BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER
INTERNASIONAL
A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional
Hukum Humaniter Internasional yang dahulu dikenal sebagai Hukum Perang atau Hukum Sengketa Bersenjata adalah sebagai salah satu cabang dari
Hukum Internasional publik. Hukum ini memiliki usia sejarah yang sama tua nya dengan peradaban umat manusia. Pada dasarnya segala peraturan tentang perang
terdapat dalam pengaturan tentang tingkah laku, moral dan agama. Masing- masing agama seperti Buddha, Konfosius, Yahudi, Kristen, dan juga Islam
memuat segala aturan mengenai hal yang bersangkutan dengan ketiga hal diatas. Bahkan di setiap peradaban yang pernah ada, ketentuan-ketentuan ini sudah ada.
Peradaban bangsa Romawi mengenal konsep perang yang adil just war.
14
Secara historis, sebenarnya istilah hukum humaniter merupakan perkembangan lebih lanjut dari istilah hukum perang la ws of war dan hukum
konflik bersenjata la ws of armed conflict. Hal tersebut terjadi akibat Perang Dunia I dan II yang mempengaruhi berbagai bidang, termasuk hukum perang
yang ditandai perubahan peristilahan yang digunakan. Hukum perang merupakan istilah yang pertama kali dikenal atau
digunakan. Namun, Perang Dunia I 1914-1918 dan Perang Dunia II 1939-1945
14
Arlina Permanasari, dkk
, Pengantar Hukum Humaniter
,ICRC, Jakarta, 1999, hlm 1
Universitas Sumatera Utara
yang telah menimbulkan korban jiwa Perang Dunia I sekitar 38 juta orang dan Perang Dunia II sekitar 60 juta orang maupun harta benda yang sangat besar,
kemudian menimbulkan suasana antiperang yang meluas dan secara psikologis menyebabkan orang tidak lagi menyukai dan trauma dengan kata “perang”.
Suasana antiperang ini mempunyai dampak pada berbagai bidang, salah satunya adalah hukum perang. Karena orang tidak mengiginkan adanya atau timbulnya
perang, istilah perang sejauh mungkin dihindari dengan sendirinya istilah hukum perang juga tidak disukai. Akibat dari pandangan ini adalah ditinggalkannya
usaha untuk mempelajari atau menyempurnakan hukum perang.
15
Menurut ICRC Hukum Humaniter yakni : “International humanitarian law is a set of rules which seek, for
humanitarian reasons, to limit the effects of armed conflict. It protects persons who are not or are no longer participating in the hostilities and
restricts the means and methods of warfare. International humanitarian l aw is also known as the la w of war or the la w of armed conflict.
”
16
Hukum Humaniter Internasional HHI adalah kesatuan hukum yang terdiri dari konvensi-konvensi Jenewa Geneva Conventions dan konvensi-
konvensi-konvensi Hague Hague Conventions. Konvensi Jenewa dirancang untuk melindungi personil militer yang tidak dapat lagi terlibat dalam
pertempuran; orang-orang yang tidak terlibat aktif dalam permusuhan dan penduduk sipil. Hukum Den Haag yang menentukan hak dan kewajiban negara-
15
KGPH. Haryomataram,
Op Cit
. Hlm 12
16
Jelly Leiza, Diktat Hukum Humaniter, Fakultas Hukum Usu, 2013
Universitas Sumatera Utara
negara yang berperang tentang perilaku pada waktu operasi militer dan membatasi alat yang digunakan untuk menyerang musuh.
