melukai orang lain. Lalu dengan merantai di rumah maka semua persoalan tersebut akan dapat dihindarkan.
Pada saat orang sakit atau anaknya sakit, ada beberapa tindakan atau perilaku yang muncul, antara lain : a didiamkan saja no action, artinya sakit tersebut
diabaikan, dan tetap menjalankan kegiatan sehari-hari; b mengambil tindakan dengan melakukan pengobatan sendiri self treatment atau self medication, memiliki
dua cara yaitu pengobatan tradisional dan pengobatan modern; c mencari penyembuhan atau pengobatan keluar yaitu ke fasilitas pelayanan kesehatan, baik
pelayanan kesehatan tradisional atau pelayanan kesehatan modern Notoatmodjo, 2005: 49 Jadi, orangtua Aini mengambil tindakan atau perilaku “didiamkan saja”,
karena tindakan atau perilaku dengan mencari penyembuhan tidak memberikan hasil yang optimal.
5.2.3. Memasung
Iyan merupakan penderita gangguan jiwa yang dipasung. Pergelangan kaki kirinya tampak berada di dalam lubang pada sebuah kayu yang cukup tebal dan
berat. Kaki kiri tersebut tidak bisa digerakkan sesuka hatinya. Setiap menit, jam dan hari harus selalu dalam posisi terjulur lurus, hanya kaki kanannya yang tampak bebas
untuk digerakkan. Melihat Iyan sungguh membuat hati teriris, karena Iyan adalah manusia, manusia yang harus terkekang kebebasannya entah sampai kapan, karena
penyakit gangguan jiwa yang menderanya.
Universitas Sumatera Utara
Ketika kunjungan dilakukan ke dalam kamar Iyan, sepertinya Iyan sering memain-mainkan matanya, sesekali ke arah kaki kirinya, sesekali ke wajah orang
yang mengunjunginya. Sepertinya dia memberi isyarat agar kaki kirinya dilepaskan dari kayu tersebut. Untuk berkata-kata Iyan memang teramat kesulitan, Iyan selalu
berkata-kata tetapi makna atau arti dari kalimat-kalimat yang diucapkannya sama sekali sulit dimengertidipahami.
Iyan sangat dekat dengan abangnya, sedangkan dengan kedua orangtuanya Iyan tidak begitu peduli, berikut penuturan ibu Iyan :
….”gak taulah nak apa Iyan masih kenal ibu atau tidak, kalo abangnya ini memang dia langsung kenal, tapi kalo yang lain datang dia tidak perduli, dia
akan perduli jika dibawakan rokok. Dulu Iyan tidak begini, biasa-biasa saja, tapi memang dia anak yang pendiam tidak begitu suka bicara. Tapi tingkah
lakunya menurut ibu yang kayak anak-anak lain, gak nyusahin. Sejak peristiwa kacau balau di sini, setiap hari ada tentara, lalu kadang ada GAM,
ada tembakan, ada yang dibunuh, Iyan makin pendiam. Dia pernah ditahan Brimob selama 3 jam, gak tau knapa, Iyan gak mau cerita, tapi sejak itu dia
takut sama yang warnanya hijau. Sampai sekarangpun kalo dikasi makan bubur kacang ijo, dia gak mau makan, langsung dibuangnya…. ibu Iyan
terdiam. Iyan sudah kami bawa berobat, sebentar sembuh, sebentar kambuh lagi, kami orang miskin nak gak bisa terus-menerus membawanya ke rumah
sakit rumah sakit jiwa. Lagian dia pun sudah gak mau minum obat lagi, dulu pernah diminumnya sekaligus semua, panik kami, untung masih bisa
disembuhkan”.
Sejak tahun 2007, Iyan sudah menjadi penderita gangguan jiwa yang dipasung, tidak ada lagi upaya-upaya pengobatan dari orangtuanya. Setiap hari Iyan
diberi makan 3 kali sehari, merokok 2 batang dan dimandikan seminggu sekali. Di kamarnya Iyan melakukan aktifitas yang sangat terbatas, buang air kecil langsung
dilakukannya di lantai kamar tersebut, begitu juga dengan buang air besar. Tidak ada
Universitas Sumatera Utara
kain atau pakaian yang menutupi tubuhnya, sehingga tubuhnya tampak hitam, berdebu, bau dan dekil.
