(166 Kali)
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
SURVEI
KESEJAHTERAAN SOSIAL DASAR
TAHUN 2015
(2)
Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak buku sebagian atau seluruhnya tanpa izin dari Puslitbangkesos, Kementerian Sosial RI.
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015.
Jakarta, P3KS Press 2016, xviii +120 hlm. 16 cm x 23 cm.
Tim Peneliti: Alit Kurniasari Badrun Susantyo
Suradi Hari Harjanto Setiawan
Anwar Sitepu Nurdin Widodo
Husmiati Nyi R. Irmayani
Habibullah Design Cover :
Tim Imaji Tata letak :
Tim Imaji
Cetakan Pertama : April 2016 ISBN 978-602-363-018-9
Diterbitkan oleh:
Puslitbangkesos Kementerian Sosial RI.
Jl. Dewi Sartika No. 200 Cawang III Jakarta- Timur. Telp. (021) 8017126 E-mail: [email protected]; Website: puslit.kemsos.go.id
(3)
Ketua Tim Lapangan
Umi Badri Yusamah, Arief Sitompul, Sutaat, Aulia Rahman, Deni Sehabudin, Achmadi Jayaputra, Sukur Priyanto, Imanudin Sidik, Irwan Nasikin Setiawan, Rokna Murni, Setyo Sumarno, Pribowo, Sony Firmansyah, Catur Herry Wibawa, Annastasia Hustantie, Bambang Indra Kentjana, Dedeh Yuliah, Nenden Rainy S, Teti Ati Padmi, Nurani Kusnadi, M. Belanawane Sulubere, Herman Nugraha, Dayat Sutisna, Ahmad Suhendi, Mudjiastuti, Wandansari, Haryati Roebyantho, Bambang Pudjianto, Suharma, Togiaratua Nainggolan, Muslim Sabarisman, Nurhayani Lubis, Sugiyanto, Eko Gunawan Wibisono, M. Habiburrohman, Subhan Kadir, Yuyun Yuliawati, Sutimbul, Dulman, Syamsudin, B. Mujiyadi, M. Ikhsan Hasyim, Kasim Saleh.
Pewawancara
Norawaty Sihombing, Wulan Purnama Sari, Dewi Riris Natalia Nababan, Rusmawati Nainggolan, Arie Amanda Putri, Riri Novitasari, Novanta Sitepu, Mardiana, Tika Simanjuntak, Nurman Ginting, M. Dani Butar-Butar, Afni Nainggolan, Octi Novita Pardede, Sryenda M. Kembaren, Ima Marweni BR Tarigan, urlaili Astika, Robby Hasudungan Silalahi, Guster CP Sihombing, Eviyanti Simanulang, Marianti Sinaga, Rahmah Khairina, Esther Silaban, Haspon W. Simanorang, Meisyah Rahmat Hura, Frans Sitepu, Al Amin Sukran Damanik, M. Arif Zebua, Nila Sari, Fahmi Natigor Pulungan, Rohani Hutabarat, Putra Solihin, Siti Patonah, Andi Mustika, Gok Mangasi P Nababan, Rolando Manalu, Budi Priyatno, Indra Ramos, Idris Imam Mustofa, Harun Ar Rasyid, Novia Faradila, Monalisa D. Siahaan, Iwan Triyogo, Jaelani, Jujuk Mardiyanto, Jimmi Farizi, Martha Arief Saputra, Oki Saputra, Melly Kristina, Marbawi, Yuli Nurharisma, Suheri Iswadi, Aryuli Setyo, Euis Yunarsih, Fivi Marice Putri, Novia Tri Marida, Cahaya Kurniawati, Fiqra Yuda Adam, Prasetyo Tri Kuswoyo, Faisal Akbar, Bilqis Nuraena, Herris Purwanti, Hilman Budiman, Aldie Satriana, Duta Perwira, Panji Khrisna Nugraha, Didin Cahyanto, Ludiyanto, Den Ardani Adigius, Hesti Hadianti, Setyo Budi, Emma Ratna Suminar, Nurjana, Suci Nurayani Kusuma, Alif Khofan Sandiawan, Ah Chuzaeni, Silvia Fatmah N, Rizky Puspitasari, Angelya Fendrawati, Sundusi Navi Latussalam, Septiyena, Yandi Rizal Akbar, Sandi Lesmana, Nadya Savitri, Rachmat Parawangsa, Syifa N Tresnaputri, Ellywati Wowon, Jesi Dian Suryani, M. Akmal, Ema Salwa, Ajie
(4)
Budi Aji, Samudraman Harefa, Ulfain, Eneng Deti Nurbaeti, Susi Indriati, Cucu Rosita, Siti Nurjanah, Saktiyan Abiyanto Pamuji, Diantika FH Rahim, Deden Amiruddin, Sri Wulandari, Bangkit Pratama, Corry Currota Ayuni, Deni Anggraeni, Herry Firmansyah, Tri Oktivinati, Swarha Wia, Opi Supriyati, Didin Suhendar, Harti, Dianti Widianingsih, Marini, Yuliana, Anang Yodha Prawira, Aswin Hasanudin, Yayan Firmansyah, Yogi Alexander, Gusti Rudiyanto, Fiqih Hasanudin, Gilang Hartanto, Wahyu Yulianto, Fadly Restu Iswara, Atin Soiatin, Rizal Palepi Muthahar, Gusti Surya Dinata, Andri Soemarno, Ahmad Fauzi, Yandi Kinantaka, Susanto, Fiqri Haqil Nur, Syahroni, Ibnu Farhan, Agus Siswanto, Bhekti Rahayuningsih, Suryan Waluma Sidiq, Harinda Nuraeni, Elfa S Paramitasari, Ihsan Masruri, Dedi Yusuf Habibi, Mutmainah, Aliyah Ramadhani, M. Ihsan Abdul Malik, Agus Wahyu Permana, Agus Syaiful Anwar, Juli Abidin, aini Fitri Yuliana, Nety anggun Pratiwi, Masyitoh Ummul Azizah, Ucy Nurjanah Sukmawati, Dewi Ayu Pramitasari, Lailatul Khoifah, Humidatun Nisa, Mohamad Hosni, Kamil, Bambang Sulistyo, Roni Salaki, M. Abdul Majid, Angga Kuswardana, Dedy Tri Kuncoro, Ahmad Choiruddin, Nariman Chandra Rinata, Arik Budiono, Dermawan Setiobudi, Tigar Ardian Firnanda, Ni’azah, Vicky Wahyu Suryadi, Rachmat Prayudi, Asri Amrail, Nikmah Fauzi, Marihot Bernard, Aris Tri Muntiyani, Alfons Kolimasang, Sulistyorini, Zaenal Ariin, M. Makhrus Efendi, Farida Fitriani, M. Amanu, Teguh Ramadhan, Mira Nitakusminar, Lalu Rakhmad Y.H, Ari Wiwit Widiatmanto, Baiq Usmayanti, Suzana, Dina Marselina, Nur Liza, Yuyun Qomari Purnomosidi, Mardianti, Suharni, Ovan Chandrawansyah, Harniati, Andrik Wicaksono, Budi Surya Hadi Pratama, Abdul Rahman Hidayat, Zaenuddin, Nurhadi, M. Fausi, Erwin Putradi, Ishartono, Robby Firmansyah, Fatmawati, Novi Widya Utami, Arief Budi Saputra, Jumardiansyah, Suko Harsono, Azhary Purnama, Dedy Pratama, Hodri, Mohamad Agung, Paskalia Tukau, Yuznia Sari Andhika Putri, Subejo, Soepriono, Arbain, M. Fadhol Tamimy, Fridolin Luruk, M. Risman R, Nur Jaydah, Rizky Mauludin Arif, Nur Farida, Andi Pajeria Dwi Nasari, Ade Rianti, Aswita Amansyah, Megawati, Nurmala, Norman Ilmi, Jeane Abigael Bunga, Soraya Nugrahaika, Ibnu Chaldon, Dian Rina, Niswati, Muhamad Maulana, Ida Yanti, Nurlaela Djufri, Alianto, Achmad Ashari, Hamriani, Aris Prawoto, Junaedi, Afrianti Muis, Rabiah Tul Adawiah, Ermiyati, Fitriani, Asriyati, Astuty Tahir, Muayyana Taslim, Rizkyanti, Hartati Retnani Sari, Andi Hermawansyah, Ibrahim Baturante, Mangkonapadang, Hermiati, Andi Reidwan Asnaj, Akmal, Budi Dharma Saputra, Dahlia, Reza Adriansyah, Riza Zulkarnain, Andi Ismet Andri Kasim, Fadlun Aman, Deasy Ari Santy, Trianasari, Wedarina Adelia, Negro Hores, Heri Simon Sanggrang Bano, Nengsi Astince Bary, Zulikar Apriansyah.
(5)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunia-Nya laporan Survei Kesejahteraan Sosial Dasar (SKSD) Tahun 2015 dapat diselesaikan. SKSD merupakan upaya Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial (Puslitbangkesos) untuk menyediakan data makro dan sebagai base line data dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial dan sebagai bahan perumusan kebijakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial di Indonesia.
SKSD merupakan survei yang pertama kali dilakukan oleh Puslitbang Kesejahteraan sosial. SKSD ini dilaksanakan dengan mengambil sampel sebanyak 15.281 keluarga yang tersebar di 806 Kecamatan, 68 Kabupaten di 12 Provinsi. Pada kegiatan pengumpulan data melibatkan pewawancara dari unsur satuan bakti pekerja sosial, dan mahasiswa pekerjaan sosial yang berjumlah 270 orang, serta Ketua Tim dari unsur peneliti dan dosen berjumlah 46 orang.
Laporan ini merupakan laporan nasional, yang memuat 4 (empat) dimensi, yaitu dimensi: kualitas hidup, keberlanjutan, kohesi sosial, dan perubahan sosial. Keempat dimensi tersebut secara konseptual merupakan dimensi utama yang berkaitan langsung dengan kondisi kesejahteraan sosial (well-being) keluarga di Indonesia.
Tersusunnya laporan ini berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, disampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Kabadiklit Kemensos Mu’man Nuryana,Ph.D, Sekretaris Badiklit Drs. Heri Krissritanto, Kapuslitbangkesos Dr. Dwi Heru Sukoco, Dr.Ir. Harry Hikmat, M.Si, (Konsultan), Dr. Heru Prasaja, (Universitas Admajaya), Prof. Adi Fahrudin, M.Soc, Ph.D (Universitas Muhamadiyah Jakarta). Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Kepala Badan Pusat Statistik, atas kerjasama dan bantuan metodologi survei; Kepala Instansi Sosial Provinsi dan Kabupaten/Kota lokasi pengumpulan data survei, atas dukungan, bantuan dan kerjasamanya. Kemudian penghargaan disampaikan kepada Tim SKSD dan Tim Manajemen yang telah bekerja keras mempersiapkan, melaksanakan pengumpulan data, sampai penulisan laporan ini. Secara khusus, ucapan terima kasih kepada Menteri Sosial RI, yang telah memberi kepercayaan kepada kami untuk
(6)
Meskipun tim SKSD sudah bekerja keras untuk menyelesaikan laporan survei ini, namun demikian laporan ini masih banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh sebab itu, diharapkan masukan, saran dan kritik guna penyempurnaan kegiatan dan penulisan laporan survei ini.
Jakarta, 9 April 2016
Kepala Puslitbang Kesejahteraan Sosial
(7)
RINGKASAN EKSEKUTIF
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar (SKSD) tahun 2015 bertujuan untuk mengumpulkan data tentang kondisi kesejahteraan sosial dasar keluarga di Indonesia, digambarkan dalam empat dimensi kesejahteraan yaitu; 1) kualitas hidup; 2) kohesi Sosial 3) keberlanjutan dan 4) perubahan sosial. Masing-masing dimensi diukur melalui kondisi objektif dan subjektif, sehingga dapat diketahui katagorisasi keluarga, sejahtera (secara obyektif dan subyektif kondisinya baik), disonansi (secara obyektif kondisinya baik tetapi secara subyektif kondisinya buruk), adaptif (secara obyektif kondisinya buruk tetapi secara subyektif kondisinya baik) dan deprivasi (secara subyektif dan obyektif kondisinya buruk). Kondisi sejahtera manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal dan pendapatan dapat dipenuhi; serta memperoleh perlindungan dari risiko-risiko utama yang mengancam kehidupannya. kemampuan orang (individu, keluarga, kelompok dan masyarakat) dan sistem sosial (lembaga dan jaringan sosial) dalam memenuhi/merespon kebutuhan dasar, melaksanakan peranan sosial, serta menghadapi goncangan dan tekanan (shocks and stresses). Kebutuhan dasar berkaitan dengan pendapatan, pendidikan dan kesehatan. Peranan sosial dimaksud sesuai dengan status sosial, tugas-tugas dan tuntutan norma lingkungan sosialnya. Kemudian, goncangan dan tekanan terkait dengan masalah psikososial dan krisis ekonomi.