Banyak terjadi perkembangan terhadap salah satu cabang hukum internasional ini. Terhadap bentuknya yang sekarang, hukum humaniter
internasional telah mengalami perkembangan yang sangat panjang dan pesat. Seiring dengan berjalannya waktu, berbagai upaya telah dilakukan untuk
memanusiawikan perang. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap upaya yang dilakukan untuk memanusiawikan perang, acap kali mengalami pasang surut,
hambatan, dan kesulitan. Upaya-upaya tersebut dapat dibagi dalam tahapan- tahapan perkembangan hukum humaniter, yang terdiri atas :
1. Zaman Kuno
Sebelum perang dimulai, maka pihak musuh akan diberi peringatan dahulu. Lalu untuk menghindari luka yang berlebihan, maka ujung panah tidak
akan diarahkan ke hati. Dan segera setelah ada yang terbunuh dan terluka, pertempuran akan berhenti selama 15 hari. Gencatan senjata semacam ini sangat
dihormati, sehingga para prajurit dari kedua pihak yang berperang ditarik dari medan pertempuran. Pada masa ini pula, pemimpin militer memerintahkan
pasukan mereka untuk menyelamatkan musuh yang tertangkap, memperlakukan mereka dengan baik, menyelamatkan penduduk sipil musuh, dan pada waktu
penghentian permusuhan, maka pihak-pihak yang berperang biasanya sepakat untuk memperlakukan tawanan perang dengan baik.
17
Selain itu, dalam berbagai peradaban bangsa-bangsa selama tahun 3000 sampai dengan 1500 Sebelum
17
Frits Kalshoven,
Constraint on the Waging Of war
, ICRC, 1991,hlm 7.
Universitas Sumatera Utara
Masehi upaya-upaya seperti itu terus dikembangkan. Hal ini dikemukakan oleh Pictet, antara lain sebagai berikut :
a Diantara bangsa-bangsa Sumeria, perang sudah merupakan
lembaga yang terorganisir. Ini ditandai dengan adanya pernyataan perang, kemungkinan mengadakan arbitrase, kekebalan utusan
musuh dan perjanjian damai. b
Kebudayaan Mesir kuno, sebagaimana disebutkan dalam “seven works of true mercy
”, yang menggambarkan adanya perintah untuk memberikan makanan, minuman, pakaian dan perlindungan
kepada musuh juga perintah untuk merawat yang sakit dan menguburkan yang mati. Perintah lain pada masa itu menyatakan,
”anda juga harus memberikan makanan kepada musuh anda”. Seorang tamu, bahkan musuhpun tak boleh diganggu.
c Dalam kebudayaan bangsa Hitite, perang dilakukan dengan cara-
cara yang sangat manusiawi. Hukum yang mereka miliki didasarkan atas keadilan dan integritas. Mereka menandatangani
pernyataan perang dan traktat. Para penduduk yang menyerah, yang berasal dari kota, tidak diganggu. Kota-kota dimana para
penduduknya melakukan perlawanan, akan ditindak tegas. Namun hal ini merupakan pengecualian terhadap kota-kota yang dirusak
danpenduduknya dibantai atau dijadikan budak. Kemurahan hati mereka berbeda dengan bangsa Assiria yang menang, datang
dengan kekejaman.
Universitas Sumatera Utara
d Di India, sebagaimana tercantum dalam syair kepahlawanan
Mahabrata dan undang-undang Manu, para ksatria dilarang membunuh musuh yang cacat, yang menyerah, yang luka harus
segera dipulangkan ke rumah mereka setelah diobati. Semua senjata dengan sasaran menusuk ke hati atau senjata beracun dan
panah api dilarang, penyitaan hak milik musuh dan syarat-syarat bagi penahanan para tawanan perang telah diatur, dan pernyataan
tidak menyediakan tempat tinggal dilarang. Dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia juga dapat ditemukan
beberapa kebiasaan dan hukum perang yang diberlakukan pada periode pra sejarah, periode klasik, maupun periode Islam. Praktek dan kebiasaan perang yang
dilakukan, antara lain tentang pernyataan perang, perlakuan tawanan perang serta larangan menjadikan anak-anak dan perempuan sebagai sasaran perang, dan juga
tentang pengakiran perang. Sebuah prasasti yang ditemukan di Sumatera Selatan prasasti Talang Tuwo misalnya, berisikan berota raja yang memuat tentang
kutukan dan ultimatum. Jadi bagi mereka yang tidak menuruti perintah raja akan diserang oleh bala tentara raja. Begitu pula pada masa kerajaan Gowa diketahui
adanya perintah raja yang memerintahkan perlakuan tawanan perang dengan baik 2.
Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan hukum humaniter dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dari agama Kristen, Islam dan prinsip ksatriaan. Ajaran agama Kristen misalnya
memberikan sum bangan terhadap konsep “perang yang adil” just war, ajaran
Universitas Sumatera Utara
Islam tentang perang antara lain bisa dilihat dalam Al Quran surat al Baqarah ayat 190, 191, surat al Anfal ayat 39, surat at Taubah ayat 5, dan surat al Haj ayat 39,
yang memandang perang sebagai sarana pembelaan diri dan menghapuskan kemungkaran.
18
Adapun prinsip kesatriaan yang berkembang pada abad pertengahan ini misalnya mengajarkan tentang pentingnya pengumuman perang
dan penggunaan senjata-senjata tertentu. 3.
Zaman Modern Hukum Humaniter mencapai tahap perkembangan yang sangat maju
ketika memasuki abad ke-19, yaitu ketika perang yang dilakukan oleh tentara nasional menggunakan senjata-senjata baru dan lebih merusak dan membiarkan
sejumlah prajurit yang terluka secara mengerikan tergeletak tanpa bantuan di medan tempur. Bukanlah suatu peristiwa yang kebetulan bahwa perkembangan ini
terjadi pada waktu ketika negara-negara menjadi semakin berkepentingan dalam prinsip umum penghormatan manusia. Kecenderungan umum ini diberikan
momentum yang menentukan dengan pendirian Palang Merah Internasional dan ditandatanganinya Konvensi Jenewa 1864 untuk Perbaikan Keadaan yang Luka di
Medan Perang, dimana dalam konvensi ini mengharuskan para pihak yang perjanjian untuk merawat orang-orang yang terluka, baik dari pihak musuh
dengan perlakuan yang sama. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Anggota Angkatan Perang yang Luka
dan Sakit di Medan Pertempuran Darat, mempunyai sejarah yang tertua. Konvensi
18
Masjur Effendi, Moh. Ridwan, Muslich Subandi,
Pengantar Dasar-dasar Hukum Internasional
, IKIP Malang, 1995, hlm 16.
Universitas Sumatera Utara
1864 ini merupakan hasil yang dirintis oleh Henry Dunant. Pada waktu itu Henry Dunant menulis buku tentang pengalaman-pengalamannya di medan pertempuran
antara Austria dengan tentara gabungan Perancis-Sardinia, yang berjudul “Un
Souvenir de Solferino” 1861. Isi buku ini menggambarkan penderitaan prajurit yang sakit pada saat medan pertempuran Solferino.
19
Buku ini sangat menggugah penduduk kota Jenewa, sehingga warga kota yang tergabung dalam “ Societe
d’Utilite Publique” dibawah pimpinan Gustave Moynier membentuk sebuah panitia yang terdiri dari 5 lima orang pada tanggal 17 Februari menjadi sebuah
badan yang dinamakan “Comite international et permanent de secours aux militaries blesses
”. Panitia yang terdiri dari 5 lima warga kota Jenewa ini mengambil inisiatif untuk mengadakan sebuah konferensi internasional tidak
resmi untuk membahas kekurangan-kekurangan perawatan kesehatan tentara pada saat medan pertempuran.