Penanganan penderita gangguan jiwa yang cukup meningkat di Aceh pasca masa konflik, gempa dan tsunami memang berbeda, tetapi saat ini memiliki
kecenderungan untuk mengurung, merantai bahkan memasung penderita. Sampai saat ini ada sekitar 110 orang penderita sakit jiwa yang ditangani dengan cara dipasung.
Anggapan sebagian besar masyarakat bahwa mengurung, merantai bahkan memasung adalah sebuah perlakuan yang tidak manusiawi dan melanggar hak asasi
manusia, ternyata sangat berbeda dengan anggapan keluarga-keluarga yang langsung melakukan tindakan mengurung, merantai dan memasung anggota keluarganya yang
menderita gangguan jiwa. Pada ketiga objek penelitian perlakuan tersebut justru sebuah ungkapan
perasaan sayang kepada si penderita. Orangtua atau saudara penderita bahkan berasumsi jika anaknya dirawat di rumah sakit jiwa sama saja dengan membuang
anak tersebut dari keluarganya dan merasa bahwa perawatan di rumah sakit jiwa jauh lebih buruk dibandingkan dengan perawatan yang mereka lakukan sendiri.
Mengurung Miah dan merantai kaki Aini justru akan menjauhkan anak mereka dari bahaya dan cemoohan orang lain.
Hal ini hampir sama dengan laporan Safriadi dari Biro Lhokseumawe saat melakukan kunjungan dengan Direktur rumah sakit jiwa Safriadi, 2009:1-2. Jika
sebagian masyarakat punya anggapan memasung adalah pelanggaran HAM, tetapi tidak demikian dengan Cut Manyak 56 tahun warga Rhing Krueng, Kecamatan
Universitas Sumatera Utara
Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya Pijay. Cut Manyak telah memasung suaminya Mahmud 68 tahun selama hampir 30 tahun pada sebuah kayu besar yang memiliki
lubang kecil untuk memuat sebelah kakinya. Menurut sang istri, memasung suaminya merupakan ungkapan cinta dan limpahan kasih sayangnya kepada sang suami.
Dengan dipasung maka suaminya akan terhindar dari gangguan dan pukulan orang lain. Ucapan Cut Manyak pada laporan tersebut :
“Siapa bilang aku gak sayang sama suamiku, lebih baik seperti ini, aku bisa melihatnya setiap saat, aku juga gak perlu kuatir suamiku dipukuli orang lain,
karena kalo dilepas maka dia suka mengganggu orang. Kalo dibebaskan dia akan diolok-olok orang lain, kadang-kadang suka dilempari batu sama anak-
anak. Siapa yang tega melihatnya seperti itu. Aku sangat ingin suamiku sembuh, tetapi untuk membawanya berobat aku tak sanggup, ungkap Cut
Manyak”.
Jadi, masih banyak masyarakat yang memiliki anggapan bahwa dengan mengurung, merantai dan memasung merupakan sebuah bentuk ungkapan kasih
sayang dan cinta mereka kepada anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa, justru dengan membiarkan mereka berkeliaran akan menimbulkan masalah bagi
orang lain, bagi keluarga dan bagi sipenderita sendiri. Dengan mengurung dan merantai akan membebaskan dipenderita dari gangguan dan cemoohan orang lain.
Salah seorang keluarga penderita gangguan jiwa mengatakan : …..”Siapa yang sedih melihat anaknya dilempari batu. Kalo duduk di tempat
yang ramai, orang-orang pergi menjauhinya, orang-orang masih mengolok- oloknya. Gara-gara perlakuan seperti itu sakitnya kambuh lagi” Sapriadi,
2009:2.
Pada sebagian masyarakat mengganggap perlakuan yang mereka lakukan jauh lebih manusiawi dan tidak melanggar HAM dibandingkan perlakuan yang akan
Universitas Sumatera Utara
diterima penderita jika mereka membiarkannya bebas berkeliaran, lebih tidak manusiawi dan melanggar HAM.