Metodologi, domain survei ini adalah nasional dan beberapa provinsi di Indonesia, sehingga level penyajian dapat secara nasional dan provinsi. Kerangka sampel disusun berdasarkan unit sampel provinsi, kabupaten/kota, blok sensus dan rumah tangga berdasarkan hasil pemutakhiran Susenas maret 2015. Penarikan sampel diukur dengan design efect 2.0, response rate 95%, margin of error1%. Pemilihan provinsi mewakili 5 (lima) regional wilayah yaitu : Sumatera, Jawa Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Sebaran sampel diutamakan dapat mewakili daerah perkotaan dan pedesaan, kepadatan/jumlah penduduk, dan daerah pantai/bukan pantai, karena aspek kesejahteraan berkorelasi dengan aspek lingkungan dan kewilayahan. Maka ukuran sampel yang dibutuhkan untuk estimasi nasional adalah 17.000 rumah tangga dari 1.700 blok sensus, 65 kabupaten/kota yang dialokasikan ke setiap provinsi dengan blok sensus dipilih independen antara daerah perkotaan dan perdesaan. Terpilih sample di 12 provinsi: 1) Sumatera Utara; 2) Riau; 3) Lampung; 4) Jawa Barat; 5) Jawa Timur; 6) Bali; 7) Nusa Tenggara Barat; 8)
(8)
Barat; dan 12) Papua Barat. Pada setiap Blok Sensus, terpilih Daftar Sampel Rumah Tangga (DSRT) terdiri dari 10 rumah tangga dan 5 cadangan dengan responden terpilih adalah keluarga dalam rumah tangga tersebut. Data yang diperoleh dari tingkat keluarga akan diberi pembobotan, sehingga dapat diestimasi secara provinsi dan nasional. Data terkumpul sebanyak 15.574 keluarga, karena menghadapi kendala sbb: 1) Bencana asap di Provinsi Riau dan Kalimantan Barat; 2) Konlik sosial/politik di 2 kabupaten di Propinsi Jawa Timur. 3) Penolakan responden di daerah perkotaan di kota Medan, Surabaya, Bandung dan Denpasar; 4) perbedaan daftar sampel rumah tangga dengan kondisi lapangan; 5) Sulitnya kondisi geograis dan transportasi.
Hasil survei menunjukkan bahwa : Secara demograi, sebagian besar kepala keluarga yang diwawancara berjenis kelamin laki-laki, dengan persentase sebesar 86.30 persen dan perempuan sebesar 13,70 persen. Status perkawinan mereka sebesar 84,60 persen sudah menikah atau kawin, belum menikah sebesar 1,93 persen. Umur kepala keluarga diketahui lebih dari 27,5 persen berumur diatas usia 40 tahun. Keluarga dimaksud berkedudukan lebih banyak di perkotaan daripada di perdesaan.
Kualitas hidup keluarga di Indonesia umumnya telah terpenuhi kebutuhannya meski pada beberapa pemenuhan kebutuhan perlu mendapatkan perhatian. Seperti kebutuhan pangan terutama pemenuhan lauk pauk hewani dan nabati perlu mendapatkan perhatian contoh pada keluarga dengan katagori deprivasi. Untuk kebutuhan tempat tinggal, sebagian besar keluarga sudah memiliki rumah, lengkap dengan kepemilikan fasilitas MCK, dengan catatan masih terbatas pada pemenuhan kebutuhan air bersih yang selama ini memanfaatkan sumur bor pompa, dan sumber mata air terlindungi. Penerangan listrik umumnya sudah menggunakan PLN dan gas elpiji sebagai bahan bakar untuk memasak. Pemenuhan pakaian, keluarga di Indonesia, secara kwantitas telah terpenuhi terutama pada saat perayaan hari besar atau hari raya, dimana keluarga mengupayakan untuk membeli pakaian baru, meski secara kwalitas, pakaian mereka belum seluruhnya terpenuhi. Upaya untuk pemenuhan kebutuhan pangan, keluarga melakukan cara meminjam atau berhutang dan minta bantuan bahkan menjual barang, menggandai serta diatur secukupnya, sehingga pemenuhan pangan tetap terpenuhi.
Kohesi sosial, diantaranya pemenuhan kebutuhan pendidikan dan perlindungan sosial. Pada pemenuhan kebutuhan pendidikan, menunjukkan bahwa 65 persen keluarga mampu memenuhi kebutuhan biaya pendidikan, meski masih terdapat anggota keluarga yang berusia antara 3-6 tahun, usia
(9)
sekolah dan ada diantaranya yang berusia diatas 21 tahun tidak bisa baca tulis, dengan alasan yang paling banyak adalah karena tidak adanya biaya. Masalah yang perlu menjadi perhatian ternyata alasan disabilitas cukup mewarnai, sebagai alasan dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan, serta masih ditemukannya anak usia wajib belajar yang bekerja membantu orang tua. Dari beberapa pemenuhan kebutuhan tersebut, diperoleh gambaran bahwa kendala yang dihadapi adalah terbatasnya biaya dan kendala lainnya, seperti tidak adanya fasilitas, Upaya untuk mengatasi masalah pendidikan, umumnya dengan cara mengatur secukupnya, sesuai dengan apa yang mereka miliki, meski diantaranya ada yang meminjam atau berhutang dan meminta bantuan orang lain.
Perlindungan sosial, yang diikuti keluarga di Indonesia, ditemukan bahwa paling banyak menjadi peserta BLSM dan penerima Rastra. Demikian halnya dengan kepemilikan Kartu BPJS mandiri/pegawai dan KIS-PBI cukup banyak dimiliki keluarga. Sementara untuk akses terhadap berbagai program perlindungan sosial, seperti program Usaha Ekonomi produktif (UEP), PKH, Askesos, Rastra, BLSM, BSPS, Rutilahu dan PPFM, tidak banyak diikuti keluarga karena ketidak tahuan terhadap program dimaksud. Demikian halnya dengan program UEP, PKH, ASKESOS, 50 persen keluarga, menyatakan tidak tahu juga tentang panti sosial dan rehabilitasi diluar panti yang dinyatakan oleh hampir 75 persen keluarga di Indonesia. Demikian juga ketidak tahuan keluarga untuk ikutserta terhadap Program Kampung Siaga Bencana, dinyatakan 76,21 persen keluarga. Ketidak tahuan tersebut menjadikan mereka tidak ikut serta terhadap program-program dimaksud, diluar golongan keluarga mampu, baru pindah dan stasus sebagai PNS. Sistem sumber yang paling dikenal keluarga adalah Karang Taruna sebesar 42,3 persen, Panti Sosial sebesar 28,5 persen dan tenaga Penyuluh Sosial 13,4 persen, dengan pemanfaatan sistem sumber tersebut antara 10 sampai 25 persen dari pengetahuan mereka miliki.
Keberlanjutan kesejahteraan keluarga, maka aset kepemilikan dari keluarga sebagai faktor pendukung kondisi kesejahteraan berupa rumah, tanah, kepemilikan hewan ternak dan barang perhiasan serta tabungan di Bank atau Koperasi dimiliki oleh sebagian kecil keluarga, sementara Hand phone, TV dan motor hampir seluruh keluarga memilikinya.
Kondisi kesehatan keluarga merupakan modal sosial manusia, untuk proses keberlanjutan, hasil survey menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga mengalami gangguan kesehatan, selama tiga bulan terakhir, yang berpengaruh
(10)
diantaranya yang berobat sendiri dengan cara membeli obat ke warung atau meracik obat untuk mengobati penyakitnya.
Relasi sosial keluarga dalam lingkungan, menunjukkan bahwa kegiatan beribadah bersama, perayaan hari besar dan kerja bakti secara signiikan menjadi kegiatan yang banyak dilakukan keluarga. Termasuk memberi pertolongan kepada warga lain jika membutuhkan pertolongan, masih tetap mewarnai keluarga di Indonesia, yakni sebesar 83,04 persen, meski 16,96 persen keluarga tidak memberikan pertolongan kepada warga dengan alasan sakit. Hubungan keluarga dengan lingkungan setempat, secara umum sangat baik berada pada 15,46 persen dan baik pada 78,79 persen.
Perubahan sosial, menyangkut pada rasa aman keluarga dengan kondisi lingkungan saat ini, ditemukan bahwa umumnya keluarga memiliki rasa aman cukup besar, meski ancaman bencana asap dan bencana banjir masih tetap menjadi ancaman dan selain pencurian menjadi kondisi sosial yang mengancam keluarga. Kondisi demograi, keluarga yang diwawancara pada survey ini, sebagian besar kepala keluarga laki-laki daripada perempuan, dengan status perkawinan mereka sudah menikah. Umur kepala keluarga umumnya berada pada usia produktif dan banyak berkedudukan di perkotaan daripada di perdesaan, meski dalam metode yang dirancang jumlah keluarga antara perkotaan dan perdesaan berimbang. Partisipasi keluarga cukup besar terhadap pemilihan umum, dan alasan tidak berpartisipasi terhadap eilihan umum atau kegiatan pemilihan kepala desa, semata karena sibuk bekerja atau bepergian. Meski kebanyakan keluarga yang diwawancara berada diperkotaan namun hasil analisis hubungan keluarga dengan lingkungan setempat, diketahui bahwa kegiatan perayaan hari besar, kerja bakti dan ibadah memiliki hubungan signiikan dengan aktiitas keluarga di lingkungan setempat, sehingga kegiatan tersebut dapat dimanfaatkan untuk intervensi sosial berbasis komunitas.
Hasil analisis gap antara kebutuhan yang dilihat secara obyektif dan pandangan subyektif terhadap pemenuhan kebutuhan, diperoleh gambaran pada hampir sebagian keluarga di Indonesia berada dalam katagori sejahtera. sementara keluarga dengan katagori deprivasi dimana kebutuhan secara obyektif maupun subyektif dalam kondisi buruk, yang ditemukan pada pemenuhan lauk pauk hewani dan nabati dan pemenuhan papan, terutama kondisi lantai dan atap rumah yang buruk. Selain itu masih ditemukan keluarga dengan katagori yang mempersepsi buruk terhadap pemenuhan kebutuhan mereka. padahal kondisi secara obyektif telah memadai atau baik. Katagori keluarga dimaksud
(11)
pemahamannya tentang pemenuhan kebutuhan dimaksud. Sebaliknya juga terdapat keluarga dengan kondisi kebutuhannya secara obyektif buruk tetapi dipersepsi secara subyektif sudah baik, sehingga masuk kedalam katagori adaptif, yang diwujudkan dalam strategi pemenuhan kebutuhannya. Dalam hal ini akses terhadap pemenuhan kebutuhan melalui program perlindungan kesejahteraan sosial, selayaknya diperoleh pada keluarga dengan katagori deprivasi dan disonansi.
Berdasarkan temuan tersebut, peneliti merekomendasikan; Perlunya mengoptimalkan pemenuhan kebutuhan pendidikan dan kesehatan bagi keluarga miskin. Peningkatan pengetahuan masyarakat tentang program Kementerian Sosial melalui Komunikasi-Informasi-Edukasi (KIE). Peningkatkan aksesibilitas keluarga miskin dan penyandang disabilitas terhadap program pelayanan kesejahteraan sosial terutama aksesibilitas terhadap program perlindungan sosial dan program jaminan sosial. Impelementasi program kesejahteraan sosial dengan mengoptimalkan peran aktif Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS), terutama yang ada di tingkat akar rumput, seperti Karang Taruna, Penyuluh Sosial. Perlunya penelitan lanjutan untuk mendalami permasalahan kesejahteraan sosial tingkat kabupaten, kecamatan, sehingga dapat menyediakan base line data aktual tentang permasalahan kesejahteraan sosial, yang digunakan sebagai dasar untuk perumusan kebijakan dan program kesejahteraan sosial.
