PENDAPAT IMAM SYAF Waris khunsa menurut imam syafi'i dan imam abu hanifah

seksama dan disana- sini membetulkan hafalan Imam Syafi‟i yang lancar itu. 8 Demikianlah maka Imam Syafi‟i menjadi murid Imam Malik. Ia menjadi murid yang disayang oleh gurunya. Sudah menjadi kebiasaan bahwa setiap musim haji para jamaah setelah melaksanakan manasik haji, mereka berziarah ke makam Rasulullah SAW, dan melakukan shalat di masjid Nabawi sekaligus mengikuti pengajian kitab al- Muwattha‟ yang diasuh oleh Imam Malik. Sejak Imam Syafi‟i berguru kepada beliau, Imam Syafi‟i sering ditugasi untuk mendiktekan kitab al-Muwattha‟ kepada para jama‟ah, bahkan menggantikan Imam Malik bila Imam Malik sedang berhalangan mengajar. Melalui m edia inilah, Imam Syafi‟i mulai dikenal luas. Inilah yang mendorong beliau untuk mengadakan perlawatan ke Irak, Yaman, Mesir dan negara lain di kemudian harinya. 9 Imam Syafi‟i mendengar bahwa di Baghdad dan Kufah terdapat banyak sekali ulama-ulama murid dari Imam Abu hanifah, di antaranya Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan, sehingga tertarik hati beliau untuk mengunjungi Irak. Hal tersebut disampaikan kepada gurunya, Imam Malik. Imam Malik menyetujuinya dan berangkatlah beliau ke baghdad dengan bekal yang diberikan Imam Malik sebesar 50 dinar emas. 10 8 Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi‟i, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1995, h. 23. 9 Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, h. 18. 10 Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi‟i, h. 22. Sesampainya di Kufah beliau menemui ulama-ulama sahabat Abu Hanifah, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan. Selama di Kufah Imam Syafi‟i singgah di rumah Muhammad bin Hasan. Di Kufah Imam Syafi‟i mempelajari naskah-naskah, dan buku-buku yang berhubungan dengan Mazhab Hanafi. Dalam kesempatan ini Imam Syafi‟i dapat mengetahui aliran-aliran dan cara-cara fikih dalam mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki. Imam Syafi‟i dapat mendalami dan menganalisa cara- cara yang dipakai oleh kedua Imam itu. Dan hal ini akan membantu beliau dalam membangun fatwanya dalam Mazhab Syafi‟i. 11 Imam Syafi‟I wafat pada malam jum‟at seusai sholat maghrib, yaitu pada hari akhir pada bulan Rajab. Beliau dimakamkan pada hari jum‟at di tahun 204 atau 819 820 M. Kuburannya di kota Kairo, dekat masjid Yazar. 12 Inilah ringkasan daripada biografi dan latar belakang pendidikan Imam Syafi‟i. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Imam Syafi‟i mempunyai pengetahuan yang sangat luas dalam bidang keilmuan agama seperti fikih, hadis, bahasa, dan sastra. Dan pengetahuan fikih yang ia miliki meliputi fikih Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. 13 2. Karya-karya Imam Syafi‟i Menurut Abu Bakar al-Baihaqy dalam kitab Ahkam al- Qur‟an, bahwa karya Imam Syafi‟i cukup banyak, baik dalam bentuk risalah, maupun dalam bentuk kitab. Al-Qadhi Imam Abu Hasan bin Muhammad al-Maruzy mengatakan bahwa Imam 11 Ibid., h. 23. 12 Abdullah Muhammad bin Idris as- Syafi‟i, Ringkasan Kitab Al-Umm, h. 9. 13 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 122. Syafi‟i menyusun 113 buah kitab tentang tafsir, fikih, adab, dan lain-lain. 14 Di antara buku-buku yang beliau karang, adalah: 15 a. Kitab Al-Risalah, kitab ini adalah kitab yang pertama dikarang Imam Syafi‟i, dan dikarang pada usia beliau masih muda belia. Al-Risalah merupakan kitab ushul fikih yang pertama kali dikarang, yang sampai bukunya kepada generasi sekarang. Di dalamnya diterangkan pokok- pokok pemikiran Imam Syafi‟i dalam menetapkan hukum. b. Kitab Al-Umm, kitab ini berisi masalah-masalah fikih yang dibahas berdasarkan pokok-pokok pemikiran beliau yang terdapat dalam al- Risalah. Kitab al-Umm sebenarnya telah disusun oleh Imam Syafi‟i sejak beliau berada di Irak, yang dinamakan dengan Al-Hujjah atau Al-Mabsuth, kemudian setelah beliau berada di Mesir kitab ini direvisi dan diberi nama Al-Umm. c. Kitab Musnad, berisi hadis-hadis yang terdapat pada kitab al-Umm yang dilengkapi dengan sanad-sanadnya. Dan masih banyak lagi kitab-kitab yang merupakan karangan beliau atau karangan murid-murid beliau yag disandarkan kepada beliau. Diantaranya adalah Ibthal al-Ihtisan, Ahkam al- Qur‟an, Bayadh al-Fardh, Sifat al-Amr wa al-Nahyi, 14 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 133. 15 Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaaran, h. 95. Ikhtilaf Imam al-Malik wa al- Syafi‟i, Ikhtilaf al-Iraqiyyin, ikhtilaf al-Hadits, Ikhtilaf Muhammad bin Husain, Fadhail Al-Quraisy, Kitab al-Sunan. 