Pengertian dan Dasar Hukum Tentang Perkawinan

14

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Tentang Perkawinan

Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nikah حكن yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh wathi. Kata “nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan coitus, juga untuk arti akad nikah 1 . Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi, di antaranya adalah 2 : “Perkawinan menurut syara‟ yaitu akad yang ditetapkan syara‟ untuk memperbolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan untuk menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki ”. Abu Yahya Zakaria Al-Anshary mendefinisikan: 3 1 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, Jakarta: Prenada Media, 2003, cet-1, h. 7. 2 Ibid. h. 8 3 Ibid., h. 8. 15 “Nikah menurut istilah syara‟ ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengannya ”. Definisi yang dikutip Zakiah Daradjat: 4 “akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau tazwij atau semakna dengan keduanya ”. Muhammad Abu Ishrah memberikan definisi yang luas, yang juga dikutip oleh Zakiah Daradjat: 5 “Akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga suami istri antara pria dan wanita dan mengadakan tolong menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing- masing ”. Dari pengertian ini perkawinan mengandung aspek akibat hukum, melangsungkan perkawinan adalah saling mendapat hak dan kewajiban serta bertujuan mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi tolong-menolong. Dalam Kompilasi Hukum Islam, pengertian perkawinan dinyatakan dalam pasal 2 sebagai berikut: Pasal 2 : “perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. 4 Ibid. 5 Ibid., h. 9. 16 Sayyid Sabiq, lebih lanjut mengomentari : perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuhan. Perkawinan merupakan cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak-pinak, berkembang biak, dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan secara anarki tanpa aturan. Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya, sehingga hubungan antar laki-laki dengan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan rasa saling meridhoi, dengan upacara ijab kabul sebagai lambang adanya rasa ridho- meridhoi, dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan bahwa pasangan laki- laki dan perempuan itu telah saling terikat. Bentuk perkawinan ini telah memberikan jalan yang aman pada naluri seks, memelihara keturunan dengan baik, dan menjaga kaum perempuan agar tidak laksana rumput yang biasa dimakan oleh binatang ternak dengan seenaknya. Pergaulan suami istri menurut ajaran Islam diletakkan di bawah naluri keibuan dan kebapaan sebagaimana ladang yang baik yang nantinya menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang baik dan menghasilkan buah yang baik pula. Adapun tentang makna pernikahan itu secara definitif, masing-masing Ulama Fikih berbeda dalam mengemukakan pendapatnya, antara lain sebagai berikut: 17 1. Ulama Hanafiyah, mendefinisikan pernikahan sebagai suatu akad yang berguna untuk memiliki mut’ah dengan sengaja. Artinya seorang laki-laki dapat menguasai perempuan dengan seluruh anggota badannya untuk mendapatkan kesenangan atau kepuasan. 2. Ulama Syafi’iyah, menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad dengan menggunakan lafal nikah atau zauj ٌحاَكِن . ٌجْوَز yang menyimpan arti memiliki wathi. Artinya dengan pernikahan seseorang dapat memiliki atau mendapatkan kesenangan dari pasangannya. 3. Ulama Malikyah, menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad yang me ngandung arti mut’ah untuk mencapai kepuasan, dengan tidak mewajibkan adanya harga. 4. Ulama Hanabilah, menyebutkan bahwa pernikahan adalah akad dengan menggunakan lafal inkah ٌحاَكْنِإ atau ٌجْيِوْزَت untuk mendapatkan kepuasan, artinya seorang laki-laki dapat memperoleh kepuasan dari seorang perempuan dan sebaliknya. Dari beberapa pengertian nikah tersebut di atas maka dapat di kemukakan bahwa pernikahan adalah suatu akad antara seorang pria dengan seorang wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang dilakukan oleh pihak lain wali menurut sifat dan syarat yang telah ditetapkan syara ’ untuk menghalalkan pencampuran antara keduanya, sehingga satu sama lain saling membutuhkan menjadi sekutu sebagai teman hidup dalam rumah tangga. 6 6 Slamet Abidin, dan aminuddin, Fiqih Munakahat 1 Untuk Fakultas Syari‟ah Komponen MKDK, Bandung: CV Pustaka Setia 1999, h 11. 18 Dalam Al- Qur’an dinyatakan bahwa hidup berpasang-pasangan, hidup berjodoh-jodoh adalah naluri segala makhluk Allah, termasuk manusia, sebagaimana firman-Nya dalam surat Az-Zariyat ayat 49:        51 49 “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah SWT ”. QS. Az-Zariyat51: 49 Dalam Yasin ayat 36 dinyatakan:              36 36 “Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik apa yang ditumbuhkan dari bumi dan dari diri mereka maupun apa yang tidak mereka ketahui ”. QS. Yasin36: 36 Dari makhluk yang diciptakan Allah SWT berpasang-pasangan inilah Allah SWT menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya, sebagaimana tercantum dalam surat An- Nisa’ ayat 1:                   ... 4 1 “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak ….” QS. An-Nisa4 :1 19 Hal ini pun disebutkan dalam surat An-Nahl ayat 72:             ... 16 72 “Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu anak-anak dan cucu ….” QS. An-Nahl16 :72. Dalam Al- Qur’an dinyatakan bahwa berkeluarga itu termasuk sunnah rasul-rasul sejak dahulu sampai rasul terakhir Nabi Muhammad SAW, sebagaimana tercantum dalam surat Ar- Ra’d ayat 38:           ... 13 38 “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan ….” QS. Ar-Ra’d13: 38 Berkeluarga yang baik menurut Islam sangat menunjang untuk menuju kepada kesejahteraan, termasuk dalam mencari rezeki Tuhan. Firman Allah dalam surat An-Nur ayat 32 perlu mendapat perhatian bagi orang yang akan berkeluarga:                ... 24 32 “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak berkawin dari hamba-hamba sahaya mu yang laki-laki dan hamba- hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin niscaya Allah SWT akan memampukan mereka dengan karunia-Nya …” QS. An-Nur24 :32 20 Islam menganjurkan orang berkeluarga karena dari segi batin orang dapat mencapainya melalui berkeluarga yang baik, seperti dinyatakan dalam satu sabda Nabi SAW. riwayat Iman Bukhari dan Imam Muslim dari Ibnu Abbas: “Hai para pemuda, barangsiapa yang telah sanggup diantara kamu untuk kawin, maka kawinlah, karena sesungguhnya kawin itu dapat mengurangi pandangan yang liar dan lebih menjaga kehormatan .”

B. Rukun dan Syarat Perkawinan