27 2,44 91,76 LAMPUNG 53,45 23,89 4,49 1,08 89,11 JAWA BARAT 51,11 38,40 7,26 3,55 87,10 44 Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015 JAWA TIMUR 61,34 25,12 7,01 4,78 73,46 BALI 84,16 39,60 12,87 5,94 51,49 NUSA TENGGARA BARAT 68,93 34,89 8,22 6,80 70,82 KALIMANTAN BARAT 55,96 28,81 11,59 6,18 87,30 KALIMANTAN TIMUR 48,30 28,57 7,95 5,32 76,32 SULAWESI SELATAN 29,23 31,48 3,50 2,35 79,97 SULAWRSI BARAT 32,56 35,25 8,87 1,64 83,10 PAPUA BARAT 38,60 38,33 17,46 1,79 87,32 INDONESIA 56,41 32,55 6,72 3,93 78,76 Dengan demikian, setiap keluarga melakukan lebih dari satu upaya dalam memenuhi kebutuhan pangan. Data tersebut menggambarkan ada kombinasi dari beberapa upaya yang dilakukan keluarga. Hal ini menggambarkan betapa keluarga melakukan upaya maksimal, sehingga seluruh anggota keluarganya dapat mengkonsumsi makanan. Dari upaya tersebut dapat dibagi dua besar, yaitu pertama, upaya yang dilakukan secara swadaya atau mandiri menjual barang, menggandai dan diatur secukupnya, dengan Persentase sebesar 81.41 persen. Kemudian, kedua, upaya yang dilakukan dengan bantuan dari luar meminjam atau berhutang dan minta bantuan dengan persentase sebesar 88,98 persen. Dengan demikian keluarga berupaya artinya untuk angka tersebut, upaya dengan bantuan dari luar lebih besar dibandingkan upaya dari dalam keluarga sendiri. Analisis “gap” untuk perbedaan ekstrem antara keluarga yang terpenuhi kebutuhan pangan dengan yang tidak terpenuhi kebutuhan adalah sbb : Gambar. 4.10. Analisis “Gap” Pemenuhan Kebutuhan Pangan 45 Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015 Berdasarkan analisis “gap” antara pemenuhan kebutuhan pangan, terlihat bahwa tidak ada perbedaan signiikan antara keluarga yang sangat terpenuhi dengan keluarga yang sangat tidak terpenuhi pada pemenuhan kebutuhan pokok. Perbedaan signiikan justru terlihat jelas pada pemenuhan kebutuhan makanan pokok, lauk pauk nabati dan hewani dengan membandingkan antara pemenuhan kebutuhan secara subyektif dan obyektif, sehingga keluarga dapat dikategorikan sebagai keluarga yang sejahtera, disonansi, adaptasi dan deprivasi.

4. 1.1. Pemenuhan Makanan Pokok secara Subyektif dan Obyektif

SUBYEKTIF WELLBEING BAIK BURUK BAIK Sejahtera 56.1 Disonansi 43.6 BURUK Adaptasi 0.1 Deprivasi 0.2 Gambar 4.11. Pemenuhan Makanan Pokok Berdasarkan analisis subyektif dan obyektif pada pemenuhan kebutuhan pokok, diperoleh gambaran bahwa angka keluarga yang masuk ke dalam kategori sejahtera sebesar 56.1 persen, artinya secara obyektif maupun subyektif menyatakan sudah terpenuhi kebutuhan makanan pokok. Berbeda halnya dengan kategori disonansi sebesar 43.61 persen, artinya secara obyektif terpenuhi namun secara subyektif menyatakan tidak terpenuhi kebutuhan makanan pokok. Sementara keluarga yang secara subyektif dan obyektif menyatakan kebutuhan makanan pokok mereka buruk sehingga dikategorikan ke dalam deprivasi sebesar 0,2 persen. Menariknya pada keluarga yang menyatakan bahwa secara obyektif masuk kedalam kategori pemenuhan kebutuhan makanan pokok buruk tetapi mereka menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan pokok mereka baik, yaitu sebesar 0,1 persen Artinya sebesar 0,1 persen keluarga di Indonesia melakukan adaptasi dengan kondisi yang terjadi.

4.1.2. Pemenuhan Lauk Pauk Nabati.

Berdasarkan analisis subyektif dan obyektif, dalam pemenuhan kebutuhan lauk pauk nabati pada keluarga di Indonesia dengan kategori baik, atau kategori sejahtera sebesar 56,1 persen. Sementara keluarga yang secara obyektif pemenuhan kebutuhan lauk pauknya baik tetapi secara subyektif mereka menyatakan buruk sebagai kategori disonansi sebesar 39.5 persen. Bagi keluarga dengan kategori adaptasi yaitu mereka yang secara obyektif pemenuhan kebutuhan lauk pauk nabati buruk, tetapi secara subyektif menyatakan baik yaitu sebesar 1,9 persen 46 Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015 dan bagi keluarga yang masuk kedalam kategori deprivasi yakni sebesar 4,32 persen, menyatakan bahwa kondisi pemenuhan kebutuhan lauk pauk nabati baik scara subyektif maupun obyektif sama buruknya. SUBYEKTIF WELLBEING BAIK BURUK BAIK Sejahtera 56.1 Disonansi 39.5 BURUK Adaptasi 1.9 Deprivasi 4.3 Gambar 4.12. Pemenuhan Lauk Pauk Nabati

4.1.3. Pemenuhan Lauk Pauk Hewani

Pada pemenuhan lauk pauk hewani, diperoleh angka sebesar 54.6 persen berada pada kategori keluarga sejahtera, sementara kondisi pemenuhan kebutuhan lauk pauk hewani dalam kategori disonansi, yakni secara obyektif baik tetapi secara subyektif buruk sebesar 38.1 persen. Keluarga dengan kategori adaptasi, dimana secara obyektif menyatakan buruk tetapi secara subyektif menyatakan baik dalam pemenuhan kebutuhan lauk pauk hewani, sebesar 1,7 persen. Kategori deprivasi, yaitu keluarga yang menyatakan secara obyektif maupun subyektif pemenuhan kebutuhan lauk pauk hewaninya buruk sebesar 5,7 persen. SUBYEKTIF WELLBEING BAIK BURUK BAIK Sejahtera 54.6 Disonansi 38.1 BURUK Adaptasi 1.7 Deprivasi 5.7 Gambar 4.13. Pemenuhan Lauk Pauk Hewani

