Pengaruh Penggunaan Light-Emitting Diode Light Curing Unit Dan Halogen Light Curing Unit Terhadap Microleakage Dengan Jarak Penyinaran 0 MM Dan 5 MM Pada Restorasi Klas V (Penelitian In Vitro)

(1)

PENGARUH PENGGUNAAN LIGHT-EMITTING DIODE LIGHT

CURING UNIT DAN HALOGEN LIGHT CURING UNIT

TERHADAP MICROLEAKAGE DENGAN JARAK

PENYINARAN 0 MM DAN 5 MM PADA

RESTORASI KLAS V (PENELITIAN

IN VITRO)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh : YUMIRA NIM : 060600021

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Ilmu Konservasi Gigi Tahun 2010

Yumira

Pengaruh Penggunaan Light-Emitting Diode Light Curing Unit dan

Halogen Light Curing Unit terhadap Microleakage dengan Jarak Penyinaran 0

mm dan 5 mm pada Restorasi Klas V (Penelitian In Vitro) xii + 79 halaman

Kelemahan utama dari resin komposit adalah terjadinya kontraksi polimerisasi selama pengerasan sehingga timbul kebocoran mikro. Kebocoran mikro sering menimbulkan masalah pada kavitas klas V resin komposit seperti hipersensitivitas, karies rekuren, penyakit pulpa, dan diskolorissasi marginal. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati dan mengetahui perbedaan kebocoran mikro pada restorasi resin komposit yang dipolimerisasi dengan LED light curing unit dan halogen light curing unit dengan jarak penyinaran yang berbeda.

Sampel berjumlah 40 buah gigi premolar disimpan dalan larutan saline kemudian dipreparasi kavitas klas V lalu dibagi ke dalam empat kelompok di mana pada kelompok I dilakukan restorasi kavitas klas V dengan menggunakan halogen light curing unit pada jarak penyinaran 0 mm, pada kelompok II dilakukan restorasi kavitas klas V dengan menggunakan LED light curing unit pada jarak penyinaran 0 mm, pada kelompok III dilakukan restorasi kavitas klas V dengan menggunakan


(3)

dilakukan restorasi kavitas klas V dengan menggunakan LED light curing unit pada jarak penyinaran 5 mm. Setelah itu dilakukan proses thermocycling sebanyak 200 putaran pada suhu 5oC dan 55oC selama 30 detik. Untuk evaluasi kebocoran mikro digunakan teknik penetrasi dye dengan larutan fuschin red 0,5%. Sampel diamati di bawah stereomikroskop dengan pembesaran 20x setelah sampel dipotong secara longitudinal melalui bagian tengah restorasi dengan diamond disc dan diberi skor 0-3 di mana skor 0 = tidak ada penetrasi, 1 = penetrasi mencapai 1/2 panjang cervical wall, 2 = penetrasi mencapai seluruh panjang cervical wall, dan 3 = penetrasi melewati cervical wall dan mencapai dinding aksial.

Hasil pengamatan pada kelompok I didapati 2 sampel berskor 0, 1 sampel berskor 1, 2 sampel berskor 2 dan 5 sampel berskor 3. Pada kelompok II terdapat 3 sampel berskor 0, 1 sampel berskor 2 dan 6 sampel berskor 3. Pada kelompok III terdapat 1 sampel berskor 0, 2 sampel berskor 1, 1 sampel berskor 2 dan 5 sampel berskor 3 sedangkan pada kelompok IV terdapat 1 sampel berskor 0, 1 sampel berskor 1, 3 sampel berskor 2 dan 5 sampel berskor 3. Data yang diperoleh dianalisa dengan Kruskal-Wallis Test dan Mann-Whitney Test. Hasil analisis menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara keempat kelompok perlakuan (p>0,05). Akan tetapi dari hasil data skor yang diperoleh terlihat bahwa pada jarak penyinaran 5 mm baik dengan halogen light curing unit maupun dengan LED light curing unit terdapat jumlah sampel yang mengalami kebocoran lebih banyak daripada pada jarak penyinaran 0 mm, walaupun hasilnya tidak signifikan secara statistik.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah restorasi resin komposit klas V dengan halogen light curing unit dan LED light curing unit pada jarak penyinaran 0 mm dan


(4)

5 mm mempunyai efek yang hampir sama dalam menutup tepi marginal dan tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap microleakage pada restorasi klas V resin komposit.


(5)

LEMBAR PENGESAHAN

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI UNTUK DISEMINARKAN PADA TANGGAL 13 APRIL 2010

OLEH : Pembimbing

NIP : 19560105 198203 2 002 Cut Nurliza, drg., M.Kes.

Mengetahui

Ketua Departemen Ilmu Konservasi Gigi Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Sumatera Utara

NIP : 19500828 197902 2 001


(6)

PERNYATAAN PERSETUJUAN Skripsi berjudul

PENGARUH PENGGUNAAN LIGHT-EMITTING DIODE LIGHT CURING UNIT DAN HALOGEN LIGHT CURING UNIT TERHADAP MICROLEAKAGE

DENGAN JARAK PENYINARAN 0 MM DAN 5 MM PADA RESTORASI KLAS V (PENELITIAN IN VITRO)

Yang dipersiapkan dan disusun oleh : NIM : 060600021

YUMIRA

Telah dipertahankan di depan tim penguji pada tanggal 13 April 2010

dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima Susunan Tim Penguji Skripsi

Ketua Penguji

19560105 198203 2 002 Cut Nurliza, drg., M.Kes.

Anggota tim penguji lain

Prof.Trimurni Abidin,drg.,M.Kes.,Sp.KG(K)

NIP : 19500828 197902 2 001 NIP : 19450702 197802 1001

Bakri Soeyono, drg.

Medan, 13 April 2010 Fakultas Kedokteran Gigi Departemen Ilmu Konservasi Gigi


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi pada Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Rasa terima kasih yang sebesar-besarnya secara khusus penulis tujukan kepada kedua orang tua tercinta yaitu Papa (Wong Yoek Tjeng) dan Mama (Tjilina Pandana) yang telah memberikan bimbingan dan kasih sayang tanpa syarat yang begitu besar, dukungan baik secara moril maupun materil, serta dorongan semangat dan motivasi yang tak henti-hentinya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan seluruh proses penelitian serta penulisan skripsi ini dengan baik. Tak lupa penulis juga menyampaikan terima kasih pada abang tersayang, Darwin, atas dukungan dan semangat yang diberikan.

Dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapat bimbingan, pengarahan, saran, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Ismet Danial Nasution, drg., Sp.Pros(K)., Ph.D selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.


(8)

2. Prof. Trimurni Abidin, drg., M.Kes, Sp.KG(K), selaku Ketua Departemen Ilmu Konservasi Gigi Fakultas Kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara atas masukan dan bantuannya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

3. Cut Nurliza, drg., M.Kes selaku pembimbing penulis dalam penulisan skripsi ini, yang telah banyak memberi perhatian dan meluangkan waktu untuk membimbing dan memberi pengarahan pada penulis sehingga akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

4. M. Zulkarnain, drg., M.Kes selaku penasehat akademik yang telah banyak memberikan nasehat serta arahan selama masa pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

5. Seluruh staf pengajar dan pegawai Departemen Konservasi Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan saran dan masukan dalam menyempurnakan skripsi ini.

6. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis selama masa pendidikan.

7. Prof. Dr. Dwi Suryanto, B.Sc., M.Sc selaku Kepala Laboratorium Biologi Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara, atas izin, bantuan fasilitas, dan bimbingannya untuk pelaksanaan penelitian ini.

8. Dr. Surya Dharma, MPH selaku Pembantu Dekan II Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, atas bimbingannya dalam pelaksanaan analisa statistik hasil penelitian.


(9)

9. Sahabat-sahabat terbaik penulis Amanda, Jupita, Steffie, Nelly, Lenny, Dorinda, Yose, Willy, Johnathan, Tari, Tika, Indah, Dewi, Vivi, Ingrid, Helly, serta semua teman penulis di Fakultas Kedokteran Gigi USU yang namanya tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terima kasih atas segala bantuan dan dukungannya.

10. Sahabat-sahabat penulis sejak di bangku sekolah Silvia, Lily, Evi dan Susanty, serta seluruh teman penulis yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu atas semangat dan dukungan yang diberikan kepada penulis.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut membantu terselesaikannya skripsi ini dan mohon maaf apabila ada kesalahan selama melakukan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi fakultas, pengembangan ilmu, dan masyarakat.

Medan, Maret 2010 Penulis,

( Yumira ) NIM : 060600021


(10)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Resin Komposit ... 8

2.2 Sistem Adhesif ... 11

2.3 Kebocoran Mikro pada Restorasi Klas V ... 14

2.4 Desain Kavitas Klas V ... 16

2.5 Proses Polimerisasi ... 17

2.5.1 Alat Polimerisasi ... 18

2.5.2 Jarak Penyinaran ... 21

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Konsep ... 24


(11)

BAB 4 METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian ... 27

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 27

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 27

4.4 Besar Sampel ... 28

4.5 Identifikasi Variabel Penelitian ... 29

4.6 Definisi Operasional ... 31

4.7 Alat dan Bahan Penelitian ... 33

4.8 Prosedur Penelitian ... 38

4.9 Analisa Data ... 47

BAB 5 HASIL PENELITIAN ... 49

BAB 6 PEMBAHASAN ... 58

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN ... 7.1 Kesimpulan ... 65

7.2 Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 67


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Skor kebocoran penetrasi zat warna pada keempat kelompok

perlakuan ... 50 2. Hasil uji statistik dengan Kruskal Wallis Test ... 51 3. Hasil uji statistik dengan Mann-Whitney Test ... 52


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kontraksi polimerisasi dan pembentukan gap ... 14

2. Hubungan c-factor dengan pengerutan polimerisasi pada berbagai kelas restorasi ... 15

3. Restorasi klas V ... 16

4. Kebocoran mikro bakteri, toksin, cairan, dan molekul ke dalam celah marginal ... 16

5. Outline preparasi klas V ... 17

6. Skema suatu halogen light curing unit ... 20

7. Diagram suatu lampu LED ... 21

8. Hubungan antara jarak ujung light curing unit dengan permukaan restorasi dan intensitas cahaya yang dihasilkan... 22

9. Skema penentuan skor kebocoran mikro ... 32

10. Alat Penelitian I ... 34

11. Alat Penelitian II ... 34

12. Alat Penelitian III ... 35

13. Alat Penelitian IV ... 35

14. Alat Penelitian V ... 36

15. Bahan Penelitian I ... 37


(14)

17. Pembuatan sampel ... 38

18. Preparasi sampel ... 39

19. Proses restorasi I ... 40

20. Proses restorasi II ... 41

21. Proses restorasi III ... 41

22. Proses restorasi IV ... 42

23. Proses restorasi V ... 42

24. Proses restorasi VI ... 43

25. Proses restorasi VII ... 43

26. Perendaman sampel yang telah direstorasi di dalam larutan saline ... 44

27. Proses thermocycling pada suhu 5°C ... 44

28. Proses thermocycling pada suhu 55°C ... 45

29. Persiapan perendaman sampel ... 45

30. Perendaman sampel di dalam fuchsin red 0,5 % ... 46

31. Pemotongan sampel ... 46

32. Pengamatan penetrasi zat warna di bawah stereomikroskop ... 48

33. (a). Foto stereomikroskop restorasi klas V dengan menggunakan halogen light curing unit pada jarak penyinaran 0 mm ... 53