(12)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR v
KETUA TIM LAPANGAN iii
PEWAWANCARA iii
RINGKASAN EKSEKUTIF vii
DAFTAR ISI xii
DAFTAR TABEL xiv
DAFTAR GAMBAR xvii
BAB I : PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Ruang Lingkup 5
C. Permasalahan Survei 5
D. Tujuan Survei 6
E. Langkah-Langkah 6
F. Organisasi Survei 6
G. Pembiayaan 8
BAB II: METODE SURVEI 9
A. Domain Penelitian 9
B. Kerangka Sampling 9
C. Stratiikasi Wilayah 10
D. Ukuran Sampel 10
E. Alokasi Sampel 11
F. Pengenalan Sketsa Peta Blok Sensus 11
G. Daftar Sampel Rumah Tangga 12
H. Desain Sampling 14
I. Pemilihan Responden 15
J. Pembobotan (Weighting) 15
BAB III : KAJIAN PUSTAKA 17
A. Kesejahteraan Sosial 17
B. Fungsi dan Peranan Keluarga 21
C. Variabel, Indikator dan Parameter Survei 30
BAB IV: HASIL DAN PEMBAHASAN 31
A. Gambaran Umum 31
B. Kualitas Hidup 37
C. Kohesi Sosial 66
D. Keberlanjutan 88
(13)
BAB V: KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 111
A. Kesimpulan 111
B. Rekomendasi 117
(14)
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 : Alokasi Sampel berdasarkan Blok Sensus dan Jumlah
Petugas Pengumpul Data 11
Tabel 2.2: Indirect Estimate Provinsi dan Indonesia 16 Tabel 3.1: Variabel, Indikator dan Parameter Survei 30 Tabel 4.1 : Target dan Realisasi Capaian Responden Secara Nasional 32 Tabel 4.2 : Klasiikasi Wilayah Perdesaan dan Perkotaan
berdasarkan provinsi (%) 35
Tabel 4.3 : Keluarga yang Mengkonsumsi Makanan Pokok
Minimal 2 (dua) kali dalam Seminggu Terakhir. 38 Tabel 4.4 : Frekuensi Keluarga Makan Lauk Pauk Nabati
dalam Seminggu Terakhir 40
Tabel 4.5 : Frekuensi Keluarga Mengkonsumsi Lauk Pauk Hewani
dalam Seminggu Terakhir 41
Tabel 4.6 : Pemenuhan Kebutuhan Pangan 42
Tabel 4.7 : Upaya yang Dilakukan dalam Memenuhi Kebutuhan Pangan 43 Tabel 4.8 : Keluarga Yang Memiliki Pakaian Berbeda 47 Tabel 4.9 : Persentase Keluarga yang Membeli Pakaian Baru
dalam 12 bulan Terakhir 48
Tabel 4.10: Persepsi Responden atas Keterpenuhan Kebutuhan
Pakaian Keluarga 49
Tabel 4.11 : Upaya Pemenuhan Kebutuhan Pakaian 50 Tabel 4.12 : Keluarga dengan Status Penguasaan Bangunan Tempat Tinggal 53
Tabel 4.13 : Luas Lantai Rumah 54
Tabel 4.14 : Jenis Dinding Rumah 55
Tabel 4.15 : Jenis Atap Rumah 57
Tabel 4.16 : Rumah dengan Fasilitas MCK 58
Tabel 4.17 : Sumber Air Bersih Utama Keluarga 59 Tabel 4.18 : Keluarga yang Menggunakan Listrik. 61 Tabel 4.19 : Besarnya Daya Listrik Terpasang Di Rumah 61 Tabel 4.20 : Bahan Bakar/Energi Utama untuk Memasak 62 Tabel. 4.21 : Pemenuhan Kebutuhan Tempat Tinggal. 63 Tabel 4.22 : Upaya yang Dilakukan Untuk Memenuhi Kebutuhan
(15)
Tabel 4.23 : Prosentase Pemenuhan Kebutuhan Biaya Pendidikan
berdasarkan Provinsi. 67
Tabel 4.24 : Alasan Anggota Keluarga Usia 3-6 tahun tidak masuk
pendidikan informal 68
Tabel 4.25 : Alasan anggota Keluarga usia wajib belajar tidak bersekolah 70 Tabel 4.26 : Alasan anggota Keluarga usia 16-21 tahun tidak bersekolah 72 Tabel 4.27 : Alasan anggota keluarga >21 tahun tidak bisa baca tulis 73 Tabel 4.28 : Kepemilikan Kartu Perlindungan Sosial 75 Tabel 4.29 : Prosentase Alasan tidak ikut UEP 76 Tabel 4.30 : Anggota Menjadi Peserta Program Perlindungan Sosial (1) 76 Tabel 4.31 : Prosentase Alasan Tidak Ikut PKH 77
Tabel 4.32 : Alasan Tidak Ikut ASKESOS 78
Tabel 4.33 : Prosentase Alasan Tidak Ikut RASTA 79
Tabel 4.34 : Alasan Tidak Ikut BLSM 80
Tabel 4.35 : Alasan Tidak Ikut BSPS 80
Tabel 4.36 : Alasan Tidak Ikut RUTILAHU 81
Tabel 4.37 : Alasan Tidak Ikut KUBE UEP 82
Tabel 4.38 : Anggota Menjadi Peserta Program Perlindungan Sosial (2) 83 Tabel 4.39 : Alasan Tidak Ikut Program Rehabilitasi Sosial 83 Tabel 4.40 : Alasan Tidak Ikut Program Rehabilitasi Sosial Di Luar Panti 84 Tabel 4.41 : Alasan Tidak Ikut Program Keserasian Sosial 85 Tabel 4.42 : Alasan Tidak Ikut Program Kampung Siaga Bencana 86 Tabel 4.43 : Pengetahuan dan Pemanfaatan Potensi dan Sumber
Kesejahteraan Sosial 87
Tabel 4.44 : Rasa Aman Keluarga dengan Kondisi Lingkungan Alam 89 Tabel 4.45 : Upaya Keluarga dalam Mengatasi Kondisi Alam
Yang Tidak Aman 90
Tabel 4.46 : Rasa Aman Keluarga dari Peristiwa, dalam Setahun Terakhir 91 Tabel 4.47 : Keluarga yang Mengalami Gangguan Kesehatan dalam
Tiga Bulan Terakhir Dan Pengaruhnya Terhadap
Aktivitas Sehari-Hari 92
Tabel 4.48 : Upaya dilakukan keluarga akibat Terganggunya aktivitas
sehari-hari anggota keluarga 93
Tabel 4.49 : Alasan Keluarga Mengatasi Gangguan Kesehatan dengan
(16)
Tabel 4.51: Upaya yang dilakukan keluarga bila pemenuhan kebutuhan biaya kesehatan keluarga sangat tidak
terpenuhi, tidak terpenuhi dan kurang terpenuhi 96 Tabel 4.52 : Prosentase Anggota Keluarga Mengikuti Rapat
di Lingkungan RT/RW dan Alasan Tidak Mengikuti Rapat 99 Tabel 4.53: Prosentase Anggota Keluarga Mengikuti Arisan dan
Alasan Tidak Mengikuti Arisan 99
Tabel 4.54 : Prosentase Anggota Keluarga Mengikuti Ibadah Bersama
dan Alasan Tidak Mengikuti Ibadah Bersama 100 Tabel 4.55 : Prosentase Anggota Keluarga Mengikuti Kerja Bhakti
dan Alasan Tidak Mengikuti Kerja Bhakti 101 Tabel 4.56 : Prosentase Anggota Keluarga Mengikuti Siskamling
dan Alasan Tidak Mengikuti Siskamling 102 Tabel 4.57 : Prosentase Anggota Keluarga Mengikuti Perayaan Hari
Besar dan Alasan Tidak Mengikuti Perayaan Hari Besar 103 Tabel 4.58 : Prosentase Anggota Keluarga Mengikuti Posyandu/PKK/
Pos Lansia dan Alasan Tidak Mengikuti Posyandu/PKK/
Pos Lansia 104
Tabel 4.59 : Prosentase Hubungan Keluarga dengan Lingkungan Setempat 105 Tabel 4.60 : Prosentase Anggota Keluarga Memberi Pertolongan pada
Warga Lain Selama 12 bulan terakhir dan Alasan Tidak
Memberi Pertolongan pada Warga Lain 107
Tabel 4.61 : Prosentase Partisipasi pada Pemilu Terakhir dan
Alasan tidak memberikan suara 108
Tabel 4.62 : Prosentase Partisipasi pada Pilkada Terakhir dan alasan
tidak memberikan suara. 109
Tabel 4.63 : Prosentase Partisipasi pada Pemilihan lokal dan alasan
(17)
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 : Peta Blok Sensus 12
Gambar 2.2 : Daftar Sampel Rumah Tangga (DSRT) 13 Gambar 2.3 : Daftar Sampel Blok Sensus (DSBS) 14 Gambar 4.1 : Contoh Kondisi Lokasi survei di wilayah berasap 32 Gambar 4.2 : Contoh Kondisi Geograis Lokasi Survei 34 Gambar 4.3 : Klasiikasi Wilayah Perdesaan dan Perkotaan 35 Gambar 4.4 : Responden Menurut Kelompok Umur 36 Gambar 4.5 : Responden Menurut Jenis Kelamin. 36 Gambar 4.6 : Responden Menurut Status Perkawinan 36 Gambar 4.7 : Keluarga makan lauk pauk nabati dalam Seminggu Terakhir 39 Gambar 4.8 : Keluarga yang Mengkonsumsi Lauk Pauk Hewani
dalam Seminggu Terakhir 41
Gambar 4.9 : Pemenuhan Kebutuhan Pangan secara Nasional 43 Gambar. 4.10 : Analisis “Gap” Pemenuhan Kebutuhan Pangan 44
Gambar 4.11 : Pemenuhan Makanan Pokok 45
Gambar 4.12 : Pemenuhan Lauk Pauk Nabati 46
Gambar 4.13 : Pemenuhan Lauk Pauk Hewani 46
Gambar 4.14 : Kepemilikan Pakaian 51
Gambar 4.15 : Membeli Pakaian Baru 51
Gambar 4.16 : Jumlah (stel) pakaian yang dimiliki 51
Gambar 4.17 : Lantai Rumah Bukan Tanah 54
Gambar 4.18 : Kondisi Dinding Rumah dalam Kondisi Bagus 56
Gambar 4.19 : Kondisi Atap Rumah Bagus 57
Gambar 4.20 : Mengkonsumsi Air Bersih Utama dengan Membeli 60 Gambar 4.21 : Pemenuhan Kebutuhan Tempat Tinggal Keluarga
Secara Nasional 63
Gambar 4.22 : Analisis Gap Jenis Lantai Rumah 65 Gambar 4.23 : Analisis Gap Kondisi Atap Rumah 65 Gambar 4.24 : Pemenuhan Kebutuhan Biaya Pendidikan secara Nasional 66 Gambar 4.23 : Alasan Anggota Keluarga Usia 3-6 tahun tidak masuk
(18)
Gambar 4.24 : Alasan anggota keluarga usia wajib belajar tidak bersekolah 71 Gambar 4.25 : Alasan anggota keluarga usia 16-21 tahun tidak bersekolah 73 Gambar 4.26 : Alasan anggota keluarga usia 16-21 tahun tidak bisa baca tulis. 74 Gambar 4.28 : Pemenuhan Kebutuhan Kesehatan 95
Gambar 4.29 : Aset Kepemilikan Keluarga 88
Gambar 4.31: Upaya pemenuhan kebutuhan kesehatan pada
keluarga kurang terpenuhi 97
Gambar 4.32 : Partisipasi keluarga dalam Kegiatan lingkungan 98 Gambat 4.33 : Hubungan Keluarga dengan lingkungan setempat. 105
(19)
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pembangunan kesejahteraan sosial sebagai bagian tidak terpisahkan dari pembangunan nasional, dilaksanakan untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dan berkesejahteraan sosial. Penyelenggaraan kesejahteraan sosial di Indonesia dilandasi oleh Undang-Undang Dasar 1945, mengamanatkan negara mempunyai tanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Secara tegas tercantum pada (a) Pasal 27 ayat (2) bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan; (b) Pasal 33 ayat (3), bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; dan (c) Pasal 34 ayat (1), bahwa “fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara dan ayat (2) negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Ayat (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.
