31
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. GAMBARAN UMUM 1. Lokasi Survei
Berdasarkan penarikan sampel random sampling ukuran sampel optimum yang diperlukan untuk menduga proporsi prevalensi, sebagai prior guess
adalah 50, pada level of conidence 1.96 dengan margin of error 1 persen maka minimum sampel size yang dibutuhkan untuk estimasi nasional
adalah 17000 rumah tangga atau 1700 blok sensus secara nasional. Dengan jumlah sampel per blok sensus adalah 10 rumah tangga yang selanjutnya
akan dialokasikan ke setiap provinsi terpilih secara proportional. Estimasi untuk provinsi dan nasional dipilih secara probability sampling, dan untuk
menjamin keterwakilan sampel maka blok sensus dipilih independen antara daerah perkotaan dan daerah pedesaan. Metode sampling untuk memilih
keluarga menjadi responden, maka keluarga yang berada dalam satu rumah tangga lebih dari satu keluarga, dipilih dengan cara random. Oleh karenanya
target capaian keluarga sebagai responden SKSD, tetap berjumlah 17.000 keluarga, dari 12 provinsi, 65 kabupaten kota dan 605 kecamatan.
2. Realisasi Capaian Sampel
Berdasarkan hasil pengumpulan data, oleh sejumlah 46 ketua tim, dan 270 pewaawancara, telah terkumpul data dari sejumlah 15.274 keluarga,
atau 89, 85 persen dari responden secara nasional. Berikut tabel target dan realisasi jumlah responden dari 12 provinsi.
Jumlah keluarga yang menjadi responden dari setiap masing-masing provinsi tidak dapat mencapai target, karena berbagai kendala yang
dihadapi di lapangan.
32
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015 Tabel 4.1 : Target dan Realisasi Capaian Responden Secara Nasional
PROVINSI TARGET
REALISASI
SUMATERA UTARA 1700
1544 90,82
RIAU 800
605 75,63
LAMPUNG 1000
955 95,50
JAWA BARAT 3200
3083 96,34
JAWA TIMUR 2600
2338 89,92
BALI 300
225 75,00
NUSA TENGGARA BARAT 2100
1870 89,05
KALIMANTAN BARAT 1400
1250 89,29
KALIMANTAN TIMUR 1000
880 88,00
SULAWESI SELATAN 2200
1826 83,00
SULAWESI BARAT 400
398 99,50
PAPUA BARAT 300
300 100,00
NASIONAL 17000
15274 89,85
3. Kendala Capaian Sampel
a. Bencana alam bencana asap; kondisi ini dialami pada sample di provinsi Riau sehingga hanya dapat mencapai 605 responden dari 800
responden atau sebesar 75,63 persen dari target responden. Terdapat beberapa blok sensus yang tidak dapat dijangkau oleh petugas
pengumpul data karena kendala kabut asap, dengan jarak pandang 1-2 meter jika menggunakan kendaraan. Demikian halnya dengan
responden yang berada di provinsi Kalimantan Barat, terdapat beberapa blok sensus yang tidak dapat dijangkau karena kendala kabut asap.
Gambar 4.1: Contoh Kondisi Lokasi survei di wilayah berasap
b. Bencana sosial konlik sosial dan politik; kondisi ini dialami oleh responden yang berada di provinsi Jawa Timur, khususnya di kota
Sampang yang sedang mengadakan pemilihan Kepala Desa, dimana situasi di blok sensus tersebut, kondisinya cukup sensitif mengingat
33
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
kehadiran petugas pengumpul data sering dikaitkan dengan kandidat calon kepala desa. Meski akhirnya petugas pengumpul data dapat
mengunjungi blok sensus tersebut, dengan kawalan dari aparat keamanan setempat. Selain itu salah satu blok sensus tempat responden
di kabupaten Lumajang, sedang mengalami situasi konlik sosial terkait dengan penambangan pasir, atau dikenal dengan tragedi kasus “Salim
Kancil”. Aparat setempat tidak mengijinkan petugas pengumpul data masuk ke blok sensus tersebut, karena suasana penduduk masih
kurang kondusif dan cukup sensitif jika harus melakukan wawancara ke keluarga terpilih di blok sensus tersebut.
c. Penolakan responden khusus wilayah perkotaan; Kondisi ini dialami oleh responden yang berada di ibukota provinsi seperti di kota Surabaya, kota
Medan, kota Bandung. Penolakan dihadapi petugas pengumpul data dari kepala RT setempat, meski dari kepala wilayah telah memberi ijin.
Responden di wilayah perkotaan terutama di wilayah perumahan “elite” cenderung tidak mengijinkan petugas pengumpul data memasuki area
wilayah tersebut. Alasan yang diperoleh dari kepala lingkungan atau RT, setempat adalah demi menjaga keamanan dan kenyamanan dari
lingkungannya. Selain itu, kedatangan petugas pengumpul data dari Kementerian Sosial, sering dikonotasikan sebagai pendataan fakir miskin
yang tidak sesuai dengan kondisi mereka, termasuk seringnya pendataan yang ditujukan kepada keluarga, sehingga penolakan dari keluarga di
wilayah perkotaan sering dialami oleh petugas pengumpul data.
