BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER
INTERNASIONAL
A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional
Hukum  Humaniter  Internasional  yang  dahulu  dikenal  sebagai  Hukum Perang  atau  Hukum  Sengketa  Bersenjata  adalah  sebagai  salah  satu  cabang  dari
Hukum Internasional publik. Hukum ini memiliki usia sejarah yang sama tua nya dengan peradaban umat  manusia.  Pada dasarnya  segala  peraturan tentang  perang
terdapat  dalam  pengaturan  tentang  tingkah  laku,  moral  dan  agama.  Masing- masing  agama  seperti  Buddha,  Konfosius,  Yahudi,  Kristen,  dan  juga  Islam
memuat segala aturan  mengenai  hal yang bersangkutan  dengan ketiga  hal  diatas. Bahkan  di  setiap  peradaban  yang  pernah ada, ketentuan-ketentuan  ini  sudah ada.
Peradaban bangsa Romawi mengenal konsep perang yang adil just war.
14
Secara  historis,  sebenarnya  istilah  hukum  humaniter  merupakan perkembangan  lebih  lanjut  dari  istilah  hukum  perang  la ws  of  war  dan  hukum
konflik  bersenjata  la ws  of  armed  conflict.  Hal  tersebut  terjadi  akibat  Perang Dunia  I  dan  II  yang  mempengaruhi  berbagai  bidang,  termasuk  hukum  perang
yang ditandai perubahan peristilahan yang digunakan. Hukum  perang  merupakan  istilah  yang  pertama  kali  dikenal  atau
digunakan. Namun, Perang Dunia I 1914-1918 dan Perang Dunia II 1939-1945
14
Arlina Permanasari, dkk
, Pengantar Hukum Humaniter
,ICRC, Jakarta, 1999, hlm 1
Universitas Sumatera Utara
yang  telah  menimbulkan  korban  jiwa  Perang  Dunia  I  sekitar  38  juta  orang  dan Perang  Dunia  II  sekitar  60  juta  orang  maupun  harta  benda  yang  sangat  besar,
kemudian  menimbulkan  suasana  antiperang  yang  meluas  dan  secara  psikologis menyebabkan  orang  tidak  lagi  menyukai  dan  trauma  dengan  kata  “perang”.
Suasana  antiperang  ini  mempunyai  dampak  pada  berbagai  bidang,  salah  satunya adalah  hukum  perang.  Karena  orang  tidak  mengiginkan  adanya  atau  timbulnya
perang, istilah  perang  sejauh  mungkin  dihindari dengan  sendirinya istilah  hukum perang  juga  tidak  disukai.  Akibat  dari  pandangan  ini  adalah  ditinggalkannya
usaha untuk mempelajari atau menyempurnakan hukum perang.
15
Menurut ICRC Hukum Humaniter yakni : “International  humanitarian  law  is  a  set  of  rules  which  seek,  for
humanitarian  reasons,  to  limit  the  effects  of  armed  conflict.  It  protects persons  who  are  not  or  are  no  longer  participating  in  the  hostilities  and
restricts  the  means  and  methods  of  warfare.  International  humanitarian  l aw is also known as the la w of war or the la w of armed conflict.
”
16
Hukum  Humaniter  Internasional  HHI  adalah  kesatuan  hukum  yang terdiri  dari  konvensi-konvensi  Jenewa  Geneva  Conventions  dan  konvensi-
konvensi-konvensi  Hague  Hague  Conventions.  Konvensi  Jenewa  dirancang untuk  melindungi  personil  militer  yang    tidak  dapat  lagi  terlibat  dalam
pertempuran;  orang-orang  yang  tidak  terlibat  aktif  dalam  permusuhan  dan penduduk  sipil.  Hukum  Den  Haag  yang  menentukan  hak  dan  kewajiban  negara-
15
KGPH. Haryomataram,
Op Cit
. Hlm 12
16
Jelly Leiza, Diktat Hukum Humaniter, Fakultas Hukum Usu, 2013
Universitas Sumatera Utara
negara yang berperang tentang perilaku pada waktu operasi militer dan membatasi alat yang digunakan untuk menyerang musuh.
