Struktur Komunitas Makrozoobentos di Perairan Estuaria Sungai Brantas (Sungai Porong dan Wonokromo), Jawa Timur

(1)

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS

DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS

(SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO),

JAWA TIMUR

FAJLUR ADI RAHMAN

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN

ESTUARIA SUNGAI BRANTAS (SUNGAI PORONG DAN

WONOKROMO), JAWA TIMUR

adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2009

Fajlur Adi Rahman


(3)

Fajlur Adi Rahman. C24104070. Struktur Komunitas Makrozoobentos di Perairan Estuaria Sungai Brantas (Sungai Porong dan Wonokromo), Jawa Timur (Di bawah bimbingan Yusli Wardiatno dan Ario Damar)

RINGKASAN

Sungai Brantas merupakan sungai terpanjang di Jawa Timur, dengan panjang ± 320 km dan daerah aliran seluas ± 12.000 km2 atau lebih kurang seperempat luas wilayah Provinsi Jawa Timur. Sungai Brantas mengalir mulai dari Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kabupaten Malang. Lokasi tersebut terletak di Gunung Arjuno dan Anjasmara yang bermuara dan bercabang di Sungai Wonokromo dan Sungai Porong (Anonymus in Handayani et al., 2001).

Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan struktur komunitas makrozoobentos estuaria Sungai Brantas (Sungai Porong dan Wonokromo) secara spasial, maupun secara temporal, dan mengetahui perubahan struktur komunitas makrozoobentos estuaria Sungai Porong akibat pembuangan Lumpur Sidoardjo.

Sampling makrozoobentos dilakukan pada estuaria anak Sungai Brantas

yaitu Sungai Porong dan Wonokromo yang keduanya merupakan cabang utama yang terletak di Provinsi Jawa Timur. Sampling makrozoobentos dilakukan tiga kali berdasarkan perbedaan temporal dan spasial yaitu pada tangal 31 Maret 2007

(sampling tambahan) dan 7–8 Maret 2008 yang mewakili musim hujan sedangkan

tanggal 28–29 Agustus 2007 yang mewakili musim kemarau. Data sekunder di tahun sebelumnya oleh Fahliza (2007) juga digunakan sebagai pembanding. Analisis data menggunakan rumus kepadatan. Sampling baik secara temporal dan spasial dilihat dengan Box Plot, Uji Similaritas dan Uji Kruskal-Wallis.

Secara spasial kepadatan makrozoobentos estuaria Sungai Porong rendah pada daerah mulut sungai kemudian semakin meningkat dan kembali turun ke arah laut pada musim hujan sedangkan di musim kemarau perubahan terlihat secara linier. Pada estuaria Sungai Wonokromo sebaran kepadatan spasial di kedua musim mirip dengan sebaran estuaria Sungai Porong pada musim hujan. Makrozoobentos yang ditemukan pada estuaria Sungai Porong tersusun oleh 17 jenis dari 6 kelas yaitu Pelecypoda sebagai dominan, Polychaeta, Gastropoda, Nemertina, Malacostraca dan Holothuroidea sedangkan estuaria Sungai Wonokromo tersusun oleh 23 jenis dari 5 kelas yaitu Pelecypoda, Malacostraca, Gastropoda, Polychaeta dan Holothuroidea.

Pola sebaran makrozoobentos secara temporal menunjukkan bahwa pada musim hujan memiliki kepadatan yang lebih rendah dibandingkan kemarau. Perbedaan musim juga berpengaruh terhadap komposisi makrozoobentos pada kedua estuaria ini dimana pada musim hujan komposisi jenis makrozoobentos lebih beragam dengan dominansi yang lebih rendah dibanding kemarau. Kedua kondisi ini terjadi di kedua estuaria akan tetapi pada estuaria Sungai Porong perbedaannya lebih signifikan.

Setelah adanya buangan Lumpur Sidoardjo terlihat adanya perubahan komposisi makrozoobentos pada estuaria Sungai Porong yaitu sangat dominannya Pelecypoda. Perubahan yang terjadi kemungkinan besar akibat siklus musiman yang berpengaruh terhadap organisme bentik di dalamnya. Hal ini juga terjadi pada estuaria Sungai Wonokromo akan tetapi tidak terlalu signifikan.


(4)

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS

DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS

(SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO),

JAWA TIMUR

FAJLUR ADI RAHMAN

C24104070

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(5)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Struktur Komunitas Makrozoobentos di Perairan Estuaria Sungai Brantas (Sungai Porong dan Wonokromo), Jawa Timur

Nama Mahasiswa : Fajlur Adi Rahman Nomor Pokok : C24104070

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui: I. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc Dr. Ir. Ario Damar, M.Si

NIP 131 956 708

NIP 131 878 933

Mengetahui,

II. Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP 131 578 799


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini yang berjudul “Struktur Komunitas Makrozoobentos di Perairan Estuaria Sungai Brantas (Sungai Porong dan Wonokromo), Jawa Timur”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada program studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Ario Damar, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi dan akademik yang telah banyak memberikan arahan dan masukan hingga penyelesaian skripsi ini serta atas izinnya untuk bergabung dalam penelitian yang didanai oleh grant IFS Swedia Grantee No. A/3865-1, 2005.

2. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc selaku dosen penguji dan Ir. Zairion, M.Sc selaku wakil komisi pendidikan program S-1 atas saran, nasehat dan perbaikan yang diberikan

3. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc dan Dr. Ir. M. F. Rahardjo, DEA atas saran, motivasi dan nasehat yang telah diberikan

4. Ibu Siti Nursiyamah selaku staf Lab. Biologi Mikro I (BIMI I) yang telah banyak membantu selama proses identifikasi hingga terselesaikan dengan lancar

5. Para staf Tata Usaha MSP yang sangat saya banggakan, terutama Mba Widar dan Mba Zaenab atas arahan dan kesabarannya

6. Keluarga tercinta, Ayah, Mama, Adinda Ana dan Yana serta Adinda Afni yang baru bertemu setelah dewasa atas doa, kasih sayang, dukungan dan motivasinya

7. Brantas Team (Cobra, Dewul, Rendy dan Mas Ayub PKSPL) atas suka duka,


(7)

8. DR family sebagai rumah kedua di Bogor (Spy, Ir-1, Wai dan Rifi) atas suka dukanya selama ini

9. Arrozaqers atas spasial yang diberikan selama beberapa bulan ini (Cbr, H-bib, Wai dan Ichel)

10. Teman-teman MSP angkatan 41 yang tidak bisa disebutkan satu per satu dari NRP 03 – 86 atas dukungan, semangat, persahabatan, perjuangan dan suka duka selama ini

11. Teman-teman MSP angkatan 40, 42 dan 43 atas dukungan, semangat dan kebersamaan selama ini

Penulis menyadari ketidaksempurnaan penulisan tugas akhir ini. Sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan sehingga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat. Akhir kata, besar harapan penulis terhadap karya kecil ini agar dapat bermanfaat bagi semuanya.

Bogor, Januari 2009


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan ... 4

1.4. Manfaat ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan Umum Daerah Penelitian ... 5

2.2. Ekologi Estuaria ... 5

2.3. Makrozoobentos ... 8

2.4. Komunitas Makrozoobentos ... 12

2.5. Faktor Fisika dan Kimia yang Mempengaruhi Keberadaan Makrozoobentos di Perairan ... 14

2.5.1. Arus ... 15

2.5.2. Kekeruhan ... 16

2.5.3. Substrat Dasar ... 16

2.5.4. Derajat Keasaman (pH) ... 18

2.5.5. Suhu ... 18

2.5.6. Salinitas ... 19

2.6. Sedimen ... 20

III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 24

3.2. Alat dan Bahan ... 25

3.3. Penentuan Stasiun ... 26

3.4. Pengambilan dan Penanganan Contoh... 27

3.5. Analisa Data ... 29

3.5.1. Kepadatan Makrozoobentos ... 29

3.5.2. Similaritas... 29

3.5.3. Box Plot ... 30

3.5.4. Uji Kruskal-Wallis ... 30

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Perairan ... 31

4.1.1. Kondisi Perairan Estuaria Sungai Porong ... 32

4.1.1.1. Salinitas ... 32

4.1.1.2. Derajat Keasaman (pH) ... 33

4.1.1.3. Tekstur Sedimen ... 34

4.1.1.4. Kandungan C-Organik Sedimen ... 35

4.1.2. Kondisi Perairan Estuaria Sungai Wonokromo ... 37

4.1.2.1. Salinitas ... 37

4.1.2.2. Derajat Keasaman (pH) ... 37


(9)

4.1.2.3. Tekstur Sedimen ... 38

4.1.2.4. Kandungan C-Organik Sedimen ... 38

4.1.3. Perbandingan Kondisi Lingkungan pada Kedua Estuaria... 38

4.2. Sebaran Makrozoobentos Secara Spasial ... 42

4.2.1. Estuaria Sungai Porong ... 42

4.2.2. Estuaria Sungai Wonokromo ... 48

4.2.3. Perbandingan Struktur Komunitas Makrozoobentos di Kedua Estuaria ... 50

4.3. Sebaran Makrozoobentos Secara Temporal ... 51

4.3.1. Estuaria Sungai Porong ... 51

4.3.2. Estuaria Sungai Wonokromo ... 55

4.3.3. Perbandingan Struktur Komunitas Makrozoobentos di Kedua Musim ... 58

4.4. Komunitas Makrozoobentos Setelah Adanya Lumpur Sidoardjo ... 61

4.5. Pengelolaan Sumberdaya Perairan Estuaria Sungai Brantas ... 64

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 67

5.2. Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 69

LAMPIRAN ... 72

RIWAYAT HIDUP ... 99


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Faktor-faktor lingkungan perairan dan pengaruhnya terhadap bentos

(Pearson and Rosenberg, 1978 in Nybakken, 1988)... 15

2. Ukuran besar butir untuk sedimen menurut skala Wenthworth (Wibisono, 2005) ... 22

3. Posisi stasiun 1 – 9 pada sampling makrozoobentos kedua dan ketiga, estuaria Sungai Porong ... 26

4. Posisi stasiun 10 – 16 pada sampling makrozoobentos kedua dan ketiga, estuaria Sungai Wonokromo ... 27

5. Parameter fisika dan kimia air beserta metode yang digunakan ... 28

6. Kondisi perairan estuaria Sungai Porong ... 31

7. Kondisi perairan estuaria Sungai Wonokromo ... 32


(11)

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS

DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS

(SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO),

JAWA TIMUR

FAJLUR ADI RAHMAN

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(12)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN

ESTUARIA SUNGAI BRANTAS (SUNGAI PORONG DAN

WONOKROMO), JAWA TIMUR

adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2009

Fajlur Adi Rahman


(13)

Fajlur Adi Rahman. C24104070. Struktur Komunitas Makrozoobentos di Perairan Estuaria Sungai Brantas (Sungai Porong dan Wonokromo), Jawa Timur (Di bawah bimbingan Yusli Wardiatno dan Ario Damar)

RINGKASAN

Sungai Brantas merupakan sungai terpanjang di Jawa Timur, dengan panjang ± 320 km dan daerah aliran seluas ± 12.000 km2 atau lebih kurang seperempat luas wilayah Provinsi Jawa Timur. Sungai Brantas mengalir mulai dari Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kabupaten Malang. Lokasi tersebut terletak di Gunung Arjuno dan Anjasmara yang bermuara dan bercabang di Sungai Wonokromo dan Sungai Porong (Anonymus in Handayani et al., 2001).

Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan struktur komunitas makrozoobentos estuaria Sungai Brantas (Sungai Porong dan Wonokromo) secara spasial, maupun secara temporal, dan mengetahui perubahan struktur komunitas makrozoobentos estuaria Sungai Porong akibat pembuangan Lumpur Sidoardjo.

Sampling makrozoobentos dilakukan pada estuaria anak Sungai Brantas

yaitu Sungai Porong dan Wonokromo yang keduanya merupakan cabang utama yang terletak di Provinsi Jawa Timur. Sampling makrozoobentos dilakukan tiga kali berdasarkan perbedaan temporal dan spasial yaitu pada tangal 31 Maret 2007

(sampling tambahan) dan 7–8 Maret 2008 yang mewakili musim hujan sedangkan

tanggal 28–29 Agustus 2007 yang mewakili musim kemarau. Data sekunder di tahun sebelumnya oleh Fahliza (2007) juga digunakan sebagai pembanding. Analisis data menggunakan rumus kepadatan. Sampling baik secara temporal dan spasial dilihat dengan Box Plot, Uji Similaritas dan Uji Kruskal-Wallis.

Secara spasial kepadatan makrozoobentos estuaria Sungai Porong rendah pada daerah mulut sungai kemudian semakin meningkat dan kembali turun ke arah laut pada musim hujan sedangkan di musim kemarau perubahan terlihat secara linier. Pada estuaria Sungai Wonokromo sebaran kepadatan spasial di kedua musim mirip dengan sebaran estuaria Sungai Porong pada musim hujan. Makrozoobentos yang ditemukan pada estuaria Sungai Porong tersusun oleh 17 jenis dari 6 kelas yaitu Pelecypoda sebagai dominan, Polychaeta, Gastropoda, Nemertina, Malacostraca dan Holothuroidea sedangkan estuaria Sungai Wonokromo tersusun oleh 23 jenis dari 5 kelas yaitu Pelecypoda, Malacostraca, Gastropoda, Polychaeta dan Holothuroidea.

Pola sebaran makrozoobentos secara temporal menunjukkan bahwa pada musim hujan memiliki kepadatan yang lebih rendah dibandingkan kemarau. Perbedaan musim juga berpengaruh terhadap komposisi makrozoobentos pada kedua estuaria ini dimana pada musim hujan komposisi jenis makrozoobentos lebih beragam dengan dominansi yang lebih rendah dibanding kemarau. Kedua kondisi ini terjadi di kedua estuaria akan tetapi pada estuaria Sungai Porong perbedaannya lebih signifikan.

Setelah adanya buangan Lumpur Sidoardjo terlihat adanya perubahan komposisi makrozoobentos pada estuaria Sungai Porong yaitu sangat dominannya Pelecypoda. Perubahan yang terjadi kemungkinan besar akibat siklus musiman yang berpengaruh terhadap organisme bentik di dalamnya. Hal ini juga terjadi pada estuaria Sungai Wonokromo akan tetapi tidak terlalu signifikan.


(14)

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS

DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS

(SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO),

JAWA TIMUR

FAJLUR ADI RAHMAN

C24104070

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(15)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Struktur Komunitas Makrozoobentos di Perairan Estuaria Sungai Brantas (Sungai Porong dan Wonokromo), Jawa Timur

Nama Mahasiswa : Fajlur Adi Rahman Nomor Pokok : C24104070

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui: I. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc Dr. Ir. Ario Damar, M.Si

NIP 131 956 708

NIP 131 878 933

Mengetahui,

II. Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP 131 578 799


(16)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini yang berjudul “Struktur Komunitas Makrozoobentos di Perairan Estuaria Sungai Brantas (Sungai Porong dan Wonokromo), Jawa Timur”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada program studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Ario Damar, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi dan akademik yang telah banyak memberikan arahan dan masukan hingga penyelesaian skripsi ini serta atas izinnya untuk bergabung dalam penelitian yang didanai oleh grant IFS Swedia Grantee No. A/3865-1, 2005.

2. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc selaku dosen penguji dan Ir. Zairion, M.Sc selaku wakil komisi pendidikan program S-1 atas saran, nasehat dan perbaikan yang diberikan

3. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc dan Dr. Ir. M. F. Rahardjo, DEA atas saran, motivasi dan nasehat yang telah diberikan

4. Ibu Siti Nursiyamah selaku staf Lab. Biologi Mikro I (BIMI I) yang telah banyak membantu selama proses identifikasi hingga terselesaikan dengan lancar

5. Para staf Tata Usaha MSP yang sangat saya banggakan, terutama Mba Widar dan Mba Zaenab atas arahan dan kesabarannya

6. Keluarga tercinta, Ayah, Mama, Adinda Ana dan Yana serta Adinda Afni yang baru bertemu setelah dewasa atas doa, kasih sayang, dukungan dan motivasinya

7. Brantas Team (Cobra, Dewul, Rendy dan Mas Ayub PKSPL) atas suka duka,


(17)

8. DR family sebagai rumah kedua di Bogor (Spy, Ir-1, Wai dan Rifi) atas suka dukanya selama ini

9. Arrozaqers atas spasial yang diberikan selama beberapa bulan ini (Cbr, H-bib, Wai dan Ichel)

10. Teman-teman MSP angkatan 41 yang tidak bisa disebutkan satu per satu dari NRP 03 – 86 atas dukungan, semangat, persahabatan, perjuangan dan suka duka selama ini

11. Teman-teman MSP angkatan 40, 42 dan 43 atas dukungan, semangat dan kebersamaan selama ini

Penulis menyadari ketidaksempurnaan penulisan tugas akhir ini. Sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan sehingga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat. Akhir kata, besar harapan penulis terhadap karya kecil ini agar dapat bermanfaat bagi semuanya.

Bogor, Januari 2009


(18)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan ... 4

1.4. Manfaat ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan Umum Daerah Penelitian ... 5

2.2. Ekologi Estuaria ... 5

2.3. Makrozoobentos ... 8

2.4. Komunitas Makrozoobentos ... 12

2.5. Faktor Fisika dan Kimia yang Mempengaruhi Keberadaan Makrozoobentos di Perairan ... 14

2.5.1. Arus ... 15

2.5.2. Kekeruhan ... 16

2.5.3. Substrat Dasar ... 16

2.5.4. Derajat Keasaman (pH) ... 18

2.5.5. Suhu ... 18

2.5.6. Salinitas ... 19

2.6. Sedimen ... 20

III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 24

3.2. Alat dan Bahan ... 25

3.3. Penentuan Stasiun ... 26

3.4. Pengambilan dan Penanganan Contoh... 27

3.5. Analisa Data ... 29

3.5.1. Kepadatan Makrozoobentos ... 29

3.5.2. Similaritas... 29

3.5.3. Box Plot ... 30

3.5.4. Uji Kruskal-Wallis ... 30

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Perairan ... 31

4.1.1. Kondisi Perairan Estuaria Sungai Porong ... 32

4.1.1.1. Salinitas ... 32

4.1.1.2. Derajat Keasaman (pH) ... 33

4.1.1.3. Tekstur Sedimen ... 34

4.1.1.4. Kandungan C-Organik Sedimen ... 35

4.1.2. Kondisi Perairan Estuaria Sungai Wonokromo ... 37

4.1.2.1. Salinitas ... 37

4.1.2.2. Derajat Keasaman (pH) ... 37


(19)

4.1.2.3. Tekstur Sedimen ... 38

4.1.2.4. Kandungan C-Organik Sedimen ... 38

4.1.3. Perbandingan Kondisi Lingkungan pada Kedua Estuaria... 38

4.2. Sebaran Makrozoobentos Secara Spasial ... 42

4.2.1. Estuaria Sungai Porong ... 42

4.2.2. Estuaria Sungai Wonokromo ... 48

4.2.3. Perbandingan Struktur Komunitas Makrozoobentos di Kedua Estuaria ... 50

4.3. Sebaran Makrozoobentos Secara Temporal ... 51

4.3.1. Estuaria Sungai Porong ... 51

4.3.2. Estuaria Sungai Wonokromo ... 55

4.3.3. Perbandingan Struktur Komunitas Makrozoobentos di Kedua Musim ... 58

4.4. Komunitas Makrozoobentos Setelah Adanya Lumpur Sidoardjo ... 61

4.5. Pengelolaan Sumberdaya Perairan Estuaria Sungai Brantas ... 64

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 67

5.2. Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 69

LAMPIRAN ... 72

RIWAYAT HIDUP ... 99


(20)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Faktor-faktor lingkungan perairan dan pengaruhnya terhadap bentos

(Pearson and Rosenberg, 1978 in Nybakken, 1988)... 15

2. Ukuran besar butir untuk sedimen menurut skala Wenthworth (Wibisono, 2005) ... 22

3. Posisi stasiun 1 – 9 pada sampling makrozoobentos kedua dan ketiga, estuaria Sungai Porong ... 26

4. Posisi stasiun 10 – 16 pada sampling makrozoobentos kedua dan ketiga, estuaria Sungai Wonokromo ... 27

5. Parameter fisika dan kimia air beserta metode yang digunakan ... 28

6. Kondisi perairan estuaria Sungai Porong ... 31

7. Kondisi perairan estuaria Sungai Wonokromo ... 32


(21)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Faktor-faktor kualitas air (sifat fisika-kimia) yang mempengaruhi

komunitas bentos (Hawkes, 1979) ... 14

2. Estuaria Sungai Porong dan Sungai Wonokromo, Jawa Timur (Sumber: Google Earth) ... 24

3. Lokasi sampling makrozoobentos tanggal 29 Agustus 2007 dan 8 Maret 2008, estuaria Sungai Porong (Sumber: Bakosurtanal, 2000) ... 25

