2.2. Buta Warna
2.2.1. Definisi
Buta warna adalah suatu keadaan dimana pasien mengalami kelemahanpenurunan kemampuan untuk membedakan antara warna
-warna tertentu
yang seharusnya dapat dibedakan oleh orang dengan penglihatan yang normal Jang et al., 2010.
Istilah buta warna atau colour blind sebenarnya kurang akurat, karena seorang penderita buta warna tidak buta terhadap seluruh warna. Akan lebih tepat
bila disebut gejala defisiensi daya melihat warna atau colour vision dificiency Jubinville, 2014. Buta warna total sangat langka terjadi dan menyebabkan
seseorang untuk melihat benda dalam nuansa abu-abu Stresing, 2014. 2.2.2.
Etiopatogenesis Ketiga macam pigmen warna pada retina membuat kita dapat
membedakan warna. Untuk dapat melihat normal, ketiga pigmen sel kerucut harus bekerja dengan baik. Jika salah satu pigmen mengalami kelainan atau tidak ada,
maka terjadi buta warna Ilyas, 2008. Kekurangan penglihatan warna terjadi ketika salah satu atau lebih sel kerucut pada retina kurang berfungsi daripada
keadaan normal, atau tidak berfungsi sama sekali Jang et al., 2010. Buta warna merupakan penyakit keturunan yang terekspresi hampir
hanya pada para pria Indrawan, 2008. Wanita secara genetik hanya sebagai carrier buta warna yang diturunkan ke anak laki-lakinya Guyton dan Hall, 2010.
Kelainan ini terjadi akibat defisiensi kongenital terkait-X kromosom pada salah satu jenis fotoreseptor retina yang spesifik yaitu sel kerucut. Akibat faktor genetik
ini sel kerucut penderita buta warna tidak mampu untuk menangkap spektrum warna tertentu Riordan-eva dan Witcher, 2010.
Gen buta warna terkait dengan dengan kromosom X X-linkedgenes ini memungkinkan seorang pria yang memiliki genotif XY untuk terkena buta warna
secara turunan lebih besar dibandingkan wanita yang bergenotif XX untuk terkena buta warna. Jika hanya terkait pada salah satu kromosom X nya saja, wanita
disebut carrier atau pembawa, yang bisa menurunkan gen buta warna pada anak-
anaknya. Menurut salah satu riset 5-8 pria dan 0,5 wanita dilahirkan buta warna. Dan 99 penderita buta warna termasuk dikromasi, protanopia, dan
deuteranopia Situmorang, 2010. Dengan adanya penemuan gen pada opsin sel kerucut manusia yang
mengkode panjang gelombang pendek S, panjang gelombang menengah M dan yang panjang L, maka dihubungkanlah dengan dua hipotesis yang
menyatakan bahwa: 1 komposisi dan variasi dalam urutan rangkaian asam amino dari opsin sel kerucut bertanggung jawab untuk perbedaan spektral antara
photopigments 2 perubahan gen pada opsin sel kerucut mendasari kekurangan penglihatan warna diturunkan Neitz, 2010
. Pola gen turunan untuk kelainan penglihatan warna, dari merah-hijau
dan biru-kuning untuk manusia, yaitu panjang gelombang yang panjang L dan menengah M pada opsin sel kerucut yang diterjemahkan ke X-kromosom di
Xq28, dan gen untuk panjang gelombang pendek S pada opsin sel kerucut untuk autosom, kromosom 7 pada 7q32. Sebutan untuk gen opsin L, M dan S masing-
masing adalah OPN1LW Opsin 1 Long Wave, OPN1MW Opsin 1 Middle Wave, dan OPN1SW Opsin 1 Short Wave Neitz, 2010
. Dua gen yang paling sering berhubungan dengan munculnya buta warna
adalah OPN1LW yang mengkode pigmen merah dan OPN1MW yang mengkode pigmen hijau Deeb dan Motulsky, 2005. Hal ini dikarenakan OPN1LW dan
OPN1MW hampir identik satu sama lain, keduanya berbagi lebih dari 98 identitas urutan nukleotida, sedangkan mereka hanya berbagi sekitar 40
nukleotida dengan OPN1SW. Karena kesamaan OPN1LW dan OPN1MW mengakibatkan mereka rentan terhadap rekombinasi homolog yang tidak sama,
dan hal ini memiliki keterlibatan yang mendalam untuk fungsi visual Neitz, 2010
.