Banyak  terjadi  perkembangan  terhadap  salah  satu  cabang  hukum internasional  ini.  Terhadap  bentuknya  yang  sekarang,  hukum  humaniter
internasional  telah  mengalami  perkembangan  yang  sangat  panjang  dan  pesat. Seiring  dengan  berjalannya  waktu,  berbagai  upaya  telah  dilakukan  untuk
memanusiawikan  perang.  Tidak  dapat  dipungkiri  bahwa  setiap  upaya  yang dilakukan  untuk  memanusiawikan  perang,  acap  kali  mengalami  pasang  surut,
hambatan,  dan  kesulitan.  Upaya-upaya  tersebut  dapat  dibagi  dalam  tahapan- tahapan perkembangan hukum humaniter, yang terdiri atas :
1. Zaman Kuno
Sebelum  perang  dimulai,  maka  pihak  musuh  akan  diberi  peringatan dahulu.  Lalu  untuk  menghindari  luka  yang  berlebihan,  maka  ujung  panah  tidak
akan  diarahkan  ke  hati.  Dan  segera  setelah  ada  yang  terbunuh  dan  terluka, pertempuran akan  berhenti  selama 15  hari. Gencatan  senjata  semacam ini  sangat
dihormati,  sehingga  para  prajurit  dari  kedua  pihak  yang  berperang  ditarik  dari medan  pertempuran.  Pada  masa  ini  pula,  pemimpin  militer  memerintahkan
pasukan  mereka  untuk  menyelamatkan  musuh  yang  tertangkap,  memperlakukan mereka  dengan  baik,  menyelamatkan  penduduk  sipil  musuh,  dan  pada  waktu
penghentian  permusuhan,  maka  pihak-pihak  yang  berperang  biasanya  sepakat untuk memperlakukan tawanan  perang  dengan baik.
17
Selain  itu,  dalam  berbagai peradaban  bangsa-bangsa  selama  tahun  3000  sampai  dengan  1500  Sebelum
17
Frits Kalshoven,
Constraint on the Waging Of war
, ICRC, 1991,hlm 7.
Universitas Sumatera Utara
Masehi  upaya-upaya  seperti  itu  terus  dikembangkan.  Hal  ini  dikemukakan  oleh Pictet, antara lain sebagai berikut :
a Diantara  bangsa-bangsa  Sumeria,  perang  sudah  merupakan
lembaga  yang terorganisir. Ini  ditandai  dengan adanya pernyataan perang,  kemungkinan  mengadakan  arbitrase,  kekebalan  utusan
musuh dan perjanjian damai. b
Kebudayaan  Mesir  kuno,  sebagaimana  disebutkan  dalam  “seven works   of  true  mercy
”,  yang  menggambarkan  adanya  perintah untuk memberikan  makanan,  minuman, pakaian dan  perlindungan
kepada  musuh  juga  perintah  untuk  merawat  yang  sakit  dan menguburkan  yang  mati. Perintah  lain  pada  masa itu  menyatakan,
”anda  juga  harus  memberikan  makanan  kepada  musuh  anda”. Seorang tamu, bahkan musuhpun tak boleh diganggu.
c Dalam  kebudayaan  bangsa  Hitite,  perang  dilakukan  dengan  cara-
cara  yang  sangat  manusiawi.  Hukum  yang  mereka  miliki didasarkan  atas  keadilan  dan  integritas.  Mereka  menandatangani
pernyataan  perang  dan  traktat.  Para  penduduk  yang  menyerah, yang berasal dari kota, tidak   diganggu.  Kota-kota  dimana  para
penduduknya  melakukan perlawanan, akan ditindak tegas. Namun hal  ini  merupakan  pengecualian  terhadap  kota-kota  yang  dirusak
danpenduduknya  dibantai  atau  dijadikan  budak.  Kemurahan  hati mereka  berbeda  dengan  bangsa  Assiria  yang  menang,  datang
dengan kekejaman.