Konferensi yang dihadiri oleh 16 negara berhasil membentuk sebuah badan yang dinamakan Palang Merah dalam bulan Oktober 1963. Karena
merupakan suatu konferensi yang tidak resmi, konferensi tidak dapat mengambil keputusan-keputusan yang mengikat negara-negara peserta. Namun demikian
konferensi menyarankan dalam suatu annex yang dilampirkan pada resolusi- resolusi bahwa anggota dinas kesehatan dan yang luka-luka dalam pertempuran
dilindungi dengan jalan “menetralisir mereka”. Pada tahun 1864, Dewan Federal Swiss melaksanakan saran-saran ini dengan mengadakan suatu konferensi
internasional yang dihadiri oleh wakil-wakil berkuasa penuh dari negara-negara
19
Mochtar Kusumaatmadja,
Konvensi-konvensi Palang Merah tahun 1949
, Bina Cipta, Bandung, 1986, hal. 4
Universitas Sumatera Utara
yang mengikuti konferensi sebelumnya. Konferensi ini menghasilkan apa yang kemudian dikenal dengan Konvensi Jenewa 1864. Konvensi ini didalamnya
mengandung asas-asas bagi perlakuan korban perang yang hingga kini masih berlaku.
20
Konvensi 1864, yaitu Konvensi untuk Perbaikan Keadaan yang Luka di Medan Perang Darat, dipandang sebagai konvensi-konvensi yang mengawali
Konvensi Jenewa berikutnya yang berkaitan dengan perlindungan korban perang. Konvensi ini merupakan langkah pertama dalam mengkodifikasikan ketentuan
perang di darat. Berdasarkan konvensi ini, maka dan personil kesehatan bersifat netral, tidak boleh diserang dan tidak boleh dihalangi dalam melaksanakan tugas-
tugasnya. Begitu pula penduduk setempat yang membantu pekerjaan kemanusiaan bagi yang luka dan mati, baik kawan maupun lawan, tidak boleh dihukum.
Konvensi memperkenalkan tanda Palang Merah di atas dasar putih sebagai tanda pengenal bagi bangunan dan personil kesehatan. Tanda Palang Merah ini
merupakan lambang dari Interna tional Committee of the Red Cross, yang sebelumnya bernama International Committee for the Aid the Wounded, yang
didirikan oleh beberapa orang warga Jenewa dan Henry Dunant pada tahun 1863.
21
Peristiwa penting lainnya adalah rancangan Kode Leiber Instructions for Government of Armies of the United States
, 1863, di Amerika Serikat, yang mencantumkan instrumen-instrumen panjang dan serba lengkap dari semua
hukum dan kebiasaan perang, dan juga menggaris bawahi asas-asas kemanusiaan
20
“Sebagaimana dimuat dari” https:m.facebook.comnotesdesiminasi-palang-merahsejarah-
singkat-gerakan-palang-merah-dan-bulan-sabit-merah148315315191118 , Diakses pada tanggal
11 Maret 2015
21
Hans Haug, Humanity for All.
The International Red Cross and Red Crescent Movement
, Henry Dunant Institute, Haupt, Switzerland, 1993, hal. 52.
Universitas Sumatera Utara
tertentu yang tak begitu jelas sebelumnya. Kode Lieber ini memuat aturan-aturan rinci pada semua tahapan perang darat, tindakan perang yang benar, perlakuan
terhadap penduduk sipil, perlakuan terhadap kelompok-kelompok orang tertentu, seperti tawanan perang, orang yang luka, dsb.
Dengan demikian, tidak seperti pada masa-masa sebelumnya yang terjadi melalui proses hukum kebiasaan, maka pada masa kini perkembangan-
perkembangan yang sangat penting bagi hukum humaniter dikembangkan melalui traktat-traktat yang menjadi mayoritas negara negara setelah tahun 1850.
22
Pada dasarnya, tujuan dari Hukum Humaniter adalah untuk memberikan perlindungan
kepada mereka yang menderita atau yang menjadi korban dari perang, baik mereka yang secara nyata dan aktif dalam pertikaian kombat, maupun mereka
yang tidak turut serta dalam pertikaian penduduk sipil
23
Hukum Humaniter diciptakan bukan tanpa suatu tujuan yang jelas. Hukum Humaniter mempunyai tujuan utama yaitu memberi perlindungan terhadap
seluruh korban perang baik yang berasal dari kombatan maupun non kombatan. Selain itu, tujuan dari hukum ini adalah untuk menjamin hak-hak asasi dari setiap
pihak yang jatuh ke tengah musuh. Disamping memberikan perlindungan, hukum humaniter juga diharapkan mampu memberikan harapan untuk terjadinya
perdamaian antara pihak yang bertikai serta mambatasi kekuasaan dari setiap pihak yang berperang agar tidak terjadi penguasaan total oleh pihak dalam suatu
wilayah pertikaian.