2.2.3. Klasifikasi Buta Warna
. Defek penglihatan warna atau buta warna dapat dikenal dalam bentuk :
2.2.3.1. Monochromacy
Monochromacy adalah keadaan dimana seseorang hanya memiliki sebuah sel pigmen cones atau tidak berfungsinya semua sel cones Kurnia, 2009.
Seseorang yang menderita monochromacy disebut monokromat Indrawan, 2008. Monochromacy ada dua jenis, yaitu :
a Rod monochromacy typical adalah jenis buta warna yang sangat
jarang terjadi, yaitu ketidakmampuan dalam membedakan warna sebagai akibat dari tidak berfungsinya semua sel kerucut retina.
Penderita rod monochromacy tidak dapat membedakan warna sehingga yang terlihat hanya hitam, putih dan abu-abu,
b Cone monochromacy atypical adalah tipe monochromacy yang
sangat jarang terjadi yang disebabkan oleh tidak berfungsinya dua sel kerucut. Penderita nya masih dapat melihat warna tertentu, karena
masih memiliki satu sel kerucut yang berfungsi Kurnia, 2009. 2.2.3.2.
Dichromacy Dichromacy adalah jenis buta warna dimana salah satu dari tiga sel
kerucut tidak ada atau tidak berfungsi. Akibatnya, seseorang yang menderita dikromat akan mengalami gangguan penglihatan terhadap warna-warna tertentu
Kurnia, 2009. Seseorang yang menderita dichromacy disebut juga dengan dikromat Indrawan, 2008. Dichromacy dibagi menjadi 3 bagian berdasarkan sel
pigmen yang rusak, yaitu: a.
Protanopia adalah gangguan penglihatan warna yang disebabkan tidak adanya photoreseptor retina merah, mengakibatkan tidak
adanya penglihatan warna merah Kurnia, 2009. Protanopia hanya memiliki sel kerucut biru dan hijau saja Dichromacy tipe ini terjadi
pada 1 dari seluruh pria Gambar 2.4.a. Deeb dan Motulsky, 2011. Orang yang menderita protanopia disebut protanope
Indrawan, 2008,
b. Deutanopia adalah gangguan penglihatan terhadap warna yang
disebabkan ketiadaan photoreseptor retina hijau. Hal ini menimbulkan kesulitan dalam membedakan warna merah dan hijau
red-green hue discrimination Kurnia, 2009. Pada Deuteranopia hanya memiliki sel kerucut biru dan merah saja, tetapi tidak ada sel
kerucut hijau yang fungsional terjadi pada 1 dari laki-laki putih Gambar 2.4.b. Deeb dan Motulsky, 2011. Orang yang menderita
deuteranopia disebut deuteranope Indrawan, 2008, c.
Tritanopia adalah keadaan dimana seseorang tidak memiliki short- wavelength cone yaitu warna biru, akibatnya penderita akan
kesulitan membedakan warna biru dan kuning dari spektrum cahaya tampak. Tritanopia disebut juga buta warna biru-kuning dan
merupakan tipe dichromacy yang sangat jarang dijumpai. Kurnia, 2009. Orang yang menderita tritanopia disebut tritanope Indrawan,
2008. 2.2.3.3.
Anomalous Trichromacy Penderita anomalous trichromacy memiliki tiga sel kerucut yang lengkap,
tetapi terjadi kerusakan mekanisme sensitivitas terhadap salah satu dari tiga sel reseptor warna tersebut Kurnia, 2009. Seseorang yang mengalami anomalous
trichromacy disebut anomali trikromat Indrawan, 2008. Anomalous trichromacy terdiri dari 3, yaitu :
a. Protanomalia mempengaruhi long-wavelength red pigment
kerucut, menyebabkan lemahnya sensitifitas terhadap cahaya merah. Seseorang dengan protanomaly cenderung untuk melihat warna
merah, jingga, kuning, dan kuning-hijau menjadi warna kehijauan, tetapi semua warna ini juga tampak lebih pucat dari biasanya. Warna
ungu dan ungu muda tampak seperti nuansa biru karena komponen kemerahan berkurang
Wagner, 2013.
protanomalia terjadi pada 1 dari laki-laki putih Gambar 2.4.c. Deeb dan Motulsky, 2011.