Universitas Sumatera Utara
d Di  India,  sebagaimana  tercantum  dalam  syair  kepahlawanan
Mahabrata  dan  undang-undang  Manu,  para  ksatria  dilarang membunuh  musuh  yang  cacat,  yang  menyerah,  yang  luka  harus
segera  dipulangkan  ke  rumah  mereka  setelah  diobati.  Semua senjata  dengan  sasaran  menusuk  ke  hati  atau  senjata  beracun  dan
panah  api  dilarang,  penyitaan  hak  milik  musuh  dan  syarat-syarat bagi  penahanan  para  tawanan  perang  telah  diatur,  dan  pernyataan
tidak menyediakan tempat tinggal dilarang. Dalam  sejarah  kehidupan  masyarakat  Indonesia  juga  dapat  ditemukan
beberapa  kebiasaan  dan  hukum  perang  yang  diberlakukan  pada  periode  pra sejarah, periode klasik, maupun periode Islam. Praktek dan kebiasaan perang yang
dilakukan, antara lain tentang pernyataan perang, perlakuan tawanan perang serta larangan menjadikan anak-anak dan  perempuan  sebagai sasaran perang,  dan juga
tentang  pengakiran perang.  Sebuah prasasti yang ditemukan  di Sumatera  Selatan prasasti  Talang  Tuwo  misalnya,  berisikan  berota  raja  yang  memuat  tentang
kutukan dan ultimatum. Jadi bagi mereka yang tidak menuruti perintah raja akan diserang  oleh  bala  tentara  raja.  Begitu  pula  pada  masa  kerajaan  Gowa  diketahui
adanya perintah raja yang memerintahkan perlakuan tawanan perang dengan baik 2.
Abad Pertengahan
Pada  abad  pertengahan  hukum  humaniter  dipengaruhi  oleh  ajaran-ajaran dari  agama  Kristen,  Islam  dan  prinsip  ksatriaan.  Ajaran  agama  Kristen  misalnya
memberikan  sum bangan  terhadap  konsep  “perang  yang  adil”  just  war,  ajaran
Universitas Sumatera Utara
Islam tentang perang antara lain bisa dilihat dalam Al Quran surat al Baqarah ayat 190, 191, surat al Anfal ayat 39, surat at Taubah ayat 5, dan surat al Haj ayat 39,
yang  memandang  perang  sebagai  sarana  pembelaan  diri  dan  menghapuskan kemungkaran.
18
Adapun  prinsip  kesatriaan  yang  berkembang  pada  abad pertengahan  ini  misalnya  mengajarkan  tentang  pentingnya  pengumuman  perang
dan penggunaan senjata-senjata tertentu. 3.
Zaman Modern Hukum  Humaniter  mencapai  tahap  perkembangan  yang  sangat  maju
ketika  memasuki  abad  ke-19,  yaitu  ketika  perang  yang  dilakukan  oleh  tentara nasional  menggunakan  senjata-senjata  baru  dan  lebih  merusak  dan  membiarkan
sejumlah  prajurit  yang  terluka  secara  mengerikan  tergeletak  tanpa  bantuan  di medan tempur. Bukanlah suatu peristiwa yang kebetulan bahwa perkembangan ini
terjadi  pada  waktu  ketika  negara-negara  menjadi  semakin  berkepentingan  dalam prinsip  umum  penghormatan  manusia.  Kecenderungan  umum  ini  diberikan
momentum  yang  menentukan  dengan  pendirian  Palang  Merah  Internasional  dan ditandatanganinya Konvensi Jenewa 1864 untuk Perbaikan Keadaan yang Luka di
Medan  Perang,  dimana  dalam  konvensi  ini  mengharuskan  para  pihak  yang perjanjian  untuk  merawat  orang-orang  yang  terluka,  baik  dari  pihak  musuh
dengan perlakuan yang sama. Konvensi  Jenewa  untuk  Perbaikan  Anggota  Angkatan  Perang  yang  Luka
dan Sakit di Medan Pertempuran Darat, mempunyai sejarah yang tertua. Konvensi
18
Masjur Effendi, Moh. Ridwan, Muslich Subandi,
Pengantar Dasar-dasar Hukum Internasional
, IKIP Malang, 1995, hlm 16.