16 3. Metode Istinbat Hukum Imam Syafi‟i Adapun pegangan Imam Syafi‟I dalam menetapkan hukum adalah: a. Al-Qur‟an dan al- Sunnah Imam Syafi‟i memandang al-Qur‟an dan Sunnah berada dalam satu martabat. Beliau menempatkan al- Qur‟an dan Sunnah, karena menurut beliau, sunnah itu menjelaskan al- Qur‟an, kecuali hadis ahad tidak sama nilainya dengan al-Qur‟an dan hadis mutawatir. Di samping itu, karena al- Qur‟an dan Sunnah keduanya adalah wahyu, meskipun kekuatan sunnah secara terpisah tidak sekuat seperti al- Qur‟an. 17 Dalam pelaksanaannya, Imam Syafi‟i menempuh cara, apabila di dalam al- Qur‟an sudah tidak ditemukan dalil yang dicari, ia menggunakan hadis mutawatir. Jika tidak dalam hadis mutawatir, ia menggunakan hadis ahad. Jika tidak diketemukan dalil yang dicari dalam kesemuanya itu, maka dicoba untuk menetapkan hukum berdasarkan dzohir al- Qur‟an atau sunnah secara berturut. Walaupun berhujjah dengan hadis ahad, Imam Syafi‟i tidak menempatkannya sejajar dengan al- Qur‟an dan hadis mutawatir. Karena hanya al-Qur‟an dan hadis mutawatir sajalah yang qath‟iy ketetapannya, yang dikafirkan orang yang 16 Abdullah Muhammad bin Idris al- Syafi‟i, Ringkasan Kitab Al-Umm, penerjemah Imron Rosadi, dkk, Jakarta: Pustaka Azzam, 2004, h. 9. 17 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 129. mengingkarinya. imam Syafii dalam menerima hadis ahad mensyaratkan sebagai berikut: 18 1. Perawinya terpercaya 2. Perawinya berakal 3. Perawinya kuat ingatan 4. Perawinya benar-benar mendengarkan sendiri hadis itu dari orang yang menyampaikan kepadanya 5. Perawi tidak menyalahi para ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadis itu b. Ijma‟ Ijma‟ adalah kesepakatan ulama yang hidup pada suatu masa atas hukum satu kejadian. 19 Imam Syafi‟i hanya mengambil ijma‟ sharih sebagai dalil hukum dan menolak ijma‟ sukuti menjadi dalil hukum. Alasannya menerima ijma‟ sharih, karena kesepakatan itu disandarkan kepada nash dan berasal dari semua mujtahid secara jelas dan tegas sehingga tidak mengandung keraguan. Sementara alasannya menolak ijma‟ sukuti, karena tidak merupakan kesepakatan semua mujtahid. Diamnya sebagian mujtahid menurutnya belum tentu menunjukkan setuju. 20 c. Qiyas 18 Ibid., h. 129. 19 Imam Haromain, Syarh Waraqat, Penerjemah Mujib al-Rahman, Surabaya: Mutiara Ilmu, 2006, h. 65 20 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 130. Qiyas menurut bahasa adalah mengukur atau memperkirakan sesuatu atas sesuatu yang lain untuk mengetahui persamaan diantara keduanya, seperti mengukur pakaian dengan lengan. Sedangkan menurut istilah, qiyas berarti mengembalikan hukum cabang far kepada hukum asal karena adanya alasan „illat yang mempertemukan keduanya dalam hukum. Seperti menqiaskan beras terhadap gandum dalam harta ribawiy dengan titik temu berupa keduanya sama-sama makanan pokok. 21 Imam Syafi‟i adalah mujtahid pertama yang membicarakan qiyas dengan patokan kaidahnya dan menjelaskan asas-asasnya. Sedangkan mujtahid sebelumnya sekalipun telah menggunakan qiyas dalam berijtihad, namun belum membuat rumusan patokan kaidah dan asas-asasnya, bahkan dalam praktek ijtihad secara umum belum mempunyai patokan yang jelas, sehingga sulit diketahui mana hasil ijtihad yang benar dan mana yang keliru. Untuk itu Imam Syafi‟i pantas diakui dengan penuh penghargaan sebagai peletak pertama metodologi pemahaman hukum dalam Islam sebagai satu disiplin ilmu, sehingga dapat dipelajari dan diajarkan. 22 Sebagai dalil penggunaan qiyas, Imam Syafi‟i mendasarkan pada firman Allah SWT dalam surat al-Nisa 4 59: يأٓي ني ل ا عيطأ آ ّماء هلل ا عيطأ س ل يل أ ۡمأۡل ءۡيش يف ۡمتۡع ّت إف ۖۡم ّم ฀ ه د ف ىلإ هلل س ل ب ّمۡ ت ۡمتّك إ هلل مۡ يۡل ۚ خٓأۡل ۡيخ كل ฀ سۡحأ ن ًلي ۡأت ٩٥ ء سّلا ١5٩٥ 21 Imam Haromain, Syarh Waraqat, Penerjemah Mujib al-Rahman, h. 73. 22 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h., h. 131. Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah Al Quran dan Rasul sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya”. Imam Syafi‟i menjelaskan, bahwa maksud “kembalikan kepada Allah dan RasulNya” itu ialah qiyaskanlah kepada salah satu dari al-Qur‟an dan Sunnah. 23 Selain berdasarkan al- Qur‟an, Imam Syafi‟i juga berdasarkan kepada hadis Rasulullah SAW, yaitu ketika Rasulullah berdialog dengan Mu‟adz bin Jabal, ketika ia akan diutus ke Yaman sebagai gubernur disana: أ س للا ه ص ل ها ى ع لي ه س لم ل أ دا أ ي بع ث م ع ً إ ا ل يلا ى ن ك 5 ق ي ف ت ق ض ي إ ع ا ض ل ك ق ض ء ق أ 5 ق ض ب ي ت ها س ةّسبف 5 ق ها تك يف جت مل إف 5 ق ها ىلص ها تجأ 5 ق ملس هيلع ها ىلص ها س ةّس يف جت مل إف 5 ق ملس هيلع د اد با ها لآ ل ييأ Artinya: “bahwasannya ketika Rasulullah SAW ingin mengutus Mu‟adz bin Jabal ke Yaman: Rasul berkata: “bagaimana caramu memutuskan perkara bila diajukan kepadamu? ”. Mu‟adz menjawab, “saya putuskan berdasarkan al-Qur‟an”. Rasulullah bertanya lagi: “jika tidak engkau temukan dalam al-Qur‟an?”