Berdasarkan amanat Undang-Undang tersebut, pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015 2019, visi yang akan dicapai Negara dan Pemerintah Republik Indonesia, yaitu: berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong. Arah Kebijakan Nasional pada RPJM III (2015 – 2019) dilaksanakan dalam rangka mewujudkan RPJPN 2005 – 2025, yaitu Pembangunan Keunggulan Kompetitif Perekonomian yang berbasis: Sumber Daya Alam (SDA) yang tersedia, Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan Kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek).
Pada saat ini pemerintah menetapkan agenda prioritas nasional, yang kemudian di kenal dengan Nawa Cita. Dari 9 (sembilan) agenda pokok pembangunan, Kementerian Sosial melaksanakan 4 (empat) agenda
(20)
Pengurangan kemiskinan dan kesenjangan; dengan arah dan strategi untuk peningkatan perlindungan, produktivitas, dan pemenuhan hak dasar penduduk kurang mampu, perluasan dan peningkatan pelayanan dasar untuk masyarakat kurang mampu. Agenda Kelima:“Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia” dengan arah dan strategi jaminan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia. Agenda Kedelapan,“melakukan revolusi karakter bangsa”. Agenda Kesembilan, “Memperteguh ke-bhineka-an dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.” meningkatkan pembudayaan kesetiakawanan sosial dalam penyelenggaraan perlindungan sosial. Arah strategis: peningkatan penyuluhan sosial untuk pendidikan dan kesadaran masyarakat. Peran dan fungsi Kementerian Sosial akan dilaksanakan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup dan daya saing penduduk terutama kelompok miskin dan rentan, penyandang disabilitas, lanjut usia, serta kelompok marginal lainnya. Hal ini dilandasi dengan semangat kegotong-royongan dan kesetiakawanan sosial yang merupakan kepribadian bangsa Indonesia yang telah ada sejak lama.
Sejalan dengan Nawa Cita tersebut, dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial dan penanganan fakir miskin, telah tersedia peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin; Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Upaya Penanganan Fakir Miskin Melalui Pendekatan Wilayah. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota. Selanjutnya, pada Rencana Strategi (Renstra) Kementerian Sosial Tahun 2015-2019, di dalamnya memuat substansi pengembangan sistem perlindungan sosial yang mapan, komprehensif, berkesinambungan dan merupakan perpaduan sinergis antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta antar sektoral untuk meringankan dampak kemiskinan dan kemelaratan. Selanjutnya, pada Renstra tersebut permasalahan sosial dikelompokan sebagai berikut:
1. Permasalahan sosial yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi penduduk miskin dan rentan serta kelompok marjinal lainnya.
2. Permasalahan sosial yang berkaitan dengan perlindungan sosial yang belum komprehensif, termasuk membedakan antara asistensi reguler
(21)
3. Permasalahan sosial yang berkaitan dengan ketimpangan akses dan penjangkauan pelayanan dasar.
4. Permasalahan sosial yang berkaitan dengan terbatasnya akses penduduk miskin dan rentan dalam mengembangkan penghidupan secara berkelanjutan.
5. Permasalahan yang berkaitan dengan sumber daya manusia dan kelembagaan penyelenggara kesejahteraan sosial.
Berbagai permasalahan sosial tersebut merupakan tantangan dan sekaligus menjadi ancaman bagi kelangsungan pembangunan nasional, dan oleh karena itu negara dan pemerintah perlu menempuh kebijakan dan langkah-langkah strategis guna mengatasi permasalahan sosial tersebut. Hal ini sebagaimana tersurat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, yang memberikan mandat kepada negara dan pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berkaitan dengan upaya mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009, Pasal 1 Ayat (2) menegaskan bahwa penyelenggaraan kesejahteraan sosial dimaknai sebagai upaya terarah, terpadu dan berkelanjutan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial.
Undang-undang dan agenda pembangunan nasional tersebut merupakan dasar hukum dan landasan operasional penyelenggaraan kesejahteraan sosial di Indonesia. Secara eksplisit, negara dan pemerintah memperoleh mandat untuk bertanggung jawab mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kemudian, Kementerian Sosial sebagai representasi pemerintah yang tugas dan fungsinya menyelenggarakan kesejahteraan sosial, mendapatkan mandat untuk mengembangkan kebijakan dan program-program yang responsif terhadap kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi rakyat Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa penyelenggaraan kesejahteraan sosial masih dihadapkan dengan berbagai tantangan yang kompleks. Kemajuan teknologi industri dan informasi, memang dirasakan memberikan keuntungan bagi peningkatan dan pertumbuhan ekonomi. Tetapi pada sisi yang lain, kemajuan-kamajuan tersebut membawa dampak yang tidak
(22)
Situasi tersebut memerlukan respon yang cepat dan tepat, agar permasalahan dan tantangan tersebut tidak mengganggu dan menjadi ancaman penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Sehubungan dengan itu, maka kebijakan dan program yang penyelenggaraan kesejahteraan sosial harus berbasis pada isu-isu strategis, sehingga mampu menjawab kebutuhan dan mengatasi permasalahan sosial yang dirasakan masyarakat. Pada kerangka inilah, maka setiap kebijakan dan program kesejahteraan sosial harus berbasis pada hasil-hasil penelitian.
Agar dapat merancang kebijakan dan program-program dimaksud, maka diperlukan survei sesuai dengan kondisi faktual masyarakat. Survei diarahkan untuk menjawab, apakah kebijakan dan program kesejahteraan sosial sudah menjawab status kesejahteraan sosial masyarakat Indonesia, dan apakah kebijakan dan program tersebut sudah menjelaskan kehadiran negara dalam mengatasi permasalahan. Maka dalam kerangka inilah survei itu menempati posisi yang sangat penting.
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar (SKSD) merupakan langkah yang ditempuh untuk menjawab permasalahan di atas. Survei ini sangat penting karena akan menghasilkan data dan informasi yang bersifat komprehensif guna menjawab permasalahan sosial di masyarakat.
Selama ini telah dilakukan penelitian-penelitian, akan tetapi bersifat parsial, sehingga tidak mampu menjawab dan mengatasi permasalahan secara tuntas. Adapun penelitian yang sudah dilakukan Puslitbangkesos antara lain : Pertama, Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (Suradi dkk, 2007, 2013). Kedua, Penanggulangan Kemiskinan melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE) sebagai sebuah model (Roebiyanto dkk, 2011), Kesesuaian Bantuan bagi anggota KUBE (Mujiyadi, 2007), Program Rutilahu (Suradi dkk, 2012) dan Program Raskin (Sitepu dkk, 2014). Ketiga, Peningkatan Kapasitas Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial tentang posisi strategis tenaga kesejahteraan sosial kecamatan (TKSK) dalam pelayanan sosial langsung (Sutaat dkk, 2013) dan Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3) eksistensinya diperlukan masyarakat (Setiti dan Hadi, 2009). Keempat, Rehabilitasi Sosial Orang Dengan Kecacatan yang memberikan dampak positif (Roebiyanto dkk, 2012). Kelima, Pelayanan Sosial Lanjut Usia mampu meningkatkan kesejahteraan sosial (Sumarno dkk, 2011). Keenam, Pelayanan Sosial Anak Telantar melalui Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) membantu pendidikan anak, terutama untuk peralatan sekolah, buku pelajaran dan pakaian seragam (Astuti dkk,
(23)
terjadinya konlik sosial antara kelompok masyarakat (Sumarno dan Roebiyanto, 2013). Kedelapan, Program Keluarga Harapan memberikan dampak positif terhadap kondisi kehidupan Keluarga (Nainggolan dkk, 2012) dan pendamping PKH telah menunjukkan kinerjanya dengan baik, baik pada aspek administratif maupun teknis (Habibullah dan Noviana, 2013). Kesembilan, Asuransi Kesejahteraan Sosial memberikan dampak positif terhadap penerima program (Muhtar dan Habibullah, 2009).
Hasil-hasil penelitian tersebut merupakan penelitian yang dilaksanakan di beberapa lokasi, sehingga belum dapat menggambarkan penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara nasional. Meskipun demikian, data dan informasi yang dihasilkan melalui penelitian tersebut, dapat menjadi inspirasi dan bahan dalam penyempurnaan program kesejahteraan sosial. Sedangkan dalam rangka perumusan dan pengembangan kebijakan nasional, diperlukan data dan informasi yang dapat menjelaskan status atau kondisi kesejahteraan sosial keluarga Indonesia.
Sampai saat ini, data makro spesiik kesejahteraan sosial keluarga di Indonesia belum tersedia. Oleh karena itu, Survei Kesejahteraan Sosial Dasar (SKSD), merupakan langkah strategis karena akan menghasilkan data dan informasi status kesejahteraan sosial keluarga di Indonesia secara nasional. Hasil survei ini nantinya akan digunakan sebagai baseline data nasional dan provinsi dalam merumuskan kebijakan dan program kesejahteraan sosial nasional maupun provinsi terpilih.
B. RUANG LINGKUP
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar (SKSD) difokuskan pada mengumpulkan data dan informasi berbasis keluarga untuk mengetahui kondisi kesejahteraan sosial dasar tingkat nasional dan provinsi terpilih. Ruang lingkup SKSD ini meliputi 4 (empat) variabel, yaitu:
1. Kualitas hidup 2. Kohesi sosial 3. Keberlanjutan, dan 4. Perubahan sosial. C. PERMASALAHAN SURVEI
Permasalahan SKSD dirumuskan ke dalam pertanyaan penelitian, yaitu: 1. Bagaimana kualitas hidup keluarga secara nasional dan di provinsi
(24)
2. Bagaimana kohesi sosial keluarga secara nasional dan di provinsi terpilih ?
3. Bagaimana keberlanjutan keluarga secara nasional dan di provinsi terpilih ?
4. Bagaimana dimensi perubahan sosial keluarga secara nasional dan di provinsi terpilih ?.
D. TUJUAN SURVEI
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar (SKSD) dimaksudkan untuk menyediakan data dan informasi tentang kondisi kesejahteraan sosial keluarga secara nasional dan di provinsi terpilih. Adapun tujuan yang akan dicapai adalah: 1. Menyediakan data dan informasi tentang kualitas hidup keluarga secara
nasional dan di provinsi terpilih ?
2. Menyediakan data dan informasi tentang kohesi sosial keluarga secara nasional dan di provinsi terpilih ?
3. Menyediakan data dan informasi tentang keberlanjutan keluarga secara nasional dan di provinsi terpilih ?
4. Menyediakan data dan informasi tentang dimensi perubahan sosial keluarga secara nasional dan di provinsi terpilih ?.
E. LANGKAH-LANGKAH
Langkah-langkah pelaksanaan SKSD adalah: 1. Penyusunan Protokol
2. Penyusunan Metodologi
3. Penyusunan dan Uji Coba Instrumen 4. Sosialisasi dan Asistensi ke 4 Korwil
5. Seleksi rekruitmen Ketua Tim dan pengumpul data 6. Pemantapan Ketua Tim dan Pewawancara
7. Pengumpulan data
8. Pengolahan dan analisis data 9. Penulisan laporan
F. ORGANISASI SURVEI
Dasar hukum pelaksanaan SKSD 2015 adalah Keputusan Kepala Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial Nomor 05/BKS/ SK/05//2015 Tanggal 5 Mei 2015 tentang Pelaksanaan Survei Kesejahteraan
(25)
Sosial Dasar Tahun 2015, terdiri dari Tim Penasehat dan Pengarah, Tim Teknis Penelitian Pelaksanaan, sebagai berikut:
1. Tim Penasehat dan Pengarah Pelaksanaan Survei.
No Nama Jabatan dalam Instansi Jabatan dalam Tim
1. Dra. Khoifah Indar Parawansa, M.Si
Menteri Sosial Republik Indonesia Ketua 2. Mu’man Nuryana, M.Sc,
Ph.D
Kepala Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial
Sekretaris 3. Drs. Toto Utomo Budi
Santosa, M.Si
Sekretaris Jenderal Anggota
4. Karun, AK Inspektur Jenderal Anggota
5. Drs. Hartono Laras, M.Si Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan
Kemiskinan
Anggota
6. Drs. Samsudi, MM Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Anggota 7. Dr. Ir. Andi Zaenal Abidin
Dulung, Mconst, M.Sc
Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial
Anggota
2. Tim Teknis Penelitian Pelaksanaan Survei.
No Nama Jabatan dalam Instansi Jabatan dalam Tim
1. Prof. AdiFahrudin, M.Soc. Sc., Ph.D
Guru Besar Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Muhammadiyah, Jakarta
Pembimbing 2. Dr. Ir. Harry Hikmat, M.Si Staf Ahli Menteri Bidang Dampak
Sosial
Pembimbing 3. Dra. Alit Kurniasari,
M.PM
Peneliti Madya pada Puslitbangkesos Ketua 4. Drs. Badrun Susantyo,
M.Si, Ph.D
Peneliti Madya pada Puslitbangkesos Sekretaris 5. Drs. Suradi, M.Si Peneliti Utama pada Puslitbangkesos Anggota 6. Dr. Hari Harjanto
Setiawan, AKS, M.Si
Peneliti Madya pada Puslitbangkesos Anggota 7. Drs. Anwar Sitepu,M.PM Peneliti Madya pada Puslitbangkesos Anggota 8. Drs. Nurdin Widodo, M.Si Peneliti Madya pada Puslitbangkesos Anggota 9. Dra. Husmiati, M.Soc.,
Ph.D
Peneliti Madya pada Puslitbangkesos Anggota 10. Nyi R Irmayani, SH, M.Si Peneliti Muda pada Puslitbangkesos Anggota 11. Habibullah, S.Sos.,
M.Kesos
(26)
3. Konsultan teknis
No Nama Instansi Jabatandalam Tim
1. Muhardi Kahar, S.Si, M.Si Badan Pusat Statistik KonsultanTeknis
2. Dr. Heru Prasadja Unika Atmajaya KonsultanTeknis
4. Tim Manajemen
Tim manajemen terdiri dari seluruh struktural dan staf Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial.
5. Tim Pengumpul Data
Tim Pengumpul data terdiri dari Ketua Tim dan Pewawancara. Ketua Tim direkrut dari Peneliti Puslitbangkesos, Dosen Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS), Widyaiswara Pusdiklatkesos dan Balai Diklatkesos, Pekerja Sosial Panti Sosial dan praktisi Pekerjaan Sosial sebanyak 46 orang. Tim Pewawancara direkrut dari Sakti Peksos, Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK), mahasiswa jurusan kesejahteraan sosial, praktisi kesejahteraan sosial, sebanyak 270 orang. Setiap tim pengumpul data terdiri dari 5-6 orang pewawancara yang diketuai oleh seorang ketua tim. Kualiikasi tim pengumpul data minimal berpendidikan sarjana (S1) Kesejahteraan Sosial.
6. Tim Pengolah Data
Tim pengolah data direkrut dari ketua tim dan pewawancara yang memiliki latar belakang keterampilan mengolah data dengan menggunakan program excel dan SPSS sebanyak 15 orang.
G. PEMBIAYAAN
Seluruh biaya yang dikeluarkan pada Survei Kesejahteraan Sosial Dasar (SKSD) ini dibebankan pada DIPA Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Tahun 2015.
(27)
BAB II METODE SURVEI
A. DOMAIN PENELITIAN
Domain penelitian SKSD ini adalah nasional dan beberapa provinsi di Indonesia, dengan level penyajian hasil penelitian adalah nasional dan provinsi. SKSD adalah survei yang secara umum meneliti dan mencakup aspek kesejahteraan di bidang material, spritual, dan aspek sosial. Sebaran sampel diutamakan dapat mewakili daerah perkotaan dan pedesaan, kepadatan/jumlah penduduk, dan daerah pantai/bukan pantai, karena aspek kesejahteraan berkorelasi dengan aspek lingkungan dan kewilayahan. B. KERANGKA SAMPLING
Kerangka sampel disusun berdasarkan unit sampel yang akan dipilih dalam survei ini. Unit sampel yang akan dipilih dalam survei ini adalah provinsi, kabupaten/kota, blok sensus Susenas Maret 2015, dan rumah tangga hasil pemutakhiran Susenas Maret 2015.
• Provinsi selanjutnya disebut sebagai Primary Sampling Unit (PSU) adalah daftar provinsi di setiap strata regional wilayah dilengkapi dengan jumlah rumah tangga hasil pencacahan SP2010.
• Kabupaten/kota selanjutnya disebut sebagai Secondary Sampling Unit (SSU) adalah daftar kabupaten/kota yang dilengkapi dengan jumlah rumah tangga hasil pencacahan SP2010.
• Blok Sensus Susenas Maret 2015 adalah daftar blok sensus terpilih Susenas Maret 2015, yang dipisahkan menurut daerah perkotaan dan pedesaan.
• Rumah tangga adalah daftar rumah tangga dalam setiap blok sensus terpilih hasil pemutakhiran rumah tangga Susenas. Rumah tangga terpilih SKSD tidak akan sama dengan rumah tangga Susenas.
• Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (UU No. 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga). Dalam SKSD 2015 apabila seseorang yang pernah kawin (tanpa pasangan atau anak) disebut sebagai keluarga.
(28)
C. STRATIFIKASI WILAYAH
Pemilihan provinsi mewakili 5 (lima) regional wilayah yaitu : Sumatera, Jawa Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Untuk menjamin keterwakilan wilayah sesuai domain penelitian setiap provinsi, maka sebaran kabupaten/kota akan dikelompokkan berdasarkan populasi blok sensus atau rumah tangga menurut:
• Desa dan kota
• Tingkat kepadatan penduduk • Jumlah rumah tangga
• Daerah pantai bukan pantai D. UKURAN SAMPEL
Pada penarikan sampel simple random sampling ukuran sampel optimum yang diperlukan untuk menduga proporsi (prevalensi) P, ditentukan oleh bound of error b atau presisi yang diinginkan, yaitu adalah :
Angka prevalensi (P) sebagai prior guess adalah 0,50 (50%), pada 95 % level of conidence . Dengan memperhatikan rumus diatas, maka satu parameter lain yang harus ditentukan adalah bound of error atau margin of error atau moe (b) yang diinginkan. Berkaitan rancangan survei yang menggunakan cluster, maka ukuran sampel harus dikalikan dengan def (design efect) yang merupakan rasio antara varians dibawah cluster design dan SRS design. Besarnya nilai def yang ditetapkan adalah 2,0. Ukuran sampel optimum ini harus dikoreksi dengan response rate (r) sebesar 95%. Dengan margin of error 1% maka minimum sampel size yang dibutuhkan untuk estimasi nasional adalah 17.000 rumah tangga. Karena jumlah sampel per blok sensus adalah 10 rumah tangga maka jumlah sampel blok sensus yang diperlukan adalah sebesar 1.700 blok sensus secara nasional. Sampel 1.700 blok sensus selanjutnya akan dialokasikan ke setiap provinsi terpilih secara proporsional. Estimasi untuk provinsi terpilih dan nasional, karena provinsi dipilih secara probability sampling. Untuk menjamin keterwakilan sampel maka blok sensus dipilih independen antara daerah perkotaan dan daerah pedesaan.
(29)
E. ALOKASI SAMPEL
Alokasi sampel berdasarkan alokasi blok sensus dan kab/kota per provinsi adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1 : Alokasi Sampel berdasarkan Blok Sensus dan Jumlah Petugas Pengumpul Data
Provinsi
Sampel Sampel
BS Sampel JUMLAH Kelg @ 10
kelg
Kab/
Kota Kec KT PW
SUMATERA UTARA 1,700 170 6 83 5 30
RIAU 800 80 4 37 2 12
LAMPUNG 1,000 100 4 50 3 18
JAWA BARAT 3,200 320 13 225 9 54
JAWA TIMUR 2,600 260 12 158 6 36
BALI 300 30 3 15 1 6
KALIMANTAN BARAT 1,400 140 4 43 4 24
KALIMANTAN TIMUR 1,000 100 3 32 3 18
SULAWESI SELATAN 2,200 220 7 75 5 30
SULAWESI BARAT 400 40 2 20 1 6
NUSA TENGGARA BARAT 2,100 210 5 55 5 30
PAPUA BARAT 300 30 2 13 2 12
INDONESIA 17,000 1,700 65 806 46 276
F. PENGENALAN SKETSA PETA BLOK SENSUS
Peta Blok Sensus atau disebut SP2010-WB adalah peta yang dibuat pada persiapan SP2010. Peta ini dalam SKSD digunakan sebagai dasar untuk mengenali wilayah kerja petugas lapangan. Dalam peta tersebut sudah tercantum legenda, landmark, dan posisi bangunan isik/sensus yang dapat digunakan oleh petugas untuk menelusuri/mengidentiikasi lokasi rumah tangga terpilih. Seiring dengan perubahan keadaan sejak 2010, maka untuk praktisnya maka kegunaan peta blok sensus adalah untuk mengenali batas-batas blok sensus dimaksud. Identiikasi sampel rumah tangga sudah tertera di daftar sampel rumah tangga melalui identiikasi nama kepala rumah tangga, alamat, dan sebagainya.
(30)
Gambar 2.1: Peta Blok Sensus
G. DAFTAR SAMPEL RUMAH TANGGA
Kerangka sampel yang digunakan untuk pemilihan rumah tangga adalah daftar rumah tangga biasa hasil pemutakhiran Susenas Maret 2015. Ukuran sampel rumah tangga yang dipilih di setiap blok sensus terpilih (DSBS) adalah 10 rumah tangga. Namun, untuk mengantisipasi adanya nonresponse disediakan cadangan sampel sebanyak 5 (lima) rumah tangga per blok sensus sehingga dalam setiap blok sensus terpilih akan di-generate 15 sampel rumah tangga yang terdiri dari 10 sampel utama dan 5 sampel cadangan. Pencacahan harus dilakukan terhadap 10 sampel utama dahulu, ketika dari 10 sampel utama tersebut ternyata ada rumah tangga yang tidak dapat diwawancarai maka harus diganti dengan sampel cadangan. Sampel cadangan yang dipilih untuk menggantikan sampel utama yang nonresponse harus sesuai dengan urutannya. Misalkan, dari 10 sampel utama ternyata ada 2 (dua) rumah tangga yang tidak bisa diwawancarai, maka sampel penggantinya adalah sampel nomor urut 11 dan 12 (sampel cadangan ke-1 dan ke-2). Berikut contoh DSBS dan DSRT :
(31)
(32)
Gambar 2.3 : Daftar Sampel Blok Sensus (DSBS)
H. DESAIN SAMPLING
Metode sampling yang digunakan dalam survei ini adalah sampling lima tahap berstrata. Tahapan pemilihan unit sampel sebagai berikut:
• Tahap 1: memilih sejumlah provinsi secara Probability Proportional to Size. Size yang digunakan adalah jumlah rumah tangga hasil pencacahan SP2010.
• Tahap 2: memilih sejumlah kabupaten/kota secara Probability Proportional to Size. Size yang digunakan adalah jumlah rumah tangga hasil pencacahan SP2010. Pemilihan Kab/Kota dilakukan dengan mempertimbangkan sebaran wilayah berdasarkan urban/rural/pantai/ bukan pantai.
• Tahap 3: memilih sejumlah blok sensus pada setiap kab/kota terpilih secara sistematik dari daftar blok sensus terpilih SUSENAS Maret 2015.
(33)
• Tahap 4: memilih 10 rumah tangga dari 15 rumah tangga di DSRT yang sudah dipilih secara sistematik berdasarkan hasil pemutakhiran Maret 2015 (berbeda dengan rumah tangga SUSENAS Maret 2015).
• Tahap 5: memilih keluarga menjadi responden. Apabila dalam rumah tangga ada lebih dari satu keluarga, maka dipilih dengan cara random. I. PEMILIHAN RESPONDEN
Responden adalah kepala keluarga/ rumah tangga. Biasanya satu rumah tangga adalah 1 keluarga. Responden diharapkan mewakili karakteristik kesejahteraan keluarga tersebut. Dengan demikian tidak ada kesulitan dalam proses pemilihan responden. Jika dalam satu rumah tangga terdapat lebih dari satu keluarga, maka dilakukan pemilihan satu keluarga. Proses pemilihan satu keluarga dari sejumlah keluarga menggunakan proses randomisasi, sebagai berikut:
• Tentukan jumlah keluarga dalam rumah tangga misalkan N, berikan nomor urut berdasarkan usia kepala keluarga, dimulai dari keluarga dengan usia kepala keluarga tertua.