4. Lokasi sampling makrozoobentos tanggal 28 Agustus 2007 dan 7 Maret 2008, estuaria Sungai Wonokromo (Sumber: Bakosurtanal, 2000) ... 25

5. Box Plot Parameter Salinitas pada Kedua Estuaria ... 39

6. Box Plot Parameter pH pada Kedua Estuaria ... 39

7. Box Plot Tekstur Debu dan Liat Sedimen pada Kedua Estuaria ... 41

8. Box Plot Kandungan C-Organik pada Kedua Estuaria ... 41

9. Pola Penyebaran Makrozoobentos Secara Spasial Estuaria Sungai Porong ... 43

10. Pola Penyebaran Makrozoobentos Secara Spasial Estuaria Sungai Wonokromo ... 49

11. Box Plot Sebaran Spasial Kepadatan Makrozoobentos (ind/ m2) di Kedua Estuaria ... 50

12. Box Plot Jumlah Spesies Makrozoobentos yang Ditemukan di Kedua Estuaria ... 51

13. Pola Sebaran Makrozoobentos antar Musim di Estuaria Sungai Porong ... 52

14. Dendrogram Similaritas antar Sampling pada Estuaria Sungai Porong dan Wonokromo ... 53

15. Sebaran Kelas Makrozoobentos antar Musim di Estuaria Sungai Porong ... 54

16. Pola Sebaran Makrozoobentos antar Musim di Estuaria Sungai Wonokromo ... 56


(22)

17. Pola Sebaran Kelas Makrozoobentos antar Musim di Estuaria Sungai

Wonokromo ... 57

18. Box Plot Sebaran Temporal Kepadatan Makrozoobentos (ind/ m2) pada kedua Musim ... 58

19. Box Plot Sebaran Temporal Jumlah Spesies Makrozoobentos yang

Ditemukan pada Kedua Musim ... 59

20. Box Plot Kepadatan Makrozoobentos (ind/ m2) di Kedua Estuaria pada Kedua Musim ... 60

21. Box Plot Jumlah Spesies Makrozoobentos yang Ditemukan di Kedua Estuaria pada Kedua Musim ... 60


(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Lokasi Sampling Makrozoobentos Tambahan Tanggal 31 Maret 2007,

Estuaria Sungai Porong ... 73

2. Kepadatan Makrozoobentos Secara Spasial per Stasiun pada Kelima

Pengambilan Sampel Makrozoobentos Estuaria Sungai Porong ... 74

3 . Kepadatan Makrozoobentos Secara Spasial per Stasiun pada Kedua

Pengambilan Sampel Estuaria Sungai Wonokromo ... 75

4. Regresi dan Similaritas C-Organik dengan Tekstur Debu-Liat (Lumpur) Estuaria Sungai Porong ... 76

5. Regresi dan Similaritas C-Organik dengan Tekstur Debu-Liat (Lumpur) Estuaria Sungai Wonokromo ... 79

6. Alat-alat yang Digunakan, Proses Penyaringan dan Penyortiran Sampel Makrozoobentos ... 80

7. Makrozoobentos yang Ditemukan pada Estuaria Sungai Porong dan

Wonokromo ... 82

8. Kepadatan (ind/m2) Makrozoobentos per Stasiun Estuaria Sungai

Porong (Maret 2006)... 85

9. Kepadatan (ind/m2) Makrozoobentos per Stasiun Estuaria Sungai

Porong (Juli 2006) ... 86

10. Kepadatan (ind/m2) Makrozoobentos per Stasiun Estuaria Sungai

Porong (Maret 2007)... 87

11. Kepadatan (ind/m2) Makrozoobentos per Stasiun Estuaria Sungai

Porong (Agustus 2007) ... 88

12. Kepadatan (ind/m2) Makrozoobentos per Stasiun Estuaria Sungai

Porong (Maret 2008)... 89

13. Kepadatan (ind/m2) Makrozoobentos per Stasiun Estuaria Sungai

Wonokromo (Agustus 2008) ... 90

14. Kepadatan (ind/m2) Makrozoobentos per Stasiun Estuaria Sungai

Wonokromo (Maret 2008) ... 92

15. Komposisi Kelas Makrozoobentos Estuaria Sungai Porong dan

Wonokromo ... 94


(24)

16. Perhitungan Dendrogram per Sampling pada Estuaria Sungai Porong dan Wonokromo ... 96

17. Contoh Perhitungan Kepadatan Makrozoobentos ... 97

18. Perhitungan Uji Kruskal-Wallis ... 98


(25)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Estuaria adalah suatu perairan semi tertutup yang berada di bagian hilir sungai dan masih berhubungan dengan laut, sehingga memungkinkan terjadinya percampuran antara air tawar dan air laut. Kebanyakan estuaria didominasi oleh substrat lumpur yang berasal dari endapan yang dibawa oleh air sungai maupun air laut. Substrat dasar estuaria biasanya kaya akan bahan organik karena partikel yang mengendap kebanyakan bersifat organik. Bahan organik inilah yang akan menjadi cadangan makanan utama bagi organisme estuaria.

Parameter lingkungan utama untuk ekosistem estuaria yaitu sirkulasi air (dipengaruhi oleh pasang surut), partikel tersuspensi, dan kandungan polutan. Sirkulasi air di daerah estuaria sangat dipengaruhi oleh aliran air tawar yang berasal dari badan sungai di atasnya dan air pasang yang berasal dari laut. Besar atau kecilnya debit kedua aliran massa air tersebut akan mempengaruhi pola stratifikasi massa air berdasarkan salinitas.

Partikel-partikel tersuspensi yang khususnya terkandung dalam aliran sungai akan masuk dan terakumulasi di estuaria. Karena kondisi pada saat tertentu cenderung stagnan, maka partikel sedimen akan mengalami pengendapan, sehingga lapisan dasar akan bertambah tebal dan terjadi pendangkalan.

Jumlah spesies organisme yang menghuni estuaria jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan organisme yang hidup di perairan tawar ataupun laut. Jumlah yang sedikit itu disebabkan oleh terjadinya fluktuasi besar kondisi lingkungan, terutama salinitas dan suhu pada saat terjadi pasang surut.

Hewan bentos hidup relatif menetap, sehingga baik digunakan sebagai petunjuk kualitas lingkungan, karena selalu berhubungan dengan limbah yang masuk ke habitatnya. Kelompok hewan tersebut dapat lebih mencerminkan adanya perubahan faktor-faktor lingkungan dari waktu ke waktu, karena hewan bentos terus menerus terendam oleh air yang kualitasnya berubah-ubah. Di antara hewan bentos yang relatif mudah diidentifikasi dan peka terhadap perubahan lingkungan perairan adalah jenis-jenis yang termasuk dalam kelompok makroinvertebrata. Kelompok ini lebih dikenal dengan makrozoobentos.


(26)

Keberadaan hewan bentos pada suatu perairan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik. Faktor biotik yang berpengaruh di antaranya adalah produsen (fitoplankton), yang merupakan salah satu sumber makanan bagi hewan bentos. Adapun faktor abiotik adalah fisika-kimia air yang diantaranya: suhu, arus, oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen biologi (BOD), dan kebutuhan oksigen kimia (COD) serta kandungan Nitrogen (N), kedalaman air, dan substrat dasar.

Pengkajian kualitas perairan dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan analisis fisika dan kimia air serta analisis biologi. Untuk perairan yang dinamis, analisis fisika dan kimia air kurang memberikan gambaran kualitas perairan sesungguhnya dan dapat memberikan penyimpangan-penyimpangan yang kurang menguntungkan, karena kisaran nilai-nilai peubahnya sangat dipengaruhi keadaan sesaat. Lingkungan yang dinamis, analisis biologi khususnya analisis struktur komunitas hewan bentos, dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai kondisi perairan.

Perubahan-perubahan kualitas air dan substrat tempat hidup makrozoobentos sangat mempengaruhi komposisi maupun kepadatannya yang bergantung pada toleransi atau sensitivitas terhadap perubahan lingkungan. Setiap komunitas memberikan respon terhadap perubahan kualitas habitat dengan cara penyesuaian diri pada struktur komunitas. Dalam lingkungan yang relatif stabil, komposisi dan kepadatan makrozoobentos relatif tetap. Sehingga pengkajian struktur komunitas makrozoobentos merupakan hal yang penting untuk melihat kondisi suatu perairan.

1.2. Perumusan Masalah

Sungai Brantas merupakan sungai terpanjang di Jawa Timur, dengan panjang ± 320 km dan daerah aliran seluas ± 12.000 km2 atau lebih kurang seperempat luas wilayah Provinsi Jawa Timur. Sungai Brantas mengalir mulai dari Sumber Brantas, Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kabupaten Malang. Lokasi tersebut terletak di Gunung Arjuno dan Anjasmara yang bermuara dan bercabang di Sungai Wonokromo dan Sungai Porong.


(27)

Berkembangnya kegiatan penduduk di Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas, seperti bertambahnya pemukiman penduduk, kegiatan industri rumah tangga, kegiatan pertanian, pertambangan dan pertambakan, dapat berpengaruh terhadap kualitas airnya, karena limbah yang dihasilkan dari kegiatan penduduk tersebut dibuang langsung ke sungai. Sementara perkembangan industri yang semakin cepat dan intensifikasi air irigasi akan menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan.

Adanya masukan bahan-bahan terlarut maupun tersuspensi yang dihasilkan oleh kegiatan penduduk di sekitar DAS Brantas sampai pada batas-batas tertentu tidak akan menurunkan kualitas air sungai. Namun apabila beban masukan bahan-bahan terlarut tersebut melebihi kemampuan sungai untuk membersihkan diri sendiri (self purification), maka timbul permasalahan yang serius yaitu pencemaran perairan, sehingga berpengaruh negatif terhadap kehidupan biota perairan dan kesehatan penduduk yang memanfaatkan air sungai tersebut.

Masukan bahan organik dan sumber-sumber pencemar tersebut ke dalam perairan mempunyai akibat yang sangat kompleks, tidak hanya deoksigenasi dalam air, tetapi dapat terjadi penambahan padatan tersuspensi, bahan beracun serta berpengaruh terhadap komposisi dan kepadatan komunitas biologi dalam hal ini adalah makrozoobentos. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka diperlukan kegiatan penelitian tentang kualitas lingkungan perairan di DAS Brantas bagian estuaria. Estuaria ini merupakan daerah muara tempat terakumulasinya bahan-bahan bawaan dari aliran sungai. Selanjutnya dari penelitian tersebut diharapkan dapat dijadikan masukan untuk merumuskan perencanaan pengelolaan lingkungan, dalam rangka mengendalikan pencemaran di Sungai Brantas.