. Mu‟adz menjawab, “jika tidak ditemukan, maka dengan sunnah”. Rasulullah bertanya lagi: “jika tidak engkau temukan dalam sunnah?” Mu‟adz menjawab: “jika tidak ditemukan juga didalam sunnah maka saya berijtihad dengan pendapat saya dan tidak mengabaikan perkara tersebut”. HR. Abu Daud. Kata ييأ تجأ di atas, merupakan suatu usaha maksimal yang dilakukan mujtahid dalam rangka menetapkan hukum suatu kejadian, yang dalam istilah ahli ushul fikih disebut ijtihad. Menetapkan hukum dengan cara menganalogikan, adalah satu metode dalam berijtihad. Jadi ungkapan dalam hadis tersebut adalah termasuk 23 Ibid., h. 131. 24 Abu Daud Sulaiman bin al- Asy‟ats al-Sajistani, Sunan Abi Daud, juz 3, Beirut: Daar al- Kitab al- „Arabi, t.th, h. 330. cara menetapkan hukum dengan qiyas, bahkan Imam Syafi‟i memberikan konotasi yang sama antara ijtihad dan qiyas. 4. Pendapat Imam Syafi‟i Tentang Jenis Kelamin Khunsa Imam Syafi‟i berkata, khunsa adalah seorang yang memiliki zakar seperti laki-laki, dan vagina seperti perempuan. Atau ia tidak memiliki keduanya, namun ia hanya memiliki satu lubang yang berfungsi untuk buang air. Maka hal ini dapat membuat kesulitan dalam mengetahui jenis kelaminnya. Jika keadaannya seperti ini, maka dilihat dari segi urine-nya. jika ia kencing dari salah satu alat kelaminnya, maka hukumnya dapat diketahui. Jika ia kencing dari zakarnya maka ia laki-laki, dan alat kelamin satunya adalah tambahan. Jika ia kencing melalui vaginanya maka ia perempuan, dan alat kelamin satunya adalah tambahan. 25 Jika khunsa kencing melalui dua alat kelamin itu secara bersamaan, maka hukum yang diberlakukan untuknya ditentukan berdasarkan kelamin yang mengeluarkan air seni lebih dahulu. 26 Jika air seni keluar dari kelamin laki-laki dahulu, kemudian kelamin perempuan, dia adalah laki-laki. Namun, jika air seni keluar dari kelamin perempuan dahulu, kemudian laki-laki, dia adalah perempuan. Sebab, kelamin yang mengeluarkan air seni lebih dahulu menunjukkan bahwa kelamin itu adalah kelamin sebenarnya. Jika cara tersebut tidak membuahkan hasil, 25 Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir, juz 8, Beirut: Daar al-Kutub al- „Ilmiyyah, 1994, h. 168. 26 Abu Yahya Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz I, Beirut: Daar al-Kutub al- „Ilmiyyah, 2001, h. 174. maka khunsa tersebut termasuk khunsa musykil, dan ditunggu kejelasannya hingga mencapai dewasa. 27 Apabila khunsa telah mencapai dewasa dan terlihat ciri-ciri lelaki seperti janggut, memiliki kecenderungan suka kepada perempuan, mimpi keluar mani dari kelamin laki-laki, maka ia laki-laki. Karena tanda-tanda itu hanya dimiliki laki-laki. Namun, apabila yang kelihatan ciri-ciri perempuan seperti haid, tumbuhnya buah dada, hamil, maka ia adalah perempuan. Jika ciri-ciri yang dimilikinya berlawanan, misalnya memiliki jenggot dan payudara, maka orang itu tetap dikatakan khunsa musykil. 28 5. Pendapat Imam Syafi‟i Tentang bagian yang Diperoleh Khunsa Sebagai Ahli Waris a. Bagian yang Diperoleh Khunsa Ghairu Musykil Untuk mengetahui bagian yang yang didapat oleh khunsa ghairu musykil adalah dengan melihat jalan keluar air seni. Jika ia kencing dengan alat kelamin laki- laki maka ia laki-laki, dan hukum yang diberlakukan untuknya disamakan dengan hukum warisan laki-laki. Jika ia kencing dengan alat kelamin perempuan maka ia perempuan, dan berlaku baginya bagian waris perempuan. 29 Diriwayatkan dari Ibnu 27 Abu Abdillah Muhammad bin Abd al-Rahman al-Dimasyqi, Rahmat al-Ummah Fi al- ikhtilaf al-Aimmah, Beirut: Daar al-Kutub al- „Ilmiyyah, 1986, h. 205. 28 Ibid., h. 205. 29 Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir, h. 168. Abbas, bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang warisan khunsa. Beliau bersabda: ي بع نبا ها . بي ثيح نم Artinya: “khunsa ini mewarisi berdasarkan awal pertama keluar kencingnya”. HR. Ibnu Abbas. 30 Apabila khunsa kencing melalui kedua alat kelaminnya, maka pendapat Imam Syafi‟i adalah, ditentukan berdasarkan kelamin yang mengeluarkan air seni terlebih dahulu. Jika air seni keluar dari kelamin laki-laki dahulu kemudian kelamin perempuan, maka ia adalah laki dan ia mewarisi berdasarkan warisannya laki-laki. Jika kelamin perempuan yang lebih dahulu mengeluarkan air seni, kemudian kelamin perempuan, maka ia adalah perempuan dan ia mewarisi berdasarkan warisannya perempuan. 