Namun, menjadi suatu pertanyaan bagi kita apakah benar seperti yang diungkapkan Cut Manyak bahwa memasung sang suami di rumah merupakan
ungkapan cinta dan sayang. Jika melihat kondisi Iyan maka semua jawaban itu menjadi semu atau sebuah topeng untuk menutupi sesuatu yang disembunyikan, suatu
alasan yang sebenarnya yaitu ketidakmampuan untuk membawa berobat ke Rumah sakit jiwa. Apakah dapat dikatakan sayang, jika tubuh Iyan dipenuhi dengan debu,
tidur dengan tubuh tanpa busana dan hanya beralaskan papan, apakah dapat dikatakan sayang jika Miah dikurung dalam kamar yang gelap dan tidur hanya beralaskan
kardus-kardus bekas ? Salah satu keluarga yang memiliki anggota keluarga menderita gangguan
jiwa, yang dirantai selama hampir 20 tahun dan menghabiskan waktunya selama 20 tahun pada sebuah gubuk hanya dengan beralaskan tikar, mengungkapkan alasan
merantai : ….ia Yusuf sudah menghabiskan sekitar 20 tahun umurnya dalam gubuk ini
dengan hanya beralaskan tikar. Saya telah berusaha berbagai cara untuk mengakhiri deritanya, namun hingga kini upaya-upaya tersebut tidak
membuahkan hasil. Padahal satu unit rumah dan sebidang petak sawah telah dijual sekitar tahun 80-an untuk biaya berobat. Namun karena sudah tidak
mempunyai biaya lagi, maka saya terpaksa merantai kaki anak saya, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terhadap keluarga dan orang lain.
Awalnya saya tidak merantainya, saya tidak tega melihatnya menderita. Tindakan ini terpaksa saya lakukan, setelah pada suatu hari dia mencekek
saya hingga tak berdaya. Beruntung ketika itu ada tetangga yang melihat dan menolong saya” dikutip dari Serambi, 12 Januari 2009.
Universitas Sumatera Utara
Penanganan penderita gangguan jiwa dengan cara merantai, mengurung dan memasung sudah ada sejak lama. Dalam masyarakat non-Barat, jika penderita
gangguan jiwa tidak bersifat galak, lebih sering diberi kebebasan gerak dalam masyarakat mereka, kebutuhan-kebutuhan dipenuhi oleh anggota keluarga mereka.
Tetapi, seseorang penderita gangguan jiwa yang sakit gawat, dapat dipelihara di rumah tanpa mengganggu kehidupan rutin rumah tangganya maupun kehidupan
masyarakatnya. Seorang yang “gila” yang mengganggu akan dibawa ke suatu dukuh di semak-semak untuk beberapa hari atau dikunci dikamarnya. Sebuah pintu khusus
2x2 kaki dibuat di dalam rumah, cukup untuk menyodorkan makanan saja bagi penderita Anderson, 2005:107-108.
Jadi, dari hasil ungkapan-ungkapan informan dan analisis yang dilakukan maka pola penanganan gangguan jiwa dimasyarakat adalah membawa penderita atau
keluarga yang terkena gangguan jiwa kepada dukunparanormal pengobatan secara personalistik. Dukun adalah orang pertama yang didatangi untuk mengetahui
penyebab-penyebab si anak menderita gangguan jiwa dan metode pengobatan yang dilakukan pun sesuai dengan anjuran dukun tersebut. Miah diobati oleh dukun dengan
metode ‘disembur’ dengan air, lalu Iyan diobati dengan metode ‘memenuhi nazarnya Iyan’.
Ketika pengobatan dengan dukun mengalami kegagalan maka keluarga akan mencari pengobatan secara medismodern, ke Puskesmas atau ke rumah sakit jiwa.
Pengobatan secara medis pun tidak dilakukan secara maksimal, masih terlihat nuansa kepercayaan yang kurang terhadap pengobatan secara medismodern. Pengobatan
Universitas Sumatera Utara
secara medismodern dilakukan secara setengah hati, karena di tengah penanganan secara medismodern dilakukan maka keluarga masih juga melakukan pengobatan
secara tradisional personalistik. Dan, gabungan cara pengobatan secara personalistik dan modern inilah yang masih sering terjadi di masyarakat.
Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya kepercayaan masyarakat terhadap pengobatan personalistik masih ada dan cukup tinggi. Masyarakat masih lebih dapat
memahami dan menerima ‘diagnosa’ dukun tentang penyebab-penyebab gangguan jiwa pada anaknya, daripada diagnosa secara medis modern. Pengobatan secara
modern sering menjadi alternatif terakhir dalam upaya pencarian pengobatan.
5.3. Penanganan Penderita Gangguan Jiwa Oleh Pemerintah