Aini Objek Penelitian 1. Miah

korban. Membawa Miah ke dukun juga tidak memberikan hasil yang menggembirakan, rata-rata dukun yang dikunjungi menyerah untuk mengobatinya. Keadaan Miah dapat terlihat pada Gambar 4.1 berikut : Gambar 4.1. Miah

4.2.2. Aini

Aini adalah anak ketiga dari enam bersaudara. Bersama saudara dan orangtuanya tinggal di Desa Lhok Banie . Saat ini Aini berusia 23 tahun. Aini memiliki pendidikan sekolah dasar. Menurut Ayah Aini, sejak kecil anaknya tumbuh dan bertingkah laku seperti anak-anak lainnya, tidak ada hal-hal aneh atau tidak wajar yang dilakukan Aini. Karena perekonomian keluarga yang cukup sulit maka pendidikan Aini hanya sampai SD saja. Pada awalnya ayah Aini bekerja sebagai nelayan di desa Pusong pada sebuah pulau kecil, dengan sebuah boat kecil yang dimilikinya dari bantuan BRR-NAD. Namun, pada tahun 2007 pulau tersebut mengalami erosi sehingga Pemerintah Universitas Sumatera Utara merelokasikan penduduk pulau tersebut ke desa Lhok Banie. Desa Lhok Banie bukan desa di tepi pantai sehingga ayah Aini tidak bias meneruskan pekerjaan sebagai nelayan. Oleh karenanya beliau memutuskan bekerja sebagai tukang bangunan dan sesekali bekerja serabutan mocok-mocok. Pada tahun 2004 Aini di bawa oleh salah seorang tetangganya untuk bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga di kota Medan. Selama 2 tahun bekerja sebagai PRT Aini selalu berkomunikasi dengan keluarganya, dia mengabari keadaannya dan keluarga majikannya. Keluarga majikan Aini cukup baik, memperlakukannya seperti keluarga sendiri, tidak ada keluhan yang disampaikan Aini ke orangtuanya. Pada tahun 2006 Aini berkenalan dengan seorang pria Johan yang baru bekerja sebagai supir di rumah majikannya. Enam bulan hubungan mereka terjalin dengan baik. Aini yang sudah merasa yakin bahwa Johan akan bertanggung jawab dan segera menikahinya akhirnya melakukan hubungan yang cukup jauh layaknya suami istri. Merasa telah membuat suatu kesalahan dan khawatir akan hamil, Aini meminta agar Johan segera menikahinya, tetapi harapan tinggal harapan, Johan selalu menghindar bahkan akhirnya pergi tanpa diketahui kemana. Sejak itu Aini menjadi anak yang pendiam dan berwajah murung. Aini yang merasa bersalah dan tetap khawatir hamil akhirnya pamit pada majikannya untuk pulang sebentar ke desanya menjenguk keluarganya. Kepada kakak iparnya Aini menceritakan semua kejadian yang menimpa dirinya selama menjadi PRT di kota Medan dan meminta kakak iparnya untuk tidak menceritakan kepada siapapun. Dan, perangai Aini berubah sebentar pemurung, sesaat lagi menjadi Universitas Sumatera Utara pemarah dan memukul siapa saja yang ada disekitarnya, termasuk memukul dirinya sendiri, suka memecahkan piring dan suka berbicara serta tertawa sendiri. Apa yang dibicarakannya selalu kacau dan tidak jelas. Ayah Aini merasa anaknya terkena guna-guna, tetapi atas desakan keluarga lainnya pada Mei 2007 Aini dibawa ke Banda Aceh untuk berobat di rumah sakit jiwa. Selama hampir 2 bulan di RSJ keadaan Aini mengalami perubahan menuju kesembuhan, kemudian orangtua membawa pulang ke Langsa. Setelah kembali dari rumah sakit jiwa, Aini sempat bekerja menjadi pembantu cleaning service di sebuah warung nasi di Kota Langsa. Empat bulan bekerja di warung nasi, perilaku Aini baik- baik saja, Ibu Nunik yang menjadi majikannya menuturkan : …..”dia Aini kerjanya bagus, empat bulan di warung ini gak ada