31 Apabila tidak diketahui yang mana yang mengeluarkan air seni terlebih dahulu, maka dia disebut khunsa musykil, yaitu khunsa yang sulit diketahui statusnya sampai dewasa. Apabila khunsa telah mencapai usia dewasa dan terlihat ciri-ciri lelaki seperti janggut, memiliki kecenderungan suka kepada perempuan, mimpi keluar mani dari kelamin laki-laki, maka ia adalah laki-laki, dan ia mewarisi layaknya warisan laki-laki. Namun, apabila yang kelihatan ciri-ciri perempuan seperti haid, tumbuhnya buah dada, hamil, maka ia adalah perempuan, maka ia mewarisi layaknya 30 Ahmad bin Husein bin Ali bin Musa bin Abu Bakar al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al- Kubro, h. 261. 31 Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir, h. 168. warisan perempuan. 32 Jika ciri-ciri yang dimilikinya berlawanan, misalnya memiliki jenggot dan payudara pada waktu yang bersamaan, maka orang itu tetap dikatakan khunsa musykil. Dan mewarisi berdasarkan warisan khunsa musykil sebagaimana di bawah ini. b. Bagian yang Diperoleh Khunsa Musykil Imam Syafi‟i berpendapat bahwa masing-masing dari ahli waris dan khunsa musykil diberikan bagiannya yang terkecil atau merugikan, karena ia adalah orang yang diyakini bernasab kepada setiap orang dari mereka. Sisanya disimpan sampai jelas keadaannya. Pendapat ini adalah pendapat terkuat dalam mazhab Syafi‟iyah. 33 Khunsa menurut pendapat yang kuat harus diberikan menurut perhitungan yang terkecil. Maka harus diperhatikan hak-hak warisannya dari kedua perkiraan sebagai laki-laki dan perempuan. Maksudnya, dibuat perkiraan baginya dua masalah. Pertama, perkiraan sebagai laki-laki. Kedua, perkiraan sebagai perempuan. Kemudian khunsa itu diberi bagian terkecil di antara dua masalah itu. Dan selisih di antara keduanya disimpan sampai jelas keadaannya, atau ahli waris berdamai, atau khnusa itu wafat, sehingga bagiannya dikembalikan kepada ahli warisnya. Pengertian memperlakukan khunsa dengan cara merugikannya adalah apabila ia mewarisi pada setiap keadaan, dan apabila ditakdirkan perempuan, bagian warisannya lebih sedikit, maka ia ditakdirkan perempuan. Jika ditakdirkan laki-laki 32 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, Penerjemah Addys Al-Dizar dan Fathurrahman, Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004, h. 394. 33 Ali al-Shabuni, Hukum Waris Islam, h. 235. bagian warisannya lebih sedikit maka ia ditakdirkan laki-laki. Apabila dalam pentakdiran itu ia tidak mendapatkan warisan, maka ia tidak mendapatkan apa-apa. Demikian juga apabila salah satu ahli waris ada yang tidak mendapatkan apa-apa karena bersama khunsa yang ditakdirkan laki-laki atau perempuan itu, maka ia harus terhalang dari mendapatkan warisan. Demikianlah pendapat terkuat dalam mazhab Syafi‟iyah. 34 B. Biografi dan Metode Istinbat Hukum Imam Abu Hanifah 1. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pendidikan Nama lengkap Abu Hanifah ialah Abu al- Nu‟man bin tsabit bin Zutha al- Taimy. Ia berasal dari keturunan parsi, lahir di kota Kufah tahun 80 H bertepatan dengan 699 M dan wafat di baghdad tahun 150 H bertepatan dengan 767 M. Ia menjalani hidup di dua lingkungan sosio-politik, yakni di masa akhir dinasti Umayyah dan masa awal dinasti Abbasiyah. 35 Ia dipanggil dengan sebutan Abu Hanifah, karena ia mempunyai seorang putra bernama Hanifah, sehingga ia dikenal dengan Abu Hanifah atau dalam bahasa Indonesia berarti bapaknya si Hanifah. Menurut Yusuf Musa ia disebut Abu Hanifah karena ia selalu berteman dengan tinta, dan kata hanifah ةفيّح menurut bahasa Arab 34 Ibid., h. 236. 35 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 95. berarti tinta. Abu Hanifah senantiasa membawa tinta guna menulis dan mencatat ilmu pengetahuan yang ia peroleh. 36 Abu Hanifah pada mulanya gemar belajar ilmu qira‟at, hadis, nahwu sastra, teologi dan ilmu-ilmu lainnya yang berkembang pada masa itu. Di antara ilmu-ilmu yang diminatinya ialah teologi, sehinga ia menjadi salah seorang tokoh terpandang dalam ilmu tersebut. Karena ketajaman pemikirannya, ia sanggup menangkis serangan golongan khawarij yang doktrin ajarannya sangat ekstrim. 37 Selanjutnya, Abu hanifah menekuni ilmu fikih di Kufah yang pada waktu itu merupakan pusat pertemuan para ulama fikih yang cenderung rasional. Di Irak terdapat Madrasah Kufah, yang dirintis oleh Abdullah bin Mas‟ud wafat 63 H 682 M. Kepemimpinan Madrasah Kufah kemudian beralih kepada Ibrahim al- Nakha‟i, lalu Hammad bin Sulaiman al- Ays‟ari wafat 120 H. Hammad bin Sulaiman adalah seorang Imam besar terkemuka ketika itu. Ia murid dari „Alqamah bin Qais dan al- Qadhi Syuriah, keduanya adalah tokoh dan pakar fikih yang terkenal di Kufah dari golongan tabi‟in. Dari Hammad bin Abi Sulaiman itulah Abu hanifah belajar fikih dan hadis. 