(28)

1.3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. mendeskripsikan struktur komunitas makrozoobentos estuaria Sungai Brantas (Sungai Porong dan Wonokromo) secara spasial,

2. mendeskripsikan struktur komunitas makrozoobentos estuaria Sungai Brantas (Sungai Porong dan Wonokromo) secara temporal, dan

3. mengetahui perubahan struktur komunitas makrozoobentos estuaria Sungai Brantas (Sungai Porong dan Wonokromo) akibat pembuangan Lumpur Sidoardjo.

1.4. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah tentang ekologi komunitas makrozoobentos di sebuah estuaria tropis yang dikaitkan dengan dinamika spasial dan temporal serta informasi terhadap kualitas perairan Sungai Brantas (Sungai Porong dan Wonokromo) yang banyak dipengaruhi oleh limbah domestik maupun industri, pertanian, pertambakan dan pertambangan sehingga dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam menentukan perencanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan di masa yang akan datang agar tercapai pemanfaatan sumberdaya alam yang berwawasan lingkungan.


(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Keadaan Umum Daerah Penelitian

Sungai Brantas berada di Provinsi Jawa Timur dengan panjang total 320 km dan daerah aliran seluas 11.050 km2 yang merupakan sungai kedua terbesar di Pulau Jawa mencakup 5 kota madya, 11 kabupaten dan 33 kecamatan. Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas merupakan DAS yang terpadat penduduknya di Indonesia. Sungai Brantas bercabang menjadi dua, ke arah timur laut mengalir Sungai Wonokromo dan ke arah timur mengalir Sungai Porong di sekitar 40 km sebelum Kota Surabaya. Curah hujan sekitar 1.860 mm/tahun dengan sekitar 25 mm/bulan pada musim kemarau dan puncaknya sampai 350 mm/bulan selama Januari dan Februari. Selama musim hujan ketika hampir 80 % air yang disuplai dari Brantas dialihkan ke Porong rata-rata alirannya sekitar 600 m3/s dan dapat mencapai 1.200 m3/s pada musim hujan yang ekstrim (Schroeder et al., 2004).

Sungai Brantas merupakan sungai terpanjang di Jawa Timur dengan luas aliran kurang lebih seperempat luas wilayah Provinsi Jawa Timur. Sungai Brantas bersumber pada lereng gunung Arjuna dan Anjasmara yang bermuara di selat Madura. Jumlah penduduk di wilayah ini kurang lebih 14 juta jiwa (40 % dari penduduk Jawa Timur), dimana sebagian besar bergantung pada sumberdaya air yang merupakan sumber utama bagi kebutuhan air baku untuk konsumsi domestik, irigasi, industri, rekreasi, pembangkit tenaga listrik dan lain-lain (Anonymus in Handayani et al., 2001).

2.2. Ekologi Estuaria

Estuaria adalah suatu perairan semi tertutup yang berada di bagian hilir sungai dan masih berhubungan dengan laut, sehingga memungkinkan terjadinya percampuran antara air tawar dan air laut (Dahuri, 2003). Pritchard (1967) in

Wibisono (2005) mengatakan bahwa estuaria adalah suatu badan perairan pantai yang semi tertutup, tetapi masih mempunyai hubungan dengan laut terbuka dimana air laut mengalami pelarutan yang bisa diukur dengan massa air tawar yang berasal dari drainase darat.


(30)

Definisi dari Pritchard tersebut belum menyebutkan tentang pasang surut yang merupakan salah satu sifat fisis hidro-oseanografi yang terasa pada setiap daerah pantai. Odum (1993) mendefinisikan estuaria (aestus, air pasang) adalah suatu badan air pantai setengah tertutup yang berhubungan langsung dengan laut terbuka, jadi sangat terpengaruh oleh gerakan pasang surut, dimana air laut bercampur dengan air tawar dari buangan air daratan. Fairbridge (1980) in

Wibisono (2005) memberikan batasan yang lebih komprehensif yaitu estuaria merupakan tempat air masuk (inlet) air laut hingga mencapai lembah sungai sejauh pengaruh pasang masih tampak ke arah hulu dan bisa dibagi menjadi tiga segmen muara, yakni:

1. segmen pantai atau bagian terendah dari estuaria yang berhubungan langsung dengan laut terbuka,

2. segmen tengah yang dipengaruhi oleh salinitas yang tinggi dan terjadi percampuran dengan air tawar (sungai), dan

3. sungai hulu (fluvial estuary) yang ditandai oleh dominansi air tawar tetapi masih terpengaruh oleh gerakan pasang harian.

Estuaria dapat dianggap sebagai zona transisi atau ekotone antara habitat air tawar dan habitat lautan, tetapi banyak dari kelengkapan fisika dan biologinya yang utama tidaklah bersifat transisi melainkan unik. Estuaria atau air payau dapat digolongkan sebagai oligo-, meso-, atau polihaline menurut salinitas rata-ratanya. Secara khusus, komunitas estuaria terdiri dari campuran antara jenis-jenis endemik (yaitu jenis-jenis yang terbatas pada zona estuaria) dan jenis-jenis-jenis-jenis yang datang dari laut, ditambah jenis-jenis yang mempunyai kemampuan osmoregulasi untuk menembus ke arah atau dari lingkungan air tawar (Odum, 1993).

Meskipun kondisi fisik di estuaria sering kali penuh tekanan, dan keragaman jenis yang sesuai sedikit, tetapi keberadaan sumber makanan sedemikian menguntungkan sehingga wilayah ini dijejali berbagai kehidupan. Menurut Odum (1993) estuaria memiliki produktivitas tinggi karena:

1. estuaria adalah suatu perangkap nutrien (nutrient trap), sebagian bersifat fisik (terutama pada jenis-jenis yang berstratifikasi) dan sebagian lagi bersifat biologi. Seperti pada terumbu karang, penyimpanan dan pendaurulangan nutrien oleh bentos secara cepat, pembentukan


(31)

satuan-satuan organik dan detritus dan perolehan kembali nutrien dari endapan dalam oleh aktivitas mikroba dan akar tumbuh-tumbuhan yang menembus dalam serta binatang-binatang penggali, telah menciptakan semacam sistem penyuburan sendiri. Seperti telah ditunjukkan kecenderungan alami untuk eutrofikasi ini terutama juga menyebabkan estuaria mudah terkena polusi, karena polutan terperangkap seperti halnya nutrien bermanfaat. 2. estuaria mendapat keuntungan dari keragaman jenis produsen yang

terprogram untuk berfotosintesis sepanjang tahun. Estuaria sering kali memiliki semua (tiga jenis) produsen yang menguasai dunia, yaitu makrofita (ganggang, rumput laut dan rumput di rawa-rawa), mikrofit bentik dan fitoplankton.

3. peranan penting gerakan pasang surut dalam menimbulkan suatu ekosistem dengan permukaan air berfluktuasi yang tersubsidi. Pada umumnya semakin tinggi amplitudo pasang surut semakin besar potensi berproduksi, asal arus yang terjadi tidak terlalu abrasif. Gerakan air maju-mundur melakukan kerja lumayan besar, dengan membuang limbah dan membawa makanan serta nutrien, sehingga organisme dapat mempertahankan eksistensi sessile-nya yang tidak memerlukan banyak pengeluaran energi metabolisme untuk mengeluarkan kotoran badan dan mengumpulkan makanan. Pada kecepatan berapa arus berubah dari bersifat bantuan menjadi tekanan, tidak begitu diketahui seperti yang seharusnya.

Wibisono (2005) mengungkapkan bahwa setidaknya terdapat tiga sumber zat hara (nutrien) yang menjadikan estuaria mempunyai tingkat produktivitas yang tinggi, yakni:

1. berasal dari daerah pantai yang berdekatan dengan wilayah muara dimana lapisan bawah permukaan dari laut memasuki muara saat pasang,

2. hara yang mengalami pelarutan (leaching) dari sedimen dasar perairan sungai yang terbawa oleh aliran menuju ke arah muara maupun dari presipitasi air hujan,

3. buangan domestik yang mengandung hara, sejumlah kegiatan pertanian dan buangan industri.


(32)

Gambaran dominan estuaria ialah berfluktuasinya salinitas. Secara definitif suatu gradien salinitas akan tampak pada suatu saat tertentu, melalui variasi pola gradien yang bergantung musim, topografi estuaria, pasang surut, dan jumlah air tawar. Terdapat faktor lain yang berperan dalam mengubah pola salinitas. Pasang surut merupakan salah satu kekuatan. Tempat yang perbedaan pasang surutnya besar, pasang naik akan mendorong air laut lebih jauh ke hulu estuaria menggeser isohalin ke hulu dan sebaliknya. Selain itu kekuatan yang kedua yaitu gaya coriolis. Rotasi bumi berpengaruh terhadap membeloknya aliran air. Di belahan bumi utara, kekuatan ini membelokkan air tawar yang mengalir ke luar ke sebelah kanan apabila seseorang melihat estuaria ke arah laut. Air asin dari laut yang mengalir ke dalam estuaria juga digeser ke arah kanan dilihat dari laut ke arah estuaria dan sebaliknya di belahan bumi selatan (Odum, 1993).

2.3. Makrozoobentos

Organisme bentos adalah semua organisme yang melekat atau menetap pada dasar atau hidup di dasar endapan. Bentos meliputi organisme nabati (fitobentos) dan organisme hewani (zoobentos). Zoobentos merupakan hewan yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya berada di dasar perairan, baik yang sessil, merayap maupun menggali lubang (Odum, 1993).

Menurut Nybakken (1988) secara ekologis terdapat dua kelompok organisme bentik yang agak berbeda yaitu epifauna dan infauna. Epifauna adalah organisme bentik yang hidup pada atau dalam keadaan lain berasosiasi dengan permukaan. Infauna adalah organisme yang hidup di substrat lunak. Kelompok ketiga terdiri dari predator-predator besar dan bergerak aktif. Organisme infauna biasanya digolongkan menurut ukurannya menjadi:

1. makrofauna adalah organisme yang berukuran lebih besar dari 1 mm, 2. meiofauna 1 mm sampai 0,1 mm, dan

3. mikrofauna lebih kecil dari 0,1 mm.