2. Pemenuhan Kebutuhan Pakaian

Pakaian memiliki banyak fungsi bagi manusia. Fungsi pakaian dapat dilihat dari berbagai sudat pandang, diantaranya dari sudut pandang biologis, psikologis dan sosial. Dari sudut pandang biologis, pakaian berfungsi sebagai pelindung tubuh dari cuaca, sinar matahari, debu serta gangguan binatang, dan melindungi tubuh dari benda – benda lain yang dapat membahayakan kulit. Dari sudut pandang biologis, pakaian juga berfungsi untuk menutupi atau menyamarkan kekurangan tubuh sipemakai. Dari sudut pandang psikologis, pakaian dapat menambah keyakinan dan rasa percaya diri serta dapat memberi rasa nyaman. Kemudian dari sudut pandang sosial, pakaian berfungsi untuk menutupi memelihara kesusilaan, untuk menggambarkan adat atau budaya suatu daerah, untuk media informasi bagi suatu instansi 47 Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015 atau lembaga. Oleh sebab itu setiap orang memerlukan pakaian berbeda untuk kegiatan berbeda. Secara keseluruhan pakaian dirasakan sebagai salah satu kebutuhan dasar bagi manusia. Kepemilikan atau ketersediaan pakaian berbeda untuk kegiatan berbeda bagi semua anggota keluarga merupakan satu cermin dari kualitas hidup keluarga. Akan tetapi untuk memenuhi kebutuhan pakaian, seperti halnya pemenuhan kebutuhan lainnya, diperlukan kemampuan tersendiri. Survei menemukan bahwa tidak semua keluarga mampu menyediakan pakaian berbeda untuk kegiatan berbeda bagi seluruh anggotanya. Kemampuan keluarga menyediakan pakaian berbeda bagi semua anggotanya bervariasi antar daerah. Secara keseluruhan 95.80 keluarga Indonesia mampu menyediakan pakaian berbeda bagi semua anggotanya untuk di rumah, bekerja atau sekolah, dan berpergian. Artinya, pada sisi lain terdapat sebanyak 4.20 persen keluarga Indonesia belum mampu menyediakan pakaian berbeda untuk kegiatan berbeda. Kualitas keluarga dapat juga dibedakan berdasarkan kuantitas pakaian yang dimiliki anggota keluarga. SKSD menemukan bahwa masih terdapat keluarga yang anggotanya hanya memiliki pakaian 3 stel atau kurang meliputi sebanyak 18 keluarga. Sebanyak 42.1 persen keluarga memiliki pakaian sebanyak 4 sampai 7 stel, dan sebanyak 39.8 persen keluarga memiliki 8 stel pakaian atau bahkan lebih. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak keluarga yang anggotanya memiliki pakaian sangat kurang. Setiap keluarga perlu membeli pakaian baru dalam priode tertentu untuk memenuhi keperluan anggotanya. Di Indonesia ada kebiasaan membeli pakaian menjelang perayaan hari raya tertentu, seperti Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Natal. Tabel 4.8. : Keluarga Yang Memiliki Pakaian Berbeda. PROVINSI PERSENTASE SUMATERA UTARA 95.89 RIAU 95.17 LAMPUNG 95.48 JAWA BARAT 95.58 JAWA TIMUR 96.57 BALI 97.33 NUSA TENGGARA BARAT 93.40 KALIMANTAN BARAT 95.47 KALIMANTAN TIMUR 98.05 SULAWESI SELATAN 97.53 SULAWESI BARAT 93.65 PAPUA BARAT 94.46 INDONESIA 95.80 48 Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015 Hasil survey menemukan bahwa 81,88 persen keluarga Indonesia membeli pakaian baru untuk anggotanya dalam kurun waktu 12 bulan terakhir. Persentase keluarga membeli pakaian baru dalam 12 bulan terakhir bervariasi, terendah dialami oleh keluarga di Provinsi NUSA TENGGARA BARAT dan Jawa Timur, yaitu 77.81 persen dan 79.20, sedangkan tertinggi di Provinsi Papua Barat dan Kalimantan Timur, yaitu 91.76 persen dan 89.21 persen. Data menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 18,12 persen keluarga Indonesia tidak membeli pakaian baru dalam 12 bulan terakhir. Alasan keluarga tidak membeli pakaian baru dalam 12 bulan terakhir bervariasi. Secara nasional sebagian terbesar beralasan tidak mampu membeli pakaian sebesar 66.22 persen. Alasan tidak mampu membeli pakaian baru dalam 12 bulan terakhir paling banyak dikemukakan oleh keluarga di Provinsi Sulawesi Barat 87.50 persen dan Kalimantan Barat 83.24 persen. Sebaliknya, prosentase keluarga tidak membeli pakaian baru dalam 12 bulan terakhir terjadi di Provinsi Jawa Timur sebanyak 47.70 persen dan Papua Barat sebanyak 50,00 persen. Tabel. 4.9. : Persentase Keluarga yang Membeli Pakaian Baru dalam 12 bulan Terakhir PROVINSI PROSENTASE SUMATERA UTARA 80.66 RIAU 85.79 LAMPUNG 85.56 JAWA BARAT 80.80 JAWA TIMUR 79.20 BALI 68.00 NUSA TENGGARA BARAT 77.81 KALIMANTAN BARAT 83.60 KALIMANTAN TIMUR 89.21 SULAWESI SELATAN 84.03 SULAWESI BARAT 85.40 PAPUA BARAT 91.76 INDONESIA 81.88 49 Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015 Tabel 4.10. : Persepsi Responden atas Keterpenuhan Kebutuhan Pakaian Keluarga PROVINSI Sangat tidak terpenuhi Tidak terpenuhi Kurang terpenuhi Terpenuhi Sangat terpenuhi SUMATERA UTARA 3.7 10.2 33.4 52.3 .4 RIAU .5 4.4 28.5 66.0 .5 LAMPUNG 1.8 9.1 45.0 43.4 .7 JAWA BARAT 1.4 5.7 32.4 59.6 .9 JAWA TIMUR 1.1 3.6 23.5 71.0 .8 BALI 1.4 3.2 35.3 59.3 .9 NUSA TENGGARA BARAT 2.3 9.2 36.7 51.2 .6 KALIMANTAN BARAT 2.3 11.6 29.8 55.0 1.3 KALIMANTAN TIMUR 1.1 2.8 20.2 74.7 1.1 SULAWESI SELATAN .7 4.5 29.6 64.1 1.2 SULAWESI BARAT 2.0 13.7 26.4 57.4 .5 PAPUA BARAT 1.8 2.8 16.6 76.7 2.1 INDONESIA 1.7 6.7 30.6 60.1 .9 Selain mengidentiikasi kondisi objektif pemenuhan kebutuhan pakaian keluarga, SKSD ini juga mencari tahu persepsi responden atas pemenuhan kebutuhan pakaian keluarga. Sebagian terbesar responden memandang pemenuhan kebutuhan pakaian keluarganya sudah terpenuhi 60,1 persen dan 0,9 persen bahkan memandang sudah sangat terpenuhi. Akan tetapi terdapat sebanyak 30,6 persen memandang kurang terpenuhi, 6,7 persen memandang tidak terpenuhi dan 1,7 persen bahkan mengatakan sangat tidak terpenuhi. Pandangan responden berbeda antara provinsi. Apabila dikaitkan dengan kepemilikan pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja atau sekolah, dan berpergian, terdapat 26,7 persen keluarga dengan anggota memiliki pakaian berbeda untuk tiga kegiatan namun menilai pemenuhan kebutuhan pakaian keluarga mereka belum terpenuhi. Artinya memiliki pakaian berbeda untuk kegiatan di berbeda belum berarti sudah dirasakan cukup. Jika dilihat pemenuhan kebutuhan pakaian yang sudah terpenuhi, menunjukkan di Provinsi Papua Barat sebesar 76,7 persen dan sebesar 74,7 persen responden di Provinsi Kalimantan Timur. 50 Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015 Tabel 4.11. : Upaya Pemenuhan Kebutuhan Pakaian Provinsi Meminjam berhutang minta bantuan menjual barang menggadai diatur secukup- nya SUMATERA UTARA 45.57 27.09 2.97 2.99 64.53 RIAU 44.39 25.91 2.07 2.07 81.87 LAMPUNG 31.41 21.81 2.31 0.97 91.25 JAWA BARAT 40.02 30.91 4.24 1.02 83.49 JAWA TIMUR 39.49 20.42 3.89 2.49 72.43 BALI 43.68 25.29 8.05 2.30 51.72 NUSA TENGGARA BARAT 53.42 31.05 5.15 4.71 70.18 KALIMANTAN BARAT 38.18 22.98 7.13 4.61 87.74 KALIMANTAN TIMUR 26.37 11.88 3.48 3.48 63.37 SULAWESI SELATAN 22.24 31.69 3.27 2.38 78.56 SULAWESI BARAT 16.10 34.65 8.04 2.70 76.15 PAPUA BARAT 40.91 46.81 14.89 2.27 76.47 INDONESIA