38 Setelah itu, Abu Hanifah beberapa kali pergi ke Hijaz untuk mendalami fikih dan hadis sebagai nilai tambah yang ia peroleh dari Kufah. Sepeninggal Hammad, Majelis Madrasah Kufah sepakat untuk mengangkat Abu Hanifah menjadi kepala 36 Ibid., h. 96. 37 Ibid., h. 96. 38 Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, h. 13. Madrasah. Selama itu ia mengabdi dan banyak mengeluarkan fatwa dalam masalah fikih. Fatwa-fatwanya itu merupakan dasar utama dari pemikiran mazhab Hanafi yang dikenal sekarang ini. 39 Abu Hanifah berhasil mendidik ratusan murid dan memiliki pandangan luas dalam masalah fikih. Puluhan dari muridnya itu menjabat sebagai hakim-hakim dalam pemerin tah dinasti Abbasiyah, Saljuk, „Utsmani dan Mughal. 40 Di antara murid dan sahabat beliau yang memahami pendapat dan fatwa beliau dengan baik ialah Imam Abu Yusuf wafat 182 H, Imam Muhammad bin Hasan wafat 189 H, Imam Hasan bin Ziyad wafat 204 H dan lain-lain. Setelah beliau wafat, murid- murid dan sahabat beliau itu berkumpul dan memutuskan untuk berusaha membukukan buah pikiran, pendapat dan fatwa-fatwa beliau yang dikemukakan semasa hidup beliau. Kumpulan-kumpulan kitab ini dilengkapi dengan komentar dan pendapat-pendapat murid dan sahabat-sahabat beliau itu. Adakalanya mereka sependapat dan adakalanya mereka berbeda pendapat dengan Abu Hanifah. Kumpulan kitab inilah yang menjadi sumber utama dalam mempelajari mazhab Hanafi. 41 Adapun guru-guru Imam Abu Hanifah yang banyak jasanya dan selalu memberi nasihat kepadanya, antara lain: Imam Amir bin Syahril al- Sya‟by dan 39 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 97. 40 Ibid., h. 97. 41 Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaaran, h. 77. Hammad bin Sulaiman al- Asy‟ary. Ia mempelajari qira‟at dan tajwid dari Idris „Ashim. Beliau selalu rajin dan taat serta patuh pada perintah gurunya. 42 2. Karya-karya Imam Abu Hanifah Jamil Ahmad dalam bukunya Hundred Great Muslems mengemukakan, bahwa Abu Hanifah meninggalkan tiga karya besar, yaitu: fiqh akbar, al-Alim wa al- Muta‟allim dan musnad fiqh akbar. Menurut Syed Ameer Ali dalam bukunya The Spirit of Islam, karya-karya Abu Hanifah, baik mengenai fatwa-fatwanya, maupun ijtihad-ijtihadnya ketika beliau masih hidup belum dikodifikasikan. Setelah beliau meninggal, barulah buah pikirannya dikodifikasikan oleh murid-murid dan pengikut- pengikut beliau. 43 Adapun murid-murid Abu Hanifah yang berjasa membukukan fatwa-fatwanya sehingga dikenal di dunia Islam, adalah: a. Abu Yusuf Ya‟kub bin Ibrahim al-Anshary 113-182 H. b. Muhammad bin Hasan al-Syaibany 132-189 H. c. Zufar bin Huzail bin al-Kufy 110-158 H. d. Al-Hasan bin Ziyad al-Lu‟lu‟iy 42 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 97. 43 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 101. Dari keempat murid tersebut yang banyak menyusun buah pikiran Abu Hanifah adalah Muhammad bin Hasan al-Syaibany yang terkenal dengan al-Kutub al- Sittah enam kitab, yaitu: 44 a. Kitab Al-Mabsuth b. Kitab al-Ziyadah c. Kitab Jami‟ al-Shagir d. Kitab Jami‟ al-Kabir e. Kitab al-Sair al-Saghir f. Kitab al-Sair al-Kabir 3. Metode Istinbat Hukum Imam Abu Hanifah Dalam mengistinbatkan hukum, pokok-pokok pikiran Abu Hanifah dapat diketahui dari pernyataan beliau, yang artinya, “sesungguhnya saya berpegang dengan al- Qur‟an, apabila saya tidak menemukan dasar hukumnya dalam al-Qur‟an, saya berpegang kepada Sunnah Rasulullah SAW yang sahih dan yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah adil, kuat ingatan, dan dapat dipercaya. Jika saya tidak menemukan dasar hukumnya dalam al- Qur‟an dan Sunnah, maka saya berpegang kepada pendapat orang-orang yang terpercaya yang saya kehendaki, kemudian saya tidak keluar dari pendapat mereka. Apabila urusan itu sampai kepada Ibrahim al- 44 Ibid., h. 102. Sya‟by, Hasan bin Sirin, dan Sa‟id bin Musayyab, maka saya berijtihad sebagaimana mereka berijtihad”. 45 Dalam kesempatan lain Imam Abu Hanifah berkata: “Pertama-tama saya mencari dasar hukum dalam al- Qur‟an, kalau tidak ada, saya cari dalam sunnah Nabi, kalau tidak ada juga, saya pelajari fatwa-fatwa para sahabat dan saya pilih mana yang saya anggap kuat, kalau orang melakukan ijtihad maka saya pun melakukan ijtihad”. 