Etiologi Penularan Patogenesis dan Patofisiologi

36, diikuti kelompok umur lebih 5 tahun 31, kelompok 15-44 tahun 22 lebih dari 45 tahun 11. Data dari tahun menunjukkan proporsi jenis kelamin lelaki banyak dibanding perempuan pada semua umur. Demam berdarah dengue biasanya paling banyak terjadi pada musim hujan, ketika suhu dan kelembabannya mendukung untuk perkembangbiakan dari vektornya. 2

2.1.3. Etiologi

Penyakit demam berdarah dengue disebabkan oleh Virus Dengue yang masuk ke peredaran darah manusia melalui gigitan nyamuk. Virus ini merupakan virus dari genus Flavivirus dan family Flaviviridae. Virus ini beukuran 50 nm dan merupakan Virus dengan rantai RNA tunggal. Virus Dengue terbentuk dari tiga protein struktural, yaitu protein inti core, protein membran, dan protein selubung, dan juga memiliki tujuh protein non-struktural. Salah satu protein non- struktural yang dimiliki yaitu glikoprotein selubung, yaitu NS1, yang memiliki peran patogenesis yang penting terkait dengan kemampuan proses penggumpalan darah. Selain itu, juga dapat dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis infeksi dengue. Virus Dengue dibagi menjadi 4 serotipe, yaitu DENV-1, DENV-2, DENV-3, dan DENV-4. 4

2.1.4. Penularan

4 DBD ditularkan melalui vektor nyamuk betina Aedes aegypti ataupun Aedes albopictus. Nyamuk ini mendapatkan Virus Dengue dari manusia yang terkena infeksi dengue. Nyamuk harus menggigit manusia yang terinfeksi dengue pada fase viremia, yaitu 2 hari sebelum timbul demam hingga 4-5 hari setelah gejala demam muncul. Nyamuk yang sudah menghisap darah yang mengandung Virus Dengue akan terinfeksi pada sel epitel usus dan virus akan bereplikasi di sel tersebut. Setelah itu Virus Dengue akan menyebar ke kelenjar liur nyamuk dan akan masuk ke dalam air liur. Ketika nyamuk menggigit manusia, maka nyamuk akan mengeluarkan air liurnya dan Virus Dengue pun akan masuk ke peredaran manusia dan memulai siklusnya di dalam tubuh manusia.

2.1.5. Patogenesis dan Patofisiologi

5,6 Pada saat nyamuk menggigit manusia, Virus Dengue masuk ke peredaran darah dan menyebar ke epidermis dan dermis. Virus Dengue yang masuk ditangkap oleh sel Langerhans makrofag kulit dan selanjutnya sel tersebut memproses informasi tersebut dan berperan sebagai APC Antigen Presenting Cell yang mengantarkan informasi mengenai virus ke kelenjar getah bening terdekat. Setelah itu, APC mengaktifasi sel T-Helper dan menginduksi monosit dan makrofag lainnya untuk memfagosit virus. Akan tetapi, Virus Dengue yang difagosit dapat bertahan hidup di dalam sel dan dapat menyebabkan pelepasan mediator kimiawi seperti interferon, interleukin 1 IL-1, IL-6, IL-12, dan TNF. Pelepasan mediator kimiawi inilah yang dapat menyebabkan gejala sistemik seperti demam dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Selain itu, Virus Dengue yang sudah difagosit oleh makrofag juga dapat beramplifikasi dan menyebar ke peredaran darah, fase inilah yang disebut sebagai fase viremia. T-Helper yang diaktifasi tersebut akan mengaktifasi sel T sitotoksik dan sel B, sel T sitotoksik berperan dalam melisiskan makrofag yang sudah terinfeksi Virus Dengue, sementara sel B akan membentuk antibodi terhadap Virus Dengue. Proses di atas menyebabkan pelepasan mediator-mediator kimia yang dapat menyebabkan gejala sistemik. Selain itu, infeksi dari Virus Dengue juga dapat menyerang ke sumsum tulang yang merupakan tempat pembentukan sel-sel darah sehingga dapat menurunkan produksi sel-sel darah. Antibodi yang terbentuk sebagai respon dari infeksi Virus Dengue adalah Imunoglobulin M IgM dan Imunoglobulin G IgG. Dalam peredaran darah, IgM dapat ditemukan pada hari kelima demam dan menghilang setelah 60-90 hari. Sementara untuk IgG, pada infeksi primer dapat ditemukan mulai dari hari ke-14 setelah demam sedangkan pada infeksi sekunder, IgG sudah dapat dideteksi pada hari kedua demam. Gambar 2.2. Patogenesis Demam Berdarah Dengue. 5 Pada infeksi primer, antibodi yang terbentuk memiliki fungsi netralisasi dan non-netralisasi, fungsi tersebut akan mengenali protein E, NS1, Pre M, dan NS3. Sel yang terinfeksi akan dikenali dan dilisiskan melalui aktifitas netralisasi maupun melalui aktivitas dari kompolemen yang pada akhirnya dapat mencegah penyebaran infeksi dari Virus Dengue. Bila terjadi infeksi sekunder dengan serotipe yang sama maka antibodi yang ada sudah siap untuk memberikan perlawanan dan mengatasi infeksi tersebut. Hal ini berbeda dengan infeksi sekunder Virus Dengue dengan serotipe yang berbeda. Pada keadaan ini, antibodi dapat mengikat antigen, namun tidak dapat menetralisirnya. Kompleks antigen- antibodi ini justru bersifat opsonisasi, sehingga memancing makrofag datang dan makrofag dengan mudah terinfeksi Virus Dengue. Pada akhirnya makrofag akan memproduksi IL-1, IL-6, TNFα, dan platelet activating factor PAF. TNFα dan sistem komplemen dapat menyebabkan kebocoran plasma melalui perusakan endotel dan efek vasoaktif yang memvasodilatasi pembuluh darah. Selain itu, efek dari komplemen dan PAF yang berlebihan juga dapat menginduksi koagulasi dan perdarahan. Selain itu, juga terdapat anti-NS1 yang berikatan dengan hepatosit, sel endotel, dan platelet. Efek pengikatan anti-NS1 pada sel endotel dapat menyebabkan pengeluaran nitrit oksida NO yang berlebihan dan dapat menyebabkan kerusakan pada sel endotel. Hal inilah yang dapat menyebabkan terganggunya fungsi endotel dan menyebabkan kebocoran plasma. Kebocoran plasma ini dapat menyebabkan gangguan perfusi ke jaringan, sehingga terjadi kompensasi tubuh dalam upaya menghilangkan gangguan perfusi ke jaringan. Bila keadaan kebocoran plasma memburuk dan berkepanjangan, maka dapat terjadi kondisi yang disebut sebagai sindrom syok dengue. Kebocoran plasma juga dapat terlihat dengan adanya peningkatan kadar hematokrit hemokonsentrasi. Selain itu, ikatan anti-NS1 dengan sel endotel juga dapat menginduksi pengeluaran interleukin-6 IL-6, IL-8, dan intracellular adhesion molecule 1 ICAM-1. Anti-NS1 juga berikatan dengan trombosit, yang bisa berefek pada penurunan hitung trombosit trombositopenia dan bisa menyebabkan keluhan perdarahan. Selain itu, pada keadaan yang lebih berat, infeksi ke sumsum tulang, reaksi silang antibodi dengan plasmin dan platelet, ketidakseimbangan mediator- mediator kimia dalam darah, serta pengaktifan system fibrinolisis dapat menyebabkan keadaan gangguan pembekuan darah yaitu diseminata intravascular coagulation.

2.1.5. Gambaran Klinis