39.19 27.12

4.30 2.67

77.01 Upaya yang dilakukan untuk memenuhi kondisi pemenuhan kebutuhan pakaian, umumnya mengatakan diatur secukupnya 77.01, sementara meminjamberhutang sebesar 39.19 persen, minta bantuan sebesar 27.12 persen, menjual barang sebesar 4.30 persen, menggadai sebesar 2.67 persen. Selanjutnya pemenuhan kebutuhan pakaian keluarga dianalisis dengan membandingkan antara keluarga dengan pemenuhan kebutuhan pakaian anggotanya “sangat tidak terpenuhi” dan “sangat terpenuhi”. Hasil survei menunjukkan ada perbedaan dari kedua kelompok tersebut yang akan dilihat dari: 1 aspek kepemilikan pakaian berbeda untuk tiga kegiatan berbeda: 2 membeli atau tidak membeli pakaian baru dalam satu tahun terakhir; dan 3 banyaknya pakaian yang dimiliki. 51 Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015 Gambar 4.14. Kepemilikan Pakaian Gambar 4.15. Membeli Pakaian Baru Gambar 4.16 Jumlah stel pakaian yang dimiliki Pada keluarga yang sangat tidak terpenuhi kebutuhan pakaian menunjukkan bahwa mereka memiliki pakaian dinyatakan oleh 76,1 persen keluarga, dengan rincian yang memiliki pakaian kurang dari 3 stel sebesar 59,2 persen, dan memiliki 4 – 7 stel sebesar 29,2 persen, dan 11,7 persen saja yang menyatakan memiliki pakaian lebih dari 8 stel pakaian. Mereka yang mampu membeli pakaian baru dinyatakan oleh 29,9 persen keluarga. Sementara pada keluarga yang terpenuhi kebutuhan 52 Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015 pakaian, menyatakan 84,1 persen memiliki pakaian sebanyak 8 stel atau lebih, dan hanya 12,1 persen saja yang menyatakan memiliki pakaian sebanyak 4 sampai 7 stel.