46 Dari keterangan di atas, nampak bahwa Imam Abu Hanifah dalam beristidlal atau menetapkan hukum yang tidak ditetapkan dalalahnya secara qath‟iy dari al- Qur‟an dan sunnah yang diragukan kesahihannya, ia selalu menggunakan ra‟yu. Ia sangat selektif dalam menerima hadis. Imam Abu Hanifah memperhatikan mu‟amalat manusia, adat istiadat serta „urf mereka. Beliau berpegang kepada qiyas dan apabila tidak bisa ditetapkan berdasarkan qiyas, beliau berpegang kepada istihsan selama hal itu dapat dilakukan. Jika tidak, maka beliau berpegang kepada adat dan „urf. 47 Menurut Shubhi Mahmasany, pengetahuan Abu Hanifah yang mendalam di bidang ilmu fikih dan profesinya sebagai sudagar, memberi peluang baginya untuk memperlihatkan hubungan-hubungan hukum secara praktis. Kedua faktor inilah yang menyebabkan keahliannya sangat luas dalam menguasai pendapat dan logika dalam 45 Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaaran, h. 79. 46 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 99. 47 Ibid., h. 99. penerapan hukum syari‟at dengan qiyas dan istihsan. Oleh karena itu mazhab Hanafi terkenal dengan sebutan mazhab ra‟yi. 48 4. Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Status Jenis Kelamin Khunsa Khunsa menurut Imam Abu Hanifah adalah seseorang yang memiliki alat kelamin laki-laki dan perempuan. Pada hakikatnya, tidak mungkin terkumpul pada diri seseorang dua alat kelamin laki-laki dan perempuan. Seharusnya ia hanya seorang laki-laki atau seorang perempuan saja. Adapun untuk mengetahui status jenis kelamin khunsa menurut Imam Abu Hanifah adalah sama seperti yang disampaikan Imam Syafi‟i, yaitu dengan memperhatikan jalan keluar urinenya untuk anak-anak, dan melihat tanda-tanda kedewasaannya ketika dewasa. 49 Tanda-tanda yang dijadikan patokan untuk mengetahui jenis kelamin khunsa ada dua, yakni tanda-tanda ketika kecil dan ketika dewasa. Tanda-tanda ketika kecil adalah melihat kepada jalan keluarnya urine. berdasarkan hadis Rasulullah SAW: “khunsa dilihat dari cara urinenya” Jika air seninya keluar dari alat kelamin laki-laki maka ia laki-laki. Jika air seninya keluar dari alat kelamin perempuan maka ia perempuan. Apabila air seninya keluar dari kedua alat kelaminnya, maka dilihat mana yang lebih dahulu mengeluarkan air seni. Karena yang mengeluarkan air seni lebih dahulu menunjukkan atas keaslian kelaminnya. 48 Ibid., h. 101. 49 „Alau al-Din Abu Bakar bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Badai‟ al-Shanai‟ fi Tartib al- Syaroi‟, t.t: Mauqi‟ al-Islami, t.th, h. 124. Apabila air seni keluar dari kedua alat kelaminnya secara bersamaan, maka Imam Abu Hanifah tawaqquf berhenti benpendapat. Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa khunsa tersebut adalah khunsa musykil. Dan ini merupakan kesempurnaan Fikih Imam Abu Hanifah, karena tawaqquf berhenti berpendapat ketika tidak ada dalil hukumnya adalah wajib. 50 Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad yang merupakan murid dari beliau, berpendapat jika khunsa kencing dengan kedua alat kelaminnya secara bersamaan, maka ia dilihat dari banyaknya air seni yang keluar dari kelaminnya. Jika air seni yang keluar dari kelamin laki-laki lebih banyak daripada yang keluar dari kelamin perempuan, maka ia laki-laki. Jika air seni yang keluar dari alat kelamin perempuan lebih banyak daripada yang keluar dari kelamin laki-laki, maka ia perempuan. 51 Imam Abu hanifah berkata, “jika khunsa telah baligh, lalu timbul tanda-tanda kedewasaannya. Seperti, tumbuh jenggot, timbul rasa suka kepada perempuan, mimpi basah seperti mimpinya laki-laki, maka ia laki-laki. Karena itu adalah ciri-ciri yang dimiliki laki-laki. Jika tumbuh tumbuh padanya dua payudara seperti perempuan, dan payudara tersebut mengeluarkan asi, atau dia haid, maka dia perempuan. Karena tanda-tanda ini hanya dimiliki oleh perempuan ”. 52 50 Ibid., h. 125. 51 „Alau al-Din Abu Bakar bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Badai‟ al-Shanai‟ fi Tartib al- Syaroi‟, h. 125. 52 Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-babarti, al- „Inayah Syarh al-Hidayah, t.t: Mauqi‟ al-Islam, t.th, h. 252. 5. Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang bagian Yang Diperoleh Khunsa Sebagai Ahli Waris a. Bagian yang Diperoleh Khunsa Ghairu Musykil Untuk mengetahui bagian warisan yang diterima khunsa ghairu musykil, pendapat Imam Abu Hanifah bersamaan dengan pendapat Imam Syafi‟i. Yaitu, pada waktu kecil melihat kepada jalan keluarnya air seni. Jika air seninya keluar dari alat kelamin laki-laki maka ia dianggap laki-laki dan dapat mewarisi layaknya laki-laki. Jika air seninya keluar dari alat kelamin perempuan maka ia perempuan dan ia dapat mewarisi layaknya warisan perempuan. Jika air seninya keluar dari kedua alat kelamin tersebut, maka dilihat yang mana lebih dahulu mengeluarkan air seni. Jika air seni itu keluar dari alat kelamin laki-laki dahulu, kemudian kelamin perempuan, maka ia laki-laki, dan ia dapat mewarisi layaknya warisan laki-laki. Jika air seninya keluar dari alat kelamin perempuan dahulu, kemudian baru kelamin laki-laki, maka ia perempuan, dan ia dapat mewarisi layaknya warisan perempuan. Jika air seni tersebut keluar dari kedua alat kelaminnya bersamaan tidak diketahui yang mana yang lebih dahulu keluar, maka Imam Abu Hanifah tawaqquf berhenti berpendapat. Ia berkata “laa „ilma lii bidzalik” aku tidak mengetahui hal tersebut. Dan Imam Abu Hanifah mengelompokkan khunsa tersebut kepada kelompok khunsa musykil. 