• Catat nomor urut sampel rumah tangga termasuk rumah tangga cadangan (1-15)
• Selanjutnya memilih keluarga secara random dengan cara undian. J. PEMBOBOTAN (Weighting)
Berdasarkan metode sampling yang direncanakan, hasil pembobotan (weighting) dan estimasi keluarga di provinsi terpilih dan nasional seperti berikut:
(34)
Tabel 2.2: Indirect Estimate Provinsi dan Indonesia
Level Rata Keluarga
Populasi Rmh Tangga
Jml Rmh Tangga
Weight Prop
Est Keluarga
12. SUMATERA UTARA 1.19 3266792 1544 2518 3887482
14. RIAU 1.12 1532031 605 2836 1715875
18. LAMPUNG 1.08 2066014 955 2336 2231295
32. JAWA BARAT 1.15 12458771 3083 4647 14327587
35. JAWA TIMUR 1.17 10754344 2338 5382 12582582
51. BALI 1.17 1102843 225 5735 1290326
52. NUSA TENGGARA BARAT
1.19 1348128 1870 858 1604272
61. KALIMANTAN BARAT
1.11 1118359 1257 988 1241378
64. KALIMANTAN TIMUR
1.13 856720 880 1100 968094
73. SULAWESI SELATAN
1.15 1961492 1826 1235 2255716
76. SULAWESI BARAT 1.21 287681 398 875 348094
91. PAPUA BARAT 1.15 193654 300 742 222702
Indirect Estimate Indonesia
Level Rata Keluarga
Populasi Rmh Tangga
Jml Rmh
Tangga Weight Nas
Est Keluarga TOTAL 1.15 65785334 15281 4951 75653134 Sumber: BPS 2015
(35)
BAB III KAJIAN PUSTAKA
A. KESEJAHTERAAN SOSIAL
Kesejahteraan sosial dideinisikan dalam berbagai perspektif, yaitu (1) kesejahteraan sosial sebagai sebuah aktivitas atau sistem yang terorganisasi, (2) sebagai kondisi sejahtera dan (3) sebagai disiplin ilmu (Suharto, 2005; Adi, 2008; Fahrudin, 2013). Memperhatikan perspektif dalam mendeinisikan kesejahteraan sosial, maka deinisi kesejahteraan sosial yang digunakan di dalam survei ini, yaitu kesejahteraan sebagai kondisi sejahtera (well-being). Konsep kesejahteraan sosial yakni suatu keadaan yang lebih baik, kebahagiaan dan kemakmuran yang terdiri dari tiga elemen yang sangat penting yaitu:
A condition of social welfare (or social well-being) is conceived of as comprising three elements. hey are, irst, the degree to which social problems are to managed, second, the extent to which needs are met and inally, the degree to which opportunities for advancement a provided. hese three elements apply to individuals, families, groups, communities and even whole societies. (Midgley, 1995).
Dikemukakan oleh Midgley et.al. bahwa kesejahteraan sosial sebagai “a condition or state of human wel-being”. Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal dan pendapatan dapat dipenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari risiko-risiko utama yang mengancam kehidupannya. Suharto, dkk. (2003), mendeinisikan kesejahteraan sosial sebagai kemampuan orang (individu, keluarga, kelompok dan masyarakat) dan sistem sosial (lembaga dan jaringan sosial) dalam memenuhi/merespon kebutuhan dasar, melaksanakan peranan sosial, serta menghadapi goncangan dan tekanan (shocks and stresses). Kebutuhan dasar berkaitan dengan pendapatan, pendidikan dan kesehatan. Peranan sosial dimaksud sesuai dengan status sosial, tugas-tugas dan tuntutan norma lingkungan sosialnya. Kemudian, goncangan dan tekanan terkait dengan masalah psikososial dan krisis ekonomi.
(36)
dilakukan oleh kelompok-kelompok ilantropi, dan juga bukan bantuan publik yang diberikan oleh pemerintah. Kesejahteraan sosial akan terjadi ketika keluarga, masyarakat semua mengalami kesejahteraan sosial. Sejalan dengan pendapat tersebut Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial sebagai berikut: “Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya”
Mengacu pada konsep tersebut, maka kesejahteraan merupakan suatu hal ideal yang ingin dicapai oleh setiap orang. Usaha untuk mencapai kesejahteraan tak dapat berjalan secara mulus, tetapi terdapat berbagai hambatan dan kendala. Demikian pula untuk mengukur sejauh mana tingkat kesejahteraan seseorang atau sekelompok orang agak sulit untuk menentukan indikatornya. Meskipun demikian pemerintah berusaha memberikan garis kebijakan sebagai kerangka acuan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan seseorang. Kesejahteraan anak tidak terlepas pula dengan bagaimana pola pengasuhan terhadap anak. Sejalan dengan hal tersebut diatas, tujuan kesejahteraan sosial menurut Zastrow adalah :
“he goal of social welfare is to fulill the social, inancial, health, and recreational requierements of all individuals in a society. Social welfare seeks to enhance the social functioning of all age groups, both rich and poor.When nother institutions in our society, such as the market economy and the family, fail at times to meet the basic needs of individuals or groups of people, then social services are needed and demanded (Zastrow, 2004).
Jadi, kesejahteraan menurut Zastrow (2004) adalah memenuhi kebutuhan sosial, inansial kesehatan dan rekreasional bagi individu dalam masyarakat. Haryanto dan Tomagola (1997), menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan dasar (basic needs), dan yang termasuk ke dalam jenis-jenis kebutuhan dasar, yaitu: pangan, sandang, papan dan kesehatan. Kemudian, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin mendeinisikan kebutuhan dasar adalah kebutuhan pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan / atau pelayanan sosial. Berdasarkan pengertian tersebut, kebutuhan material merupakan kebutuhan manusia yang berkaitan dengan aspek isiologis. Apabila manusia sudah mampu memenuhi kebutuhannya, maka akan
(37)
dengan hidup layak, yaitu: 1) Economic wellbeing: memiliki pendapatan cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar, 2) BeingHealthy: isik, mental sehat dan hidup sehat. 3) Staying Safe: hidup aman, dari bahaya dan eksploitasi dan mampu memelihara keamanan diri. Selain mampu hidup layak, manusia yang sudah mampu memenuhi kebutuhan akan mampu mengembangkan dirinya. Dikemukakan oleh Payne (2007), bahwa yang dimaksud dengan mampu mengembangkan diri, yakni: 1) Enjoying dan achieving: hidup bahagia dan mengembangkan keterampilan-keterampilan yang berguna bagi kehidupannya, 2) Making positive contribution: kemampuan berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan dan kontribusi pada masyarakat.
Selanjutnya, konsep keberfungsian sosial dikemukakan oleh Siporin (Fahrudin, 2012) mendeinisikan keberfungsian sosial sebagai berikut: social functioning refers to the way individuals or collectivities (families, associations, communities and soon) behave in order to carry out their life task and meer their needs. Kemudian, Skidmore, hakeray and Fakey (Suharto, 2005), bahwa keberfungsian sosial merupakan resultante dari interaksi individu dengan berbagai sistem sosial di masyarakat, seperti sistem pendidikan, sistem keagamaan, sistem keluarga, sistem politik, sistem pelayanan sosial dan seterusnya.
Kesejahteraan sosial dan keberfungsian sosial dapat direalisasikan melalui usaha yang terencana, sistematis dan berkelanjutan serta melembaga dalam bentuk pelayanan sosial. Berbagai terminologi digunakan untuk menjelaskan usaha yang terencana tersebut. Suharto (2007), menggunakan terminologi pembangunan kesejahteraan sosial. Menurutnya, Pembangunan kesejahteraan sosial adalah usaha yang terencana dan melembaga yang meliputi berbagai bentuk intervensi sosial dan pelayanan sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia, mencegah dan mengatasi masalah sosial, serta memperkuat institusi-institusi sosial. Tujuan pembangunan kesejahteraan sosial adalah untuk meningkatkan kualitas hidup manusia secara menyeluruh yang mencakup:
1) Peningkatan standar hidup, melalui seperangkat pelayanan sosial dan jaminan sosial segenap lapisan masyarakat, terutama kelompok-kelompok masyarakat yang kurang beruntung dan rentan yang sangat memerlukan perlindungan sosial.
2) Peningkatan keberdayaan melalui penetapan sistem dan kelembagaan ekonomi, sosial dan politik yang menjunjung harga diri dan martabat
(38)
3) Penyempurnaan kebebasan melalui perluasan aksesibilitas dan pilihan-pilihan kesempatan sesuai dengan aspirasi, kemampuan dan standar kemanusiaan.
Lebih lanjut dikemukakan oleh Suharto (1997), bahwa ciri utama pembangunan kesejahteraan sosial adalah komprehensif, dalam arti setiap pelayanan sosial yang diberikan senantiasa menempatkan penerima pelayanan (beneiciaries) sebagai manusia, baik dalam arti individu maupun kolektivitas yang tidak terlepas dari sistem lingkungan sosiokulturalnya. Prioritas utama pembangunan kesejahteraan sosial adalah kelompok-kelompok yang kurang beruntung (disadvantage groups), khususnya terkait dengan masalah kemiskinan. Kemudian, Adi (2005) menggunakan terminologi usaha kesejahteraan sosial. Menurutnya, usaha kesejahteraan sosial merupakan suatu program atau pun kegiatan yang didesain secara kongkrit untuk menjawab masalah, kebutuhan masyarakat atau pun meningkatkan taraf hidup masyarakat, yang ditujukan pada individu, keluarga, kelompok-kelompok dalam komunitas, atau pun komunitas secara keseluruhan (lokal, regional dan nasional).
Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 (Pasal 1, ayat 2) menggunakan terminologi penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Menurut UU tersebut, Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Dari pengertian tersebut diketahui unsur-unsur penyelenggaraan kesejahteraan sosial, yaitu:
1) Sebagai upaya yang terarah, terpadu dan berkelanjutan.
2) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat sebagai pelaku. 3) Bentuk kegiatannya, yakni pelayanan sosial dan pemenuhan kebutuhan
dasar.
4) Sasarannya setiap warga negara Indonesia.
5) Pendekatan yang digunakan meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial.
Pada perkembangannya kesejahteraan bukan pada pemenuhan kebutuhan saja tetapi juga merupakan pemenuhan hak seorang warga negara. Hak asasi manusia adalah a claim right held by individuals in virtue of the fact that they are human beings. Human rights are not tied to a particular social
(39)
other exclusive category (Ward & Birgden, 2007, p. 630) . Secara ringkas Ward dan Birgden menjelaskan, bahwa ada dua nilai dalam hak asasi manusia yaitu kebebasan (freedom) dan kesejahteraan (well being). Survei ini menghasilkan data tentang kesejahteraan sosial di Indonesia. Selain dari deinisi kesejahteraan menurut undang-undang, juga akan diperkuat dengan teori dan konsep menurut para ahli. Adapun dimensi kesejahteraan antara lain :
1) Quality of life (objective living condition dan subjective well-beeing) 2) Social cohesion (disparities, inequalities, social exclusion dan social ties/
social capital)
3) Sustainability (human capital dan natural capital)
4) Dimensions of social change (Sociodemographic and economic structure and values and attitudes)
(Noll, 2004).
Berdasarkan konsep kesejahteraan sosial diatas, yang dimaksud kualitas hidup adalah kombinasi dari kehidupan obyektif yang baik dan apresiasi terhadap kehidupan secara subjectif (Zapt, 1984). Selain itu salah satu dimensi kesejahteraan adalah kohesi sosial. Kohesi sosial mencakup perasaan kebersamaan (sense of belonging), kepercayaan sosial (social trust), dan kerjasama timbal balik (generalised reciprocity and cooperation), serta keharmonisan sosial (social harmony) (Harpham, Grant, & homas, 2002). Kohesi sosial itu ditandai kehidupan yang terhindar pada hal berikut : kesenjangan, ketidak-setaraan dan eksklusiitas sosial. Kesejahteraan juga semestinya bersifat berkelanjutan yang didalamnya menyangkut human capital dan natural capital. Keberlanjutan kesejahteraan sosial sudah barang tentu dipengaruhi oleh dimensi perubahan sosial terutama menyangkut pada perubahan struktur ekonomi dan sosiodemograi serta perubahan sikap dan nilai.