(b). Foto stereomikroskop restorasi klas V dengan menggunakan halogen light curing unit pada jarak penyinaran 0 mm ... 54


(15)

34. (a). Foto stereomikroskop restorasi klas V dengan menggunakan LED

light curing unit pada jarak penyinaran 0 mm ... 54 (b). Foto stereomikroskop restorasi klas V dengan menggunakan LED

light curing unit pada jarak penyinaran 0 mm ... 55 35. (a). Foto stereomikroskop restorasi klas V dengan menggunakan

halogen light curing unit pada jarak penyinaran 5 mm ... 55 (b). Foto stereomikroskop restorasi klas V dengan menggunakan

halogen light curing unit pada jarak penyinaran 5 mm ... 56 36. (a). Foto stereomikroskop restorasi klas V dengan menggunakan LED

light curing unit pada jarak penyinaran 5 mm ... 56 (b). Foto stereomikroskop restorasi klas V dengan menggunakan LED


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Skema alur penelitian ... 71 2. Skema penelitian ... 73 3. Perhitungan statistik ... 74


(17)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Ilmu Konservasi Gigi Tahun 2010

Yumira

Pengaruh Penggunaan Light-Emitting Diode Light Curing Unit dan

Halogen Light Curing Unit terhadap Microleakage dengan Jarak Penyinaran 0

mm dan 5 mm pada Restorasi Klas V (Penelitian In Vitro) xii + 79 halaman

Kelemahan utama dari resin komposit adalah terjadinya kontraksi polimerisasi selama pengerasan sehingga timbul kebocoran mikro. Kebocoran mikro sering menimbulkan masalah pada kavitas klas V resin komposit seperti hipersensitivitas, karies rekuren, penyakit pulpa, dan diskolorissasi marginal. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati dan mengetahui perbedaan kebocoran mikro pada restorasi resin komposit yang dipolimerisasi dengan LED light curing unit dan halogen light curing unit dengan jarak penyinaran yang berbeda.

Sampel berjumlah 40 buah gigi premolar disimpan dalan larutan saline kemudian dipreparasi kavitas klas V lalu dibagi ke dalam empat kelompok di mana pada kelompok I dilakukan restorasi kavitas klas V dengan menggunakan halogen light curing unit pada jarak penyinaran 0 mm, pada kelompok II dilakukan restorasi kavitas klas V dengan menggunakan LED light curing unit pada jarak penyinaran 0 mm, pada kelompok III dilakukan restorasi kavitas klas V dengan menggunakan halogen light curing unit pada jarak penyinaran 5 mm, dan pada kelompok IV


(18)

dilakukan restorasi kavitas klas V dengan menggunakan LED light curing unit pada jarak penyinaran 5 mm. Setelah itu dilakukan proses thermocycling sebanyak 200 putaran pada suhu 5oC dan 55oC selama 30 detik. Untuk evaluasi kebocoran mikro digunakan teknik penetrasi dye dengan larutan fuschin red 0,5%. Sampel diamati di bawah stereomikroskop dengan pembesaran 20x setelah sampel dipotong secara longitudinal melalui bagian tengah restorasi dengan diamond disc dan diberi skor 0-3 di mana skor 0 = tidak ada penetrasi, 1 = penetrasi mencapai 1/2 panjang cervical wall, 2 = penetrasi mencapai seluruh panjang cervical wall, dan 3 = penetrasi melewati cervical wall dan mencapai dinding aksial.

Hasil pengamatan pada kelompok I didapati 2 sampel berskor 0, 1 sampel berskor 1, 2 sampel berskor 2 dan 5 sampel berskor 3. Pada kelompok II terdapat 3 sampel berskor 0, 1 sampel berskor 2 dan 6 sampel berskor 3. Pada kelompok III terdapat 1 sampel berskor 0, 2 sampel berskor 1, 1 sampel berskor 2 dan 5 sampel berskor 3 sedangkan pada kelompok IV terdapat 1 sampel berskor 0, 1 sampel berskor 1, 3 sampel berskor 2 dan 5 sampel berskor 3. Data yang diperoleh dianalisa dengan Kruskal-Wallis Test dan Mann-Whitney Test. Hasil analisis menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara keempat kelompok perlakuan (p>0,05). Akan tetapi dari hasil data skor yang diperoleh terlihat bahwa pada jarak penyinaran 5 mm baik dengan halogen light curing unit maupun dengan LED light curing unit terdapat jumlah sampel yang mengalami kebocoran lebih banyak daripada pada jarak penyinaran 0 mm, walaupun hasilnya tidak signifikan secara statistik.


(19)

5 mm mempunyai efek yang hampir sama dalam menutup tepi marginal dan tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap microleakage pada restorasi klas V resin komposit.


(20)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kegunaan utama resin komposit adalah sebagai bahan restorasi baik pada gigi anterior maupun posterior. Selain itu juga digunakan sebagai pit dan fisur sealant, serta sebagai luting composite (misalnya untuk luting keramik dan restorasi komposit indirect). Dan dapat juga digunakan sebagai mahkota dan jembatan sementara.1

Resin komposit pertama kali diperkenalkan oleh Bowen pada tahun 1962.2-4 Resin komposit mempunyai warna yang hampir menyerupai warna gigi asli, memiliki nilai estetis dan biokompatibilitas yang tinggi.5,6 Akan tetapi, resin komposit mempunyai kelemahan yaitu adanya penyusutan pada saat polimerisasi yang menyebabkan terbentuknya celah (gap) antara dinding kavitas dan resin komposit yang dapat mengakibatkan terjadinya kebocoran mikro.6,7 Selain itu, perbedaan koefisien ekspansi thermal antara struktur gigi dan resin komposit juga dapat mempengaruhi kerapatan tepi restorasi antara resin komposit dan dinding kavitas.8

Davidson et al. cit Rosin et al. menyatakan bahwa tekanan kontraksi resin komposit selama polimerisasi akan menghasilkan kekuatan yang bersaing dengan kekuatan perlekatan, sehingga dapat mengganggu perlekatan terhadap dinding kavitas, hal ini merupakan salah satu penyebab utama terjadinya kerusakan tepi.9 Petrovic et al. juga menyatakan bahwa kontraksi polimerisasi menyebabkan perubahan volume resin komposit, yang berperan penting dalam menentukan celah


(21)

Celah yang terbentuk menjadi jalan masuk bagi bakteri dan saliva beserta komponennya dari dalam rongga mulut.6,7 Menurut Brannstrom cit Petrovic et al., hal ini dapat menyebabkan timbulnya perubahan warna, kerusakan tepi restorasi, karies sekunder, penyakit pulpa, dan adanya rasa sakit setelah penumpatan.6,7,9,10

Ada dua sistem adhesif yang diperkenalkan pada saat ini yaitu total etch adhesive system dan self etch adhesive system. Penelitian ini menggunakan sistem adhesif berupa one step self etching system generasi ke-7 yang menggabungkan etsa, primer, dan bonding sekaligus dalam satu liquid. Sehingga sistem ini lebih sederhana. Selain itu, self etching adhesive system juga dapat menghindari terjadinya overetching. Overetching dapat terjadi bila menggunakan total etching adhesive system yang dapat menyebabkan bahan primer tidak dapat memasuki seluruh kedalaman zona demineralisasi dan meninggalkan matriks kolagen yang tidak terhibridisasi yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya kegagalan perlekatan yang prematur.11

Self etching adhesive system tidak menghilangkan seluruh smear layer dan juga tidak membuka tubulus dentin secara keseluruhan. Menurut Pashley cit Oliveira, smear layer dapat mengurangi permeabilitas dentin. Dengan menghilangkan seluruh smear layer dapat meningkatkan permeabilitas dentin yang akan menyebabkan pergerakan cairan tubulus dentin dari arah pulpa yang dapat menimbulkan sensitivitas dan mengganggu perlekatan restorasi serta melarutkan bahan adhesif.12 Karena self etching tidak menghilangkan smear layer secara keseluruhan maka sistem ini berpotensial dalam mengurangi sensitivitas pasca perawatan dan tidak begitu terganggu oleh cairan tubulus dentin.


(22)

Unterbrink cit Attar et al. menyatakan bahwa resin komposit flowable diindikasikan untuk merestorasi lesi karies klas V dikarenakan sifat bahan yang mudah beradaptasi dengan dinding kavitas dan mudah menggunakannya.7,13 Akan tetapi, restorasi resin komposit pada karies servikal sering mengalami kegagalan. Menurut Kaplan et al. cit Chimello et al., adaptasi marginal pada kavitas klas V menjadi lebih sulit karena sedikit atau tidak adanya enamel pada tepi servikal, sehingga restorasi berkontak dengan sementum atau dentin. Hal ini akan mengurangi kekuatan perlekatan karena kekuatan perlekatan resin komposit terhadap permukaan dentin lebih lemah dibandingkan dengan perlekatan resin komposit terhadap permukaan enamel.10 Selain itu, adanya cairan sulkus gingival juga merupakan salah satu penyebab kegagalan restorasi resin komposit pada daerah servikal.14

Barghi et al. cit Oberholzer et al. menyatakan bahwa lampu halogen mempunyai lama nyala yang terbatas, yaitu 40–100 jam. Kemampuan lampu halogen akan berkurang seiring dengan waktu pemakaian disebabkan oleh karena pada saat light curing unit beroperasi akan memancarkan suhu yang tinggi. Hal ini akan mengurangi efektivitas penyinaran seiring dengan waktu pemakaian. Untuk mengatasi kekurangan lampu halogen, Mills cit Oberholzer et al. menyarankan penggunaan light-emitting diode (LED) yang bersifat statis. Maksudnya adalah kemampuan LED tidak berubah seiring waktu.15-7

Panjang gelombang cahaya yang dihasilkan oleh bola lampu halogen dibatasi antara 370-550 nm agar dapat disesuaikan dengan absorbsi camphorquinone, yaitu 470 nm.18 Kelemahan halogen light curing unit yaitu bahwa bola lampu, reflektor,


(23)

lampu halogen memiliki lama hidup sekitar 100 jam dan kemampuannya dapat berkurang seiring dengan waktu pemakaian sehubungan dengan temperatur sewaktu pemakaian yang tinggi.18

Sedangkan suatu LED mempunyai lama nyala lebih dari 10.000 jam dan hanya mengalami sedikit degradasi pada pemakaiannya.16,17 LED light curing unit menghasilkan sinar dengan range panjang gelombang antara 460-480 nm sehingga sangat hemat energi dan dapat dioperasikan dengan tenaga baterai.19