3. Pemenuhan Kebutuhan Tempat Tinggal

Sebuah tempat tinggal biasanya berwujud bangunan, tempat berteduh, atau struktur lainnya yang digunakan sebagai tempat manusia tinggal. Dalam konteks hukum, tempat tinggal domicilie adalah tempat seseorang harus selalu hadir dalam hubungannya dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban. Dalam konteks tertentu tempat tinggal memiliki arti yang sama dengan rumah, kediaman, akomodasi, perumahan, dan arti-arti yang lain. Unit sosial yang tinggal di sebuah tempat tinggal disebut sebagai rumah tangga. Rumah dalam pengertian yang luas, bukan hanya sebuah bangunan struktural, melainkan juga tempat kediaman yang memenuhi syarat- syarat kehidupan yang layak, dipandang dari berbagai segi kehidupan masyarakat. Rumah sebagai tempat yang memberikan perlindungan, untuk menikmati kehidupan, beristirahat dan bersuka ria bersama keluarga. Oleh karena itu, rumah harus menjamin kepentingan keluarga, yaitu untuk tumbuh, memberi kemungkinan untuk hidup bergaul dengan tetangganya, dan lebih dari itu, rumah harus memberi ketenangan, kesenangan, kebahagiaan, dan kenyamanan pada segala peristiwa hidupnya. Rumah juga merupakan tempat berlangsungnya proses sosialisasi pada saat seorang individu diperkenalkan kepada norma dan adat kebiasaan yang berlaku di dalam suatu masyarakat. Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, selain pakaian dan pangan, meliputi struktur isik terdiri dari ruangan, halaman dan area sekitarnya yang digunakan sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga UU RI No. 4 Tahun 1992. Bagi bangsa Indonesia, rumah merupakan hak konstitusional, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, pasal 28 h yang mengamanatkan bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Pada survei ini, rumah atau tempat tinggal merupakan salah satu dari sub variabel pada kelangsungan hidup keluarga. Berkaitan dengan rumah atau tempat tinggal ini digali data tentang: status penguasaan rumah dan kondisi isik rumah. 53 Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015 Tabel 4.12. Keluarga dengan Status Penguasaan Bangunan Tempat Tinggal PROVINSI Milik sendiri Kontrak Sewa Bebas sewa Dinas Milik OT saudara SUMATERA UTARA 61,54 6,32 3,59 4,82 3,65 20,08 RIAU 65,45 5,32 8,14 6,64 3,65 10,80 LAMPUNG 78,53 1,47 0,42 3,87 0,00 15,71 JAWA BARAT 72,11 4,57 1,24 1,01 0,52 20,55 JAWA TIMUR 74,27 2,91 1,33 1,33 0,21 19,95 BALI 63,84 4,02 4,91 6,25 4,46 16,52 NUSA TENGGARA BARAT 77,90 1,13 0,43 0,64 0,27 19,64 KALIMANTAN BARAT 80,76 1,69 0,40 1,45 0,97 14,73 KALIMANTAN TIMUR 72,32 4,78 6,95 4,67 1,94 9,34 SULAWESI SELATAN 78,91 2,42 0,77 1,48 1,32 15,10 SULAWESI BARAT 79,75 2,78 0,76 1,52 3,29 11,90 PAPUA BARAT 83,73 1,69 4,07 1,36 3,73 5,42 INDONESIA 72,56 3,74 1,88 2,10 1,05 18,67 Status penguasaan rumah oleh keluarga yang diperoleh melalui survei, yaitu milik sendiri, kontrak, sewa, bebas sewa, dinas, milik orang tuakeluarga. Berdasarkan temuan survei menunjukkan bahwa, secara nasional maupun provinsi, penguasaan rumah pada keluarga sebagian besar milik sendiri, disusul milik orang tuasaudara. Data tersebut menggambarkan, bahwa sebagian besar keluarga atau 72,56 persen menempati rumah milik sendiri, atau sudah dapat memenuhi kebutuhan rumah. Selanjutnya, digali data mengenai luas lantai rumah. Luas lantai rumah berkaitan dengan kepadatan hunian atau rata-rata luas ruang untuk tiap anggota keluarga. BPS mendeinisikan bangunan isik rumah adalah tempat berlindung yang mempunyai dinding, lantai, dan atap baik tetap maupun sementara, baik digunakan untuk tempat tinggal maupun bukan tempat tinggal. Bangunan yang luas lantainya kurang dari 10 m2 dan tidak digunakan untuk tempat tinggal dianggap bukan bangunan isik. Hasil survei menunjukkan, bahwa sebagian besar keluarga menempati rumah dengan luas yang dipersyaratkan oleh BPS, sebagaimana pada tabel berikut: 54 Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015 Tabel 4.13. Luas Lantai Rumah PROVINSI 21 21-35 36-53 54-69 70-90 90 SUMATERA UTARA 6,56 14,35 23,18 16,56 16,04 23,31 RIAU 4,80 18,38 25,00 14,74 14,07 23,01 LAMPUNG 3,15 14,17 17,73 36,62 17,00 11,33 PROVINSI 21 21-35 36-53 54-69 70-90 90 JAWA BARAT 7,26 17,17 19,40 15,28 13,54 27,35 JAWA TIMUR 3,46 9,32 20,62 19,03 20,92 26,65 BALI 9,82 25,45 29,46 11,61 10,71 12,95 NUSA TENGGARA BARAT 17,07 28,41 25,20 11,61 7,38 10,33 KALIMANTAN BARAT 4,50 16,95 21,45 17,67 14,54 24,90 KALIMANTAN TIMUR 6,14 14,22 20,36 10,01 19,45 29,81 SULAWESI SELATAN 4,07 13,15 17,55 18,10 20,19 26,95 SULAWESI BARAT 23,93 21,66 19,14 12,59 8,06 14,61 PAPUA BARAT 5,00 11,00 34,33 25,67 11,00 13,00 INDONESIA 6,06 14,88 20,83 17,48 16,29 24,47 Berdasarkan data pada tabel tersebut, umumnya keluarga sudah menempati rumah dengan ukuran minimal yang ditetapkan BPS. Sebagaimana diketahui, bahwa luas rumah akan mempengaruhi perilaku dan aktivitas penghuninya karena berhubungan dengan kebutuhan kenyamanan, keamanan, kesehatan, dan lain-lain. Selain luas rumah, jenis lantai rumah dapat mempengaruhi kondisi kesehatan anggota keluarga. Berdasarkan publikasi Indikator Perumahan dan Kesehatan Lingkungan, lantai bukan tanah