36 d.
Peraturan mahkamah agung No.1 tahun 1990 mengenai peraturan lebih lanjut pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing.
24
Perkara-perkara ekonomi syariah yang terjadi diantara para pihak, posisi fatwa DSN tidak menjadi prioritas karena anggapan sifatnya yang tidak megikat.
Baik hakim, arbiter, maupun pengacara tetap memposisikan peraturan perundang- undangan yang bersifat mengikat berada pada posisi diatas dibandingkan fatwa DSN.
Pandangan perlunya DSN untuk menjadi lembaga Negara menjadi sesuatu hal yang penting. Bilamana menjadi lembaga Negara, fatwa yang dihasilkan akan menjadi
suatu peraturan yang bersifat mengikat.
25
4. Mekanisme Arbitrase
Mekanisme arbitrase yang seharusnya ditetapkan di Indonesia tidak mungkin dilepaskan dari tiga kriteria dibawah ini :
1. Para arbiter yang ditugaskan untuk menangani suatu sengketa seyogyanya
mempertemukan kepentingan para pihak secara proporsional, berimbang dan tidak merugikan menguntungkan salah satu pihak saja. Dengan kata lain
para arbiter mengupayakan untuk menegakkan keadilan yang hakiki sesuai dengan ajaran al-
qur’an dan sunnah rasulullah.
24
Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. h 58-59
25
Yeni salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia , Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010, Cetakan ke-
1. h 550
37 2.
Nilai-nilai keadilan yang tercermin dalam pancasila harus dijadikan sebagai salah satu acuan pokok didalam menyelesaikan sengketa melalui arbitrase
islam. 3.
Baik arbitrase nasional BANI maupun arbitrase islam BAMUI yang dikenal di Indonesia ditinjau dari sudut tata hukum Indonesia, mempunyai
kedudukan yang sama dalam arti kedua lembaga itu harus diakui oleh pemerintahan republic Indonesia.
26
Penyelesaian melalui arbitrase umumnya dipilih untuk sengketa kontraktual baik yang bersifat sederhana maupun kompleks yang dapat digolongkan menjadi :
a. Quality arbitration, yang menyangkut permasalahan kontraktula quistion of
fact yang dengan sendirinya memerlukan para arbitrator dengan kualifikasi teknis yang tinggi.
b. Technical Arbitration, yang tidak menyangkut permasalahan faktual
sebagaimana halnya dengan masalah yang timbul dalam penyusunan dokumen contruction of document atau aplikasi ketentuan-ketentuan
kontrak. c.
Mixed Arbitration, sengketa baiak mengenal permasalahan faktual maupun hukum quistion of fact and law.
26
M. Thahir Azhary, Islam Hukum Islam dan Eksistensi Arbitrase Islam di Indonesia, Jakarta: BAMUI Bekerja Sama dengan Bank Muamalat Indonesia, 1994. h 121
38 Selanjutnya, perbedaan antara konsiliasi, negosiasi, mediasi, dan arbitrase
dapat dibedakan dalam bentuk tabel sebagai berikut :
27
KONSILIASI NEGOSIASI
MEDIASI ARBITRASE
Para pihak secara sukarela
berkehendak menyelesaikan
sengketa. Para pihak secara
sukarela berkehendak
menyelesaikan sengketa.
Para pihak secara sukarela
berkehendak menyelesaikan
sengketa. Para pihak secara
sukarela berkehendak
menyelesaikan sengketa.
Yang memutus sengketa para
pihak. Yang memutus
sengketa para pihak.
Yang memutus sengketa para pihak.
Yang memutus sengketa para
pihak.
Keterlibatan pihak ketiga dikehendaki
oleh para pihak. Tidak ada pihak
ketiga. Keterlibatan pihak
ketiga dikehendaki sebagai penengah
karena keahliannya dibidang yang
disengketakan. Keterlibatan
pihak ketiga dikehendaki
sebagai pemutus masalah yang
disengketakan karena arbiter
yang dipilih memang ahli
dalam bidang yang
bersangkutan.
Aturan pembuktian tidak ada.
Aturan pembuktian tidak ada.
Aturan pembuktian tidak ada.
Aturan pembuktian
sifatnya informal.
27
Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. h 21-22
39
BAB III PROFIL BASYARNAS