Dalam penelitiannya, Stahl et al. menyatakan bahwa hasil klinis restorasi resin komposit dipengaruhi oleh kualitas light curing unit yang digunakan.16 Pada penelitian Mills et al. cit Oberholzer et al. menemukan bahwa suatu LED light curing unit mampu mempolimerisasi hingga kedalaman yang lebih dalam daripada halogen light curing unit.15 Akan tetapi, Dunn et al. pada penelitiannya menyatakan bahwa halogen light curing unit menghasilkan resin komposit dengan kekerasan permukaan yang lebih baik daripada LED light curing unit.17 Uhl et al. menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada Knoop hardness antara polimersasi dengan halogen light curing unit dan LED light curing unit.20 Felix et al. pada penelitiannya menemukan bahwa resin komposit yang dipolimerisasi pada jarak 2 mm dan 9 mm dengan menggunakan LED light curing unit mempunyai nilai kekerasan yang lebih baik atau sama dengan menggunakan halogen light curing unit.22

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas polimerisasi resin komposit. Menurut El-Mowafy et al., faktor-faktor tersebut antara lain intensitas cahaya, lama penyinaran, panjang gelombang cahaya, ketebalan resin komposit, jarak ujung light


(24)

curing unit dengan permukaan restorasi, warna resin komposit, dan komposisi bahan resin komposit itu sendiri.23

Aguiar et al. pada penelitiannya menyimpulkan bahwa faktor yang berpengaruh untuk memperoleh polimerisasi yang adekuat adalah jarak ujung light curing unit terhadap resin komposit dan warna resin komposit yang digunakan.24 Prati et al. cit Aguiar et al. menyatakan bahwa jarak ujung light curing unit terhadap resin komposit merupakan faktor yang sulit untuk dikendalikan karena hal ini tergantung pada perluasan karies, besarnya karies dan posisi karies. Jika jaraknya lebih besar dari 2 mm, dispersi cahaya light curing unit akan meningkat sehingga akan sulit untuk memperoleh polimerisasi yang efektif.24 Ersoz et al. menemukan bahwa semakin jauh jarak ujung light curing unit dengan permukaan resin komposit menyebabkan semakin berkurangnya kekerasan permukaan resin komposit.25 Jarak penyinaran yang diaplikasikan pada penelitian ini adalah 0 mm dan 5 mm, karena jarak yang biasa digunakan di klinik adalah 0 mm dan jarak penyinaran yang distandarisasi menurut penelitian Radzi et al. adalah 5 mm.26

Oleh karena restorasi klas V sering mengalami kegagalan, terutama dengan terbentuknya celah microleakage yang dapat menimbulkan berbagai masalah dengan polimerisasi yang dilakukan dengan halogen light curing unit dengan jarak penyinaran yang berbeda, dan dengan diperkenalkannya light-emitting diode light curing unit yang bersifat lebih statis, maka dirasakan perlu untuk mengamati dan membandingkan microleakage pada restorasi klas V dengan kedua jenis light curing units tersebut pada jarak penyinaran yang berbeda.


(25)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

1. Apakah ada perbedaan microleakage antara penggunaan light-emitting diode light curing unit dan halogen light curing unit pada restorasi klas V?

2. Apakah ada perbedaan microleakage pada restorasi klas V dengan jarak penyinaran yang berbeda?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengaruh penggunaan light-emitting diode light curing unit dan halogen light curing unit terhadap microleakage pada restorasi klas V.

2. Untuk mengetahui pengaruh jarak penyinaran yang berbeda terhadap microleakage pada restorasi klas V.

1.4 Manfaat Penelitian

Beberapa manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Sebagai pertimbangan untuk memilih light curing unit yang dapat menghasilkan polimerisasi dengan penutupan tepi restorasi yang baik pada restorasi kavitas klas V.

2. Sebagai pertimbangan untuk memilih jarak penyinaran yang dapat menghasilkan polimerisasi dengan penutupan tepi restorasi yang baik pada restorasi kavitas klas V.


(26)

3. Sebagai dasar dalam usaha meningkatkan pelayanan kesehatan gigi masyarakat terutama dalam bidang konservasi gigi sehingga gigi dapat dipertahankan selama mungkin di dalam rongga mulut.


(27)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Penggunaan bahan restorasi estetik mengalami peningkatan yang pesat dalam beberapa tahun terakhir sejalan dengan tuntutan pasien dalam hal estetik.27 Dewasa ini, bahan restorasi resin komposit secara umum telah menjadi pilihan bagi para dokter gigi untuk merestorasi lesi karies pada daerah servikal sesuai dengan kualitas estetik dan kemampuan bahan tersebut untuk berikatan dengan stuktur gigi.28 Resin komposit berkembang sebagai bahan restorasi karena kelebihannya, antara lain: mempunyai sifat estetik yang baik, penghantar panas yang rendah, relatif mudah dimanipulasi, tahan lama untuk gigi anterior dan tidak larut dalam cairan mulut.27

2.1 Resin Komposit

Resin komposit merupakan bahan restorasi yang terdiri atas tiga komponen utama, yaitu: komponen organik (resin) yang membentuk matriks, bahan pengisi (filler) inorganik, dan bahan interfasial untuk menyatukan resin dan filler yang disebut sebagai coupling agent.1,14,19,29-31 Selain itu, resin komposit juga mengandung pigmen agar warna resin komposit dapat menyerupai warna stuktur gigi dan inisiator serta akselerator untuk mengaktifkan mekanisme pengerasan/polimerisasi.30,31

Kebanyakan matriks resin mengandung monomer dengan viskositas yang tinggi yaitu Bis-GMA (bisphenol A-glycidyl methacrylate) yang disintesis melalui reaksi antara bisphenol A dan glicidyl methacrylate oleh Bowen pada tahun 1962.14,19,30 Monomer dengan viskositas rendah juga terkandung di dalamnya, seperti TEGDMA


(28)

(triethylene glycol dimethacrylate), EGDMA (ethylene glycol dymethacrylate), dan MMA (methyl methacrylate).14,19,29

Resin komposit mengeras melalui mekanisme polimerisasi yang dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu : 2

a. Resin diaktivasi secara kimiawi

Resin yang diaktivasi secara kimiawi ini diperjualbelikan dalam bentuk dua pasta. Salah satu pastanya berisi inisiator benzoyl peroxide, sedangkan yang lainnya berisi aktivator tertiary amine. Bila kedua bahan ini diaduk, amine akan bereaksi dengan benzoyl peroxide dan membentuk radikal bebas sehingga mekanisme pengerasan akan dimulai.

b. Resin diaktivasi oleh sinar

Bahan resin komposit yang dipolimerisasi dengan sinar diperjualbelikan dalam bentuk satu pasta dan dimasukkan dalam sebuah semprit. Sistem pembentuk radikal bebas yang terdiri atas molekul-molekul fotoinisiator dan aktivator amine terdapat dalam pasta tersebut. Bila tidak disinari, maka kedua komponen tersebut tidak akan bereaksi. Sebaliknya, sinar dengan panjang gelombang yang tepat dapat merangsang fotoinisiator bereaksi dengan amine dan membentuk radikal bebas.

Lutz dan Phillips (1983) mengklasifikasikan resin komposit berdasarkan ukuran partikel filler, yaitu:14,29

a. Resin komposit makrofil

Resin komposit makrofil mempunyai ukuran filler 1-10 µm.14 Resin komposit tipe ini mempunyai daya tahan yang baik terhadap fraktur. Kejelekan klinis yang


(29)

utama dari resin komposit makrofil adalah terjadinya permukaan yang kasar setelah dipolish dan adanya tendensi berubah warna karena kerentanan permukaan yang teksturnya kasar terhadap warna-warna makanan/minuman.2,14 Bahan ini diindikasikan untuk restorasi kavitas klas IV dan klas II.

b. Resin komposit mikrofil

Resin komposit mikrofil mempunyai ukuran filler 0,04 µm.14 Resin komposit tipe ini mempunyai daya tahan yang rendah terhadap fraktur, dapat dipolish dengan baik dan warnanya stabil. Bahan ini diindikasikan untuk restorasi pada gigi-gigi anterior, terutama restorasi tanpa beban.2

c. Resin komposit hybrid

Resin komposit hybrid merupakan gabungan makrofil dan mikrofil sehingga mempunyai ukuran filler yang beraneka ragam. Resin komposit ini mempunyai karakteristik gabungan dari resin komposit makrofil dan mikrofil.14 Resin komposit tipe ini mempunyai kehalusan permukan dan kekuatan yang baik. Bahan ini diindikasikan baik untuk restorasi gigi anterior, termasuk restorasi klas IV, maupun restorasi gigi posterior.2

Resin komposit juga diklasifikasikan berdasarkan persentase muatan filler nya, yaitu:

a. Resin komposit packable

Pada akhir tahun 1996 diperkenalkan resin komposit packable.32 Resin komposit packable dikenal juga sebagai resin komposit condensable.3 Resin komposit packable mempunyai muatan filler berkisar antara 66-70% volume.31


(30)

Komposisi filler yang tinggi dapat menyebabkan kekentalan atau viskositas menjadi meningkat sehingga sulit untuk mengisi celah kavitas yang kecil. Akan tetapi, dengan semakin besarnya komposisi filler juga menyebabkan bahan ini dapat mengurangi pengerutan selama polimerisasi dan adanya perbaikan sifat fisik terhadap adaptasi marginal.14 Resin komposit packable diindikasikan untuk restorasi klas I, klas II dan klas VI (MOD).3

b. Resin komposit flowable

Resin komposit flowable pertama kali diperkenalkan pada pertengahan tahun 1990.10,33 Dan pada akhir tahun 1996, resin komposit flowable digunakan sebagai bahan restorasi alternatif untuk restorasi klas V.34 Resin komposit flowable mempunyai muatan filler berkisar antara 42-53% volume.31 Komposisi filler yang rendah dan kemampuan flow yang lebih tinggi menyebabkan resin komposit tipe ini memiliki viskositas yang lebih rendah sehingga dapat dengan mudah untuk mengisi atau menutupi celah kavitas yang kecil.31,34 Selain itu, bahan restorasi ini dapat membentuk suatu lapisan elastis yang dapat mengimbangi tekanan pengerutan polimerisasi. Indikasi resin komposit flowable ditujukan untuk restorasi kavitas klas V, restorasi kavitas klas I dan klas II dengan tekanan oklusal yang minimal, kavitas enamel, dan juga dapat digunakan sebagai pit dan fisur sealant serta sebagai liner.3,29,34

2.2 Sistem Adhesif

Perlekatan yang sebenarnya antara resin komposit dan jaringan gigi biasanya 35


(31)

1955 pertama kali memperkenalkan teknik mengetsa enamel dengan asam phosphor untuk meningkatkan perlekatan terhadap enamel.35,36

Berdasarkan jumlah tahap-tahap dalam aplikasinya, sistem adhesif dapat dibagi menjadi :

1. Total-etch adhesive system

Memerlukan pencucian pada permukaan yang dietsa, antara lain : a. Three-step total-etch adhesive