dianggap lebih baik di bandingkan lantai tanah. Oleh karena itu, rumah tangga yang menggunakan lantai tanah, dianggap menempati rumah tidak layak huni. Berkaitan dengan lantai rumah, survei ini menggali data tentang jenis lantai rumah keluarga, dan diperoleh data keluarga yang menempati lantai rumah bukan dari tanah, sebagaimana tampak pada tabel berikut: Gambar 4.17. Lantai Rumah Bukan Tanah 55 Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015 Berdasarkan data pada gambar tersebut, secara nasional sebagian besar keluarga 88,90 menempati rumah dengan lantai bukan tanah. Jenis lantai dimaksud, seperti : plester, keramik, dan kayu. Bagian rumah lain yang penting dan menjadi indikator rumah layak huni, yaitu dinding rumah. Dinding mempunyai fungsi, yaitu pelindung dari pengaruh di lingkungan luar tempat manusia tinggal dan beraktivitas, dan pembatas antar ruang bagian dalam, luar, samping dan belakang, dan pembentuk daerah fungsi zoning dalam bangunan. Ruang tidur dengan ruang dapur dan ruang-ruang lainnya dipisahkan oleh dinding dan masing- masing ruangan memiliki fungsi yang berbeda. Berbagai jenis antara lain : tembok, kayu dan bambu. Survei ini berupaya menggali data tentang dinding rumah, sebagaimana tampak pada tabel berikut: Tabel 4.14. : Jenis Dinding Rumah PROVINSI Tembok Kayu Bambu SUMATERA UTARA 59,88 37,06 3,06 RIAU 56,86 43,14 0,00 LAMPUNG 66,35 24,95 8,70 JAWA BARAT 75,31 12,04 12,65 JAWA TIMUR 83,62 11,82 4,56 BALI 94,14 3,60 2,25 NUSA TENGGARA BARAT 84,85 8,16 6,98 KALIMANTAN BARAT 63,83 35,60 0,57 KALIMANTAN TIMUR 29,24 70,76 0,00 SULAWESI SELATAN 47,23 50,58 2,19 SULAWESI BARAT 36,39 54,45 9,16 PAPUA BARAT 66,55 32,09 1,35 INDONESIA 72,83 20,30 6,87 Berdasarkan data pada tabel tersebut, keluarga yang memiliki rumah dengan jenis dinding tembok prosentasenya paling besar, yaitu 72,83 persen, disusul dengan rumah berdinding kayu dan bambu. Apabila dilihat dari kondisi dinding, secara nasional sebagian besar keluarga menempati rumah dengan dinding dalam kondisi bagus, sebagaimana pada tabel berikut: 56 Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015 Gambar 4.18. Kondisi Dinding Rumah dalam Kondisi Bagus Pada gambar tersebut, sebagian besar atau lebih dari 51 persen keluarga menempati rumah dengan dinding bagus. Sementara itu, secara nasional, keluarga yang menempati rumah dengan dinding bagus sebesar 68,99 persen. Berdasarkan data tersebut, terdapat keluarga- keluarga yang menempati rumah dengan dinding bagus di bawah data nasional di 7 tujuh provinsi, yaitu : Lampung, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Papua Barat. Bagian rumah lainnya, yang ditemukan pada survei adalah jenis atap rumah. Berbagai jenis atap rumah yang digunakan keluarga, yaitu beton, genteng, sirap, seng, asbes, ijukrumbia dan lainnya. Berdasarkan data pada tabel dibawah, persentase paling besar keluarga menempati rumah dengan atap dari genteng, sebesar 67,69 persen. Kemudian di bawah data nasional berturut-turut : seng, asbes, beton, ijukrumbia dan sirap. Jenis atap rumah dimaksud sebagaimana tampak pada tabel berikut: 57 Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015 Tabel. 4.15. : Jenis Atap Rumah PROVINSI Beton Genteng Sirap Seng Asbes Ijuk Rumbia Lainnya SUMATERA UTARA 5,44 4,60 0,32 74,92 8,36 5,83 0,52 RIAU 0,83 5,29 0,17 87,60 1,82 3,47 0,83 LAMPUNG 3,66 86,18 0,42 3,66 5,86 0,10 0,10 JAWA BARAT 2,70 88,70 0,00 0,94 7,00 0,39 0,26 JAWA TIMUR 2,01 91,60 0,21 0,77 5,14 0,04 0,21 BALI 1,35 83,78 0,00 4,05 9,91 0,45 0,45 NUSA TENGGARA BARAT 2,25 63,22 0,43 19,09 13,78 0,75 0,48 KALIMANTAN BARAT 1,61 8,15 2,74 81,68 1,94 1,94 1,94 KALIMANTAN TIMUR 0,57 11,48 5,45 77,61 2,27 0,45 2,16 SULAWESI SELATAN 0,60 6,03 0,38 90,85 0,88 1,04 0,22 SULAWESI BARAT 2,27 3,28 0,76 81,57 0,25 11,36 0,51 PAPUA BARAT 1,01 5,05 0,00 87,54 0,34 5,72 0,34 INDONESIA 2,46 67,69 0,37 22,00 5,98 1,11 0,39 Selain jenis atap, pada survei ini digali data tentang kondisi atap rumah. Keluarga yang menempati rumah dengan kondisi atap rumah bagus, sebagaimana tampak pada gambar berikut: Gambar 4.19 Kondisi Atap Rumah Bagus 58 Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015 Berdasarkan data, secara nasional sebagian besar keluarga atau 69.21 persen menempati rumah dengan dinding dalam kondisi bagus. Kondisi dinding rumah yang bagus, diatas data nasional, terdapat di Provinsi Riau, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Papua Barat. Sebuah rumah disebut layak huni dan sehat, jika dilengkapi dengan fasilitas Mandi Cuci Kakus MCK. Pada survei ini dihimpun data keluarga yang menempati rumah dilengkapi dengan fasilitas MCK. Hasil survei, menunjukkan sebagian besar rumah sudah dilengkapi dengan fasilitas MCK, yakni sebesar 92.34 persen keluarga telah memanfaatkan fasilitas MCK. Pada keluarga yang memiliki MCK sendiri sebesar 75,66 persen, dan keluarga yang tidak punya fasilitas MCK sebesar 7,66 persen dan yang menggunakan fasiltas MCK baik secara bersama maupun umum masing-masing sebesar 11,40 persen dan 5,27 persen. Secara lengkap data rumah yang memiliki fasilitas MCK pada masing-masing provinsi sebagai berikut: Tabel 4.16. : Rumah