Hukum Kewarisan Islam TINJAUAN UMUM TENTANG KHUNSA DAN HUKUM KEWARISAN

3. Sebab-sebab Mendapat Kewarisan Hal-hal yang menyebabkan seseorang berhak menerima warisan ada tiga, yaitu: a. Hubungan Kekerabatan nasab Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang mewariskan dengan yang mewarisi, dapat digolongkan dalam tiga golongan, yaitu sebagai berikut: 1. Furu‟, yaitu anak turun cabang dari si mayit. 2. Ushul, yaitu leluhur pokok atau asal yang menyebabkan adanya si mayit. 3. Hawasyi, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si mayit melalui garis menyamping, seperti saudara, paman, bibi, dan anak turunannya dengan tidak membeda-bedakan laki-laki atau perempuan. 44 b. Pernikahan Yaitu akad yang sah, yang terjadi di antara suami isteri, sekalipun sesudah pernikahan itu belum terjadi persetubuhan atau berduaan di tempat sunyi khalwat. Mengenai nikah fasid atau nikah batal, tidak bisa menyebabkan hak mewaris. 45 c. Hubungan Al-Wala‟ 44 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, h. 73. 45 Ali Al-Shabuni, Hukum Waris Islam, h. 55. Hubungan wala‟ terjadi disebabkan oleh usaha seseorang pemilik budak yang dengan sukarela memerdekakan budaknya. Dengan demikian, pemilik budak tersebut mengubah status orang yang semula tidak cakap bertindak, menjadi cakap bertindak untuk mengurusi, memiliki dan mengadakan transaksi terhadap harta bendanya sendiri. Di samping itu, cakap melakukan tindakan hukum sebagai imbalan atas kenikmatan yang telah dihadiahkan kepada budaknya sebagai perangsang agar orang- orang pada waktu itu memerdekakan budak. 46 4. Penghalang Mendapat Kewarisan Halangan mewarisi adalah tindakan atau hal-hal yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi karena ada sebab atau syarat mewarisi. Namun, karena sesuatu maka mereka tidak dapat menerima hak waris. Halangan mendapatkan warisan ada tiga, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syafi‟i dalam kitab al- Umm berkata: warisan tidak diterima oleh seseorang yang disebutkan sebagai ahli waris, sehingga 1. agama yang ia peluk sama dengan agama orang yang meninggal dunia, 2. merdeka, dan 3. terbebas dari tuduhan sebagai pembunuh orang yang mewariskan. Jika terlepas dari tiga hal di atas, maka ia berhak mendapat warisan. Namun jika tidak, maka ia tidak berhak mendapat warisan. 47 5. Jalur-jalur Keturunan Khunsa 46 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, h. 74. 47 Abdullah Muhammad bin Idris Al- Syafi‟i, Ringkasan Kitab Al-Umm, penerjemah Imron Rosadi, dkk, Jakarta: Pustaka Azzam, 2004, h. 179. Khunsa memiliki jalur kekerabatan melalui al-bunuwwah garis keturunan anak, al-ukhuwwah garis keturunan persaudaraan, al- „umumah garis keturunan paman, dan al- idla‟ hubungan langsung dengan salah satu tersebut. Oleh karena itu, khunsa tidak bisa menjadi bapak, ibu, kakek, atau nenek. Sebab, jika dia menjadi bapak atau kakek, berarti dia adalah laki-laki dan jika dia menjadi ibu atau nenek, berarti dia adalah perempuan. Khunsa juga tidak bisa menjadi suami atau istri karena tidak sah pernikahan khunsa selama ia masih musykil atau belum diketahui jenis kelaminnya. 48 48 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, h. 394. 36