Sistem adhesif ini merupakan sistem adhesif generasi ke-4.35 Terdiri dari tiga tahap aplikasi yaitu tahap etching, dilanjutkan dengan tahap priming, dan tahap bonding.36 Bahan adhesif ini mampu mengetsa enamel dan dentin secara bersamaan dengan asam phosphor 40 % selama 15 sampai 20 detik. Untuk mencegah kolagen kolaps, permukaan dentin harus dibiarkan dalam keadaan lembab. Akan tetapi sensitivitas teknik sistem adhesif ini cukup tinggi, karena keadaan dentin yang lembab sulit diperoleh dengan benar dan hal itu dapat menyebabkan tidak tercapainya perlekatan yang ideal jika dentin terlalu basah atau terlalu kering.37

b. Two-step total-etch adhesive

Sistem adhesif ini merupakan sistem adhesif generasi ke-5.35 Bahan primer dan adhesif digabung dalam satu kemasan yang diaplikasikan setelah dilakukan pengetsaan enamel dan dentin dengan asam phosphor 35 - 37% selama 15 sampai 20 detik.36,37 Tahapan aplikasi sistem adhesif ini lebih sederhana daripada sistem adhesif generasi ke-4, akan tetapi kelembaban dentin yang ideal masih sulit untuk dicapai.36


(32)

Tidak memerlukan tahap pencucian pada permukaan yang dietsa. Bahan etsa dan primer digabung menjadi satu, antara lain :

a. Two-step self-etch adhesive

Sistem adhesif ini merupakan sistem adhesif generasi ke-6.35 Sistem adhesif ini juga dikenal sebagai “self-etching primers”. Tahap pengetsaan asam dihilangkan dengan mengaplikasikan suatu acidic primer pada permukaan enamel dan dentin setelah preparasi gigi.36 Keuntungannya adalah bahwa sensitivitas teknik pada sistem adhesif ini tidak tinggi karena tidak tergantung dengan keadaan kelembaban dentin. Karena dentin tidak dietsa terlebih dahulu dengan asam phosphor sehingga resiko kolapsnya kolagen dapat dieliminasi. Hal ini berarti permukaan gigi dapat dikeringkan dengan semprotan udara sebelum aplikasi self-etching primer.35 Akan tetapi, sistem adhesif ini memiliki kekuatan perlekatan ke enamel yang lebih rendah daripada sistem adhesif generasi ke-4 dan ke-5, karena asam yang digunakan pada sistem adhesif ini lebih lemah sehingga tidak dapat mengetsa enamel dengan efektif.36,37

b. One-step self-etch adhesive

Sistem adhesif ini merupakan sistem adhesif generasi ke-7.35 Sistem adhesif ini menggabungkan bahan etsa, primer dan bonding dalam satu kemasan, sehingga hanya terdiri dari satu tahap aplikasi.36

One-step self-etch adhesive adalah alternatif sistem adhesif yang menguntungkan untuk restorasi karena dapat digunakan dengan mudah. Tujuan aplikasi one-step self-etch adhesive adalah untuk memudahkan prosedur restorasi


(33)

Smear layer tidak dihilangkan, sehingga potensi sensitivitas post-operative dapat dikurangi.38 Akan tetapi, kekuatan perlekatan dan penutupan tepi sistem adhesif ini sama dengan sistem adhesif generasi ke-6.36

Selain itu, pada saat bahan adhesif diaplikasikan dan dipolimerisasi, bahan adhesif akan menjadi lebih hidrofilik daripada two-step self-etch adhesive, sehingga cenderung lebih menyerap air. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya degradasi perlekatan antar permukaan.35

2.3 Kebocoran Mikro pada Restorasi Klas V

Kelemahan bahan restorasi resin komposit yaitu terjadinya pengerutan selama polimerisasi yang menyebabkan timbulnya celah (gap) antara dinding kavitas dan bahan restorasi. Penyusutan yang terjadi selama polimerisasi bervariasi antara 1-5% volume.27,39

Gambar 1. Kontraksi polimerisasi dan pembentukan gap.1


(34)

Pengerutan polimerisasi berhubungan dengan faktor konfigurasi (c-factor). C-factor merupakan perbandingan antara permukaan yang berikatan dengan permukaan yang bebas. Semakin tinggi c-factor maka semakin tinggi potensi terjadinya stress pengerutan polimerisasi (Gambar 2).27 Desain kavitas klas V dapat dibuat dengan 2 bentuk, yaitu desain kavitas streamline dengan c-factor 0,2 dan desain kavitas bebentuk trapesium dengan c-factor 5.

Gambar 2. Hubungan c-factor dengan pengerutan polimerisasi pada berbagai kelas restorasi.3,12


(35)

Daerah yang sangat rentan terhadap kebocoran mikro adalah dinding gingival pada restorasi klas II dan klas V.40 Restorasi klas V sering mengalami kegagalan karena sedikitnya enamel yang terdapat pada servikal gigi. Pada kavitas klas V, sebagian dari restorasi menutupi email dan sebagian lagi menutupi dentin (Gambar 3). Email dan dentin memiliki karakteristik komposisi yang berbeda, yaitu dentin mengandung air yang lebih banyak sehingga dentin menjadi lembab. Adanya air di dalam dentin akan menurunkan tenaga permukaan dan mencegah bahan adhesif untuk membentuk suatu retensi mekanis yang baik. Oleh karena itu, kebocoran mikro dapat terjadi pada restorasi klas V.41

Gambar 3. Restorasi klas V.29 Gambar 4. Kebocoran mikro bakteri, toksin, cairan, dan molekul ke dalam celah marginal.42

2.4 Desain Kavitas Klas V

Preparasi kavitas klas V harus dengan sudut cavosurface sebesar 90o, tidak boleh mempunyai undercut pada dinding mesial dan distal, mempunyai kedalaman yang sama pada setiap sudut sisi aksial, serta membuat retensi groove bila


(36)

diperlukan.2,3 Outline preparasi kavitas klas V berbentuk seperti ginjal, menyusur mengikuti bentuk servikal gigi.

Preparasi gigi untuk restorasi resin komposit pada penelitian ini menggunakan desain perparasi yang konvensional. Gigi dipreparasi dengan dinding aksial (kedalaman kavitas) 2 mm dari pernukaan gigi, dengan tepi servikal berada 1 mm di atas cemento-enamel junction, lebar mesio-distal 3 mm dan jarak okluso-gingival 2 mm (Gambar 5).34

Gambar 5. Outline preparasi klas V.3

2.5 Proses Polimerisasi

Polimerisasi adalah reaksi intermolekuler yang berantai yang secara fungsional mampu berlangsung secara tidak terbatas. Polimerisasi terjadi melalui serangkaian reaksi kimia di mana polimerisasi dibentuk oleh sejumlah monomer individual. Unit monomer tersebut berhubungan satu dengan yang lain sepanjang rantai polimer oleh

27 3 mm

2 mm


(37)

Resin komposit adalah monomer dimetakrilat di mana bahan ini mengeras melalui mekanisme tambahan yang diawali oleh radikal bebas. Radikal bebas ini dapat diperoleh melalui aktivasi kimia atau energi dari luar (panas, penyinaran).2

Camphorquinone adalah photoinitiator yang terkandung dalam resin komposit. Ketika camphorquinone terkena sinar, maka akan terbentuk radikal bebas yang menginisiasi terjadinya polimerisasi. Camphorquinone mengabsorbsi sinar biru dengan panjang gelombang 470 nm.39,43 Spektrum cahaya ini berhubungan erat terhadap keefektifan light curing unit. Intensitas sinar yang memadai merupakan persyaratan dasar untuk mendapatkan sifat bahan yang optimal untuk penggunaan intraoral baik pada kavitas yang menerima tekanan maupun untuk mencegah diskolorisasi dan degradasi prematur.18

2.5.1 Alat Polimerisasi

Alat polimerisasi berupa light curing unit diperlukan untuk mempolimerisasi sebagian besar resin komposit. Dalam penelitian ini akan dibahas dua jenis alat polimerisasi, yaitu:

a. Quartz-tungsten halogen light curing unit

Di dalam suatu quartz-tungsten halogen (QTH) light curing unit atau yang lebih kita kenal dengan halogen light curing unit terdapat power supply yang dapat memanaskan sebuah filamen tungsten dalam suatu bola lampu quartz yang mengandung gas halogen. Di dalam light curing unit, cahaya yang dihasilkan oleh bola lampu dipantulkan dari sebuah cermin reflektor yang berada di belakang bola lampu ke depan dan dikumpulkan kemudian diteruskan ke suatu rantai fiber-optic


(38)

hingga ke ujung light curing unit. Dari cahaya yang dihasilkan, kurang dari 0,5% yang dapat digunakan untuk polimerisasi, dan selebihnya diubah menjadi panas. Untuk mengurangi panas berlebih yang dapat muncul selama proses polimerisasi, diletakkan dua buah filter tepat sebelum sistem fiber-optic. Filter ultraviolet dan infra merah ini menghilangkan sejumlah cahaya yang tidak diperlukan dan mengubahnya menjadi panas di dalam unit. Suatu kipas kecil digunakan untuk mengurangi panas yang dihasilkan dari filter dan reflektor.3

Bola lampu halogen menghasilkan panjang gelombang dengan range yang cukup besar, sehingga diperlukan adanya filter untuk membatasi agar panjang gelombang yang dihasilkan berada di antara 370-550 nm agar dapat disesuaikan dengan absorbsi camphorquinone.18

Kelemahan halogen light curing unit yaitu bahwa bola lampu, reflektor, dan filter nya dapat berkurang kemampuannya seiring dengan waktu pemakaian. Bola lampu halogen memiliki lama hidup sekitar 100 jam dan kemampuannya dapat berkurang seiring dengan waktu pemakaian sehubungan dengan temperatur operasi yang tinggi. Daya pantul reflektor dapat berkurang karena hilangnya kandungan bahan reflektif ataupun karena permukaannya yang menjadi kotor. Sedangkan filter dapat pecah dan rusak. Hilangnya kemampuan dari bahan-bahan ini dapat mengurangi efektivitas cahaya yang dihasilkan.18


(39)

Gambar 6. Skema suatu halogen light curing unit.3

b. Light-emitting diode light curing unit

Light-emitting diode (LED) adalah suatu semikonduktor yang menghasilkan cahaya ketika dihubungkan dengan suatu sirkuit (Gambar 7).14 Warna cahaya yang dihasilkan oleh suatu LED tergantung dari kandungan kimia kombinasi semikonduktornya (katoda-anoda junction). Ketika elektron dalam kedua semikonduktor bergerak dari tingkat energi yang tinggi ke yang rendah, perbedaan energi pada gap dilepaskan dalam bentuk suatu photon cahaya. Suatu LED light curing unit tidak memerlukan filter, memiliki lama nyala yang lebih lama, dan tidak memancarkan panas yang terlalu tinggi.31 LED light curing unit menghasilkan sekitar 15% cahaya dan 85% panas.18

Suatu LED mempunyai lama nyala lebih dari 10.000 jam dan hanya mengalami sedikit degradasi pada pemakaiannya.16,17 LED light curing unit menghasilkan sinar