dengan Fasilitas MCK PROVINSI Sendiri Bersama Umum Tidak punya SUMATERA UTARA 80,75 4,45 3,01 11,79 RIAU 86,45 4,63 3,14 5,79 LAMPUNG 76,11 10,00 1,89 12,00 JAWA BARAT 78,54 9,32 8,16 3,98 JAWA TIMUR 80,64 9,19 3,22 6,96 BALI 66,82 18,83 3,14 11,21 NUSA TENGGARA BARAT 55,01 19,97 6,73 18,30 KALIMANTAN BARAT 70,94 5,03 5,03 18,99 KALIMANTAN TIMUR 73,06 17,35 3,54 6,05 SULAWESI SELATAN 44,65 42,51 4,94 7,90 SULAWESI BARAT 32,99 26,90 23,10 17,01 PAPUA BARAT 53,40 21,09 13,27 12,24 INDONESIA 75,66 11,40 5,27 7,66 Air bersih merupakan kebutuhan utama setiap keluarga. Survei ini menggali data sumber air bersih utama yang digunakan keluarga untuk memenuhi kebutuhan air layak konsumsi sehari-hari, mulai dari pemenuhan dengan memanfaatkan air dari lingkungan sekitar, seperti bersumber dari mata air alam, sampai dengan membeli air bersih bermerk atau air isi ulang. Pada sebagian besar keluarga mengkonsumsi air dari sumber air utama yang layak dikonsumsi, berdasarkan jenis sumber air bersih diperoleh hasil bahwa keluarga yang memanfaatkan sumur bor pompa sebesar 31.37 persen, sumber mata air terlindung sebesar 24.66 persen dan memanfaatkan ledeng meteran 18.59 persen. Berikut tabel pemenuhan kebutuhan air bersih pada keluarga di Indonesia: 59 Surv ei K esejaht eraan Sosial Dasar Tahun 2015 Tabel 4.17 : Sumber Air Bersih Utama Keluarga Sumber air bersih utama PROVINSI Air kemasan bermerk Air isi ulang Ledeng meteran Ledeng eceran Sumur bor, pompa Sumur terlindungi Sumur tak terlindungi Mata air terlindungi Mata air tak terlindungi Air sungai Air hujan SUMATERA UTARA 1,76 1,69 29,36 2,21 26,04 15,36 5,40 6,25 4,69 3,78 3,45 RIAU 0,66 2,33 5,48 1,99 48,50 28,24 2,49 0,66 0,33 6,98 2,33 LAMPUNG 0,73 0,21 0,94 0,00 7,87 58,76 21,83 1,36 5,56 2,73 0,00 JAWA BARAT 2,18 3,98 11,99 3,32 39,83 20,11 4,07 9,55 3,39 1,53 0,03 JAWA TIMUR 1,58 3,08 19,01 0,90 34,97 29,75 3,17 4,79 1,20 1,20 0,34 BALI 1,35 2,24 55,16 5,38 20,63 4,04 3,14 4,04 2,24 0,90 0,90 NUSA TENGGARA BARAT 1,82 2,20 28,28 1,77 9,59 33,15 12,00 7,93 1,29 1,66 0,32 KALIMANTAN BARAT 1,85 4,82 22,33 2,09 11,41 18,63 6,67 4,58 2,09 18,39 7,15 KALIMANTAN TIMUR 2,96 5,47 45,67 3,64 7,52 9,45 2,62 2,51 0,00 19,13 1,03 SULAWESI SELATAN 1,10 1,59 26,04 3,18 24,78 21,38 7,46 11,84 0,82 1,64 0,16 SULAWESI BARAT 0,25 5,56 10,10 0,25 13,13 25,00 7,07 32,07 0,25 6,31 0,00 PAPUA BARAT 1,67 5,33 26,33 6,33 9,33 10,67 6,00 7,67 5,33 12,00 9,33 INDONESIA 1,72 3,07 18,59 2,24 31,37 24,66 5,32 6,82 2,47 2,89 0,85 60 Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015 Berdasarkan tabel tersebut, menunjukkan bahwa sebagian keluarga memperoleh air bersih utama dengan cara membeli. Hasil survei dimaksud sebagaimana tampak pada gambar berikut: Gambar 4.20. Mengkonsumsi Air Bersih Utama dengan Membeli Berdasarkan data pada gambar tersebut, secara nasional sebesar 37.55 persen keluarga yang mendapatkan air bersih utama dengan cara membeli. Apabila dilihat pada provinsi, terdapat provinsi yang datanya di atas data nasional, yaitu Provinsi Sumatera Utara, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Dari lima provinsi tersebut, Provinsi Bali dan Kalimantan Timur dengan persentase paling tinggi menggunakan air bersih utama dengan cara membeli. Unsur berikutnya yang berkaitan dengan tempat tinggal, yaitu penerangan rumah. Pada survei ini dihimpun data penerangan rumah yang digunakan keluarga. Hasil survei menghimpun data jenis penerangan rumah, yaitu: listrik PLN, listrik nonPLN, pertomakaladin dan pelitasentirobor. Jenis penerangan rumah dimaksud sebagaimana tampak pada tabel berikut: 61 Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015 Tabel 4.18 : Keluarga yang Menggunakan Listrik. PROVINSI Listrik PLN Listrik non PLN Petromak, aladin Pelita, sentir, obor SUMATERA UTARA 94,21 1,17 0,46 4,17 RIAU 85,45 11,04 0,50 3,01 LAMPUNG 95,18 2,83 0,10 1,89 JAWA BARAT 97,41 2,33 0,10 0,16 JAWA TIMUR 98,80 0,99 0,09 0,13 BALI 98,21 0,45 0,00 1,34 NUSA TENGGARA BARAT 95,64 3,82 0,16 0,38 KALIMANTAN BARAT 84,65 7,51 0,08 7,76 KALIMANTAN TIMUR 85,27 11,99 0,91 1,83 SULAWESI SELATAN 94,33 3,36 0,66 1,65 SULAWESI BARAT 46,94 38,27 0,77 14,03 PAPUA BARAT 82,03 14,24 0,68 3,05 INDONESIA 95,60 2,97 0,20 1,23 Berdasarkan data pada tabel tersebut, sebagian besar atau 98.57 persen keluarga sudah menggunakan penerangan listrik. Dari jumlah tersebut, sebesar 95.60 persen keluarga memperoleh sumber listrik dari PLN dan 2,97 persen menggunakan listrik non PLN. Tabel 4.19 : Besarnya Daya Listrik Terpasang Di Rumah PROVINSI 450 watt 900 watt 1300 watt 2200 watt 2200 watt Tanpa meteran SUMATERA UTARA 48,51 35,64 5,95 3,67 0,69 5,54 RIAU 12,40 63,19 12,60 2,95 1,18 7,68 LAMPUNG 26,14 56,48 1,44 0,11 0,00 15,84 JAWA BARAT 51,32 34,52 7,23 1,76 0,24 4,94 JAWA TIMUR 48,26 36,52 4,61 1,52 0,78 8,30 BALI 37,16 27,06 17,43 6,42 0,46 11,47 NUSA TENGGARA BARAT 43,18 34,52 7,41 0,91 0,17 13,81 KALIMANTAN BARAT 36,05 42,95 10,01 1,55 1,07 8,36 KALIMANTAN TIMUR 22,22 46,99 19,54 4,28 1,47 5,49 SULAWESI SELATAN 35,91 46,84 9,18 1,75 0,76 5,56 SULAWESI BARAT 23,63 42,31 24,18 1,10 0,55 8,24 PAPUA BARAT 21,25 50,83 24,17 1,67 0,83 1,25 INDONESIA 