22
“Sebagaimana dimuat dari” http:ahrdirahmat.blogspot.com201102sejarah-lahirnya-
hukum-humaniter-hampir.html , Diakses pada tanggal 21 Februari 2015
23
KGPH. Haryomataram,
Op cit
hlm 3
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan tujuan yang telah diuraikan diatas, terkandung 3 tiga asas penting dalam Hukum Humaniter dan Prinsip dari Hukum Humaniter
Internasional : a
Asas Kepentingan Militer Militery Necessity Asas ini mengandung arti bahwa suatu pihak yang kelompok bersenjata
belligerent mempunyai hak untuk melakukan setiap tindakan yang dapat mengakibatkan keberhasilan suatu operasi militer, namun sekaligus tidak
melanggar hukum perang. b
Asas Perikemanusiaan Humanity Menurut asas ini pihak yang bersengketa wajib untuk memperhatikan
perikemanusiaan dan mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak
perlu. c
Asas Kesatria Chivalry Asas ini mengandung arti bahwa dalam suatu peperangan, kejujuran harus
diutamakan. Penggunaan alat-alat yang ilegal atau bertentangan dengan Hukum Humaniter serta cara-cara berperang yang bersifat khianat
dilarang. Asas kesatriaan tergambar dalam hampir semua ketentuan Hukum Humaniter. Sebagai contoh, mari kita lihat Konvensi Den Haag
III 1907 mengenai permulaan perang the commencement of hostilities. Berdasarkan Pasal 1 Konvensi III ini, ditentukan bahwa peperangan tidak
akan dimulai tanpa adanya suatu peringatan yang jelas sebelumnya previous and explicit warning, baik dalam bentuk pernyataan perang
Universitas Sumatera Utara
declaration of war beserta alasannya, atau suatu ultimatum perang yang bersyarat ultimatum with conditional declaration of war .
24
Sedangkan Prinsip dari Hukum Humaniter Internasional sendiri adalah: a
Prinsip kepentingan Militer Militery Necessity Prinsip kepentingan militer ini ialah hak pihak yang berperang untuk
menentukan kekuatan yang diperlukan untuk menaklukan musuh dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dengan biaya yang serendah-rendahnya
dan dengan korban yang sekecil-kecilnya. Namun demikian, perlu diingat pula bahwa hak pihak yang berperang untuk memiliki alatsenjata untuk
menaklukan musuh adalah tidak terbatas. b
Prinsip Kemanusiaan Humanity Prinsip ini melarang penggunaan semua macam atau tingkat kekerasan
violence yang tidak diperlukan untuk mencapai tujuan perang. Orang- orang yang luka atau sakit, dan juga mereka yang telah menjadi tawanan
perang, tidak lagi merupakan ancaman, dan oleh karena itu mereka harus dirawat dan dilindungi. Demikian pula dengan penduduk sipil yang tidak
turut serta dalam konflik harus dilindungi dari akibat perang c
Prinsip Kesatriaan Chivalry Prinsip ini tidak membenarkan pemakaian alatsenjata dan cara berperang
yang tidak terhormat. d
Prinsip Pembedaan
24
“Sebagimana dimuat dari” http:usmilitary.about.comodglossarytermsmgm3987.htm
l ,
Diakses pada tanggal 24 Februari 2015
Universitas Sumatera Utara
Prinsip pembedaan distinction principle adalah suatu prinsip atau asas yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang
berperang atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata dalam dua golongan, yaitu kombatan combatan dan penduduk sipil civilian.
Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan hostilities, sedangkan penduduk sipil adalah golongan
penduduk yang tidak turut serta dalam permusuhan. Perlunya prinsip pembedaan ini adalah untuk mengetahui mana yang boleh dijadikan
sasaran atau obyek kekerasan dan mana yang tidak boleh dijadikan obyek kekerasan. Dalam pelaksanaannya prinsip ini memerlukan penjabaran
lebih jauh lagi dalam sebuah asas pelaksanaan principles of application, yaitu :
1 Pihak-pihak yang bersengketa setiap saat harus bisa membedakan
antara kombatan dan penduduk sipil untuk menyelamatkan penduduk sipil dan obyek-obyek sipil.
2 Penduduk sipil tidak boleh dijadikan obyek serangan walaupun
untuk membalas serangan reprisal. 3
Tindakan maupun ancaman yang bertujuan untuk menyebarkan terror terhadap penduduk sipil dilarang.
4 Pihak yang bersengketa harus mengambil langkah pencegahan
yang memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk sipil atau setidaknya untuk menekan kerugian atau kerusakan yang tidak
sengaja menjadi kecil.
Universitas Sumatera Utara
5 Hanya angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan
musuh. 6
Rule of Engagement ROE.
25
Sebagaimana telah disebutkan pada halaman sebelumnya, mengenai ruang lingkup dari hukum humaniter tersebut terdiri dari Hukum Den Haag dan Hukum
Jenewa. Hukum Den Haag mengatur mengenai cara serta perlengkapan yang boleh dipakai pada saat berperang, sedangkan hukum Jenewa mengatur mengenai
bentuk-bentuk perlindungan terhadap korban perang. Dengan kata lain, kedua hukum inilah yang menjadi sumber utama dari hukum humaniter.
Hukum Den Haag The Hague Laws memiliki fokus pengaturan terhadap tata cara peperangan serta jenis persenjataan yang diperkenalkan untuk dipakai
selama perang. Pembahasan mengenai hukum ini, berorientasi kepada Konfrensi Perdamaian I pada tahun 1899 dan Konferensi Perdamaian II pada tahun 1907.
Rangkaian konvensi inilah yang pada akhirnya dikenal dengan sebutan “Hukum Den Haag”. Ada prinsip utama penting yang terdapat dalam hukum ini. Prinsip itu
berbunyi,”The right of belligerents to adopt means of injuring the enemy is not unlimitied
”
26
. Artinya adalah berarti ada tata cara tertentu serta alat-alat tertentu yang dilarang untuk digunakan selama masa perang.
Konferensi Den Haag yang berlangsung dari 18 Mei-29 Juli 1899 pada akhirnya menghasilkan tiga konvensi serta tiga deklarasi. Tiga konvensi tersebut
antara lain : 1.
Konvensi I mengenai Penyelesaian Damai Persangkutan Internasional.
25
Arlina Permanasari,
Op cit
, hlm 73
26
KGPH Hayomataram,
Op cit
, hlm 46
Universitas Sumatera Utara
2. Konvensi II mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat.
3. Konvensi III mengenai adaptasi Azas-Azas Konvensi Jenewa tanggal 22
Agustus 1864 tentang Hukum Perang di Laut. Bahwa dalam konferensi ini tidak hanya menghasilkan tiga konvensi,
tetapi juga melahirkan tiga deklarasi pada 29 Juli 1899. Tiga deklarasi tersebut terdiri dari
27
: 1.
Melarang menggunakan peluru-peluru dum-dum peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam sehingga dapat pecah dan
membesar dalam tubuh manusia 2.
Peluncuran proyektil-proyektil dan bahan-bahan peledak dari balon, selama jangka waktu 5 tahun yang berakhir di tahun 1905 juga dilarang.
3. Penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas-gas cekik dan
beracun dilarang.
B. Sumber Hukum Humaniter Internasional