Universitas Sumatera Utara
1864 ini merupakan hasil yang dirintis oleh Henry Dunant. Pada waktu  itu Henry Dunant menulis buku tentang pengalaman-pengalamannya di medan pertempuran
antara  Austria  dengan  tentara  gabungan  Perancis-Sardinia,  yang  berjudul “Un
Souvenir de Solferino” 1861. Isi buku ini menggambarkan penderitaan prajurit yang sakit pada saat medan pertempuran Solferino.
19
Buku ini sangat menggugah penduduk  kota  Jenewa,  sehingga  warga  kota  yang  tergabung  dalam  “  Societe
d’Utilite  Publique”  dibawah  pimpinan  Gustave  Moynier  membentuk  sebuah panitia yang terdiri  dari 5 lima  orang  pada tanggal 17 Februari  menjadi  sebuah
badan  yang  dinamakan  “Comite  international  et  permanent  de  secours  aux militaries  blesses
”.  Panitia  yang  terdiri  dari  5  lima  warga  kota  Jenewa  ini mengambil  inisiatif  untuk  mengadakan  sebuah  konferensi  internasional  tidak
resmi untuk membahas kekurangan-kekurangan perawatan kesehatan tentara pada saat medan pertempuran.
Konferensi  yang  dihadiri  oleh  16  negara  berhasil  membentuk  sebuah badan  yang  dinamakan  Palang  Merah  dalam  bulan  Oktober  1963.  Karena
merupakan  suatu konferensi  yang  tidak resmi, konferensi tidak  dapat  mengambil keputusan-keputusan  yang  mengikat  negara-negara  peserta.  Namun  demikian
konferensi  menyarankan  dalam  suatu  annex  yang  dilampirkan  pada  resolusi- resolusi  bahwa  anggota  dinas  kesehatan  dan  yang  luka-luka  dalam  pertempuran
dilindungi dengan jalan “menetralisir mereka”. Pada tahun 1864, Dewan Federal Swiss  melaksanakan  saran-saran  ini  dengan  mengadakan  suatu  konferensi
internasional  yang  dihadiri  oleh  wakil-wakil  berkuasa  penuh  dari  negara-negara
19
Mochtar Kusumaatmadja,
Konvensi-konvensi Palang Merah tahun 1949
, Bina Cipta, Bandung, 1986, hal. 4
Universitas Sumatera Utara
yang  mengikuti  konferensi  sebelumnya.  Konferensi  ini  menghasilkan  apa  yang kemudian  dikenal  dengan  Konvensi  Jenewa  1864.  Konvensi  ini  didalamnya
mengandung  asas-asas  bagi  perlakuan  korban  perang  yang  hingga  kini  masih berlaku.
20
Konvensi  1864,  yaitu  Konvensi  untuk  Perbaikan  Keadaan  yang  Luka  di Medan  Perang  Darat,  dipandang  sebagai  konvensi-konvensi  yang  mengawali
Konvensi Jenewa berikutnya yang berkaitan dengan perlindungan korban perang. Konvensi  ini  merupakan  langkah  pertama  dalam  mengkodifikasikan  ketentuan
perang  di  darat.  Berdasarkan  konvensi  ini,  maka  dan  personil  kesehatan  bersifat netral, tidak boleh diserang dan tidak boleh dihalangi dalam melaksanakan tugas-
tugasnya. Begitu pula penduduk setempat yang membantu pekerjaan kemanusiaan bagi  yang  luka  dan  mati,  baik  kawan  maupun  lawan,  tidak  boleh  dihukum.