44,65 38,39 7,09 1,97 0,55 7,35 62 Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015 Penggunaan daya untuk penerangan listrik, pada sebagian besar atau 83.04 persen keluarga dengan penerangan listrik berdaya 450 watt – 900 watt. Berkaitan dengan pemasangan daya listrik tersebut, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan, bahwa daya 450 watt dan 900 watt merupakan listrik bersubsidi yang diperuntukkan bagi keluarga miskin dan rentan miskin. Namun terdapat 7.35 persen keluarga di Indonesia yang menggunakan penerangan listrik tanpa sambungan meteran. Setiap keluarga melakukan aktivitas memasak untuk pemenuhan kebutuhan pangan, tidak terlepas dari penggunaan bahan bakar. Melalui survei ini dihimpun data tentang bahan bakarenergi utama yang digunakan keluarga untuk memasak. Hasil survei menemukan bahwa bahan bakarenergi utama yang digunakan keluarga, yaitu listrik, gaselpiji, dengan persentase paling besar, yaitu 66.87 persen, disusul dengan bahan bakar dari kayu bakar sebesar 28.13 persen. Data ini mendukung kebijakan nasional terkait penggunaan gaselpiji sebagai bahan bakar untuk memasak. Namun demikian masih terdapat keluarga yang menggunakan minyak tanah, arangbriket, masing-masing sebesar 2,61 persen dan 0,49 persen, serta menggunakan listrik untuk memasak yakni sebesar 1,90 persen. Secara lengkap pemanfaatan bahan bakar energi untuk memasak, dapat dilihat dari pada tabel berikut: Tabel 4.20 : Bahan BakarEnergi Utama untuk Memasak PROVINSI Listrik Gas, elpiji Minyak tanah Arang, briket Kayu bakar SUMATERA UTARA 0,98 64,32 9,07 0,07 25,57 RIAU 0,83 79,67 5,29 2,31 11,90 LAMPUNG 0,94 38,30 0,84 0,00 59,92 JAWA BARAT 2,84 71,06 1,27 0,69 24,14 JAWA TIMUR 1,64 68,20 0,86 0,26 29,04 BALI 2,24 56,95 0,45 0,00 40,36 NUSA TENGGARA BARAT 1,08 49,11 10,79 0,27 38,75 KALIMANTAN BARAT 1,55 69,50 1,31 0,16 27,47 KALIMANTAN TIMUR 3,19 78,25 1,82 0,57 16,17 SULAWESI SELATAN 1,16 78,19 0,61 0,39 19,66 SULAWESI BARAT 0,25 41,52 4,56 4,05 49,62 PAPUA BARAT 1,01 1,68 52,35 0,67 44,30 INDONESIA 1,90 66,87 2,61 0,49 28,13 Selanjutnya akan diuraikan tentang pemenuhan kebutuhan tempat tinggal keluarga secara subyektif atau menurut pandangan keluarga meliputi kategori sangat tidak terpenuhi, tidak terpenuhi, kurang 63 Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015 terpenuhi, terpenuhi dan sangat terpenuhi. Hasil survei menujukkan, data pemenuhan kebutuhan tempat tinggal keluarga secara subyektif sebagai berikut: Tabel. 4.21 : Pemenuhan Kebutuhan Tempat Tinggal. PROVINSI Sangat tidak terpenuhi Tidak terpenuhi Kurang terpenuhi Terpenuhi Sangat terpenuhi SUMATERA UTARA 2,69 7,61 28,92 60,39 0,39 RIAU 0,67 2,01 20,07 76,59 0,67 LAMPUNG 1,69 6,14 35,49 56,46 0,21 JAWA BARAT 1,19 3,05 30,74 64,33 0,70 JAWA TIMUR 0,82 3,53 22,24 72,63 0,78 BALI 1,35 2,24 31,84 64,57 0,00 NUSA TENGGARA BARAT 1,62 6,33 32,63 58,93 0,49 KALIMANTAN BARAT 2,45 6,38 26,00 64,43 0,74 KALIMANTAN TIMUR 0,92 1,72 19,08 77,47 0,80 SULAWESI SELATAN 0,83 2,77 27,73 67,74 0,94 SULAWESI BARAT 1,56 8,33 23,70 65,63 0,78 PAPUA BARAT 1,04 3,82 17,71 77,08 0,35 INDONESIA 1,26 3,92 27,29 66,88 0,65 Berdasarkan tabel tersebut, secara nasional sebesar 66.88 persen keluarga dapat dikatakan telah mampu memenuhi kebutuhan tempat tinggal dan keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan tempat tinggal sebesar 32.47 persen. Sementara itu, terdapat dua provinsi dengan pemenuhan kebutuhan tempat tinggalnya masih di bawah 60 persen, yaitu Provinsi Lampung dan Nusa Tenggara Barat. Adapun pemenuhan keluarga terhadap kebutuhan tempat tinggal secara subyektif menurut angka nasional dapat dilihat pada gambar berikut: Gambar 4.21. Pemenuhan Kebutuhan Tempat Tinggal Keluarga secara Nasional 64 Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015 Berdasarkan data tersebut diperoleh gambaran bahwa keluarga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan tempat tinggal secara nasional sebesar 32.47 persen, yatu mereka yang masuk dalam kategori sangat tidak terpenuhi, tidak terpenuhi dan kurang terpenuhi. Berbagai upaya keluarga untuk melakukan pemenuhan kebutuhan tempat tinggal, misalnya dengan meminjam atau berhutang, minta bantuan, menjual barang, menggadai dan mengatur secukupnya. Dari lima strategi tersebut, dapat dibedakan menjadi dua, yaitu usaha keluar meminjamberhutang dan meminta bantuan dan usaha ke dalam menjual barang, menggadai dan diatur secukupnya. Upaya keluarga dimaksud sebagaimana tampak pada tabel berikut: Tabel 4.22: Upaya yang Dilakukan Untuk Memenuhi Kebutuhan Tempat Tinggal PROVINSI meminjam berhutang minta bantuan menjual barang menggadai diatur secukupnya SUMATERA UTARA 55,54 32,67 1,65 2,75 58,20 RIAU 50,41 28,83 0,93 0,93 91,80 LAMPUNG 47,75 24,49 3,01 0,50 85,40 JAWA BARAT 45,95 42,40 5,12 1,99 82,40 JAWA TIMUR 53,49 25,05 2,87 2,50 62,05 BALI 78,48 37,97 11,39 5,06 43,04 NUSA TENGGARA BARAT 57,92 30,61 4,66 3,84 67,22 KALIMANTAN BARAT 44,22 28,84 7,80 4,59 86,80 KALIMANTAN TIMUR 36,02 26,49 4,32 5,41 67,20 SULAWESI SELATAN 28,38 31,40 2,59 2,61 76,39 SULAWESI BARAT 23,66 39,42 8,89 2,25 82,35 PAPUA BARAT 28,57 48,89 15,56 0,00 80,00 NASIONAL