Seseorang yang menderita protanomalia disebut protanomalous Indrawan, 2008,
b. Deuteranomalia disebabkan oleh kelainan pada bentuk pigmen
middle-wavelength green. Sama halnya dengan protanomaly, deuteranomaly tidak mampu melihat perbedaan kecil pada nilai
warna dalam area spektrum untuk warna merah, jingga, kuning, dan hijau. Penderita salah dalam menafsirkan warna dalam region
tersebut karena warnanya lebih mendekati warna merah. Perbedaan antara keduanya yaitu penderita deuteranomalia tidak memiliki
masalah dalam hilangnya penglihatan terhadap kecerahan brigthness Kurnia, 2009. Deuteranomalia terjadi pada 5 dari
laki-laki berkulit putih Gambar 2.4.d. Deeb dan Motulsky, 2011. Seseorang yang menderita deuteranomalia disebut deuteranomalous
Indrawan, 2008, c.
Tritanomalia adalah tipe anomolous trichromacy yang sangat jarang terjadi, baik pada pria maupun wanita. Pada tritanomaly, kelainan
terdapat pada short-wavelength pigment blue. Pigmen biru ini bergeser ke area hijau dari spektrum warna. Tidak seperti
protanomalia dan deuteranomalia, tritanomalia diwariskan oleh kromosom 7. Inilah alasan mengapa penderita tritanomalia sangat
jarang ditemui Kurnia, 2009. Orang-orang ini mengalami kesulitan membedakan hijau, cyan, dan biru. Mereka juga mungkin mengalami
kesulitan membedakan kuning dari ungu dan juga sering kebingungan dengan warna merah jambu, jingga, dan coklat
Wagner, 2013.
Seseorang yang menderita tritanomalia disebut tritanomalous Indrawan, 2008.
Gambar 2.4. a. Protanopia b. Deutanopia c. Protanomalia d. Deuteranomalia Deeb dan Motulsky, 2011.
2.2.4. Diagnosis
Para peneliti menyimpulkan bahwa skrining untuk buta warna dapat dimulai pada usia 4 tahun. Pengujian pada usia dini sangat penting karena anak-
anak dengan buta warna sering melakukan hal buruk pada tes atau tugas yang menampilkan warna-warna. Anak-anak dengan buta warna membutuhkan
berbagai jenis rencana pelajaran yang tidak memerlukan kemampuan untuk melihat warna dengan benar. Pemeriksaan harus dimulai sejak dini karena label
anak tidak pintar adalah stigma besar bagi anak dan menyebabkan kecemasan yang signifikan bagi orang tua dan keluarga Thai News Service Group, 2014.
Tes buta warna saat ini juga sangat dibutuhkan bagi dunia industri, pendidikan, maupun pemerintahan. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan
manusia dalam pekerjaan atau pendidikan yang erat sekali berhubungan dengan warna Agusta et al., 2012.
Pemeriksaan buta warna ini dilakukan sebagian besar untuk tiga tujuan : pertama untuk skrining apakah cacat bawaan atau yang diperoleh, yang kedua
untuk mendiagnosis jenis dan tingkat keparahan cacat dan yang ketiga untuk menilai dampak dari cacat pada profesi atau pekerjaan tertentu. Secara umum, tes
yang efektif adalah test yang tepat, mudah, dan biaya yang dibutuhkan untuk mendiagnosa kelainan penglihatan warna yang akurat Heidary et al., 2013.
Diagnosis buta warna dibuat berdasarkan anamnesis, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis yang sesuai adalah terdapat riwayat buta warna di dalam
keluarga atau terdapat riwayat trauma kranial yang menyebabkan kelainan saraf atau makula Riordan-eva dan Witcher, 2010. Banyak tes untuk pemeriksaan
penunjang yang digunakan secara klinis untuk mendiagnosa kelainan penglihatan warna, tes ini berkisar dari yang sederhana dengan buku Ishihara dan tes penilaian
yang lebih kompleks termasuk tes Farnsworth-Munsell 100-Hue FM 100-Hue, D-15 Farnsworth-Munsell D-15, dan anomaloscope untuk diagnosis yang lebih
tepat dan akurat Heidary et al., 2013. Pada penelitian ini pemeriksaan dilakukan dengan test ishihara yang
paling populer dan digunakan secara luas untuk tujuan skrining. Penggunaan buku ishihara juga dikarenakan tes ini harus dilakukan secara cepat, tepat, mudah dan
murah untuk menilai jenis dan tingkat keparahan cacat penglihatan warna Heidary et al., 2013. Metode ini dikembangkan menjadi Tes Buta Warna
Ishihara oleh Dr. Shinobu Ishihara. Tes ini pertama kali dipublikasi pada tahun 1917 di Jepang dan terus digunakan di seluruh dunia Widianingsih et al., 2010.