53 b. Bagian Yang Diperoleh Khunsa Musykil Imam Abu Hanifah berkata, “bahwa khunsa berhak bagian yang terkecil di antara dua bagian, yaitu apabila ia ditetapkan sebagai laki-laki dan ditetapkan sebagai perempuan. Mana diantara dua bagian itu yang lebih sedikit, maka diberikan kepada khunsa ”. 54 Di dalam kitab al-Mabsuth Imam Abu Hanifah b erkata, “bagian khunsa musykil adalah bagian yang sangat kecil, yaitu bagian perempuan. Kecuali ketika keadaan berubah, bagian laki-laki menjadi bagian terkecil dan terjelek, maka khunsa ditetapkan pada bagian laki- laki”. 55 Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa khunsa musykil dapat mewarisi dan diproses menurut kemungkinan yang paling tidak menguntungkan baginya, yaitu dengan mengurangi bagiannya atau menghalanginya untuk mewarisi, baik dia sebagai laki-laki maupun perempuan, karena itulah cara yang paling meyakinkan, sedangkan cara yang lain masih meragukan. Pada dasarnya, kepemilikan seseorang atas sesuatu tidak bisa terlaksana jika ada keraguan disana, baik keraguan tentang orangnya maupun keraguan tentang barangnya. Dengan ungkapan lain, menurut Imam Abu 53 Abu Bakr Muhammad bin abu Sahl al-Sarakhsi, al-Mabsuth , t.t: Mauqi‟ al-Islami, t.th h. 199. 54 Ali al-Shabuni, Hukum Waris Islam, h. 235. 55 Abu Bakr Muhammad bin abu Sahl al-Sarakhsi, al-Mabsuth, h. 175. Hanifah hanya khunsa yang akan diproses dengan cara yang tidak menguntungkan, dan ahli waris yang lain tidak terpengaruh olehnya. 56 Dalam prakteknya, Imam Abu hanifah mengatakan , “khunsa diasumsikan sebagai laki-laki kemudian diasumsikan sebagai perempuan serta setelah itu dia diperlakukan dengan kondisi yang paling serupa dari dua kondisi tersebut, hingga seandainya dia mewarisi dengan suatu pertimbangan dan tidak mewarisi dengan pertimbangan lain, maka dia tidak diberi apa-apa. Jika dia mewarisi berdasarkan dua asumsi dan bagiannya berbeda, maka dia diberi yang minimal dari dua bagian”. 57 56 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, h. 395. 57 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, h. 641. 60

BAB IV ANALISIS KOMPARATIF WARIS KHUNSA MENURUT IMAM SYAFI’I

DAN IMAM ABU HANIFAH A. Persamaan Pemikiran Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah Tentang Waris Khunsa Musykil dan Khunsa Ghairu Musykil Secara umum terdapat persamaan pemikiran Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah dalam masalah waris khunsa musykil dan khunsa ghairu musykil. Imam Syafi ’i dan Imam Abu Hanifah memandang bahwa waris mewarisi adalah perintah yang jelas tercantum dalam al- Qur’an dan hadis. Sedangkan dalam ilmu ushul fikih perintah amar menunjukkan arti kewajiban yang harus dilaksanakan. 1 Maka waris mewarisi adalah perintah Allah SWT yang harus dijalankan oleh setiap umat Islam. Allah SWT menjanjikan surga bagi orang yang mentaati ketentuan pembagian harta pusaka dan memasukkan ke neraka selama-lamanya bagi orang yang tidak mengindahkannya. 2 Allah SWT berfirman pada surat al-Nisa 4 13-14: كۡلت د ح ۚهلل عطي نم هلل هل س ۥ تّج هۡلخۡ ي ฀ تۡحت نم ي ۡجت ۡنأۡل ني لخ كل ۚ يف ۡ فۡل ميظعۡل ٣١ نم صۡعي هلل هل س ۥ هد ح عتي ۥ اً ن هۡلخۡ ي لخ ฀ هل يف ا ۥ ا ع ฀ ني م ฀ ٣١ ء سّلا 4141 Artinya: “Hukum-hukum tersebut itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai 1 Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah Pedoman Dasar Dalam Istinbat Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002, h. 15. 2 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Bandung: Alma’arif 1971, h. 34. Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan”. Allah mengatur pembagian warisan berdasarkan jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. maka ulama menghendaki kejelasan dari kelamin seseorang yang menjadi objek suatu hukum. Meskipun khunsa memiliki dua alat kelamin namun hukum yang diberlakukan padanya hanya satu yaitu laki-laki atau perempuan. Kepastian tersebut dapat diketahui dengan memperhatikan beberapa ciri-ciri. 3 Secara garis besar, Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berpendapat sama dalam menentukan jenis kelamin khunsa, yakni dengan melihat ciri-ciri pada waktu kecil yaitu keluarnya air seni, dan melihat kepada ciri-ciri dewasa yaitu melihat kemana khunsa ini condong. 