d. Manajemen waktu tim petugas pengumpul data. Sebagaimana waktu yang telah dialokasikan untuk melakukan pengumpulan data di wilayah
terpilih, yaitu antara 14 sampai dengan 21 hari. Ternyata kondisi ini menjadi kendala dalam proses pengumpulan data, karena berbagai
keterbatasan baik dalam transportasi maupun kondisi geograis untuk mencapai wilayah tertentu. Misalnya untuk satu blok sensus dengan
target capaian mewawancara responden sejumlah 30-36 keluarga perhari, termasuk untuk melakukan beberapa kali kunjungan ke
responden tidak dapat direalisasikan, mengingat jarak tempuh dan jarak antar blok sensus tidak dapat diprediksi dengan alokasi waktu yang
telah ditentukan, dan menyangkut anggaran yang telah direncanakan.
e. DSRT Daftar Sample Rumah Tangga yang berbeda di lapangan. DSRT yang sudah diberikan saat sebelum petugas pengumpul data turun ke
lapangan, kenyataannya banyak ditemukan berbagai perbedaan situasi dan kondisinya. Gambaran di lapangan, menunjukkan bahwa nama dan
alamat pada DSRT, sudah tidak tinggal atau pindah dari tempat tersebut sejak 1 atau 2 tahun yang lalu, bahkan ditemukan nama kepala keluarga
sudah meninggal. Pada blok sensus tertentu sudah terkena penggusuran dan hanya tinggal 1 atau 2 keluarga saja, kasus di kota Denpasar. Selain
34
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
itu banyak nama dan alamat pada DSRT ternyata adalah Blok Khusus, yakni tempat kost atau kontrakan, dimana nama yang tercantum adalah
nama dari orang yang pernah kontrak atau kost di rumah tersebut.
f. Kondisi geograis, terjadi pada responden keluarga yang berada di wilayah pedesaan, dimana untuk menjangkau ke wilayah tersebut wilayahnya
berada di perbukitan, pegunungan, wilayah pesisir, jauh dari kota kecamatan, yang tidak dapat ditempuh dengan kendaraan kecuali dengan
berjalan kaki untuk jarak 5-10 km, termasuk melintasi sungai, atau pulau yang harus ditempuh dengan menggunakan kapal atau perahu, meski
yang akan ditemui beberapa responden atau keluarga saja.
Gambar 4.2 : Contoh Kondisi Geograis Lokasi Survei
4. Kondisi Geograi
Sebagai salah satu indikator dari dimensi perubahan sosial, maka dari sample lokasi SKSD di 12 provinsi menunjukkan bahwa responden keluarga
di perkotaan lebih banyak daripada di perdesaan. Sebagaimana data BPS tahun 2015 menunjukkan bahwa persentase penduduk di perkotaan
semakin meningkat daripada penduduk di pedesaan.
Banyaknya penduduk di wilayah perdesaan yang menjadi bagian dari pemekaran perkotaan, menjadi salah satu penyebab dari jumlah perkotaan
lebih banyak dibanding jumlah perdesaan. Artinya wilayah perkotaan sebagai gambaran terhadap indikator dari dimensi perubahan sosial. Berdasarkan
provinsi lokasi terpilih, menunjukkan bahwa persentase klasiikasi wilayah perkotaan dan perdesaan di provinsi Lampung, Sulawesi Barat dan Papua
Barat, lebih banyak wilayah perdesaan daripada wilayah perkotaan.
35
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
Gambar 4.3. Klasiikasi Wilayah Perdesaan dan Perkotaan
Tabel 4.2. Klasiikasi Wilayah Perdesaan dan Perkotaan berdasarkan provinsi
PROVINSI KLASIFIKASI
PERKOTAAN PERDESAAN
SUMATERA UTARA 55.31
44.69 RIAU
53.88 46.12
LAMPUNG 23.98
76.02 JAWA BARAT
61.79 38.21
JAWA TIMUR 59.24
40.76 BALI
65.33 34.67
NUSA TENGGARA BARAT 54.71
45.29 KALIMANTAN BARAT
45.60 54.40
KALIMANTAN TIMUR 60.91
39.09 SULAWESI SELATAN
50.93 49.07
SULAWESI BARAT 20.60
79.40 PAPUA BARAT
27.00 73.00
INDONESIA 56.41
43.59
5. Proil Responden
Berdasarkan jenis kelamin kepala keluarga yang menjadi responden menunjukkan bahwa persentase laki-laki sebesar 86.30 persen sementara
perempuan sebesar 13,70 persen. Status perkawinan mereka sebesar 84,60 persen sudah menikah atau berstatus kawin, dan yang belum menikah
sebesar 1,93 persen. Untuk umur responden diketahui bahwa lebih dari 27,5 persen umur responden atau kepala keluarga berumur diatas usia 40
tahun.
36
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
Gambar 4.4. Responden Menurut Kelompok Umur
Gambar 4.5. Responden Menurut Jenis Kelamin.
Gambar 4.6. Responden Menurut Status Perkawinan
37
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
6. Kondisi Kesejahteraan Sosial
Kondisi Kesejahteraan sosial keluarga Indonesia, terbagi dari dimensi pertama ; kualitas hidup dengan parameter dari pemenuhan kebutuhan
pangan, sandang, papan, baik secara obyektif maupun subyektif. Dimensi kedua; kohesi sosial dengan indikator parameter dari aksesibilitas terhadap
layanan dan ketersediaan layanan, serta relasi sosial dan pendidikan sebagai modal sosial penduduk. Dimensi ketiga yakni keberlanjutan
dengan parameter rasa aman dan kesehatan. Dimensi terakhir yakni Perubahan sosial dengan indikator pada struktur ekonomi, demograi serta
sikap dan nilai.
B. KUALITAS HIDUP