masalah. Kerjanya setiap hari membersihkan lantai, meja makan, dan rak tempat meletakkan makanan yang dijual. Ya namanya warung, kerjanya banyak dari pagi, siang bahkan sampe malam, gaji Aini juga lumayan kok. Cuma setelah empat bulan kerja, tiba-tiba dia minta berhenti kerja. Aku heran juga dan merasa keberatan karena Aini anak yang rajin, penurut dan bersih, pakaiannya sopan dan rapi”. Empat bulan setelah bekerja sebagai pembantu di warung nasi, Aini mulai menunjukkan perilaku yang aneh, setiap hari memberikan sebuah nasi bungkus jatahnya ke anak-anak yang dijumpainya di depan warung nasi dan ketika gajian maka Aini membelanjakan gaji untuk membeli pakaian anak-anak dan membagikannya ke anak-anak di jalanan. Ibu Upik yng menjadi tukang masak makanan di warung ibu Nunik, bercerita tentang Aini : …..”aku kenal Aini ketika dia kerja di warung jadi tukang bersih- bersih, awalnya sih biasa-biasa saja, cuma dia agak pendiam. Waktu Universitas Sumatera Utara sudah lebih tiga bulan kerja di warung, sikapnya agak berubah, dia sering murung dan duduk sendirian. Aini pernah cerita kalo dulu juga dia pernah jadi pembantu, majikannya yang dulu katanya baik, gak suka marah-marah dan nyuruh-nyuruh. Di warung makan ini, majikannya suka marah dan nyuruh-nyuruh, dia bilang mau berhenti saja tapi gak dikasi sama ibu Nunik”. Khawatir penyakit mengamuk Aini kambuh lagi, ayahnya kemudian membawanya pulang ke rumah mereka. Setelah di rumah ayah Aini mengobati Aini ke Paranormal, tetapi tidak ada yang bisa menyembuhkan bahkan penyakit Aini semakin parah. Saat ini Aini tinggal disebuah gubuk yang dibangun dekat rumah orangtuanya. Makan, minum dan tidur dilakukan Aini di dalam gubuk tersebut dengan kaki yang dirantai besi. Jika melihat gubuk Aini, terasa nuansa ‘pengucilan’ oleh keluarganya. Khawatir Aini mengamuk dan melukai anggota keluarnga merupakan sebuah alasan penempatan Aini ke dalam gubuk tersebut. Tetapi, gubuk tersebut bukan sebuah tempat yang layak huni untuk manusia. Gubuk yang kecil dengan bangunan dari bahan papan, berlantai papan yang dialasi oleh tikar usang dan beberapa helai potongan kardus, merupakan sebuah tempat yang cukup prihatin. Gubuk ini tidak memiliki pintu, tetapi sebuah lubang berukuran 75 x 100 cm yang merupakan akses bagi Aini untuk keluar dan masuk gubuknya. Keterbatasan pergerakan menyebabkan Aini lebih sering duduk di depan ‘pintu’ gubuknya, memandang orang yang lewat dengan tatapan kosong. Terkadang Aini memakai bajunya sekenanya, bahkan hanya menggunakan ‘bra’ tanpa ada baju Universitas Sumatera Utara luarnya. Jika anggota keluarga melihat penampilan Aini yang kurang sopan, maka anggota keluarga akan mengingatkan atau memakaikan pakaian Aini dengan benar. Aini makan di dalam gubuknya, makanan diantar anggota keluarganya ke dalam gubuk Aini. Buang air kecil dilakukan Aini di gubuknya, untuk mandi dan buang air besar biasanya Aini mengatakannya kepada ayahnya, kemudian Aini dibawa ke kamar mandi yang letaknya tersendiri atau di luar dari rumah induknya. Ketika mandi atau buang air besar pun, rantai besi di kaki Aini tetap terpasang dan menyertainya kemanapun pergi, ayahnya memegang ujung lainnya dari rantai besi tersebut dan menguncinya pada salah satu tiang kamar mandi. Untuk lebih dapat memahami keadaan Aini dapat terlihat pada Gambar 4.2 berikut : Gambar 4.2. Aini, Rantai dan Gubuknya Universitas Sumatera Utara

4.2.3. Iyan