(40)

dengan range panjang gelombang antara 460-480 nm sehingga sangat hemat energi dan dapat dioperasikan dengan tenaga baterai. Akan tetapi, bandwidth yang sempit tersebut dapat berpengaruh terhadap polimerisasi beberapa jenis resin komposit yang tidak mengandung camphorquinone sehingga kondisi optimum light curing yang seharusnya berada di luar bandwidth tersebut tidak dapat tercapai.19

2.5.2 Jarak Penyinaran

Faktor yang mempengaruhi kualitas polimerisasi resin komposit yaitu intensitas cahaya, lama penyinaran, panjang gelombang cahaya, ketebalan resin komposit, jarak ujung light curing unit dengan permukaan restorasi, warna resin komposit, dan komposisi bahan resin komposit itu sendiri.23 Intensitas cahaya suatu light curing unit dipengaruhi oleh jarak ujung light curing unit dengan permukaan resin komposit.26 Semakin besar jarak penyinaran, maka dispersi cahaya light curing unit akan meningkat sehingga akan sulit untuk memperoleh polimerisasi yang efektif.24

Gambar 7. Diagram suatu lampu LED.33


(41)

Untuk memperoleh hasil polimerisasi yang maksimal, lapisan restorasi resin komposit yang dimasukkan ke dalam suatu kavitas tidak boleh melebihi ketebalan 2 mm dengan jarak yang ideal antara ujung light curing unit dengan resin komposit adalah 1 mm, dan sumber cahaya diposisikan 90o (tegak lurus) dengan permukaan resin komposit.14,26,39 Akan tetapi, menurut penelitian Radzi et al., jarak penyinaran distandarisasi 5 mm.26 Jika sudut penyinaran menyimpang dari 90o terhadap permukaan restorasi, energi cahaya akan menjadi bias dan kemampuan penetrasinya akan berkurang.14,26

Gambar 8. Semakin besar jarak ujung light curing unit dengan permukaan restorasi maka intensitas cahaya yang mencapai permukaan restorasi akan semakin kecil.14

Diameter ujung light curing unit juga dapat mempengaruhi kualitas polimerisasi serta intensitas cahaya yang dihasilkan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nitta, ditemukan bahwa cahaya yang dihasilkan dari ujung light


(42)

curing unit yang berdiameter 8 mm dan 10 mm adalah 45% dan 32% dari ujung yang berdiameter 4 mm. Akan tetapi, resin komposit yang disinari baik dengan ujung yang berdiameter 4 mm, 8 mm, maupun 10 mm tidak menunjukkan nilai knoop hardness dengan perbedaan yang signifikan pada waktu penyinaran yang lebih dari 10 detik. Selain itu, tidak boleh digunakan light curing unit dengan ujung yang berdiameter yang lebih kecil daripada diameter kavitas dengan daerah penyinaran yang terisolasi pada daerah tertentu. Untuk memastikan polimerisasi resin komposit yang adekuat, diperlukan penyinaran yang overlap jika menggunakan ujung light curing unit yang berdiameter kecil.44


(43)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Bahan Restorasi Klas V Resin Komposit Kualitas Polimerisasi

Alat Polimerisasi

• Lama nyala 40-100 jam

• Memancarkan panas yang tinggi

• Efektivitas penyinaran berkurang seiring dengan waktu pemakaian

• Lama nyala 10.000 jam

• Panas yang dipancarkan tidak terlalu tinggi • Perubahan efektivitas penyinaran yang

terjadi hanya sedikit

Perbedaan Kebocoran Mikro ???

Halogen Light Curing Unit LED Light Curing Unit

Jarak Penyinaran

Semakin besar jarak ujung light curing unit terhadap resin komposit, maka dispersi cahaya akan meningkat, sehingga kualitas polimerisasi akan menurun dan mempengaruhi terjadinya

kebocoran mikro.

0 mm 5 mm


(44)

Pada penelitian ini digunakan desain kavitas klas V. Bahan restorasi yang digunakan adalah resin komposit tipe flowable. Pada restorasi klas V sering terjadi microleakage, dan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya kebocoran mikro adalah kualitas polimerisasi yang kurang baik. Kualitas polimerisasi resin komposit dipengaruhi oleh berbagai jenis faktor, dua di antaranya adalah alat polimerisasi yang digunakan dan jarak penyinaran.

Ada dua jenis alat polimerisasi yang digunakan pada penelitian ini, yaitu Quartz-Tungtsten Halogen (QTH) light curing unit atau yang lebih dikenal sebagai Halogen light curing unit dan Light-Emitting Diode (LED) light curing unit. Lampu halogen mempunyai lama nyala yang terbatas, yaitu sekitar 40-100 jam, pada saat digunakan dapat memancarkan panas yang tinggi, dan efektivitas penyinarannya berkurang seiring dengan waktu pemakaian.15 Sedangkan lampu LED mempunyai lama nyala sekitar 10.000 jam, tidak memancarkan panas yang terlalu tinggi pada saat beroperasi, serta hanya sedikit terjadi perubahan efektivitas penyinaran.17

Faktor kedua yang mempengaruhi kualitas polimerisasi adalah jarak penyinaran resin komposit. Semakin besar jarak ujung light curing unit terhadap permukaan resin komposit, maka dispersi cahaya akan meningkat sehingga akan sulit untuk memperoleh polimerisasi yang efektif. Dengan berkurangnya kualitas polimerisasi maka kemungkinan terjadinya microleakage juga akan lebih besar. Jarak penyinaran yang diaplikasikan pada penelitian ini adalah 0 mm dan 5 mm. Alasan digunakannya jarak penyinaran penyinaran ini karena jarak yang biasa digunakan di klinik adalah 0 mm dan jarak penyinaran yang distandarisasi menurut penelitian Radzi et al. adalah 5


(45)

Pada masing-masing kelompok perlakuan dilakukan penyinaran dengan menggunakan alat penyinaran yang berbeda dengan jarak penyinaran yang berbeda juga. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap microleakage antara dinding kavitas dan restorasi dengan menggunakan metode penetrasi zat warna untuk melihat apakah ada perbedaan kebocoran mikro antara keempat kelompok perlakuan.

3.2 Hipotesis Penelitian

Dari seluruh uraian yang telah disebutkan, maka hipotesis untuk penelitian ini yaitu ada perbedaan kebocoran mikro antara penggunaan halogen light curing unit dan LED light curing unit pada restorasi klas V dengan jarak penyinaran yang berbeda.


(46)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Eksperimental Laboratorium Komparatif

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Tempat :

1. Departemen Konservasi Gigi FKG USU Medan 2. Laboratorium Biologi FMIPA USU Medan Waktu :

Lima bulan

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1 Populasi

Gigi premolar manusia yang telah diekstraksi untuk keperluan ortodonti. 4.3.2 Sampel

Gigi premolar manusia yang telah diekstraksi untuk keperluan ortodonti dan diperoleh dari beberapa praktek dokter gigi di kota Medan, dengan kriteria sampel sebagai berikut :

- Tidak ada karies - Tidak ada fraktur


(47)

4.4 Besar Sampel

Perhitungan besar sampel dapat dilakukan dengan menggunakan rumus Steel & Torrie (1995) :

n = (Zα + Zβ)22σ2 = (1,96 + 1,64)2 2(3,55)2 δ2

(6,28)2

= 8,83 Keterangan : n = besar sampel

Zα = harga standar normal dari α = 0,005 Zβ = harga standar normal dari β = 0,10 σ = simpangan baku dari kelompok kontrol δ = penyimpangan yang ditolerir

Untuk menggenapkan sampel maka besar sampel yang dipakai pada setiap kelompok perlakuan pada penelitian ini adalah sebesar 10 sampel.

Selain berdasarkan perhitungan sampel di atas, besar sampel juga disesuaikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Chimello et al., Bolla et al., dan Yazici et al., yaitu 40 buah gigi premolar manusia.10,13,32,39 Gigi premolar tersebut dibagi menjadi empat kelompok perlakuan. Masing-masing kelompok perlakuan terdiri atas 10 sampel.

Kelompok I

Restorasi klas V dengan menggunakan halogen light curing unit pada jarak penyinaran 0 mm. (10 sampel)

Kelompok II

Restorasi klas V dengan menggunakan LED light curing unit pada jarak penyinaran 0 mm. (10 sampel)


(48)

Kelompok III

Restorasi klas V dengan menggunakan halogen light curing unit pada jarak penyinaran 5 mm. (10 sampel)

Kelompok IV

Restorasi klas V dengan menggunakan LED light curing unit pada jarak penyinaran 5 mm. (10 sampel)

4.5 Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel bebas

Restorasi resin komposit klas V dengan : - Alat penyinaran halogen light curing

unit

- Alat penyinaran LED light curing unit - Jarak penyinaran 0 mm

- Jarak penyinaran 5 mm

Variabel tak terkendali - Keberadaan smear layer

- Kontraksi polimerisasi resin komposit

- Besar gigi dan variasi stuktur anatomi gigi

- Usia pemakaian alat penyinaran - Penyimpanan dan perlakuan

terhadap bahan adhesif dan resin komposit selama pendistribusian Variabel terkendali

- Perendaman gigi dalam saline setelah ekstraksi - Desain dan ukuran preparasi kavitas klas V - Jenis dan bentuk mata bur

- Ketajaman mata bur - Ketajaman diamond disc - Jenis bahan etsa

- Jenis dan shade resin komposit yang digunakan - Teknik insersi : bulk system

- Ketebalan resin komposit

- Alat penyinaran yang digunakan

- Diameter ujung alat penyinaran yang digunakan - Lama waktu penyinaran light cure

- Arah penyinaran light cure : tegak lurus terhadap permukaan bahan restorasi

Variabel tergantung Pengamatan kebocoran mikro dengan metode penetrasi zat warna


(49)

4.5.1 Variabel Bebas

Restorasi resin komposit klas V dengan : - Alat penyinaran halogen light curing unit - Alat penyinaran LED light curing unit - Jarak penyinaran 0 mm

- Jarak penyinaran 5 mm 4.5.2 Variabel Tergantung

Pengamatan kebocoran mikro dengan metode penetrasi zat warna 4.5.3 Variabel Terkendali

- Perendaman gigi dalam saline setelah ekstraksi - Desain dan ukuran preparasi kavitas klas V - Jenis dan bentuk mata bur

- Ketajaman mata bur - Ketajaman diamond disc - Jenis bahan etsa

- Jenis dan shade resin komposit yang digunakan - Teknik insersi : bulk system

- Ketebalan resin komposit - Alat penyinaran yang digunakan

- Diameter ujung alat penyinaran yang digunakan - Lama waktu penyinaran light cure

- Arah penyinaran light cure : tegak lurus terhadap permukaan bahan restorasi - Suhu dan proses thermocycling


(50)

- Jenis zat warna

- Lamanya perendaman dalam zat warna 4.5.4 Variabel Tak Terkendali

- Keberadaan smear layer

- Kontraksi polimerisasi resin komposit - Besar gigi dan variasi stuktur anatomi gigi - Usia pemakaian alat penyinaran

- Penyimpanan dan perlakuan terhadap bahan adhesif dan resin komposit selama pendistribusian

4.6 Definisi Operasional

- Microleakage merupakan celah antara permukaan gigi dan restorasi yang menjadi jalan masuk bakteri, cairan, atau molekul di antara dinding kavitas dan bahan restorasi.