Menurut Nybakken (1988) kelompok organisme dominan yang menyusun makrofauna di dasar lunak sublitoral terbagi dalam empat kelompok taksonomi: kelas Polychaeta, filum Crustacea, filum Echinodermata, dan filum Moluska. Cacing Polychaeta banyak terdapat sebagai spesies pembentuk tabung dan


(33)

penggali. Crustacea yang dominan adalah Ostrakoda, Amfipoda, Isopoda, Tanaid, Misid yang berukuran besar, dan beberapa Dekapoda yang lebih kecil. Umumnya mereka menghuni permukaan pasir dan lumpur. Moluska biasanya terdiri dari berbagai spesies Bivalvia penggali dengan beberapa Gastropoda di permukaan. Echinodermata biasanya sebagai bentos subtidal, terutama terdiri dari Bintang Laut dan Ekinoid (Bulu Babi dan Dollar Pasir).

Menurut Mac Arthur (1960) in Nybakken (1988) dikenal dua pola daur hidup organisme yang agak berbeda pada habitat manapun juga. Tipe yang pertama disebut Oportunistik dimana spesies ini memiliki ciri masa hidup yang pendek, perkembangan yang cepat untuk bereproduksi, terdapat banyak periode reproduksi per tahun, larva terdapat hampir atau sepanjang tahun di perairan dan angka kematiannya tinggi. Biasanya mereka merupakan hewan kecil dan sering menetap atau sessil. Tipe yang kedua yaitu Ekuilibrium dengan ciri daur hidup yang panjang, perkembangan mencapai dewasa yang relatif lama, terdapat satu atau lebih periode reproduksi per tahun dan angka kematiannya rendah. Biasanya ukuran spesies ini lebih besar daripada Oportunis dan sering bersifat aktif bergerak.

Zoobentos membantu mempercepat proses dekomposisi materi organik. Hewan bentos terutama yang bersifat herbivor dan detritivor dapat menghancurkan makrofita akuatik yang hidup maupun yang mati dan serasah yang masuk ke dalam perairan menjadi potongan-potongan yang lebih kecil, sehingga mempermudah mikroba untuk menguraikannya menjadi nutrien bagi produsen perairan (Nybakken, 1988).

Woodin (1976) in Nybakken (1988) mengklasifikasikan organisme infauna menjadi penggali pemakan deposit, pemakan suspensi dan pembentuk tabung dari berbagai tipe. Klasifikasi ini bergantung pada klasifikasi oportunis dan ekuilibrium. Penggali pemakan deposit cenderung melimpah pada sedimen lumpur dan lunak yang merupakan daerah yang mengandung bahan organik yang tinggi. Di beberapa daerah yang biasanya terdapat penggali pemakan deposit ternyata jarang terdapat atau tidak ada pemakan suspensi. Hal ini disebabkan organisme penggali pemakan deposit menggali beberapa sentimeter teratas dari dasar dan menyebabkan lapisan berpartikel halus termasuk pelet tinja menjadi


(34)

renggang dan tidak stabil. Selanjutnya lapisan ini mudah tersuspensi kembali oleh gerakan air. Sedimen yang tersuspensi kembali ini mengakibatkan tersumbatnya struktur penyaring pemakan suspensi yang halus sehingga fungsinya terhambat. Ditambah lagi dengan terbentuk dan mengendapnya kembali partikel tersuspensi cenderung mengubur larva pemakan suspensi yang baru menetap dan mematikannya. Keadaan ini tidak mematikan larva pemakan deposit karena mereka menggali ke dalam substrat yang lebih padat di bawahnya. Penyumbatan permukaan penyaring yang menyebabkan pemakan suspensi tidak dapat makan, ditambah penimbunan larva yang mantap, akan memusnahkan pemakan suspensi. Penyingkiran satu kelompok karena modifikasi lingkungan oleh kelompok yang lain oleh Rhoads and Young (1970) in Nybakken (1988) dinamakan Amensalisme Kelompok Trofik. Dengan cara ini pemakan deposit membentuk komunitasnya sendiri dan menyingkirkan pemakan suspensi.

Pemakan suspensi terdapat lebih melimpah pada substrat yang lebih berbentuk pasir, bahan organik lebih sedikit, dan substrat dimana pemakan deposit akan menemukan lebih sedikit makanan serta lebih sukar menggali. Karena substrat biasanya lebih stabil, pemakan suspensi dapat membentuk dirinya. Sekali terbentuk, mereka juga dapat menyingkirkan pemakan deposit yang potensial dengan menyaring larvanya sampai habis dari perairan itu (Nybakken, 1988).

Organisme pembentuk tabung dapat berupa pemakan suspensi atau pemakan deposit. Hewan ini membentuk tabung dalam substrat di tempat mereka hidup. Tabung-tabung itu mampu menstabilkan substrat. Mereka juga menyebar ke dalam substrat. Dengan menstabilkan substrat, mereka mencegah tersuspensinya kembali partikel halus dan memungkinkan organisme pemakan suspensi dapat hidup. Bersamaan dengan ini, adanya tabung dalam substrat membatasi tempat yang tersedia untuk digali oleh pemakan deposit. Pemakan deposit tidak dapat menembus ke bawah karena terhalang oleh tabung yang keras. Pembuat tabung dapat dijumpai di lumpur atau pasir. Jika dijumpai di lumpur, kehadiran tabungnya berguna untuk menghambat pemakan deposit dan memperbaiki lingkungan untuk tempat tinggal pemakan suspensi. Penyingkiran melalui aktivitas normal semacam ini dinamakan Gangguan Kompetisi


(35)

Faktor biologis lain yang penting untuk menentukan struktur spesies komunitas infauna adalah pemangsaan. Baik predator invertebrata maupun vertebrata memangsa organisme infauna. Aktivitas pemangsaan dapat menyebakan hilangnya mikrofauna dari suatu daerah yang sempit dan menyebabkan gangguan yang dapat diikuti oleh suatu rangkaian pembentukan kembali koloni. Ini merupakan suatu cara terjadinya distribusi yang tidak merata di dasar. Pembersihan semacam ini dapat disebabkan oleh aktivitas makan dari sejenis ikan sebelah atau ikan pari. Kebiasaan ikan pari menggali ke dasar akan menghancurkan daerah yang cukup luas dan mengakibatkan terjadinya kolonisasi kembali. Predator invertebrata yang dominan umumnya terdiri dari berbagai Kepiting, Bintang Laut, dan Gastropoda karnivora yang memangsa Bivalvia (Nybakken, 1988).

Beberapa organisme makrozoobentos sering dipakai sebagai spesies indikator kandungan bahan organik, dan dapat memberikan gambaran yang lebih tepat dibandingkan pengujian secara fisika-kimia. Kelebihan penggunaan makrozoobentos sebagai indikator pencemaran organik adalah karena jumlahnya relatif banyak, mudah ditemukan, mudah dikoleksi dan diidentifikasikan, bersifat

immobile dan memberikan tanggapan yang berbeda terhadap kandungan bahan

organik. Kelemahannya adalah karena sebarannya mengelompok dan dipengaruhi oleh faktor hidrologi seperti arus dan kondisi substrat dasar (Hawkes, 1979).

Berdasarkan teori Shelford (Odum, 1993) makrozoobentos dapat bersifat toleran maupun bersifat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Organisme yang memiliki kisaran toleransi yang luas akan memiliki penyebaran yang luas juga. Sebaliknya organisme yang kisaran toleransinya sempit (sensitif) maka penyebarannya juga sempit.

Pada umumnya karakteristik sessil memiliki kemampuan lebih dalam mengintegrasikan pengaruh lingkungan pada skala waktu yang lama, makrozoobentos dalam hal itu umumnya sebagai indikator yang baik untuk lingkungan terpengaruh (Underwood, 1996 in Schroeder, 2003) dan juga pada perubahan ekosistem dalam waktu yang lama (Kroncke, 1995 in Schroeder, 2003). Makrozoobentos khususnya dalam dasar laut dangkal merupakan sebuah bagian yang menyatu dalam sistem memiliki kepentingan utama dalam


(36)

remineralisasi dan transformasi bahan organik terdeposit (Josefson et al. 2002 in

Schroeder, 2003) dan sebagai penghasil sumber makanan utama ikan-ikan demersal (Reid, 1987 in Schroeder, 2003).

Odum (1993) menjelaskan bahwa komponen biotik dapat memberikan gambaran mengenai kondisi fisika, kimia dan biologi dari suatu perairan. Salah satu biota yang dapat digunakan sebagai parameter biologi dalam menentukan kondisi suatu perairan adalah hewan makrozoobentos. Sebagai organisme yang hidup di perairan, hewan makrozoobentos sangat peka terhadap perubahan kualitas air tempat hidupnya sehingga akan berpengaruh terhadap komposisi dan kelimpahannya. Hal ini tergantung pada toleransinya terhadap perubahan lingkungan, sehingga organisme ini sering dipakai sebagai indikator tingkat pencemaran suatu perairan.

2.4. Komunitas Makrozoobentos

Komunitas biotik adalah kumpulan populasi-populasi apa saja yang hidup dalam daerah atau habitat fisik yang telah ditentukan. Hal tersebut merupakan satuan yang diorganisasikan sehingga dia mempunyai sifat-sifat tambahan terhadap komponen-komponen individu dan fungsi-fungsi sebagai suatu unit melalui transformasi-transformasi metabolik yang bergandengan. Komunitas utama adalah mereka yang cukup besar dan kelengkapan dari organisasinya adalah mereka yang sedemikian hingga relatif tidak tergantung dari masukan dan hasil dari komunitas di dekatnya. Sedangkan komunitas minor adalah mereka yang kurang lebih tergantung pada kumpulan-kumpulan tetangganya (Odum, 1993).

Komunitas tidak hanya mempunyai kesatuan fungsional tertentu dengan struktur trofik dan pola arus energi yang khas tetapi juga mempunyai kesatuan komposisional dimana terdapat peluang bahwa jenis tertentu akan mendapat peluang untuk muncul atau hidup berdampingan. Meskipun demikian, jenis-jenis tersebut sebagian besar dapat diganti dalam waktu dan ruang sehingga secara fungsional komunitas yang serupa dapat memiliki komposisi jenis yang berbeda (Odum, 1993).