BAB III PENDAPAT IMAM SYAF

I’I DAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG WARIS KHUNSA A. Biografi dan Metode Istinbat Hukum Imam Syafi‟i 1. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pendidikan Imam Syafi‟I dilahirkan di kota Ghazzah, wilayah palestina pada jum‟at akhir bulan Rajab tahun 150 Hijriyah. N asab imam Syafi‟i dari pihak bapak adalah, Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Syafi‟i bin Sa‟id bin „Ubaid bin Yazid bin Hasyim bin Abdul Mutholib bin Abd al-Manaf bin Qushay al-Quraisyiy. Abd al- Manaf bin Qushay kakek kesembilan dari Imam Syafi‟i adalah juga merupakan kakek keempat dari Nabi Muhammad SAW. Jadi nasab Imam Syafi‟i bertemu dengan nasab Nabi Muhammad SAW pada abd al-Manaf. 1 Adapun nasab dari ibunya adalah, Imam Syafi‟i bin Fathimah binti Abdullah bin Hasan bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian, maka Imam Syafi‟i adalah cucu dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib khalifah keempat yang terkenal, dan merupakan menantu Nabi Muhammad SAW. Dalam sejarah ditemukan, bahwa Said bin Yazid, kakek Imam Syafi‟i yang kelima adalah Sahabat Nabi Muhammad SAW. 2 1 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta: Logos, 1997, h. 120. 2 Ibid., 120. Imam Syafi‟i dilahirkan tepat pada malam wafatnya Imam Abu Hanifah. Oleh karena itu, setelah nama Imam Syafi‟i mulai terkenal, muncul ungkapan, “Telah tenggelam satu bintang dan muncul bintang lain”. Imam Syafi‟i lahir di tengah- tengah keluarga miskin. Ayahnya meninggal ketika beliau masih kecil. 3 Di Makkah kedua orang ibu dan anak ini hidup dalam keadaan miskin dan kekurangan, namun si anak mempunyai cita-cita yang tinggi untuk menuntut ilmu, sedang si ibu bercita-cita agar anaknya menjadi orang yang berpengetahuan, terutama pengetahuan agama Islam. Oleh karena itu si ibu bertekad akan berusaha sekuat tenaga untuk membiayai anaknya selama menuntut ilmu. 4 Setelah dididik di Makkah, beliau dimasukkan ke Madrasah. Berkat usaha ibunya, beliau menghafal al- Qur‟an pada usia sembilan tahun. Kemudian Imam Syafi‟i melanjutkan belajarnya kepada majelis ulama besar di masjid al-Haram yang diasuh oleh dua ulama yang terkenal pada saat itu, yaitu Sufyan bin Uyaynah dan Muslim Khalid al-Zanji. Dari kedua ulama tersebut, beliau mulai mendalami ilmu- ilmu al- Qur‟an dan al-Hadis sekaligus menghafalnya. 5 Ketika gurunya, Muslim bin Khalid memperhatikan kemajuan pesat pada Syafi‟i dan menganggapnya telah cukup menguasai persoalan-persoalan agama, beliau diizinkan untuk memberikan fatwa kepada masyarakat, padahal saat itu umur beliau masih lima belas tahun. Dan 3 Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, Penerjemah Abdullah Zakiyah al-Kaff, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000, h. 17 4 Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaaran, Jakarta: Erlangga, 1991, h. 88. 5 Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, h. 17. wewenang yang seperti itu hampir tidak pernah diberikan kepada orang seusia beliau. 6 Ketika beliau mengetahui bahwa di Madinah ada seorang ulama besar yang terkenal dan ahli dalam ilmu hadis, yaitu Imam Malik bin Anas. Maka Imam Syafi‟i berniat untuk belajar kepadanya. Sebelum pergi ke Madinah beliau sudah lebih dahulu menghafal kitab al- Muwattha‟ susunan Imam Malik. Kemudian beliau berangkat ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik dengan membawa surat pengantar dari gubernur Makkah dan dari gurunya, Muslim bin Khalid. 7 Sesampainya di Madinah beliau langsung menemui Imam Malik dan menyampaikan surat yang dibawanya kepada Imam Malik, setelah surat itu dibaca oleh Imam Malik, terjadilah perbincangan antara Imam Malik dan Imam Syafi‟: “siapa namamu?”, Imam Syafi‟i menjawab: “saya Muhammad bin Idris”. Imam Malik berkata: “hai Muhammad, bertakwalah kepada Allah dan jauhi kemaksiatan. Saya melihat akan terja di sesuatu padamu”. “baiklah, besok datanglah kembali, dan akan saya suruh seseorang membacakan al- Muwattha‟ kepadamu” sambung Imam Malik. Imam Syafi‟i menjawab: “tak perlu dicarikan orang lain karena saya sudah menghafal kitab al-Muwattha ‟ itu”. Imam Malik menjawab: “bacalah”. Imam Syafi‟i membaca membaca kitab al- Muwattha‟ yang didengar oleh Imam Malik dengan 6 Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaaran, h. 88. 7 Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, h. 18. seksama dan disana- sini membetulkan hafalan Imam Syafi‟i yang lancar itu. 8 Demikianlah maka Imam Syafi‟i menjadi murid Imam Malik. Ia menjadi murid yang disayang oleh gurunya. Sudah menjadi kebiasaan bahwa setiap musim haji para jamaah setelah melaksanakan manasik haji, mereka berziarah ke makam Rasulullah SAW, dan melakukan shalat di masjid Nabawi sekaligus mengikuti pengajian kitab al- Muwattha‟ yang diasuh oleh Imam Malik. Sejak Imam Syafi‟i berguru kepada beliau, Imam Syafi‟i sering ditugasi untuk mendiktekan kitab al-Muwattha‟ kepada para jama‟ah, bahkan menggantikan Imam Malik bila Imam Malik sedang berhalangan mengajar. Melalui m edia inilah, Imam Syafi‟i mulai dikenal luas. Inilah yang mendorong beliau untuk mengadakan perlawatan ke Irak, Yaman, Mesir dan negara lain di kemudian harinya. 9 Imam Syafi‟i mendengar bahwa di Baghdad dan Kufah terdapat banyak sekali ulama-ulama murid dari Imam Abu hanifah, di antaranya Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan, sehingga tertarik hati beliau untuk mengunjungi Irak. Hal tersebut disampaikan kepada gurunya, Imam Malik. Imam Malik menyetujuinya dan berangkatlah beliau ke baghdad dengan bekal yang diberikan Imam Malik sebesar 50 dinar emas. 10 8 Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi‟i, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1995, h. 23. 9 Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, h. 18. 10 Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi‟i, h. 22.