Test Ishihara didasarkan pada penggunaan kartu bertitik-titik yang mempunyai bermacam-macam warna dan ukuran yang disusun dengan
menyatukan titik-titik yang berbeda tersebut Guyton dan Hall, 2010. Warna- warnanya dibuat sedemikian rupa membentuk pola titik-titik berbeda yang
disusun hingga membentuk lingkaran. Untuk orang yang defisiensi warna, semua titik dalam satu atau lebih dari lempeng akan muncul mirip atau sama
isokromatik. Untuk seseorang tanpa kekurangan warna, beberapa titik akan muncul cukup berbeda dari titik-titik lain untuk membentuk sosok yang berbeda
pada masing-masing piring Pseudoisochromatic Wagner, 2013. Buku ishihara dapat mendiagnosa defek penglihatan warna dengan
klasifikasi, yaitu: orang dengan penglihatan normaltrikromat, buta warna Merah-
Hijau red-green deficiency [buta warna merah protanopiaprotanomalia dan buta warna hijau deuteranopiadeuteranomalia] dan buta warna
totalakromatopsia. Kelainan tritanomaly tidak dapat dilihat disini. Tes Ishihara digunakan untuk mendiagnosis defek penglihatan warna kongenital, untuk
mengetahui penyebab yang didapat saraf, kelainan macula, trauma kranial perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut Riordan-eva dan Witcher, 2010.
Tes Ishihara ini mempunyai kelemahan yaitu berupa media tes. Media yang digunakan adalah lembaran kertas bagi Ishihara. Media tes ini sendiri hanya
dapat dilakukan pada ruangan bercahaya putih dengan intensitas penerangan yang cukup, sehingga melakukan tes buta warna ini tidak bisa di sembarang
tempatruangan dengan bercahaya redup dan menggunakan cahaya kemerahan atau lampu pijar. Hal ini merupakan salah satu dari kelemahan tes konvensional,
karena jika penerangan ruangan tidak sesuai dengan ketentuan standar, maka warna pada media tes pun akan berubah. Tes Ishihara pun mempunyai kelemahan
berupa pemudaran warna, mudah robek, dan bisa saja salah satu dari lembaran tes terselip ataupun hilang Agusta et al., 2012.
Tahapan dalam pemeriksaan buta warna dengan metode ishihara, yaitu : 1.
Menggunakan buku Ishihara 14 plate 2.
Dalam pemeriksaan buta warna hal-hal yang perlu diperhatikan, yaitu: a.
Ruangan pemeriksaan harus cukup pencahayaannya Tes Ishihara didesain agar dapat dilihat dengan jelas dengan cahaya
ruangan. Sinar matahari langsung atau penggunaan cahaya lampu mengakibatkan ketidaksesuaian hasil karena perubahan pada
bayangan warna yang nampak. Namun, bila mudah nyaman hanya dengan menggunakan cahaya lampu, maka dapat ditambahakan
cahaya lampu tersebut sampai menghasilkan efek cahaya seperti cahaya alami. Kartu diletakkan pada jarak 75 cm dari pasien
sehingga bidang kertasnya pada sudut yang tepat dengan garis penglihatan.
b. Angka-angka yang terlihat pada kartu disebutkan, dan setiap
jawaban diberikan dalam waktu tidak lebih dari 3 detik Widianingsih et al. 2010.
3. Penjelasan pada tiap lembar gambar :
No.1. Setiap subjek, baik dengan penglihatan warna normal atau cacat penglihatan warna akan membaca dengan benar angka 12. Plate ini
digunakan terutama untuk penjelasan awal dari proses tes untuk mata pelajaran.
No.2. Subyek normal akan membaca 8 dan mereka dengan defisiensi warna merah-hijau melihat angka 3.
No.3. Subyek normal akan membaca 5 dan mereka dengan defisiensi warna merah-hijau melihat angka 2.
No.4. Subyek normal akan membaca 29 dan mereka dengan defisiensi warna merah-hijau melihat angka 70.
No.5. Subyek normal akan membaca 74 dan mereka dengan defisiensi warna merah-hijau melihat angka 21.