(37)

Menurut Odum (1993) komunitas dapat disebut dan diklasifikasi menurut (1) bentuk atau sifat struktur utama seperti misalnya jenis dominan, (2) habitat fisik dari komunitas atau (3) sifat-sifat atau tanda-tanda fungsional seperti misalnya tipe metabolisme komunitas. Suatu komunitas paling tidak memiliki produsen-produsen, makrokonsumen dan mikrokonsumen. Di dalam golongan-golongan ini, jenis atau golongan-golongan jenis yang sebagian besar mengendalikan arus energi dan kuat sekali mempengaruhi lingkungan dari semua jenis lainnya disebut dominan-dominan ekologi. Dominan ekologi adalah golongan jenis yang sebagian besar mengendalikan arus energi dan kuat sekali mempengaruhi lingkungan dari semua jenis lainnya. Penghilangan jenis dominan akan menimbulkan perubahan-perubahan penting tidak hanya pada komunitas biotik tetapi juga dalam lingkungan fisik (misalnya iklim mikro).

Dominan di dalam semua golongan ekologi akan nyata pada lingkungan yang ekstrim. Terdapat nisbah-nisbah antara jumlah jenis dan nilai-nilai penting (jumlah, biomassa, produktivitas dan sebagainya) dengan individu-individu disebut indeks-indeks keanekaragaman jenis. Keanekaragaman jenis cenderung akan rendah dalam ekosistem-ekosistem yang secara fisik terkendali (yakni yang menjadi sasaran faktor pembatas fisika-kimia yang kuat) dan tinggi dalam ekosistem yang diatur secara biologi (Odum, 1993).

Perubahan kualitas perairan akibat jumlah bahan pencemar yang terus bertambah secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi keseimbangan ekologis perairan dan merupakan ancaman bagi oganisme yang terdapat di dalamnya. Organisme yang terkena pengaruh tersebut adalah makrozoobentos, karena umumnya organisme ini tidak dapat berpindah tempat ketika terjadi perubahan lingkungan. Pengaruh kualitas lingkungan perairan terhadap struktur komunitas makrozoobentos dapat dianalisis dengan menggunakan model distribusi kelimpahan spesies, sebaliknya model distribusi kelimpahan spesies dapat memperlihatkan kondisi kualitas lingkungan perairan (Giller, 1984 in Abdunur, 2002). Model-model kelimpahan spesies ini memperlihatkan suatu mekanisme sumberdaya di dalam komunitas, sehingga dapat diketahui stabilitas suatu ekosistem perairan.


(38)

2.5. Faktor Fisika dan Kimia yang Mempengaruhi Keberadaan Makrozoobentos di Perairan

Faktor-faktor penentu kualitas lingkungan perairan (sifat fisika-kimia) yang mempengaruhi komunitas makrozoobentos menurut Hawkes (1979) ditunjukkan pada Gambar 1.

Keterangan:

= Faktor penentu kriteria kualitas air = Faktor bukan penentu kualitas air * = Faktor yang tidak umum

= Pengaruh langsung = Pengaruh interaksi

Gambar 1. Faktor-faktor kualitas air (sifat fisika-kimia) yang mempengaruhi komunitas bentos (Hawkes, 1979)

Pearson and Rosenberg (1978) in Nybakken (1988), terdapat beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaan hewan bentik di perairan. Faktor lingkungan tersebut berupa faktor fisika dan kimia yang disajikan pada Tabel 1.

Kekeruhan* ) Sinar m at ahari

Penetrasi cahaya Tem perat ur* ) Oksigen t erlarut * )

pH* ) Bahan beracun

Kesadahan* ) kedalam an

Padat an t ersuspensi kanalisasi

subst rat

nut rien Padat an

t ersuspensi

KOM UNITAS BENTOS


(39)

Tabel 1. Faktor-faktor lingkungan perairan dan pengaruhnya terhadap bentos (Pearson and Rosenberg, 1978 in Nybakken, 1988).

Faktor Lingkungan Pengaruh

Fisika

1. Arus Pola penyebaran

2. Kedalaman Jumlah spesies, jumlah individu, biomassa 3. Kekeruhan Jenis dan sifat organisme

4. Substrat dasar Jumlah spesies dan jenis

5. Suhu Migrasi, laju metabolisme, mortalitas Kimia

1. pH Menurunnya daya tahan terhadap stress

2. BOD Komposisi jenis

3. DO Jumlah spesies dan jenis 4. Ammonia-N Laju mortalitas

Beberapa faktor fisika dan kimia yang mempengaruhi keberadaan makrozoobentos diuraikan sebagai berikut:

2.5.1. Arus

Secara umum yang dimaksud dengan arus adalah gerakan massa air laut ke arah horizontal dalam skala besar. Besar kecilnya kecepatan arus sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain: a) kecepatan angin, b) tahanan dasar, c) gaya coriolis, d) perbedaan densitas, e) gelombang, f) refraksi gelombang, g) difraksi gelombang dan h) refleksi gelombang (Wibisono, 2005).

Pergerakan ombak merupakan faktor yang terpenting di daerah estuaria. Periode pergerakan laut dan gelombang badai yang lama, berpengaruh terhadap dasar perairan yang dangkal. Pada dasar perairan yang lunak, jalur ombak ini dapat menimbulkan gerakan bergelombang besar di dasar, yang sangat mempengaruhi stabilitas substrat. Partikel substrat dapat teraduk dan tersuspensi kembali. Hal ini sangat mempengaruhi hewan infauna yang hidup di dalam substrat. Pergerakan ombak juga menentukan tipe partikel yang terkandung. Pergerakan ombak yang kuat memindahkan partikel halus sebagai suspensi dan menyisakan pasir. Sehingga sedimen lumpur yang baik hanya dapat terbentuk pada dasar yang pergerakan ombaknya rendah atau letaknya lebih dalam sehingga tidak terlalu dipengaruhi oleh ombak (Nybakken, 1988).


(40)

2.5.2. Kekeruhan

Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus) maupun bahan organik dan anorganik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (APHA, 1976; Davis and Cornwell, 1991 in Effendi, 2003).

Penetrasi cahaya pada perairan turbulen ini lebih kecil dibandingkan dengan daerah laut terbuka. Kumpulan partikel-partikel sisa, baik dari daratan, dari potongan-potongan kelp dan rumput laut, ditambah kepadatan plankton yang tinggi akibat melimpahnya nutrien, menyebabkan terhambatnya penetrasi cahaya sampai beberapa meter di estuaria (Nybakken, 1988).

2.5.3. Substrat Dasar

Substrat lumpur merupakan ciri dari estuaria dan rawa asin. Perbedaan utama dengan wilayah pesisir dengan substrat berpasir adalah pantai berlumpur tidak dapat berkembang dengan hadirnya gerakan gelombang. Oleh karena itu, daerah pesisir dengan pantai berlumpur hanya terbatas pada daerah intertidal yang benar-benar terlindung dari aktivitas gelombang laut terbuka. Pantai berlumpur cenderung untuk mengakumulasi bahan organik, sehingga cukup banyak makanan yang potensial bagi bentos pantai ini. Namun berlimpahnya partikel organik yang halus yang mengendap di daratan lumpur juga mempunyai kemampuan untuk menyumbat permukaan alat pernafasan (Nybakken, 1988).

Bentos yang dominan hidup di substrat berlumpur tergolong dalam

Suspention Feeder (penyaring suspensi sebagai sumber makanan). Di antara yang

umum ditemukan adalah kelompok Polychaeta, Bivalvia, Crustacea, Echinodermata dan Bakteri. Di samping itu juga ditemukan Gastropoda dengan indeks keanekaragaman yang rendah serta lamun yang berperan meningkatkan kehadiran bentos (Nybakken, 1988).

Adapun substrat berpasir umumnya miskin akan organisme, tidak dihuni oleh kehidupan makroskopik, selain itu kebanyakan bentos pada pantai berpasir mengubur diri dalam substrat. Produksi primer pantai berpasir rendah, meskipun


(41)

kadang-kadang dijumpai populasi Diatom yang hidup di pasir intertidal. Hampir seluruh materi organik diimpor baik dalam bentuk materi organik terlarut (DOM) atau partikel (POM). Pantai berpasir tidak menyediakan substrat yang tetap untuk melekat bagi organisme, karena aksi gelombang secara terus menerus menggerakkan partikel substrat. Kelompok organisme yang mampu beradaptasi pada kondisi substrat pasir adalah organisme infauna makro (berukuran 1 – 10 cm) yang mampu menggali liang di dalam pasir, dan organisme meiofauna mikro (berukuran 0,1 -1 mm) yang hidup di antara butiran pasir dalam ruang interaksi. Ditinjau dari kebiasaan makan (feeding habit) maka hewan bentos yang banyak ditemukan adalah kelompok Suspention Feeder dan Carnivore. Organisme yang dominan adalah Polychaeta, Bivalvia dan Crustacea (Nybakken, 1988).

Pada jenis sedimen berpasir, kandungan oksigen relatif lebih besar dibandingkan pada sedimen yang halus karena pada sedimen berpasir terdapat pori udara yang memungkinkan terjadinya percampuran yang lebih intensif dengan air di atasnya, tetapi pada sedimen ini tidak banyak nutrien, sedangkan pada substrat yang lebih halus walaupun oksigen sangat terbatas tapi tersedia nutrien dalam jumlah besar (Wood, 1987).

Daerah pesisir dengan substrat berbatu merupakan daerah yang paling padat makroorganismenya dan mempunyai keragaman terbesar baik untuk spesies hewan maupun tumbuhan. Komunitas biota di daerah pantai berbatu jauh lebih kompleks dari daerah lain karena bervariasinya relung (niche) ekologis yang disediakan oleh genangan air, celah-celah dan permukaan batu serta hubungan yang bervariasi terhadap cahaya, gerakan air, perubahan suhu dan faktor lainnya. Ditinjau dari kebiasaan makannya (feeding habit) maka hewan bentos yang banyak ditemukan termasuk kelompok Herbivora, Scavenger, Suspention Feeder

dan Predator. Organisme bentos yang dominan adalah kelompok epifauna, seperti Gastropoda, Crustacea, Bivalvia dan Echinodermata (Nybakken, 1988).

Daerah pasang surut khususnya pada daerah intertidal, memiliki kondisi kritis, dimana suhu pada wilayah ini bisa berbeda sangat ekstrim sebagaimana halnya salinitas. Pasang naik dan turun menyebabkan hamparan intertidal terendam air atau kontak langsung dengan udara terbuka selama interval waktu tertentu. Pada saat pasang turun (terpapar), kondisi permukaan substrat dasar


(42)

yang menjadi habitat hidup bentos mengalami kering karena adanya penguapan yang mengakibatkan terjadi peningkatan suhu dan salinitas yang cepat bahkan dapat mencapai batas letal organisme. Di samping itu, dapat digenangi oleh air tawar yang mengalir masuk ketika hujan deras sehingga terjadi penurunan salinitas yang mendadak (Nybakken, 1988).