- Microleakage diamati dengan melihat penetrasi zat warna fuchsin red 0,5% pada tepi restorasi melalui stereomikroskop (Prior) pembesaran 20 x.

- Derajat microleakage ditentukan dengan mengamati perluasan fuchsin red 0,5% pada sisi yang terpanjang sepanjang tepi restorasi dan dinilai dengan menggunakan sistem penilaian standar pada skor 0-3 sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Bagheri et al., di mana :28

0 = tidak ada penetrasi zat warna


(51)

2 = penetrasi zat warna mencapai seluruh panjang dinding gingival kavitas tanpa mencapai dinding aksial kavitas

3 = penetrasi zat warna mencapai dinding aksial kavitas

Gambar 9. Skema penentuan skor kebocoran mikro berdasarkan dalamnya penetrasi zat warna. 0 = tidak ada penetrasi, 1 = penetrasi hingga kedalaman ½ kavitas, 2 = penetrasi mencapai seluruh dinding gingival kavitas, dan 3 = penetrasi mencapai dinding aksial kavitas. - Kavitas klas V adalah kavitas yang terdapat pada daerah servikal gigi dengan lebar mesio-distal 3 mm, jarak okluso-gingival 2 mm, dengan tepi servikal berada 1 mm di atas cemento-enamel junction dan kedalaman 2 mm.

- Halogen light curing unit adalah alat penyinaran untuk mempolimerisasi bahan restorasi resin komposit dengan cahaya terlihat berwarna biru (intensitas 450-700mW/cm2) yang dihasilkan oleh bola lampu quartz yang mengandung gas halogen.

3

1 2


(52)

- LED light curing unit adalah alat penyinaran untuk mempolimerisasi bahan restorasi resin komposit dengan cahaya terlihat berwarna biru (intensitas 1000 mW/cm2) yang dihasilkan oleh LED (light-emitting diode).

- Jarak penyinaran adalah jarak antara ujung alat penyinaran light curing unit terhadap permukaan bahan restorasi resin komposit, yaitu 0 mm dan 5 mm.

4.7 Alat dan Bahan Penelitian 4.7.1 Alat Penelitian

Diamond bur : round dan silindris (Dia Bur) Bur polis flame

Sonde lurus dan plastis instrument − Pinset

Halogen light curing unit (Litex 680A, Dentamerica, panjang gelombang: 350 – 520 nm)

LED light curing unit (DioPower, CMS-Dental ApS, panjang gelombang: 450 – 490 nm)

Alat thermocycling dan termometer − Lampu spiritus

− Bais

Stereomikroskop (Prior) pembesaran 20 x Diamond disc (Jota)


(53)

Cotton pellet Glass slab

− Jangka dan mistar

Gambar 90. Alat Penelitian I : Halogen light curing unit.

Gambar 11. Alat Penelitian II: LED light curing unit.


(54)

Gambar 12. Alat Penelitian III : Stereomikroskop (Prior).

Gambar 13. Alat Penelitian IV : A. Diamond bur (round); B. Diamond bur (silindris); C. Bur polis; D. A

B

C


(55)

Gambar 14. Alat Penelitian V : A. Mistar; B. Jangka C. Pinset; D. Sonde half-moon; E. Sonde lurus; F. Plastis instrument.

4.7.2 Bahan Penelitian

Resin komposit flowable (Estelite Flow Quick, Tokuyama) Self etch (Bond Force, Tokuyama)

Saline untuk penyimpanan sampel penelitian − Gips

Wax − Cat kuku − Sticky wax

Fuchsin red 0,5 %

A B

C

D E


(56)

Gambar 15. Bahan Penelitian I: Larutan Saline.

Gambar 16. Bahan Penelitian II : A. Self etch (Bond Force, Tokuyama); B. Resin komposit flowable (Estelite Flow Quick, A


(57)

4.8 Prosedur Penelitian 4.8.1 Pembuatan Sampel

Sampel sebanyak 40 buah gigi premolar manusia yang telah diekstraksi untuk keperluan ortodonti, dimasukkan ke dalam larutan saline. Kemudian sampel dikelompokkan menjadi 4 kelompok, masing-masing kelompok berjumlah 10 sampel, dan ditanam dalam balok gips untuk memudahkan preparasi dan restorasi sampel (Gambar 17).

Gambar 17. Pembuatan sampel : penanaman sampel pada balok gips. 4.8.2 Perlakuan Sampel Penelitian

4.8.2.1 Preparasi Sampel

Outline form desain restorasi klas V digambar pada permukaan bukal seluruh sampel dengan bantuan jangka dan mistar untuk mendapatkan ukuran yang akurat,


(58)

dengan jarak okluso-gingival 2 mm, dan jarak mesio-distal 3 mm dengan tepi servikal berada 1 mm di atas cemento-enamel junction. Preparasi dilakukan dengan menggunakan diamond bur berbentuk bulat dan silindris dengan kecepatan tinggi. Mata bur ditandai terlebih dahulu untuk mendapatkan kedalaman preparasi sebesar 2 mm (Gambar 18).

Gambar 18. Preparasi sampel.

4.8.2.2 Restorasi Sampel

Permukaan bukal seluruh sampel yang telah dipreparasi, dicuci dan dikeringkan. Kemudian dilakukan pengetsaan dengan self etch (Bond Force, Tokuyama) selama 20 detik (Gambar 19), dikeringkan dengan semprotan udara, lalu pada kelompok I dan III di-light cured dengan halogen light curing unit dan pada kelompok II dan IV di-light cured dengan LED light curng unit, masing-masing


(59)

Kemudian pada seluruh sampel diaplikasikan resin komposit flowable (Gambar 20) dan disinari selama 10 detik. Pada kelompok I penyinaran dilakukan dengan menggunakan halogen light curing unit pada jarak penyinaran 0 mm (Gambar 21), pada kelompok II penyinaran dilakukan dengan LED light curing unit pada jarak penyinaran 0 mm (Gambar 22), pada kelompok III penyinaran dilakukan dengan menggunakan halogen light curing unit pada jarak penyinaran 5 mm (Gambar 23), dan pada kelompok IV penyinaran dilakukan dengan LED light curing unit pada jarak penyinaran 5 mm (Gambar 24). Untuk memperoleh jarak penyinaran 5 mm, terlebih dahulu diukur jarak dari permukaan restorasi pada sampel dengan menggunakan jangka dan mistar kemudian diberi tanda pada permukaan balok gips. Resin komposit yang menempel pada ujung light curing unit dapat dibersihkan dengan menggunakan kapas yang dibasahi dengan alkohol.17

Seluruh sampel yang telah direstorasi kemudian dipolis dengan menggunakan bur polis (Gambar 25).

Gambar 19. Proses restorasi I : aplikasi bahan self etch selama 20 detik.


(60)

Gambar 20. Proses restorasi II : insersi bahan restorasi resin komposit flowable.

Gambar 21. Proses restorasi III : penyinaran sampel kelompok I dengan halogen light curing unit pada jarak 0 mm selama 10 detik.


(61)

Gambar 22. Proses restorasi IV : penyinaran sampel kelompok II dengan LED light curing unit pada jarak 0 mm selama 10 detik.

Gambar 23. Proses restorasi V : penyinaran sampel kelompok III dengan halogen light curing unit pada jarak 5 mm selama 10 detik.


(62)

Gambar 24. Proses restorasi VI : penyinaran sampel kelompok IV dengan LED light curing unit pada jarak 5 mm selama 10 detik.

Gambar 25. Proses restorasi VII : pemolisan sampel yang telah selesai direstorasi dengan bur polis.

4.8.3 Proses Thermocycling

Seluruh sampel yang telah direstorasi dimasukkan ke dalam larutan saline selama 24 jam (Gambar 26). Setelah itu, dilakukan proses thermocycling sebanyak 200 putaran dengan waktu 30 detik pada setiap temperatur 5°C (Gambar 27) dan 55°C


(63)

Gambar 26. Perendaman sampel yang telah direstorasi di dalam larutan saline selama 24 jam.

Gambar 27. Proses thermocycling pada suhu 5°C. 4.8.4 Perendaman dalam Larutan Fuchsin red 0,5 %

Apex seluruh sampel ditutupi dengan sticky wax dan seluruh permukaan gigi dilapisi dengan 2 lapis cat kuku kecuali permukaan restorasi dan 1 mm di sekitar tepi restorasi, kemudian dibiarkan mengering di udara terbuka hingga tidak terasa lengket


(64)

(Gambar 29). Setelah itu dilakukan perendaman dalam larutan fuchsin red 0,5 % selama 24 jam pada suhu kamar (Gambar 30). Selanjutnya seluruh gigi dibersihkan dari zat warna pada air mengalir dan dikeringkan.

Gambar 28. Proses thermocycling pada suhu 55°C.

Gambar 29. Persiapan perendaman sampel : A. Lampu spiritus; B. Cat kuku; C. Sticky wax; D. Sampel yang telah dilapisi sticky wax dan cat kuku.


(65)

Gambar 30. Perendaman sampel di dalam larutan fuchsin red 0,5 % selama 24 jam.

4.8.5 Pengukuran Kebocoran Mikro

Semua sampel dipotong secara longitudinal melalui bagian tengah restorasi menggunakan diamond disc dengan menempatkan gigi pada bais (Gambar 31).

Gambar 31. Pemotongan sampel secara longitudinal dengan menggunakan diamond disc.


(66)

Pengamatan kebocoran mikro dilakukan dengan melihat penetrasi zat warna fuchsin red 0,5 % pada tepi restorasi melalui stereomikroskop pembesaran 20 x (Gambar 32). Pengukuran dilakukan oleh 2 orang untuk menghindari subjektifitas.

Derajat kebocoran mikro ditentukan dengan mengamati perluasan fuchsin red 0,5 % dari sisi gigi yang perluasannya paling panjang dan dinilai dengan menggunakan sistem penilaian standar dengan skor 0-3, di mana:

0 = tidak ada penetrasi zat warna

1 = penetrasi zat warna mencapai ½ kedalaman kavitas

2 = penetrasi zat warna mencapai seluruh panjang dinding gingival kavitas tanpa mencapai dinding aksial kavitas

3 = penetrasi zat warna mencapai dinding aksial kavitas

Pemilihan sisi dengan penetrasi zat warna yang terpanjang akan menunjukkan sampai sejauh mana kebocoran mikro yang terjadi sehingga hasil yang diperoleh benar-benar menunjukkan kemampuan alat penyinaran tersebut dalam menghasilkan penutupan tepi restorasi yang optimal.