No.6-7. Dengan baik dipahami oleh subyek normal, tapi tidak atau sulit untuk dibaca bagi mereka dengan defisiensi merah-hijau.
No.8. Subjek normal dengan jelas melihat angka 2 untuk tetapi tidak jelas bagi mereka dengan defisiensi merah-hijau.
No.9. Subyek normal bisa sukar membacanya, tapi kebanyakan dari mereka dengan kekurangan merah-hijau melihat angka 2 di
dalamnya. No.10. Subyek normal biasanya dapat membaca angka 16, tapi
kebanyakan dari mereka dengan kekurangan merah-hijau tidak bisa, No.11. Dalam menelusuri garis berkelok-kelok antara dua x tersebut,
orang yang normal melihat garis hijau kebiruan, namun sebagian besar dari mereka dengan kekurangan penglihatan warna tidak dapat
mengikuti garis atau mengikuti garis yang berbeda dari yang normal. No.12. Subyek normal dan orang-orang dengan kekurangan merah-
hijau ringan melihat angka-angka 35 tapi protanopia dan
protanomalia kuat akan membaca 5 saja, dan deuteranopia dan deuteranomalia kuat 3 saja.
No.13. Subyek normal dan orang-orang dengan kekurangan merah- hijau ringan melihat angka-angka 96 tapi protanopia dan
protanomalia kuat akan membaca 6 saja, dan deuteranopia dan deuteranomalia kuat 9 saja.
No.14. Dalam menelusuri garis berkelok-kelok antara dua x itu, jejak yang normal yaitu sepanjang garis ungu dan merah. Dalam protanopia
dan protanomalia kuat hanya garis ungu ditelusuri, dan dalam hal protanomalia ringan kedua baris adalah ditelusuri tetapi garis ungu
adalah lebih mudah untuk mengikuti. Dalam deuteranopia dan deuteranomalia kuat hanya garis merah ditelusuri dan dalam hal
deuteranmalia ringan kedua baris adalah ditelusuri tetapi garis merah lebih mudah untuk mengikuti Ishihara, 1994.
2.2.5. Manajemen
Deteksi dini cacat visi warna merah-hijau yang parah pada usia sekolah menengah harus dikomunikasikan kepada orang tua dan anak-anak yang
terkena dampak karena temuan ini mungkin relevan untuk pilihan pekerjaan tertentu. Konseling genetik juga diperlukan untuk mengurangi resiko dan
mengevaluasi kemungkinan resiko terkena buta warna yang terdiri dari: evaluasi untuk mengkonfirmasi, mendiagnosa, atau mengecualikan kondisi
genetik pasien, sindrom malformasi, atau cacat lahir terisolasi seperti peran hereditas, komunikasi risiko genetik, dan penyediaan atau rujukan untuk
dukungan psikososial Deeb dan Motulsky, 2011. Tidak ada obat untuk penyakit buta warna yang herediter. Meskipun
sebagian besar buta warna tidak dapat disembuhkan atau diobati, penderita dapat mempelajari cara-cara sederhana untuk mengelola kesulitan anda melihat
perbedaan warna. Beberapa kasus buta warna dapat menunjukkan penyakit lain yang akan membutuhkan pengobatan Stresing, 2010.
Kebanyakan orang dengan buta warna belajar untuk membedakan antara warna. Beberapa cara yang dapat digunakan sebagai alat bantu
penglihatan warna dalam beberapa kasus, yaitu : • Lensa kontak dan kacamata specially tinted, yang dapat membantu uji
warna namun tidak memperbaiki penglihatan warna. • Kacamata yang memblokade glare, karena orang dengan masalah
penglihatan warna masih dapat membedakan sedikit warna saat tidak terlalu terang Kartika et al., 2014.
Lensa kontak bernama Chromagen ™, yang dirancang oleh David Harris dari Liverpool Laser Treatment Centre. Ia menjelaskan bahwa lapisan
pigmen di tengah lensa akan dipilih sesuai dengan setiap pasien, nantinya akan mengeset otak untuk melihat warna berbeda. Biasanya pigmen yang dibutuhkan
hanya pada satu lensa agar otak membuat gambar yang benar dari gambar yang diterima oleh kedua mata. Meskipun tidak untuk mengubah cacat di retina,
memungkinkan penderita untuk melihat warna yang lebih hidup. Uji klinis pada 275 orang meningkatkan penglihatan warna mereka di 96,7 dari subyek
Roger, 1997.
BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep Penelitian