32 harus dikeluarkan, yang banyak tergantung dari rumit tidaknya perkara, tetapi dari
kecakapan dan keahlian para arbiternya, terutama dalam menangani perkara-perkara yang memerlukan pengetahuan teknis yang bersifat khusus. Arbiter yang
bersangkutan sepenuhnya menguasai permasalahan yang menjadi sengketa.
19
2. Sejarah Arbitrase
Pada masa pra Islam hakam atau juru damai itu harus memenuhi beberapa kualifikasi. Diantara syarat yang terpenting bagi mereka adalah harus cakap dan
memiliki kekuatan supranatural dan adrikodrati. Berdasarkan persyaratan ini, pada umumnya para hakam itu adalah ahli nujum. Karena itu, dalam pemeriksaan dan
penyeleseaian persengketaan dikalangan mereka, hakam lebih banyak menggunakan kekuatan firasatdari pada menghadirkan alat-alat bukti, seperti saksi atau pengakuan,
para arbiter saat itu berpraktek ditempat yang sangat sederhana. Mereka menyelenggarakan sidang dibawah pohon atau kemah-kemah yang didirikan. Baru
setelah dibangun sebuah gedung yang terkenal di Mekkah, daru al- „adawah, mereka
berpraktek di tempat itu. Dalam sejarah, gedung itu didirikan oleh Qusay ibn Ka’ab. Pintu gedung ini sengaja diarahkan ke Ka’bah. Kelihatannya fungsi gedung itu
berubah setelah masa awal Islam, diman tempat ini dijadikan sebagai tempat para khalifah dan amir-amirnya di musim haji. Namun akhirnya gedung itu terpaksa
19
Krisna Harahap, Hukum Acara Perdata Mediasi Class Action Arbitrase dan Alternatif, Bandung: Grafiti Budi Utami, 2009, Cetakan ke-7.h 152-153
33 dihancurkan pada masa khalifah Mu’tadlid, salah seorang khalifah Bani Abbas,
karena perluasan Masjidil Haram.
20
Pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab mulailah dirasakan perlunya pelimpahan wewenang di bidang peradilan kepada pihak lain yang punya otoritas
untuk itu. Secara tidak langsung Umar telah mengarah pada usaha untuk “memisahkan kekuasaan eksekutif dengan kekuasaan yudikatif. Ia tidak berhenti
sampai disitu, melainkan berusaha untuk menata lembaga peradilan sehingga dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pencari keadilan. Untuk maksud tersebut ia
membuat semacam “pokok pedoman beracara” di pengadilan. Dalam sejarah aturan itu dikenal dengan istilah “risalat al-qadla”. Surat ini ditujukan kepada Abu Musa al-
Asy’ari, salah seorang qadli pada masa pemerintahan umar. Salah satu prinsip yang dimuat dalam risalat al-qadla, yang ada hubungannya dengan tahkim arbitrase
adalah pernyataan. لا ا ح ﺃ اآح ح ح ص اإ ي س لا يب زئ ج ح صلا
ﺃ اآح ح ط ش اإ ط ش ع س
ا ح لحﺃ ف ع ب ع ع
تلا ها . Artinya: Perdamaian dapat dilakukan diantara kaum muslimin kecuali perdamaian
yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan kaum muslimin terkait dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang
mengharamkan yang halal atau mengharamkan yang halal. HR. Tirmidzi dari „Amr bin „Auf.
21
20
Faturrahman Djamil, Arbitrase dalam Perspektif Sejarah Islam, Jakarta: BAMUI Bekerja Sama dengan Bank Muamalat Indonesia, 1994.h 30
21
Abu „Isa Muhammad At-Tirmidzi, Al-Jami’Al-Shahih, Beirut: Darul Kutub , t.t Jilid III, h 257
34 Proses atau tata cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini, dalam
praktiknya sudah lama dikenal di Indonesia . Bahkan, sebelum kemerdekaan pun penyelesaian sengketa lewat arbitrase ini sudah lama dikenal, misalnya dalam bidang
perburuhan dikenal penyelesaian perselisishan perburuhan lewat arbitrase. Dalam bidang perdagangan, setelah kemerdekaan ada beberapa badan arbitrase tetap yang
didirikan oleh berbagai perkumpulan organisasi perdagangan Indonesia yang sekarang tentu saja tidak aktif lagi. Badan-badan arbitrase yang dimaksudkan itu
adalah badan arbitrase yang didirikan oleh : a.
Organisasi Eksportir Hasil Bumi Indonesia, di Jakarta. b.
Organisasi Asuransi Kebakaran Indonesia, di Jakarta. c.
Organisassi Kecelakaan Indonesia, di Jakarta.
22
3. Dasar Hukum Arbitrase