Konvensi memperkenalkan tanda Palang Merah di atas dasar putih sebagai tanda pengenal  bagi  bangunan  dan  personil  kesehatan.  Tanda  Palang  Merah  ini
merupakan  lambang  dari  Interna tional  Committee  of  the  Red  Cross,  yang sebelumnya  bernama  International  Committee  for  the  Aid  the  Wounded,  yang
didirikan  oleh  beberapa  orang  warga  Jenewa  dan  Henry  Dunant  pada  tahun 1863.
21
Peristiwa penting lainnya adalah rancangan Kode Leiber  Instructions for Government  of  Armies  of  the  United  States
,  1863,  di  Amerika  Serikat,  yang mencantumkan  instrumen-instrumen  panjang  dan  serba  lengkap  dari  semua
hukum dan kebiasaan perang, dan juga menggaris bawahi asas-asas kemanusiaan
20
“Sebagaimana dimuat dari” https:m.facebook.comnotesdesiminasi-palang-merahsejarah-
singkat-gerakan-palang-merah-dan-bulan-sabit-merah148315315191118 , Diakses pada tanggal
11 Maret 2015
21
Hans Haug, Humanity for All.
The International Red Cross and Red Crescent Movement
, Henry Dunant Institute, Haupt, Switzerland, 1993, hal. 52.
Universitas Sumatera Utara
tertentu yang tak begitu jelas sebelumnya. Kode Lieber ini memuat aturan-aturan rinci  pada  semua  tahapan  perang  darat,  tindakan  perang  yang  benar,  perlakuan
terhadap  penduduk  sipil,  perlakuan  terhadap kelompok-kelompok orang tertentu, seperti tawanan perang, orang yang luka, dsb.
Dengan  demikian, tidak  seperti pada  masa-masa  sebelumnya  yang terjadi melalui  proses  hukum  kebiasaan,  maka  pada  masa  kini  perkembangan-
perkembangan yang sangat penting bagi hukum humaniter dikembangkan melalui traktat-traktat  yang  menjadi  mayoritas  negara  negara  setelah  tahun  1850.
22
Pada dasarnya,  tujuan  dari  Hukum  Humaniter  adalah  untuk  memberikan  perlindungan
kepada  mereka  yang  menderita  atau  yang  menjadi  korban  dari  perang,  baik mereka  yang  secara  nyata  dan  aktif  dalam  pertikaian  kombat,  maupun  mereka
yang tidak turut serta dalam pertikaian penduduk sipil
23
Hukum Humaniter diciptakan bukan tanpa suatu tujuan yang jelas. Hukum Humaniter  mempunyai  tujuan  utama  yaitu  memberi  perlindungan  terhadap
seluruh  korban  perang  baik  yang  berasal  dari  kombatan  maupun  non  kombatan. Selain itu, tujuan dari hukum ini adalah untuk menjamin hak-hak asasi dari setiap
pihak yang jatuh ke tengah musuh. Disamping memberikan perlindungan, hukum humaniter  juga  diharapkan  mampu  memberikan  harapan  untuk  terjadinya
perdamaian  antara  pihak  yang  bertikai  serta  mambatasi  kekuasaan  dari  setiap pihak yang  berperang agar tidak terjadi  penguasaan total  oleh  pihak dalam suatu
wilayah pertikaian.