B. FUNGSI DAN PERANAN KELUARGA
Keluarga merupakan ikatan sosial terkecil dalam masyarakat. Keluarga merupakan wadah bagi individu untuk memperoleh berbagai kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan isiologis, rasa aman, dan sosial. Pada hakekatnya keluarga merupakan hubungan seketurunan maupun tambahan (adopsi) yang diatur melalui kehidupan perkawinan bersama, searah dengan keturunan-keturunan mereka yang merupakan suatu satuan khusus.
(40)
and enduring to provide for the procreation and upbringing of children”.
Kemudian Elliot and Merrill (Khaerudin, 2002) mengatakan “… a group of two or more persons residing together who are related by blood, marriage, or adoption.” Bogardus mengatakan bahwa “he family is snall social group, normally composed of a father, a mother, and one or more children, in which afection and responsibility are equitably shared and in which the children are reared to become self controlled and socially motivated persons”. Dari beberapa deinisi tersebut, menurut Khairudin (2002) suatu keluarga di dalamnya memiliki unsur-unsur sebagai berikut :
1. Keluarga merupakan kelompok sosial yang kecil yang umumnya terdiri dari ayah, ibu dan anak.
2. Hubungan sosial di antara anggota keluarga relatif tetap dan didasarkan atas ikatan darah, perkawinan dan/atau adopsi.
3. Hubungan antara anggota keluarga dijiwai oleh suasana kasih sayang dan rasa tanggung jawab.
4. Fungsi keluarga ialah merawat, memelihara dan melindungi anak dalam rangka sosialisasinya agar mereka mampu mengendalikan diri dan berjiwa sosial.
Burgess dan Locke dalam Khairuddin (2002) mengemukakan terdapat 4 (empat) karakteristik keluarga yang terdapat pada semua keluarga, yaitu : 1. Keluarga adalah susunan orang-orang yang disatukan oleh
ikatan-ikatan perkawinan, darah, atau adopsi. Pertalian antara suami dan isteri adalah perkawinan; dan hubungan antara orang tua dan anak biasanya adalah darah dan kadangkala adopsi.
2. Anggota-anggota keluarga ditandai dengan hidup bersama di bawah satu atap dan merupakan susunan satu keluarga; atau jika mereka bertempat tinggal, keluarga tersebut menjadi rumah mereka.
3. Keluarga merupakan kesatuan dari orang-orang yang berinteraksi dan berkomunikasi yang menciptakan peranan-peranan sosial bagi suami dan isteri, ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan saudara perempuan.
4. Keluarga adalah pemelihara suatu kebudayaan bersama, yang diperoleh pada hakekatnya dari kebudayaan umum, tetapi dalam suatu masyarakat yang kompleks masing-masing keluarga mempunyai ciri-ciri yang berlainan dengan keluarga lainnya.
(41)
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, kemudian Khairudin (2002) mendeinisikan keluarga sebagai suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah atau adopsi, merupakan susunan keluarga sendiri, berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami istri, ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan perempuan dan merupakan pemeliharaan kebudayaan bersama.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan, bahwa keluarga merupakan kelompok yang disatukan melalui ikatan perkawinan yang menghasilkan peranan. Peranan yang ditampilkan oleh anggota keluarga disesuaikan dengan kedudukannya. Ayah/suami mempunyai peran sebagai kepala keluarga yang melindungi dan mendidik anak-anaknya serta mencari nafkah. Ibu/istri mempunyai peran sebagai pendidik dan pendamping kepala keluarga dalam mengurus keluarga. Dilain pihak, keluarga mempunyai sistem jaringan interaksi yang bersifat interpersonal berdasarkan perannya masing-masing.
Adapun ciri-ciri umum keluarga menurut Mac Iver and Page (Khairudin, 2002) yaitu :
1) Keluarga merupakan hubungan perkawinan;
2) Berbentuk perkawinan atau susunan kelembagaan yang berkenaan dengan hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk dan dipelihara; 3) Suatu sistim tata nama, termasuk bentuk perhitungan garis keturunan; 4) Ketentuan-ketentuan ekonomi yang dibentuk oleh anggota-anggota
kelompok yang mempunyai ketentuan khusus terhadap kebutuhan-kebutuhan ekonomi yang berkaitan dengan kemampuan untuk mempunyai keturunan dan membesarkan anak;
5) Merupakan tempat tinggal bersama, rumah atau keluarga yang walau bagaimanapun, tidak mungkin menjadi terpisah terhadap kelompok keluarga.
Dalam kaitan dengan kesejahteraan sosial, keluarga merupakan kesatuan sosial budaya terkecil, yang di dalamnya terjadi proses komunikasi dan interaksi sosial. Dengan demikian proses interaksi sosial (jaringan sosial) di antara anggota keluarga (ayah, ibu dan anak-anaknya dan orang-orang yang ada di dalam keluarga) merupakan hal yang sangat terpenting dalam mewujudkan kesejahteraan dan ketahanan keluarga. Interaksi sosial merupakan saluran sosialisasi nilai-nilai kesejahteraan yang direleksikan melalui komunikasi dan ceritera pengalaman hidup. Di dalam proses
(42)
potensi anggota keluarga. Oleh karena itu, keluarga dengan komunikasi dan interaksi sosial yang baik, merupakan keluarga yang mampu mewujudkan ketahanan keluarga. Sebagaimana dikemukakan oleh Achir (1994), bahwa “suatu keluarga dikatakan memiliki ketahanan dan kemandirian yang tinggi bila keluarga itu dapat berperan optimal dalam mewujudkan seluruh potensi anggota-anggotanya. Karena itu, tanggung jawab keluarga meliputi tanggung jawab terhadap kesehatan, pendidikan, ekonomi sosial budaya anggota keluarga”. Selanjutnya Yaumil (1994) mengemukakan “fungsi keluarga meliputi; fungsi keagamaan, fungsi sosial budaya, fungsi cinta kasih, fungsi perlindungan atau proteksi, fungsi refroduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi ekonomi dan fungsi pengembangan lingkungan”. Kesejahteraan keluarga mengacu kepada kondisi-kondisi yang memungkinkan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan anggota keluarga. Pemenuhan kebutuhan ini akan berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan dan perkembangan keluarga, yang pada gilirannya akan berpengaruh pula pada kemampuan pelaksanaan peranan sosial anggota keluarga. Terkait dengan pemenuhan kebutuhan keluarga, menurut Abraham Maslow (Khairuddin, 2002) pada setiap manusia memiliki kebutuhan yang memerlukan pemenuhan, yaitu:
1) Kebutuhan isiologis (isiological needs). Kebutuhan isiologis ini merupakan kebutuhan yang berkaitan dengan kelangsungan hidup atau kebutuhan untuk mempertahankan hidup secara isik, seperti kebutuhan akan makanan, minuman, seksual, tempat tinggal, pakaian. 2) Kebutuhan akan rasa aman (safety need). Kebutuhan ini merupakan
kebutuhan yang mendorong individu anggota keluarga untuk memperoleh perlindungan, jaminan atau terbebas dari segala ancaman, kepastian dan keteraturan dari keadaan lingkungannya.
3) Kebutuhan akan rasa cinta dan rasa memiliki (need for love and belongness). Kebutuhan ini merupakan kebutuhan untuk mengadakan hubungan afektif atau ikatan emosional dengan individu anggota keluarga lainnya, seperti kebutuhan untuk dicintai dan mencintai sehingga anggota keluarga tersebut merasa dibutuhkan.
4) Kebutuhan akan rasa harga diri (need for self esteem), yaitu kebutuhan yang diarahkan kepada penghargaan seseorang dari dirinya dan keluarganya serta lingkungannya, seperti kebutuhan untuk berprestasi, memperoleh kompetensi, rasa percaya diri atas apa yang dilakukan, dan kemandirian.
(43)
diri sesuai dengan keinginan dan potensi yang dimilikinya seperti berprestasi, karier dan keahlian dalam salah satu bidang pekerjaan. Selanjutnya, dikemukakan oleh Khairuddin (2002) bahwa setiap keluarga memiliki sejumlah fungsi, yaitu: fungsi biologis, fungsi afeksi dan fungsi sosialisasi. Keluarga merupakan tempat lahirnya anak-anak. Fungsi biologis orang tua adalah melahirkan anak-anaknya. Fungsi ini merupakan dasar keberadaan dan keberlangsungan suatu masyarakat. Selanjutnya, orang tua (ayah/suami atau istri/ibu) harus mempunyai peran dalam memberikan kesempatan hidup pada anggotanya. Peran yang ditampilkan dalam memberikan kesempatan hidup ini harus diikuti oleh perilaku memberikan makanan, pakaian dan membiasakan cara hidup yang sehat pada anak-anaknya.
Di dalam keluarga biasanya terjadi hubungan sosial yang penuh dengan kemesraan dan afeksi atau kasih sayang. Hubungan kasih sayang tersebut terjadi antara anak dengan orang tua, suami dengan istri atau adik dengan kakak. Hubungan afeksi ini tumbuh sebagai akibat dari hubungan cinta kasih yang menjadi dasar perkawinan, sehingga lahirlah hubungan persaudaraan, persahabatan, persamaan dan kebiasaan bersama. Namun apabila dalam keluarga tersebut mengalami permasalahan berkaitan dengan kemiskinan, maka fungsi afeksi ini akan terganggu.
Fungsi sosialisasi menunjukkan peranan dalam membentuk kepribadian anak. Melalui interaksi sosial dalam keluarga, anak mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita, nilai dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Orang tua (ayah atau ibu) mempunyai kewajiban dan mempunyai peran dalam menanamkan nilai dan norma yang berlaku dalam keluarga dan lingkungannya (masyarakat) untuk mempersiapkan dan mengantarkan anak dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak adanya peranan orang tua (ayah atau ibu) yang memberikan pendidikan tentang sikap dan perilaku yang sesuai dengan norma dan nilai masyarakat, maka anak menjadi kurang memahami yang akhirnya akan menimbulkan sikap dan pola perilaku yang melanggar norma dan nilai yang ada di masyarakat. Dengan kata lain anak tersebut akan mempunyai pola perilaku yang menyimpang dari nilai dan norma masyarakat.
Anggota keluarga bertanggung jawab melakukan aktivitas sesuai dengan perannya untuk kepentingan dan tujuan keluarga yaitu meningkatkan kemampuan serta mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk
(44)
setiap anggota keluarga. Pembagian dan pemberian tugas serta fungsi tersebut akan memposisikan anggota keluarga pada suatu kedudukan diantara anggotanya. Kedudukan tersebut dapat dilihat dari statusnya sebagai ayah, ibu dan anak, adik, kakak. Tentunya dengan adanya status tersebut, di dalamnya terdapat peranan-peranan yang harus ditampilkan. Peranan-peranan tersebut disesuaikan dengan statusnya serta disesuaikan dengan tugas dan fungsinya.
Salah satu aspek yang penting untuk dicermati terkait dengan pelaksanaan peran dan fungsi keluarga adalah ketahanan (resiliensi) keluarga. Walsh (2003) menjelaskan bahwa terdapat 3 hal yang terkait dengan ketahanan keluarga yakni sistem keyakinan keluarga, pola organisasi keluarga dan proses pemecahan atau komunikasi dalam keluarga. Sistem keyakinan keluarga terbangun berdasarkan persepsi mengenai ancaman, tantangan, dan peristiwa trauma yang terjadi di masa lampau. Pikiran, perasaan dan tindakan yang didasarkan pada kegagalan dan kelemahan yang menguatkan perasaan tidak berdaya. Sistem organisasi keluarga terkait dengan kemampuan keluarga dalam mengakses sistem sumber sosial dan ekonomi. Sementara terkait dengan proses komunikasi dalam pemecahan masalah meliputi proses komunikasi yang jelas, ekspresi emosi yang terbuka, dan pemecahan masalah yang kolaboratif. Dengan komunikasi yang jelas dan terbuka dapat meningkatkan hubungan dalam keluarga secara lebih baik dan membangun kesamaan pemahaman terhadap segala krisis, konlik maupun harapan baik dimasa sekarang, maupun dimasa yang akan datang (Walsh, F, 2003).