2.5.4. Derajat Keasaman (pH)

Toksisitas suatu senyawa kimia juga dipengaruhi pH. Senyawa amonium yang dapat terionisasi banyak ditemukan pada perairan yang memiliki pH rendah. Amonium bersifat tidak toksik (innocuous). Namun, pada suasana alkalis (pH tinggi) lebih banyak ditemukan amonia yang tak terionisasi (unionized) dan bersifat toksik. Amonia tak terionisasi ini lebih mudah terserap ke dalam tubuh organisme akuatik dibandingkan dengan amonium (Tebbut, 1992 in Effendi, 2003).

Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 – 8,5. Sementara menurut Nybakken (1988) lingkungan perairan laut memiliki pH yang bersifat relatif lebih stabil dan berada dalam kisaran yang sempit, biasanya berkisar antara 7,5 – 8,4. Menurut Hawkes (1979) makrozoobentos mempunyai kenyamanan kisaran pH yang berbeda-beda.

2.5.5. Suhu

Cahaya matahari merupakan sumber panas yang utama di perairan, karena cahaya matahari yang diserap oleh badan air akan menghasilkan panas di perairan (Odum, 1993). Pada perairan yang dalam, penetrasi cahaya matahari tidak sampai ke dasar, sehingga suhu air di dasar perairan yang dalam lebih rendah dibandingkan dengan suhu air di dasar perairan dangkal. Suhu air merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas serta memacu atau menghambat perkembangbiakan organisme perairan. Pada umumnya peningkatan suhu air sampai skala tertentu akan mempercepat perkembangbiakan organisme perairan. Perubahan suhu dapat menjadi isyarat bagi organisme untuk memulai atau mengakhiri berbagai aktivitas, misalnya reproduksi (Nybakken, 1988).


(43)

Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas (tegangan air), reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi (proses penguapan). Peningkatan suhu juga menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme serta respirasi organisme air dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10 oC menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2 – 3 kali lipat. Namun peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga keberadaan oksigen sering kali tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi. Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba (Effendi, 2003).

2.5.6. Salinitas

Salinitas menggambarkan padatan total dalam air setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida digantikan oleh klorida, dan semua bahan organik telah dioksidasi. Salinitas perairan tawar adalah kurang dari 0,5 ‰, perairan payau berkisar antara 0,5 sampai dengan 30 ‰ dan perairan laut antara 30 sampai dengan 40 ‰ (Effendi, 2003).

Menurut Nybakken (1988) salinitas mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan organisme, misalnya dalam distribusi biota akuatik. Salinitas merupakan salah satu besaran yang berperan dalam lingkungan ekologi laut. Salinitas di daerah estuaria berkisar antara 7 – 32 ‰ yang bervariasi akibat adanya air tawar yang masuk ke perairan yang akan mempengaruhi pola adaptasi dan kepadatan bentos.

Wibisono (2005) menyatakan salinitas merupakan salah satu faktor kandungan substansi dalam air muara yang sudah umum keberadaannya

(conservative constituent) dan oleh sebab itu, konsentrasinya tidak dipengaruhi

oleh proses bio-geo-chemical, tetapi hanya dipengaruhi oleh proses pencampuran serta disebabkan oleh curah hujan lokal, proses evaporasi dan/atau pembekuan yang bisa mengakibatkan menurunnya salinitas. Menurut Odum (1993) gambaran salinitas di estuaria dapat berfluktuasi dan tergantung pada musim, topografi, pasang surut serta jumlah air tawar.


(44)

Levinton (1982) in Efriyeldi (1997) menyatakan bahwa penurunan salinitas di perairan estuaria mengubah komposisi dan dinamika populasi organisme. Tanggapan organisme terhadap salinitas berbeda-beda untuk setiap jenis. Distribusi dan kelimpahan zoobentos laut berhubungan dengan salinitas, kandungan bahan organik dan fraksi liat serta lumpur dari sedimen. Meadows

and Campbell (1978) in Irawan (2003) adanya peningkatan dan penurunan salinitas di estuaria menyebabkan penurunan jumlah spesies plankton, hewan bentik dan tumbuhan air tawar.

Hewan bentik estuaria dapat digolongkan berdasarkan kemampuan adaptasinya (Meadows and Campbell, 1978 in Irawan 2003; Nybakken, 1988) yaitu: 1) Stenohaline merupakan spesies laut yang hanya mampu mentolerir salinitas sampai 30 ‰, contohnya Tellina tenuis, Cardium edule; 2) Euryhaline

merupakan spesies laut yang mampu mentolerir salinitas di bawah 30 ‰, contohnya Carcinus maenas, Littorina littorea, Corophium valutator; 3) Spesies Air Payau, yaitu spesies yang hidup di pertengahan daerah estuaria pada salinitas antara 5 ‰ – 30 ‰, contohnya Sphaeroma rugicauda, S. Serratum, 4) Spesies Air Tawar, hewan yang umumnya tidak mampu mentolerir salinitas di atas 5 ‰ dan hanya terbatas di bagian hulu estuaria, contohnya Asellus aquaticus, Oligochaetes dan larva Diptera.

2.6. Sedimen

Menurut asal-usul sedimen dasar laut dapat dibedakan/digolongkan sebagai berikut (Wibisono, 2005):

1. Lithogenous

Jenis sedimen ini berasal dari pelapukan (weathering) batuan dari daratan, lempeng kontinen termasuk yang berasal dari kegiatan vulkanik. Sedimen ini memasuki kawasan laut melalui drainase air sungai.

2. Biogenous

Sedimen ini berasal dari organisme laut yang telah mati dan terdiri dari remah-remah tulang, gigi-geligi, dan cangkang-cangkang tanaman maupun hewan mikro. Komponen kimia yang sering ditemukan dalam sedimen ini adalah CaCO3 dan SiO2. Sedangkan partikel-partikel yang sering ditemukan dalam sedimen


(45)

Calcareous terdiri dari cangkang-cangkang Foraminifera, Coccolithophore, dan Pteropoda. Cangkang Diatomae dan Radiolaria merupakan kontributor yang paling penting dari partikel Siliceous.

3. Hydrogenous

Sedimen ini berasal dari komponen kimia yang larut dalam air laut dengan konsentrasi yang terlalu jenuh sehingga terjadi pengendapan (deposit) di dasar laut. Contohnya endapan Mangan (Mn) yang berbentuk nodul, endapan Fosforite

(P2O5) dan endapan Glauconite (Hidro Silikat yang bewarna kehijauan dengan komposisi yang terdiri dari ion-ion K, Mg, Fe dan Si).

4. Cosmogenous

Sedimen ini berasal dari luar angkasa di mana partikel dari benda-benda angkasa ditemukan di dasar laut dan mengandung banyak unsur besi sehingga mempunyai respon magnetik dan berukuran antara 10 – 460 m.

Jenis-jenis partikel sangat menentukan jenis hewan bentos yang mendiami sedimen tersebut sebagai habitatnya, seperti untuk jenis sedimen Pebles dan

Granules setidaknya akan ditemui hewan-hewan Gastropoda. Sedangkan untuk

hewan jenis sedimen pasir mungkin kita akan mendapati hewan kerang-kerangan (Bivalvia) dan untuk jenis sedimen lanau biasanya dapat ditemukan hewan cacing. Hal tersebut masih sebagai kemungkinan, sedang kenyataanya masih dipengaruhi oleh faktor lain, misalnya tingkat kesuburan, ada tidaknya pencemaran sekunder yang dialami oleh sedimen, kecepatan arus dan sebagainya (Wibisono, 2005).

Sedimentasi dari bahan tersuspensi bergantung pada kecepatan arus dan turbulensi selama badai dan gelombang tinggi besar. Sedimen bisa tersuspensi pada area yang dangkal dan ditransportasikan ke daerah lain (Becker et al., 1992

in Schroeder, 2003).

Pada arus dengan kecepatan yang lemah dekat dengan dasar, material halus terdeposit, khususnya dalam daerah yang lebih dalam dan daerah yang lebih rendah seperti Lembah Pleistocene Elbe. Ini menunjukkan sebuah akumulasi setinggi 15 m kesatuan sedimen dalam lembah Pleistocene Elbe. Laju sedimentasi yang sebenarnya pada daerah ini tidak diketahui pasti, tapi diestimasi untuk sebuah rata-rata kurang lebih 10 cm per 100 tahun (Eisma, 1981 in

Schroeder, 2003).


(46)

Berdasarkan ukuran/besar butir, maka sedimen dapat diklasifikasi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Ukuran besar butir untuk sedimen menurut skala Wentworth (Wibisono, 2005)

Nama Partikel Ukuran (mm)

Batu (Stone) Bongkah (Boulder) >256

Krakal (Coble) 64 – 256

Kerikil (Peble) 4 – 64

Butiran (Granule) 2 – 4

Pasir (Sand) Pasir sangat kasar (v. coarse sand) 1 – 2 Pasir kasar (coarse sand) 1/2 – 1 Pasir sedang (medium sand) 1/4 - ½ Pasir halus (fine sand) 1/8 - ¼ Pasir sangat halus (very fine sand) 1/16 - 1/8 Lumpur (silt) Lumpur kasar (coarse silt) 1/32 - 1/16

Lumpur sedang (medium silt) 1/64 - 1/32 Lumpur halus (fine silt) 1/128 - 1/64 Lumpur sangat halus (very fine silt) 1/256 - 1/128 Lempung (clay) Lempung kasar (coarse clay) 1/640 - 1/256 Lempung sedang (medium clay) 1/1024 - 1/640 Lempung halus (fine clay) 1/2360 - 1/1024 Lempung sangat halus (v. fine clay) 1/4096 - 1/2360

Menurut Rhoads (1974) in Abdunur (2002) bahwa percampuran bioenergetik yang intensif terjadi di atas permukaan sedimen dasar. Sedangkan proses kimia seperti pembusukan, perombakan dan reduksi terjadi pada lapisan 10 – 30 cm di bawah permukaan dasar suatu perairan. Reaksi kimia yang terjadi dalam sedimen diantaranya adalah perubahan nilai derajat keasaman (pH) dan redoks potensial (Eh) sedimen.