4 Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah juga berpendapat sama dalam menentukan bagian warisan khunsa ghairu musykil. Yaitu dengan melihat dari mana air seninya keluar. Jika air seninya keluar dari kelamin laki-laki, maka ia laki-laki, dan ia mewarisi warisannya laki-laki. Jika air seninya keluar dari kelamin perempuan, maka ia perempuan, dan ia mewarisi warisannya perempuan. 5 Jika air seninya keluar dari kedua alat kelaminnya, maka dilihat mana yang lebih dahulu mengeluarkannya. 6 Jika air seni keluar dari kelamin laki-laki dahulu kemudian kelamin perempuan, maka 3 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta : Prenada Media, 2005, h. 139. 4 Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir, juz 8, Beirut: Daar al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, 1994, h. 168. 5 Ibid., h. 168. 6 Abu Yahya Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz I, Beirut: Daar al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, 2001, h. 174. ia adalah laki dan ia mewarisi berdasarkan warisannya laki-laki. Jika kelamin perempuan yang lebih dahulu mengeluarkan air seni, kemudian kelamin perempuan, maka ia adalah perempuan dan ia mewarisi berdasarkan warisannya perempuan. 7 Jika cara tersebut tidak membuahkan hasil, maka khunsa tersebut termasuk khunsa musykil, dan warisannya ditangguhkan hingga si khunsa mencapai dewasa. 8 Dalam menentukan kewarisan khunsa dewasa pun Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berpendapat sama yaitu dengan melihat tanda-tanda kedewasaannya. Jika timbul tanda-tanda kedewasaannya. Seperti tumbuh jenggot, timbul rasa suka kepada perempuan, mimpi basah seperti mimpinya laki-laki, maka ia laki-laki. Karena itu adalah ciri-ciri yang dimiliki laki-laki, dan ia dapat mewarisi warisannya laki-laki. Jika tumbuh tumbuh padanya dua payudara seperti perempuan, dan payudara tersebut mengeluarkan asi, atau dia haid, maka dia perempuan. Karena tanda-tanda ini hanya dimiliki oleh perempuan dan ia dapat mewarisi warisannya perempuan. 9

B. Perbedaan Pemikiran Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah Tentang Waris

Khunsa Musykil dan Ghairu Musykil Dalam pembagian warisan khunsa musykil Imam syafi’i dan Imam Abu Hanifah berbeda pendapat tentang bisa tidaknya khunsa musykil mewarisi. Imam 7 Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir, h. 168. 8 Abu Abdillah Muhammad bin Abd al-Rahman al-Dimasyqi, Rahmat al-Ummah Fi al- ikhtilaf al-Aimmah, Beirut: Daar al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, 1986, h. 205. 9 Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-babarti, al- „Inayah Syarh al-Hidayah, t.t: Mauqi’ al-Islami, t.th, h. 252. Syafi’i memiliki dua pendapat dalam menentukan bagian warisan khunsa musykil, pendapat pertama adalah, khunsa dan ahli waris yang bersamanya diproses dengan kemungkinan yang paling buruk, dan sisanya ditahan sampai ada kejelasan tentang statusnya. 10 Ini adalah pendapat terkuat dalam mazhab Syafi’iyah, adapun pendapat kedua Imam Syafi’i sama seperti pendapat Imam Abu Hanifah. 11 Menurut pendapat terkuat mazhab Syafi’iyah, setelah semua ahli waris, termasuk si khunsa mendapatkan bagian yang terkecil atau meyakinkan, sisanya ditahan dahulu dan akan diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya apabila persoalan khunsa menjadi jelas. Tetapi jika persoalan khunsa tidak menjadi jelas, maka para ahli waris harus mengadakan perundingan musyawarah damai untuk saling hibah menghibahkan terhadap jumlah sisa yang ditawaqufkan tersebut. Sebab apabila perundingan damai ini tidak dilaksanakan, niscaya sisa yang ditawaqufkan tersebut tidak dapat dimiliki mereka, dikarenakan tidak ada jalan yang dapat mengesahkan, dan pembagian semacam ini ada gunanya. Perundingan damai terhadap jumlah sisa yang ditahan yang masih diragukan adalah sah. 12 Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa khunsa musykil diberikan bagian terkecil lagi terjelek dari dua perkiraan bagian laki-laki dan perempuan dan 10 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, Penerjemah Addys Al-Dizar dan Fathurrahman, Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004, h. 395. 11 Muhammad Ali al-Shobuni, al-Mawarits fi al- Syari‟ah al-Islamiyyah fi Dhoui al-Kitab wa al-Sunnah, Beirut: Alim al-Kutub, 1979, h. 181. 12 Fathur Rahman, Ilmu Waris, h. 488.