4.9 Analisa Data

Data yang diperoleh dianalisa secara nonparametrik dengan menggunakan uji Kruskal Wallis Test untuk melihat perbedaan di antara seluruh kelompok perlakuan terhadap kebocoran mikro dan uji Mann-Whitney Test untuk melihat perbedaan di antara kelompok I dan II, kelompok I dan III, kelompok I dan IV, kelompok II dan III, kelompok II dan IV, serta kelompok III dan IV pada restorasi klas V dengan


(67)

menggunakan alat polimerisasi yang berbeda yaitu: halogen light curing unit dan LED light curing unit pada jarak penyinaran 0 mm dan 5 mm.

Gambar 32. Pengamatan penetrasi zat warna fuchsin red 0,5 % di bawah stereomikroskop (Prior) dengan pembesaran 20 x.


(68)

BAB 5

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan terhadap 40 buah sampel gigi premolar yang dibagi secara random ke dalam 4 kelompok dengan perlakuan yang berbeda yaitu 10 sampel untuk kelompok I yang dilakukan restorasi kavitas klas V dengan menggunakan halogen light curing unit pada jarak penyinaran 0 mm, 10 sampel untuk kelompok II yang dilakukan restorasi kavitas klas V dengan menggunakan LED light curing unit pada jarak penyinaran 0 mm, 10 sampel untuk kelompok III yang dilakukan restorasi kavitas klas V dengan menggunakan halogen light curing unit pada jarak penyinaran 5 mm, dan 10 sampel untuk kelompok IV yang dilakukan restorasi kavitas klas V dengan menggunakan LED light curing unit pada jarak penyinaran 5 mm. Uji microleakage dilakukan terhadap sampel dengan melihat penetrasi zat warna dengan menggunakan stereomikroskop pembesaran 20 x. Hasil yang diperoleh adalah berupa panjang penetrasi zat warna fuchsin red 0,5% melalui tepi restorasi uang dikategorikan dalam skor kebocoran 0-3, di mana skor 0 untuk tidak adanya penetrasi zat warna, skor 1 untuk penetrasi zat warna yang mencapai ½ kedalaman kavitas, skor 2 untuk penetrasi zat warna yang melewati ½ kedalaman kavitas tanpa mencapai dinding aksial kavitas, dan skor 3 untuk penetrasi zat warna yang mencapai dinding aksial kavitas.

Hasil pengamatan terhadap kebocoran mikro pada restorasi kavitas klas V menunjukkan yaitu pada kelompok I yang dilakukan restorasi kavitas klas V dengan


(69)

sampel yang berskor 0, 1 sampel yang berskor 1, 2 sampel yang berskor 2, dan 5 sampel yang berskor 3, pada kelompok II yang dilakukan restorasi kavitas klas V dengan menggunakan LED light curing unit pada jarak penyinaran 0 mm diperoleh 3 sampel yang berskor 0, 1 sampel yang berskor 2, dan 6 sampel yang berskor 3, pada kelompok III yang dilakukan restorasi kavitas klas V dengan menggunakan halogen light curing unit pada jarak penyinaran 5 mm diperoleh 1 sampel yang berskor 0, 2 sampel yang berskor 1, 2 sampel yang berskor 2, dan 5 sampel yang berskor 3, dan pada kelompok IV yang dilakukan restorasi kavitas klas V dengan menggunakan LED light curing unit pada jarak penyinaran 5 mm diperoleh 1 sampel berskor 0, 1 sampel berskor 1, 3 sampel berskor 2, dan 5 sampel berskor 3. Hasil pengamatan tersebut dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. SKOR KEBOCORAN PENETRASI ZAT WARNA PADA KEEMPAT KELOMPOK PERLAKUAN

Kelompok Perlakuan Skor Kebocoran

0 1 2 3

I Halogen light curing unit dengan jarak

penyinaran 0 mm 2 1 2 5

II LED light curing unit dengan jarak

penyinaran 0 mm 3 - 1 6

III Halogen light curing unit dengan jarak

penyinaran 5 mm 1 2 2 5

IV LED light curing unit dengan jarak

penyinaran 5 mm 1 1 3 5

Persentase sampel yang tidak mengalami kebocoran 17,5 % Persentase sampel yang mengalami kebocoran 82,5 %


(70)

Hasil pengamatan skor kebocoran dengan stereomikroskop pembesaran 20 x dianalisa dengan Kruskal Wallis Test untuk melihat perbedaan di antara seluruh kelompok perlakuan terhadap kebocoran mikro. Hasil uji statistik dengan Kruskal Wallis Test dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. HASIL UJI STATISTIK DENGAN KRUSKAL WALLIS TEST

Skor Kebocoran

Chi-Square .065

df 3

Asymp. Sig. .996

Dari tabel di atas terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) di antara keempat kelompok perlakuan terhadap kebocoran mikro.

Kemudian analisis statistik dilanjutkan dengan menggunakan Mann-Whitney Test untuk melihat perbedaan di antara kelompok I dan II, kelompok I dan III, kelompok I dan IV, kelompok II dan III, kelompok II dan IV, serta kelompok III dan IV. Hasil uji statistik dengan Mann-Whitney Test dapat dilihat pada tabel 3.


(71)

Tabel 3. HASIL UJI STATISTIK DENGAN MANN-WHITNEY TEST

Skor Kebocoran

I dan II I dan III I dan IV II dan III II dan IV III dan IV

Mann-Whitney U 48.000 48.500 47.000 49.500 40.500 48.000

Wilcoxon W 103.000 103.500 102.000 104.500 95.500 103.000

Z -.167 -.122 -.245 -.042 -.412 -.163

Asymp. Sig.

(2-tailed) .867 .903 .806 .967 .680 .870

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

.912a -912a .853a .971a .720a .912a

Dari hasil uji statistik dengan Mann-Whitney Test diperoleh hasil bahwa baik di antara kelompok I dan II, kelompok I dan III, kelompok I dan IV, kelompok II dan III, kelompok II dan IV, maupun di antara kelompok III dan IV tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p > 0.05).

Pengambilan foto stereomikroskop dari tiap kelompok sebanyak dua sampel. Dua sampel dari kelompok I yang dilakukan restorasi kavitas klas V dengan menggunakan halogen light curing unit pada jarak penyinaran 0 mm ditunjukkan pada gambar 33a dan 33b, dua sampel dari kelompok II yang dilakukan restorasi


(72)

kavitas klas V dengan menggunakan LED light curing unit pada jarak penyinaran 0 mm ditunjukkan pada gambar 34a dan 34b, dua sampel dari kelompok III yang dilakukan restorasi kavitas klas V dengan menggunakan halogen light curing unit pada jarak penyinaran 5 mm ditunjukkan pada gambar 35a dan 35b, dan dua sampel dari kelompok IV yang dilakukan restorasi kavitas klas V dengan menggunakan LED light curing unit pada jarak penyinaran 5 mm ditunjukkan pada gambar 36a dan 36b.

Gambar 33a. Hasil foto stereomikroskop restorasi klas V dengan menggunakan halogen light curing unit pada jarak penyinaran 0 mm. 1. Resin komposit; 2. Penetrasi zat warna dengan skor 2.

1


(73)

Gambar 33b. Hasil foto stereomikroskop restorasi klas V dengan menggunakan halogen light curing unit pada jarak penyinaran 0 mm. 1. Resin komposit; 2. Penetrasi zat warna dengan skor 3.

Gambar 34a. Hasil foto stereomikroskop restorasi klas V dengan menggunakan LED light curing unit pada jarak penyinaran 0 mm. 1. Resin komposit; 2. Penetrasi zat warna dengan skor 3.

1

2

1


(74)

Gambar 34b. Hasil foto stereomikroskop restorasi klas V dengan menggunakan LED light curing unit pada jarak penyinaran 0 mm. 1. Resin komposit; 2. Penetrasi zat warna dengan skor 3.

Gambar 35a. Hasil foto stereomikroskop restorasi klas V dengan menggunakan halogen light curing unit pada jarak penyinaran 5 mm. 1. Resin komposit; 2. Penetrasi zat warna dengan skor 2.

1

2

1


(75)

Gambar 35b. Hasil foto stereomikroskop restorasi klas V dengan menggunakan halogen light curing unit pada jarak penyinaran 5 mm. 1. Resin komposit; 2. Penetrasi zat warna dengan skor 0.

Gambar 36a. Hasil foto stereomikroskop restorasi klas V dengan menggunakan LED light curing unit pada jarak penyinaran 5 mm. 1. Resin komposit; 2. Penetrasi zat warna dengan skor 2.

1

2

1 2


(76)

Gambar 36b. Hasil foto stereomikroskop restorasi klas V dengan menggunakan LED light curing unit pada jarak penyinaran 5 mm. 1. Resin komposit; 2. Penetrasi zat warna dengan skor 2.

1 2


(77)

BAB 6 PEMBAHASAN

Salah satu cara untuk mengukur dan mengamati microleakage adalah dengan metode penetrasi dye. Metode ini merupakan metode yang paling sering digunakan karena proses kerjanya yang mudah, sederhana dan relatif cepat.45 Pada penelitian ini digunakan metode penetrasi dye yang diamati dan dicatat dengan skor standar 0-3 sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Bagheri et al.7,28

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah gigi premolar yang telah diekstraksi untuk keperluan ortodonti. Waktu yang diperlukan untuk pengumpulan sampel kurang lebih tiga bulan dan sampel direndam dalam larutan normal saline sehingga gigi dapat tetap lembab dan tidak mengalami dehidrasi. Sampel kemudian dikelompokkan secara random ke dalam 4 kelompok dengan perlakuan yang berbeda yaitu 10 sampel untuk kelompok I yang dilakukan restorasi kavitas klas V dengan menggunakan halogen light curing unit pada jarak penyinaran 0 mm, 10 sampel untuk kelompok II yang dilakukan restorasi kavitas klas V dengan menggunakan LED light curing unit pada jarak penyinaran 0 mm, 10 sampel untuk kelompok III yang dilakukan restorasi kavitas klas V dengan menggunakan halogen light curing unit pada jarak penyinaran 5 mm, dan 10 sampel untuk kelompok IV yang dilakukan restorasi kavitas klas V dengan menggunakan LED light curing unit pada jarak penyinaran 5 mm. Penelitian ini menggunakan sistem adhesif self etch (Bond Force, Tokuyama) dan resin komposit flowable (Estelite Flow Quick, Tokuyama).


(78)

Pada tabel 1 terlihat persentase microleakage yang diperoleh dari penelitian ini adalah 82,5% dan yang tidak mengalami kebocoran adalah 17,5%. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab tingginya skor kebocoran pada keempat kelompok perlakuan seperti yang ditunjukkan pada tabel 1.

Pertama, karena seluruh sampel gigi premolar pada penelitian ini memiliki variasi stuktur anatomi gigi yang berbeda-beda. Dinding gingival pada restorasi klas V lebih dekat ke daerah cemento enamel junction daripada ke dinding oklusal di mana daerah tersebut terdapat komponen organik yang lebih besar dan cairan tubulus dentin yang lebih banyak yang dapat mempengaruhi perlekatan resin. Oleh karena itu, kebocoran mikro yang terjadi pada dinding gingival lebih besar daripada dinding oklusal.