22
“Sebagaimana dimuat dari” http:ahrdirahmat.blogspot.com201102sejarah-lahirnya-
hukum-humaniter-hampir.html , Diakses pada tanggal 21 Februari 2015
23
KGPH. Haryomataram,
Op cit
hlm 3
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan  tujuan  yang  telah  diuraikan  diatas,  terkandung  3  tiga  asas penting  dalam  Hukum  Humaniter  dan  Prinsip  dari  Hukum  Humaniter
Internasional : a
Asas Kepentingan Militer Militery Necessity Asas  ini  mengandung  arti  bahwa  suatu  pihak  yang  kelompok  bersenjata
belligerent mempunyai hak untuk melakukan setiap tindakan yang dapat mengakibatkan  keberhasilan  suatu  operasi  militer,  namun  sekaligus  tidak
melanggar hukum perang. b
Asas Perikemanusiaan Humanity Menurut  asas  ini  pihak  yang  bersengketa  wajib  untuk  memperhatikan
perikemanusiaan dan mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat  menimbulkan  luka  yang  berlebihan  atau  penderitaan  yang  tidak
perlu. c
Asas Kesatria Chivalry Asas ini mengandung arti bahwa dalam suatu peperangan, kejujuran harus
diutamakan.  Penggunaan  alat-alat  yang  ilegal  atau  bertentangan  dengan Hukum  Humaniter  serta  cara-cara  berperang  yang  bersifat  khianat
dilarang.  Asas  kesatriaan  tergambar  dalam  hampir  semua  ketentuan Hukum  Humaniter.    Sebagai  contoh,  mari  kita  lihat  Konvensi  Den  Haag
III 1907 mengenai  permulaan  perang the  commencement  of  hostilities. Berdasarkan Pasal 1 Konvensi III ini, ditentukan bahwa peperangan tidak
akan  dimulai  tanpa  adanya  suatu  peringatan  yang  jelas  sebelumnya previous  and  explicit  warning,  baik  dalam  bentuk  pernyataan  perang
Universitas Sumatera Utara
declaration  of  war beserta alasannya, atau suatu ultimatum  perang yang bersyarat ultimatum with conditional declaration of war .
24
Sedangkan Prinsip dari Hukum Humaniter Internasional sendiri adalah: a
Prinsip kepentingan Militer Militery Necessity Prinsip  kepentingan  militer  ini  ialah  hak  pihak  yang  berperang  untuk
menentukan  kekuatan  yang  diperlukan  untuk  menaklukan  musuh  dalam waktu  yang  sesingkat-singkatnya  dengan  biaya  yang  serendah-rendahnya
dan dengan korban yang  sekecil-kecilnya. Namun demikian, perlu diingat pula  bahwa  hak  pihak  yang  berperang  untuk  memiliki  alatsenjata  untuk
menaklukan musuh adalah tidak terbatas. b
Prinsip Kemanusiaan Humanity Prinsip  ini  melarang  penggunaan  semua  macam  atau  tingkat  kekerasan
violence  yang  tidak  diperlukan  untuk  mencapai  tujuan  perang.  Orang- orang  yang luka atau sakit,  dan juga  mereka  yang telah  menjadi tawanan
perang, tidak lagi  merupakan ancaman,  dan oleh karena  itu  mereka  harus dirawat  dan  dilindungi. Demikian pula dengan  penduduk sipil  yang tidak
turut serta dalam konflik harus dilindungi dari akibat perang c
Prinsip Kesatriaan Chivalry Prinsip ini tidak membenarkan  pemakaian alatsenjata  dan  cara berperang
yang tidak terhormat. d
Prinsip Pembedaan
24
“Sebagimana dimuat dari” http:usmilitary.about.comodglossarytermsmgm3987.htm
l ,
Diakses pada tanggal 24 Februari 2015
Universitas Sumatera Utara
Prinsip  pembedaan  distinction  principle  adalah  suatu  prinsip  atau  asas yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang
berperang  atau  sedang  terlibat  dalam  konflik  bersenjata  dalam  dua golongan,  yaitu  kombatan  combatan  dan  penduduk  sipil  civilian.
Kombatan  adalah  golongan  penduduk  yang  secara  aktif  turut  serta  dalam permusuhan  hostilities,  sedangkan  penduduk  sipil  adalah  golongan
penduduk  yang  tidak  turut  serta  dalam  permusuhan.  Perlunya  prinsip pembedaan  ini  adalah  untuk  mengetahui  mana  yang  boleh  dijadikan
sasaran atau obyek kekerasan dan mana yang tidak boleh dijadikan obyek kekerasan.  Dalam  pelaksanaannya  prinsip  ini  memerlukan  penjabaran
lebih jauh lagi dalam sebuah asas pelaksanaan principles of application, yaitu :
1 Pihak-pihak yang  bersengketa  setiap  saat harus  bisa membedakan
antara  kombatan  dan  penduduk  sipil  untuk  menyelamatkan penduduk sipil dan obyek-obyek sipil.