Nilai derajat keasaman (pH) dan redoks potensial (Eh) sedimen dapat menunjukkan sifat fisika-kimia substrat bagi kehidupan organisme bentik (Biggs, 1967 in Abdunur, 2002). Selain itu derajat keasaman pH dan redoks potensial (Eh) sedimen dapat pula dijadikan sebagai kontrol reaksi kimia ion-ion antara air dan sedimen. Pelapisan sedimen dasar berdasarkan pembedaan warna dan proses kimia yang terjadi menunjukkan nilai derajat keasaman (pH) yang menurun dengan bertambahnya kedalaman sedimen dalam mintakat oksidasi dan transisi,


(47)

namun nilai derajat keasaman (pH) ini akan meningkat dengan bertambahnya sedimen dalam mintakat reduksi (Goltermen, 1990 in Abdunur, 2002). Odum (1993) menyatakan bahwa dalam mintakat reduksi lebih banyak dijumpai Hidrogen Sulfida (H2S), Besi (Fe2+), Metana (CH4) dan Ammonia (NH3) yang diikuti pula oleh keasaman yang tinggi dan bau yang khas dari sedimen yang bewarna kehitam-hitaman.

Bahan organik berasal dari hewan atau tumbuhan yang membusuk lalu tenggelam ke dasar perairan dan bercampur dengan lumpur. Bahan organik yang mengendap di dasar perairan merupakan sumber bahan makanan bagi organisme makrozoobentos. Jumlah dan laju penambahan bahan organik dalam sedimen mempunyai pengaruh yang besar terhadap populasi organisme dasar. Sedimen yang kaya akan bahan organik sering didukung oleh melimpahnya organisme bentik tersebut (Wood, 1987). Dengan demikian, rendahnya kandungan bahan organik (C-Organik) dalam sedimen juga akan berpengaruh terhadap komposisi dan kepadatan organisme makrozoobentos.

Wood (1987) mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara kandungan bahan organik dan ukuran partikel sedimen. Pada sedimen yang halus, persentase bahan organik lebih tinggi dari pada sedimen yang kasar. Hal ini juga berhubungan dengan lingkungan yang tenang sehingga memungkinkan pengendapan sedimen lumpur yang diikuti oleh akumulasi bahan-bahan organik dasar perairan, sedangkan pada sedimen kasar mempunyai kandungan bahan organik yang lebih halus tidak dapat mengendap. Sedimen yang kaya akan bahan organik sering didukung oleh melimpahnya organisme bentik. Sverdrup et al. (1946) in Abdunur (2002) mengemukakan bahwa butiran kasar banyak dijumpai dekat pantai sedangkan butiran halus banyak dijumpai di perairan dalam atau perairan yang relatif lebih tenang.


(48)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Pengambilan contoh makrozoobentos dilakukan pada perairan estuaria dari kedua anak Sungai Brantas yaitu Sungai Porong dan Sungai Wonokromo. Kedua estuaria ini terletak di Provinsi Jawa Timur tepatnya yaitu di Kabupaten Sidoardjo untuk estuaria Sungai Porong (Gambar 3) dan Kota Surabaya untuk estuaria Sungai Wonokromo (Gambar 4).

Pengambilan sampel makrozoobentos ini dilakukan sebanyak tiga kali yang terdiri dari penelitian utama dan tambahan. Penelitian utama dilakukan sebanyak dua kali berdasarkan perbedaan temporal dan spasial yaitu pada tangal 28 – 29 Agustus 2007 yang merupakan sampling kedua dan mewakili musim kemarau serta tanggal 7 – 8 Maret 2008 untuk sampling ketiga yang mewakili musim hujan. Pengambilan sampel tambahan dilakukan sebanyak satu kali yaitu pada tanggal 31 Maret 2007 yang merupakan sampling pertama untuk melihat pengaruh salinitas dengan strategi pengambilan acak kelompok dari sebaran salinitas tertentu (Lampiran 1). Peta lokasi pengambilan contoh makrozoobentos beserta posisi stasiun-stasiunnya disajikan pada Gambar 2, 3, dan 4.

Gambar 2. Estuaria Sungai Porong dan Sungai Wonokromo, Jawa Timur (Sumber: Google Earth)


(49)

Gambar 3. Lokasi sampling makrozoobentos tanggal 29 Agustus 2007 dan 8 Maret 2008, estuaria Sungai Porong (Sumber: Bakosurtanal, 2000)

Gambar 4. Lokasi sampling makrozoobentos tanggal 28 Agustus 2007 dan 7 Maret 2008, estuaria Sungai Wonokromo (Sumber: Bakosurtanal, 2000)

3.2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam pengambilan contoh makrozoobentos yaitu Petersen Grab, kantong plastik, spidol permanen, formalin 4 %, ember dan cool box. Untuk alat dan bahan yang digunakan saat penanganan

sampel yaitu saringan halus dengan diameter pori 500 µm, bak besar, ember,


(1)

Lampiran 15. Komposisi Kelas Makrozoobentos Estuaria Sungai Porong dan Wonokromo

A. Estuaria Sungai Porong 1. Maret 2006

stasiun Pelecypoda Gastropoda Polychaeta

1 45 32 19

2 90 295

3 600 327

4 134 32 26

5 13

6 13

jumlah 869 64 692

2. Juli 2006

stasiun Pelecypoda Gastropoda Polychaeta Nemertina

1 10474 19

2 6513 6

4 13 19 19

5 71 70 32 6

6 83 45 38

jumlah 17154 134 115 6

3. Maret 2007

stasiun Pelecypoda

3 267

5 640

6 402

jumlah 1309 4. Agustus 2007

stasiun Pelecypoda 1

2 9162

3 1572

4 1806

5 18246

6 20000

7 13268

8 1923

9


(2)

Lampiran 15. (lanjutan) 5. Maret 2008

stasiun Pelecypoda Polychaeta Malacostraca Holothuroidea

1 22

2 11 166 11

3 100 200 11

4 22 22

5 344

6 44

7 1278

8 5733

9 44

jumlah 7599 389 11 11

B. Estuaria Sungai Wonokromo 1. Agustus 2007

stasiun Pelecypoda Gastropoda

10 65

11 19285 12 4067

13 4172 910

14 338

15 10318

16

jumlah 38246 910

2. Maret 2008

stasiun Pelecypoda Gastropoda Polychaeta Holothuroidea Malacostraca

10 33 167 11

11 4244 15867 11

12 2156 467 11 22

13 22

14 211 11

15 400

16 22 33


(3)

Lampiran 16. Perhitungan Dendrogram per Sampling pada Estuaria Sungai Porong dan Wonokromo

Cluster Analysis of Observations: gastropoda; Holothuroide; Malacostraca; ...

Euclidean Distance, Single Linkage Amalgamation Steps

Number Number of obs. of Similarity Distance Clusters New in new Step clusters level level joined cluster cluster 1 6 96,5859 355,49 1 3 1 2 2 5 94,0571 618,81 1 5 1 3 3 4 88,7477 1171,65 2 6 2 2 4 3 86,5348 1402,07 2 4 2 3 5 2 67,1965 3415,69 1 7 1 4 6 1 44,5657 5772,13 1 2 1 7

Final Partition Number of clusters: 3

Within Average Maximum cluster distance distance Number of sum of from from observations squares centroid centroid Cluster1 3 466177 355,390 518,32 Cluster2 3 3300383 891,968 1320,10 Cluster3 1 0 0,000 0,00

Cluster Centroids

Grand Variable Cluster1 Cluster2 Cluster3 centroid gastropoda 0,667 58,00 2337 359,00 Holothuroidea 0,333 0,00 3 0,57 Malacostraca 0,333 0,00 3 0,57 Nemertina 0,000 0,67 0 0,29 Pelecypoda 475,333 6601,67 1006 3176,71 Polychaeta 55,333 12,33 29 33,14 jml 532,000 6672,67 3378 3570,29

Distances Between Cluster Centroids Cluster1 Cluster2 Cluster3 Cluster1 0,00 8674,38 3720,28 Cluster2 8674,38 0,00 6881,89 Cluster3 3720,28 6881,89 0,00


(4)

Lampiran 17. Contoh Perhitungan Kepadatan Makrozoobentos

A xNi Ki10000

Ditemukan Jenis Corbula tunicata pada stasiun 14 sebanyak 6 individu pada sampling kedua, maka kepadatannya:

5 , 13 19

6 10000

x x Ki

2 / 234ind m Ki

Ditemukan Jenis Tellina radiata pada stasiun 6 sebanyak 4 individu pada sampling ketiga, maka kepadatannya:

300 4 10000x Ki

2 / 133ind m Ki


(5)

Lampiran 18. Perhitungan Uji Kruskal-Wallis

1. Uji kepadatan makrozoobentos antar estuaria

     k i i i n n r n n h 1 2 ) 1 ( 3 ) 1 ( 12

150 1

3 39 3326 111 7889 ) 1 150 ( 150

12 2 2

       

x x

h 9163 , 4 151 3 02 , 845758 00053 , 0     h x x h

2. Uji jumlah jenis makrozoobentos yang ditemukan antar estuaria

150 1

3 39 86 111 7787 ) 1 150 ( 150

12 2 2

       

x x

h 163 151 3 546472 00053 , 0     h x x h

3. Uji kepadatan makrozoobentos antar musim

150 1

3 60 5759 90 5566 ) 1 150 ( 150

12 2 2

       

x x

h 23 , 22 151 3 2 , 896994 00053 , 0    h x x h

4. Uji jumlah jenis makrozoobentos yang ditemukan antar musim

150 1

3 60 4641 90 6684 ) 1 150 ( 150

12 2 2

       

x x

h 18 , 0 151 3 8 , 855379 00053 , 0    h x x h

5. Berdasarkan Tabel A.6, nilai kritik sebaran Khi-Kuadrat pada α = 0,05 dengan v = 1 sebesar 3,8410


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 15 Februari 1986 dari Pasangan Bapak Mas’ud Jamaluddin dan Ibu Hafiah. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan formal ditempuh di SDN 3 Sudimara Barat, Ciledug – Tangerang (1998), SLTPN 3 Tangerang (2001) dan SMAN 63 Jakarta (2004). Pada tahun 2004 penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama mengikuti perkuliahan penulis berkesempatan menjadi Asisten Mata Kuliah Ekologi Perairan (2006/2007 dan 2007/2008), Limnologi (2007/2008) dan Metode Penarikan Contoh (2007/2008) serta aktif sebagai Kepala Divisi Akademis pengurus Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) pada tahun 2007/2008.

Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Struktur Komunitas Makrozoobentos di Perairan Estuaria Sungai Brantas (Sungai Porong dan Wonokromo), Jawa Timur”. Penulis dinyatakan lulus sidang ujian skripsi pada tanggal 30 Desember 2008.