Kedua, pada penelitian ini satu diamond bur digunakan untuk mempreparasi lima kavitas pada lima sampel. Hal ini menyebabkan mata bur tidak lagi begitu tajam sehingga menimbulkan keretakan-keretakan kecil akibat gesekan mata bur yang berlebihan. Keretakan-keretakan kecil ini juga dapat memperbesar potensi terjadinya microleakage.

Ketiga, faktor bahan adhesif yang digunakan pada penelitian ini. Penyimpanan dan perlakuan terhadap bahan adhesif selama proses pengiriman dan pendistribusian yang tidak dapat kita kendalikan dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur pada bahan adhesif sehingga menyebabkan berkurangnya kerapatan perlekatan antara bahan restorasi dengan dinding kavitas. Selain itu, lamanya bahan adhesif dibiarkan di udara terbuka ketika pengaplikasian juga dapat mempengaruhi terjadinya


(79)

Keempat, teknik insersi resin komposit ke dalam kavitas. Pada penelitian Owens et al. menyatakan bahwa teknik insersi bulk menunjukkan jumlah kebocoran yang lebih banyak daripada teknik insersi incremental.46 Pada penelitian ini dikarenakan kedalaman kavitas hanya 2 mm dan teknik insersi resin komposit yang digunakan adalah bulk system, sehingga hal ini menyebabkan persentase microleakage yang terjadi lebih besar.

Kelima, pada penelitian ini digunakan resin komposit flowable sebagai bahan restorasi. Resin komposit flowable merupakan bahan restorasi yang umumnya dipakai pada restorasi klas V karena mempunyai komposisi filler inorganik yang rendah dan komposisi resin yang lebih banyak dibandingkan resin komposit packable, sehingga memiliki daya alir yang cukup tinggi sehingga dapat dengan mudah mengisi atau menutupi celah kavitas yang kecil. Akan tetapi, komposisi resin komposit flowable yang demikian dapat menyebabkan terjadinya pengerutan yang lebih besar sehingga menghasilkan kebocoran mikro yang lebih besar.10 Oleh karena pada penelitian ini tidak ditambahkan penggunaan resin komposit packable untuk mengurangi pengerutan polimerisasi yang terjadi, sehingga persentase sampel yang mengalami kebocoran menjadi lebih besar.

Keenam, tidak digunakannya matriks pada saat penyinaran sehingga menyebabkan penyinaran dilakukan secara langsung pada permukaan restorasi secara tegak lurus dapat menyebabkan resiko terjadinya kebocoran mikro semakin besar karena resin komposit yang diaktivasi sinar cenderung mengalami pengerutan ke arah sinar. Pengerasan awal resin komposit seharusnya melalui penyinaran melalui struktur gigi yang berdekatan dengan tepi proksimal agar pengerasan resin komposit


(80)

diawali pada batas resin-gigi sehingga resin komposit mengerut ke arah dinding kavitas.27

Ketujuh, proses thermocycling yang dilakukan pada seluruh sampel penelitian. Proses thermocycling yang dilakukan pada penelitian ini bertujuan untuk memberi tekanan pada gigi atau restorasi sehingga mensimulasi perubahan thermal atau tekanan pengunyahan seperti yang terjadi di dalam rongga mulut. Pada proses thermocycling, perubahan temperatur yang ekstrim sebanding dengan yang terjadi di dalam rongga mulut, sehingga dapat mempengaruhi perbedaan ekspansi dan kontraksi antara bahan restorasi dan srtuktir gigi. Thermocycling mempengaruhi infiltrasi marginal restorasi yang mempunyai koefisien linier ekspansi dan difusi thermal yang tinggi dan menghasilkan kontraksi dan ekspansi restorasi yang berbeda dengan struktur gigi, sehingga permukaan restorasi menjadi lemah. Pada penelitian Rigsby et al. cit Nunes et al. yang membandingkan infiltrasi marginal antara kelompok yang di thermocycling dan yang tidak, diperoleh hasil bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan. Demikian juga dengan jumlah putaran pada proses thermocycling tidak mempengaruhi secara langsung terhadap peningkatan kebocoran tepi seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Campos et al. cit Nunes et al.47 Pada penelitian ini dikarenakan keterbatasan alat thermocycling, maka perlakuan yang dilakukan tidak dapat sesuai dengan prosedur kerja, sehingga proses ini mungkin dapat mempengaruhi microleakage yang terjadi.

Kedelapan, pemotongan sampel yang dilakukan hanya melalui bagian tengah restorasi. Hal ini menyebabkan tidak dapat diamatinya microleakage yang terjadi


(81)

tengah restorasi dan pemotongan sampel yang hanya melewati bagian tengah restorasi menyebabkan microleakage yang dapat diamati hanya pada bagian tengah restorasi sehingga derajat kebocoran yang terlihat menjadi lebih besar.

Pada tabel 2 dan tabel 3 terlihat bahwa hasil penelitian ini tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan baik di antara seluruh kelompok perlakuan maupun di antara masing-masing kelompok yang dipolimerisasi dengan LED light curing unit maupun halogen light curing unit. Hal ini berarti hipotesis penelitian ditolak.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Attar et al. yang membandingkan microleakage pada restorasi resin komposit klas V dengan dua LED light curing unit dan satu halogen light curing unit yang berbeda dan hasil penelitiannya tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Pada penelitian Attar et al. diperoleh hasil bahwa pada dentinal margin terdapat kebocoran sebesar 58,73%. Akan tetapi pada enamel margin hanya terdapat kebocoran sebesar 15,87%.7

Yazici et al. dalam penelitiannya yang membandingkan efek light curing unit dan light curing mode yang berbeda pada restorasi resin komposit menyatakan bahwa tidak terlihat adanya perbedaan microleakage yang signifikan baik pada enamel margin maupun dentinal margin.13 Penelitian Cavalcante et al. mengevaluasi efek polimerisasi halogen light curing unit, LED light curing unit, argon ion laser, dan plasma arc curing terhadap resin komposit, dan hasil penelitiannya memperlihatkan keempat light curing unit tersebut tidak menunjukkan adanya perbedaan polimerisasi yang signifikan, dengan tingkat kebocoran sebesar 70,09 % pada enamel margin dan 69,32 % pada dentinal margin.42


(1)

Lampiran 3

Hasil uji statistik pengamatan kebocoran mikro oleh penetrasi zat warna fucshin red 0,5 % pada kelompok restorasi dengan menggunakan halogen light curing unit pada jarak penyinaran 0 mm, kelompok restorasi dengan menggunakan LED light curing unit pada jarak penyinaran 0 mm, kelompok restorasi dengan menggunakan halogen light curing unit pada jarak penyinaran 5 mm, dan kelompok restorasi dengan menggunakan LED light curing unit pada jarak penyinaran 5 mm.

SUMMARIZE

Nomor Sampel Skor Kebocoran

I II III IV

1 0 3 2 2

2 0 0 0 3

3 1 3 1 2

4 3 0 1 0

5 3 3 3 3

6 2 0 3 1

7 3 3 2 3

8 3 2 3 3

9 2 3 3 2


(2)

Kruskal-Wallis Test

Ranks

PERLAKUAN N Mean Rank

Skor Kebocoran Halogen light curing unit dengan jarak 0 mm 10 19.85

LED light curing unit dengan jarak 0 mm 10 20.75

Halogen light curing unit dengan jarak 5 mm 10 20.40

LED light curing unit dengan jarak 5 mm 10 21.00

Total 40

Test Statistics(a,b)

Skor Kebocoran

Chi-Square .065

df 3

Asymp. Sig. .996

a Kruskal Wallis Test

b Grouping Variable: PERLAKUAN

Kelompok I dan II

Mann-Whitney Test

Ranks

PERLAKUAN N Mean Rank Sum of Ranks Skor Kebocoran Halogen light curing unit

dengan jarak 0 mm 10 10.30 103.00

LED light curing unit

dengan jarak 0 mm 10 10.70 107.00

Total 20


(3)

Skor Kebocoran

Mann-Whitney U 48.000

Wilcoxon W 103.000

Z -.167

Asymp. Sig. (2-tailed) .867 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

.912(a) a Not corrected for ties.

b Grouping Variable: PERLAKUAN

Kelompok I dan III

Mann-Whitney Test

Ranks

PERLAKUAN N Mean Rank Sum of Ranks Skor Kebocoran Halogen light curing unit

dengan jarak 0 mm 10 10.35 103.50

Halogen light curing unit

dengan jarak 5 mm 10 10.65 106.50

Total 20

Test Statistics(b)

Skor Kebocoran

Mann-Whitney U 48.500

Wilcoxon W 103.500

Z -.122

Asymp. Sig. (2-tailed) .903 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .912(a) a Not corrected for ties.


(4)

Kelompok I dan IV

Mann-Whitney Test

Ranks

PERLAKUAN N Mean Rank Sum of Ranks Skor Kebocoran Halogen light curing unit

dengan jarak 0 mm 10 10.20 102.00

LED light curing unit dengan

jarak 5 mm 10 10.80 108.00

Total 20

Test Statistics(b)

Skor Kebocoran

Mann-Whitney U 47.000

Wilcoxon W 102.000

Z -.245

Asymp. Sig. (2-tailed) .806 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .853(a) a Not corrected for ties.

b Grouping Variable: PERLAKUAN

Kelompok II dan III

Mann-Whitney Test

Ranks

PERLAKUAN N Mean Rank Sum of Ranks Skor Kebocoran LED light curing unit dengan

jarak 0 mm 10 10.55 105.50

Halogen light curing unit

dengan jarak 5 mm 10 10.45 104.50


(5)

Test Statistics(b)

Skor Kebocoran

Mann-Whitney U 49.500

Wilcoxon W 104.500

Z -.042

Asymp. Sig. (2-tailed) .967 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .971(a) a Not corrected for ties.

b Grouping Variable: PERLAKUAN

Kelompok II dan IV

Mann-Whitney Test

Ranks

PERLAKUAN N Mean Rank Sum of Ranks Skor Kebocoran LED light curing unit dengan

jarak 0 mm 9 10.50 94.50

LED light curing unit dengan

jarak 5 mm 10 9.55 95.50

Total 19

Test Statistics(b)

Skor Kebocoran

Mann-Whitney U 40.500

Wilcoxon W 95.500

Z -.412

Asymp. Sig. (2-tailed) .680 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

.720(a) a Not corrected for ties.

b Grouping Variable: PERLAKUAN

Kelompok III dan IV

Mann-Whitney Test


(6)

Ranks

PERLAKUAN N Mean Rank Sum of Ranks

Skor Kebocoran Halogen light curing unit

dengan jarak 5 mm 10 10.30 103.00

LED light curing unit

dengan jarak 5 mm 10 10.70 107.00

Total 20

Test Statistics(b)

Skor Kebocoran

Mann-Whitney U 48.000

Wilcoxon W 103.000

Z -.163

Asymp. Sig. (2-tailed) .870 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

.912(a) a Not corrected for ties.