BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mata yang biasa kita gunakan untuk melihat suatu objek harus menangkap pola pencahayaan di lingkungan sebagai “gambaranbayangan optis”
di suatu lapisan sel yang peka sinar, retina. Citra yang tersandi di retina disalurkan melalui serangkaian tahap pemprosesan visual yang rumit hingga akhirnya secara
sadar dipersepsikan sebagai kemiripan visual dari bayangan asli Sherwood, 2011. Warna-warna yang dapat kita lihat dikarenakan pada retina mata terdapat
sel kerucut yang berbeda-beda peka terhadap warna cahaya yang berbeda-beda pula Guyton dan Hall, 2010.
Pada penderita buta warna, ia tidak mempunyai sekelompok sel kerucut sebagai penerima warna pada retina matanya, sehingga orang tersebut tidak dapat
membedakan beberapa warna dari warna-warna lainnya Guyton dan Hall, 2010. Istilah buta warna umumnya digunakan untuk menggambarkan orang-orang yang
mengalami kesulitan untuk membedakan warna merah dan hijau atau nuansa biru dan kuning, meskipun hal tersebut bukan deskripsi akurat karena orang-orang ini
pada kenyataannya masih bisa melihat warna. Sehingga istilah defisiensi warna menjadi lebih tepat dan lebih sesuai. Buta warna lengkap sangat langka terjadi
dimana dapat menyebabkan seseorang untuk melihat benda-benda hanya dalam nuansa abu-abu Wagner, 2013.
Buta warna adalah cacat mata genetik yang belum dapat disembuhkan dan hampir hanya pada laki-laki Indrawan, 2008. Wanita secara genetik hanya
sebagai carrier buta warna yang diturunkan ke anak laki-lakinya Guyton dan Hall, 2010. Menurut US Department of Education, sekitar 14 dari siswa usia
sekolah di Amerika Serikat dianggap cacat. Bagaimanapun, statistik ini tidak termasuk sekitar 8 dari siswa perkiraan berkisar 4-12 yang sulit untuk
membedakan warna-warna tertentu gangguan visual tercantum hanya 0,1 dari populasi siswa. Sejauh ini, sebagian besar dari mereka yang terkena dampak
adalah laki-laki karena gangguan ini terkait dengan kromosom seks X Handayani, 2010.
Perbandingan angka kejadian buta warna yang terdapat pada jenis kelamin laki-laki dibanding dengan buta warna yang terdapat pada perempuan
adalah 20:1. Buta warna mempengaruhi 13 populasi umum. Saat ini di Eropa sekitar 8-12 pria dan 0,5-1 wanita menderita buta warna. Penelitian lain
menyatakan 1 dari 12 orang pria menderita buta warna, sedangkan wanita hanya 1 dari 200 orang saja yang menderita buta warna Rahmadi, 2009. Di Australia
buta warna terjadi pada 8 laki-laki dan hanya sekitar 0,4 pada perempuan. Di Iran, dari populasi anak-anak usia 12-14 tahun yang mengalami defek penglihatan
warna 8,18 laki-laki dan 0,43 perempuan, tidak didapatkan adanya penyakit sistemik, penyakit mata, pengobatan kronis, dan tidak terdapat kelainan
penglihatan dengan visus 2020 emmetropia. Sedangkan di Amerika, sekitar 10 juta pria Amerika sepenuhnya 7 dari penduduk laki-laki tidak dapat
membedakan warna merah dari hijau, atau melihat merah dan hijau berbeda dari kebanyakan orang. Ini adalah bentuk paling umum pada buta warna. Pada
perempuan hanya mempengaruhi 4. Type yang paling sering adalah merah-hijau Handayani, 2010.
Dari data Riset Kedokteran Dasar RISKESDAS tahun 2007 didapatkan prevalensi nasional buta warna adalah 0,7 berdasarkan keluhan responden.
Sebanyak 6 provinsi mempunyai prevalensi buta warna di atas prevalensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Sumatera Selatan,
Bangka Belitung, DKI Jakarta, dan Nusa Tenggara Barat. Penderita buta warna akan kesulitan dalam proses pendidikan karena
selalu dihadapkan pada kelemahannya untuk membedakan warna dari objek atau benda yang ditemuinya dimana orang normal dapat membedakannya dengan
mudah. Hal ini menyebabkan sulitnya penderita buta warna dalam mengakses informasi dalam suatu citra Indrawan, 2008. Kelainan pada penglihatan warna
tidak banyak mempengaruhi kehidupan awal manusia seperti pada masa kanak- kanak, karena tidak disertai oleh kelainan tajam penglihatan. Abnormalitas
penglihatan warna mulai mempengaruhi ketika anak dihadapkan pada persyaratan
untuk masuk jurusan tertentu yang buta warna menjadi salah satu kriteria seperti kedokteran, teknik, design grafis, dan lain-lain. Oleh karena hal tersebut,
identifikasi dini kelainan buta warna perlu dilakukan untuk membimbing anak dalam menentukan jenjang pendidikannya kelak Ilyas, 2004.
Guru sering tidak menyadari cacat tak kasat mata ini karena siswa-siswi yang buta warna mencoba untuk menjaga rahasia untuk menghindari rasa malu.
Tes buta warna dapat membantu mengidentifikasi anak-anak yang mengalami kesulitan membedakan warna, sehingga mereka mungkin mulai menerima
bantuan dalam belajar untuk mengatasi keluhan mereka Stiles, 2006. Pemeriksaan ini dapat pula membantu guru-guru untuk memilih metode-metode
yang tidak mengandung banyak elemen warna, seperti penggunaan angka-angka yang berwarna pada pelajaran matematika sebaiknya tidak dilakukan pada murid
penderita buta warna Milner, 2010. Dari data latar belakang masalah di atas tersebut, maka peneliti tertarik
meneliti insidensi buta warna pada siswa kelas X SMA Santo Thomas 1 Medan.
1.2 Rumusan Masalah