2 Penduduk  sipil  tidak  boleh  dijadikan  obyek  serangan  walaupun
untuk membalas serangan reprisal. 3
Tindakan  maupun  ancaman  yang  bertujuan  untuk  menyebarkan terror terhadap penduduk sipil dilarang.
4 Pihak  yang  bersengketa  harus  mengambil  langkah  pencegahan
yang  memungkinkan  untuk  menyelamatkan  penduduk  sipil  atau setidaknya  untuk  menekan  kerugian  atau  kerusakan  yang  tidak
sengaja menjadi kecil.
Universitas Sumatera Utara
5 Hanya  angkatan  bersenjata  yang  berhak  menyerang  dan  menahan
musuh. 6
Rule of Engagement ROE.
25
Sebagaimana telah disebutkan pada halaman sebelumnya, mengenai ruang lingkup dari hukum humaniter tersebut terdiri dari Hukum Den Haag dan Hukum
Jenewa.  Hukum  Den  Haag  mengatur  mengenai  cara  serta  perlengkapan  yang boleh dipakai pada saat berperang, sedangkan hukum Jenewa mengatur mengenai
bentuk-bentuk  perlindungan  terhadap  korban  perang.  Dengan  kata  lain,  kedua hukum inilah yang menjadi sumber utama dari hukum humaniter.
Hukum Den Haag The Hague Laws memiliki fokus pengaturan terhadap tata  cara  peperangan  serta  jenis  persenjataan  yang  diperkenalkan  untuk  dipakai
selama  perang.  Pembahasan  mengenai  hukum  ini,  berorientasi  kepada  Konfrensi Perdamaian  I  pada  tahun  1899  dan  Konferensi  Perdamaian  II  pada  tahun  1907.
Rangkaian konvensi inilah yang pada akhirnya  dikenal  dengan  sebutan “Hukum Den Haag”. Ada prinsip utama penting yang terdapat dalam hukum ini. Prinsip itu
berbunyi,”The  right  of  belligerents  to adopt  means  of  injuring  the  enemy  is  not unlimitied
”
26
.  Artinya  adalah  berarti  ada  tata  cara  tertentu  serta  alat-alat  tertentu yang dilarang untuk digunakan selama masa perang.
Konferensi  Den  Haag  yang  berlangsung  dari  18  Mei-29  Juli  1899  pada akhirnya  menghasilkan  tiga konvensi  serta  tiga deklarasi. Tiga konvensi tersebut
antara lain : 1.
Konvensi I mengenai Penyelesaian Damai Persangkutan Internasional.
25
Arlina Permanasari,
Op cit
, hlm 73
26
KGPH Hayomataram,
Op cit
, hlm 46
Universitas Sumatera Utara
2. Konvensi II mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat.
3. Konvensi  III  mengenai  adaptasi  Azas-Azas  Konvensi  Jenewa  tanggal  22
Agustus 1864 tentang Hukum Perang di Laut. Bahwa  dalam  konferensi  ini  tidak  hanya  menghasilkan  tiga  konvensi,
tetapi  juga  melahirkan  tiga  deklarasi  pada  29  Juli  1899.  Tiga  deklarasi  tersebut terdiri dari
27
: 1.
Melarang menggunakan peluru-peluru dum-dum peluru yang bungkusnya tidak  sempurna  menutup  bagian  dalam  sehingga  dapat  pecah  dan
membesar dalam tubuh manusia 2.
Peluncuran  proyektil-proyektil  dan  bahan-bahan  peledak  dari  balon, selama jangka waktu 5 tahun yang berakhir di tahun 1905 juga dilarang.
3. Penggunaan  proyektil-proyektil  yang  menyebabkan  gas-gas  cekik  dan
beracun dilarang.
B. Sumber Hukum Humaniter Internasional