Sebagai kesatuan ekonomi, pusat untuk berproduksi, untuk mendatangkan penghasilan, dan untuk konsumsi, keluarga semakin diakui fungsinya. Namun demikian, kadangkala fungsi keluarga tersebut tidak dapat dilaksanakan karena terjadinya kemiskinan. Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 1981, Departemen (Kementerian) Sosial mengentaskan masyarakat lapisan bawah yang rentan dan kurang beruntung; yaitu (1) mereka sebagai kelompok fakir, yaitu orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan, (2) kelompok miskin, yaitu orang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan.
(1)
tenaga Penyuluh Sosial 13,4 persen serta dunia usaha sebesar 11,1 persen. Adapun pemanfaatan sistem sumber tersebut kurang lebih seperempat atau antara 10 sampai 25 persen dari pengetahuan yang mereka miliki.
3. Keberlanjutan; meliputi aset kepemilikan, dan lingkungan tempat tinggal dan modal sosial.
a. Aset Kepemilikan, menunjukkan bahwa lebh dari 60 persen keluarga Indonesia memiliki Hand Phone (Hp) dan Televisi dan sepeda motor. Untuk wilayah tertentu, dengan kondisi geograisnya, maka memiliki perahu bermotor, sebagai sarana transportasi masyarakat antar desa, kecamatan, kota dan kabupaten serta antar pulau. Kepemilikan aset lainnya yang dimiliki oleh sebagian keluarga Indonesia adalah mobil, terutama di wilayah wisata.
b. Lingkungan tempat tinggal, terutama berkaitan dengan rasa aman yang akan mempengaruhi terhadap keberlanjutan kesejahteraan . Kondisi alam yang memberikan rasa tidak aman terhadap lingkungan tempat tinggal, dihubungkan dengan air seperti banjir, limbah, udara seperti kabut asap dan dari tanah seperti longsor. Kondisi lingkungan alam terkait dengan air sebenarnya memiliki nilai paling rendah untuk rasa aman keluarga di Indonesia. Artinya kondis alam terkait air, berupa banjir, dapat merupakan ancaman dan menimbulkan rasa tidak aman bagi keluarga di Indonesia.
Sementara untuk kondisi udara, menunjukkan bahwa 90 persen keluarga di provinsi Riau merasakan tidak aman dengan kondisi asap, demikian juga 66,77 persen keluarga di provinsi Kalimantan Barat menyatakan tidak aman dengan kondisi udara. Upaya yang dilakukan pada masing masing provinsi hanya bisa pasrah akan kondisi tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh 75,76 dan 83,40 persen keluarga.
Perasaan aman juga berkaitan dengan kondisi konlik, pencurian, pemerasan, penyalahgunaan narkotika dan teror, ternyata perasaan tidak aman dari pencurian dirasakan oleh sebagian kecil keluarga di Indonesia daripada kondisi lainnya.
c. Kesehatan sebagai modal sosial manusia yang penting untuk diperharikan dalam keberlanjutan kesejahteraan keluarga.
Sebesar 72,6 persen keluarga merasakan gangguan kesehatan dalam tiga bulan terakhir, yang berpengaruh kepada aktivitas sehari-hari. Sebagaimana di Provinsi Riau yang merasakan gangguan kesehatan akibat kabut asap, sebesar 62,40 persen. Upaya dilakukan untuk mengati gangguan kesehatan paa sebagian besar keluarga Indonesia dengan
(2)
pergi ke petugas medis dalam upaya mengatasi gangguan kesehatannya sebesar 69,76 persen dan sekitar 30 persen keluarga yang tidak pergi ke tempat medis, melainkan dengan membeli obat di warung, ke dukun, meracik obat sendiri bahkan mendiamkannya. Alasan yang dikemukakan adalah merasa tidak perlu berobat, dikemukakan oleh 44,8 persen keluarga, tidak ada biaya transport sebesar 30,8 persen selain sulit akses ke pelayanan kesehatan 16,9 persen serta waktu tunggu yang lama menjadi alasan mereka tidak ke tempat medis.
4. Perubahan Sosial: meliputi: struktur ekonomi dan sosio demograi dengan parameter demograi, pekerjaan dan penghasilan, serta sikap dan nilai dengan parameter menjaga lingkungan alam, kegotongroyongan, kesetiakawanan dan partisipasi politik
a. Struktur ekonomi dan sosio demograi
Berdasarkan jenis kelamin kepala keluarga yang menjadi responden menunjukkan bahwa persentase laki-laki sebesar 86.30 persen sementara perempuan sebesar 13,70 persen. Status perkawinan mereka sebesar 84,60 persen sudah menikah atau berstatus kawin, dan yang belum menikah sebesar 1,93 persen. Untuk umur responden diketahui bahwa lebih dari 27,5 persen umur responden atau kepala keluarga berumur diatas usia 40 tahun. Sample lokasi SKSD di 12 provinsi menunjukkan bahwa keluarga di perkotaan sebesar 56,41 persen daripada di perdesaan sebesar 43,59 persen. Sebagaimana data BPS (tahun 2015) menunjukkan bahwa persentase penduduk di perkotaan semakin meningkat daripada penduduk di pedesaan. b. Hubungan keluarga dengan lingkungan setempat, secara umum
sangat baik 15,46 persen dan baik sebesar 78,79 persen. Partisipasi anggota keluarga terhadap pemilihan umum sangat baik yakni sebesar 97,71 persen, meski alasan tidak berpartisipasi politik, karena sibuk bekerja/bepergian 31,13 persen. Analisis hubungan keluarga dengan Lingkungan setempat, menunjukkan bahwa pada kegiatan perayaan hari besar, kerja bakti dan ibadah bersama dalam hubungannya dengan aktiitas keluarga di lingkungan setempat, cukup signiikan dengan nilai sebesar 0.001. Oleh karena itu, kegiatana tersebut dapat digunakan untuk melakukan intervensi sosial berbasis komunitas, misalnya ketika terjadi konlik antar warga maka dapat menggunakan wahana kegiatan berupa perayaaan hari besar, kerja bhakti dan ibadah bersama
Pemberian pertolongan kepada warga lain banyak dilakukan warga lain yang membutuhkan yakni 83,04 persen. Hal tersebut mencerminkan bahwa nilai-nilai saling mengasihi, tolong-menolong dan toleransi
(3)
anggota keluarga di Indonesia masih tinggi. Hanya sebanyak 16,96 persen saja anggota keluarga di Indonesia tidak memberikan pertolongan kepada warga dengan alasan karena dalam kondisi sakit.
B. REKOMENDASI
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar (SKSD) ini menghasilkan data dan informasi yang dapat digunakan oleh penyelenggara kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat (Kementerian Sosial) maupun daerah (Dinas Sosial) dan pihak lain terkait dalam perumusan dan atau pengembangan kebijakan kesejahteraan sosial. Berikut ini rekomendasi berdasarkan hasil survei: 1. Penanganan Fakir Miskin
Strategi penanganan permasalahan sosial yang dilakukan hendaknya bersifat komprehensif dan komplementeri. Misalkan, penerima Program Keluarga Harapan/PKH, selain mendapatkan KUBE, juga dapat menerima program RUTILAHU, RASTA (berupa voucher), Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP). Strategi tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan pemenuhan kebutuhan sosial dasar, pendidikan dan kesehatan yang merupakan unsur utama dalam mewujudkan kondisi kesejahteraan keluarga. Selain itu peningkatan kualitas hidup dengan penambahan pada kebutuhan lauk-pauk hewani dan nabati, selain makanan pokok 2. Program penyuluhan sosial perlu ditingkatkan dengan sasaran
peningkatan pengetahuan masyarakat tentang program Kementerian Sosial melalui Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE). Melalui penyuluhan sosial program-program Kementerian Sosial dapat diketahui masyarakat, yang pada akhirnya akan mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan kesejahteraan sosial.
3. Impelementasi program kesejahteraan sosial harus dilakukan dengan mengoptimalkan peran aktif Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS), terutama yang ada di tingkat akar rumput. PSKS direkomendasikan untuk dikelompokkan, menjadi TKS di lembaga pelayanan sosial, dan TKS di tingkat komunitas untuk memudahkan dalam pengembangan kapasitas, seperti menumbuh-kembangkan Karang Taruna dan tenaga Penyuluh Sosial.
4. Pengembangan intervensi sosial berbasis komunitas. Misalnya, ketika terjadi konlik antar warga, maka dapat menggunakan wahana kegiatan berupa perayaaan hari besar, kerja bhakti dan ibadah bersama.
5. Pemenuhan kebutuhan pangan bagi fakir miskin perlu dilengkapi dengan pemenuhan kebutuhan protein hewani dan nabati. Kebutuhan pangan bukan hanya dalam bentuk beras, melainkan dalam bentuk
(4)
voucher, yang dapat ditukarkan dengan bahan pangan sesuai dengan bahan makanan pokok setempat, telor dan susu.
6. Perluasan program PKSA bagi anak usia wajib belajar yang terpaksa harus bekerja dan peluasan aksesibilitas pada bidang pendidikan bagi penyandang disabilitas sejak usia 3 tahun sampai usia 21 tahun.
7. Perlunya penelitan lanjutan untuk mendalami lebih lanjut permasalahan kesejahteraan sosial pada tingkat kecamatan, sehingga dapat menyediakan base line data aktual tentang penyandang masalah kesejahteraan sosial.
(5)
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Rukminto, Isbandi, (2005), Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Pengantar pada Pengertian dan Beberapa Pokok Bahasan, Jakarta: UI Press.
Al-Krenawi, A., & Graham, J. R. (2009). Helping Professional Practice with Indigenous People. Lanham. Boulder. New York. Toronto. Plymouth, UK: University Press of America, Inc.
Bowes, J. M., & Hayes, A. (1999). Children, Families, and Communities Contexts and Consequences (First ed.). UK: OXFORD University Press. Cooper, J., & Vetere, A. (2005). Domestic Violence And Family Savety; A Sistemic
Approach To Working With Violence In Families. London and Philadelphia: Whuur Publisher.
Covell, K., & Howe, R. B. (2009). Children, Famillies and Violence. London: Jesica Kingsley Publishers.
Collins, D., Jordan, C., & Coleman, H. (2010). An Introduction to Family Social Work (hird ed.). USA: Brooks/Cole Cengage Learning.
Fahrudin, Adi, (2012), Pengantar Kesejahteraan Sosial, Bandung: Raika Aditama.
Suharto, Edi, dkk (2003), Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial, Jakarta : Badan Pelatihan dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial.
---, (2007), Kebijakan sosial sebagai Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta.
---, (2005), Membangun Masyarakat, Memberdayakan Masyarakat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, Bandung: Raika Aditama.
Gunarsa, S. D., & Gunarsa, N. Y. (1993). Psikologi Praktis : Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.
Hadis, F. A. (1993). Gagasan Orang Tua dan Perkembangan Anak . Depok: FPSI-UI.
Haeryanto, Rohado dan Tamrin Amal Tomagola, (1997), “Indikator keluarga Sejahtera: Instrumen Pemandu Keberdayaan Keluarga untuk Mengentaskan Kemiskinan”, Jakarta: Ikatan Sarjana Sosiologi Indonesia.
(6)
Hearn, J. L. (2010). Family Preservation In Families Ecological System : Factor hat Predict Out-of-home Placement and Maltreatment For Service Recipient in Richmont City. Proquest LLC , 194.
Heinz-Herbert Noll (2004), he European System of Social Indicators : A Tool for Welfare Measurement and Monitoring Social Change, Workshop on Measurement of Wellbeing in Developing Countries Hanse Kolleg, Delmenhorst, july 2-4, 2004.
Hook, M. P. (2008). Social Work Practice With Families, Aresiliency- bades approach. Chicago: Lyceum Books INC.
http://organisasi.org, “Teori Hierarki Kebutuhan Maslow/Abraham Maslow – Ilmu ekonomi”, Jakarta, diakses 21 Januari 2012.
Midgley, J. (1995). Social Development, he Developmental Perspektive In Social Welfare. London: SAGE Publications.
Santrock, J. W. (2007). Perkembangan Anak. Jakarta: Penerbit Erlangga. Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial
Undang-UndangNo. 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga
Walsh, F. (2003). Family Resilience: Framework for Clinical Practice. Family Process, 42 (2) 1-19.
Zastrow, C. (2004). Introduction To Social Welfare (Eight Edition ed.). USA: homson Brooks/Cole.