47.7 32,4

4,3 2,7 73,7 Berdasarkan data pada tabel tersebut, pada umumnya keluarga melakukan dua upaya untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal. Menarik dari data tersebut, yaitu pada upaya mengatur secukupnya sebesar 73,7 persen dan meminjam atau berhutang sebesar 47,7 persen. Dimana sebagian besar provinsi di Indonesia melakukan upaya dimaksud. Terdapat provinsi dengan persentase antara 43.04 - 67.22 persen, yaitu di Sumatera Utara, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Timur. 65 Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015 Untuk memperkuat hasil temuan data tersebut, berikut dipaparkan hasil analisis data subyektif dan data obyektif terkait dengan pemenuhan kebutuhan tempat tinggal, yang selanjutnya dimaknai dengan adanya gap antara kondisi obyektif dan pernyataan subyektif keluarga terhadap kondisi rumah mereka.

4.3.1. Analisis Gap dari Jenis Lantai Rumah.

Berdasarkan analisis subyektif – obyektif, pemenuhan kebutuhan rumah keluarga berdasarkan jenis lantai, pada keluarga dengan kategori sejahtera sebesar 61.4 persen, artinya secara obyektif maupun subyektif kondisi lantai rumah mereka baik. Untuk kondisi lantai rumah secara obyektif sudah baik, tetapi secara subyektif dimaknai kondisi lantainya buruk, dengan kategori disonansi sebesar 28.7 persen. Bagi keluarga yang memiliki kondsi lantainya buruk tetapi secara subyektif dilihat sudah baik sehingga masuk dalam kategori adaptasi yakni sebesar 5.3 persen dan pada keluarga yang memiliki lantai rumah secara obyektif maupun subyektif kondisinya buruk sehingga disebut kategori deprivasi yakni sebesar 4.6 persen. SUBYEKTIF WELLBEING BAIK BURUK BAIK Sejahtera 61.4 Disonansi 28.7 BURUK Adaptasi 5.3 Deprivasi 4.6 Gambar 4.22. Analisis Gap Jenis Lantai Rumah

4.3.2. Analisi Gap Kondisi Atap

Berdasarkan analisis subyektif – obyektif, pemenuhan kebutuhan rumah keluarga berdasarkan kondisi atap rumah. Pada keluarga dengan kategori sejahtera sebesar 51.7 persen, artinya kondisi obyektif dengan pernyataan subyektif tentang kondisi atap rumah menyatakan baik, sementara untuk kategori disonansi sebesar 16.5 persen, adaptasi sebesar 15 persen dan deprivasi sebesar 16.9 persen, dengan nilai persentasinya hampir setara. SUBYEKTIF WELLBEING BAIK BURUK BAIK Sejahtera 51.7 Disonansi 16.5 BURUK Adaptasi 15.0 Deprivasi 16.9 Gambar 4.23. Analisis Gap Kondisi Atap Rumah 66 Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015 Dengan demikian antara 50 sampai 60 persen kondisi rumah keluarga di Indonesia berdasarkan kondisi lantai rumah dan kondisi atap rumahnya masuk dalam kategori sejahtera. Sedangkan keluarga dengan kondisi lantai rumah dan atap rumah dalam kategori deprivasi yakni secara obyektif maupun subyektif kondisinya buruk, berada diantara 5 sampai 17 persen.

C. KOHESI SOSIAL