22
h.
Asas Tertulis al-Kitabah
Asas ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam QS. al-Baqarah 2: 282-283 yang didalamnya menganjurakan, hendaknya suatu perikatan
itu dilakukan dengan tertulis, disetai dengan para saksi, dan dengan tanggung jawab individu kepada para pihak yang melakukan perikatan dan
para saksi. Selain itu dianjurakn pula bila ada transaksi yang dilakukan tidak tunai, maka suatu benda dapat dipegang untuk dijadikan sebagai
jaminannya.
3. Unsur-unsur Akad
Telah disebutkan sebelumya, bahwa defenisi akad adalah pertalian antara ijab dan kabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat
hukum terhadap objeknya. Dari defenisi diatas dapat kita ketahui 3 unsur yang terkandung dalam akad yaitu:
a. Pertalian ijab dan kabul
Menurut az-Zarqa, Ijab adalah pernyataan pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak, yang mengandung keinginan secara pasti untuk
mengikatkan diri yang mana pelakunya disebut dengan mujib. Sedangkan kabul adalah pernyataan pihak lain setelah ijab yang
menunjukkan persetujuan untuk mengikatkan diri menerima atau
23
menyetujui kehendak mujib tersebut oleh pihak lain qabil.
14
Ijab dan kabul ini harus saling berkaitan dan bertalian.
b. Dibenarkan oleh syara’
Akad yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam, atau hal-hal yang telah diatur oleh Allah SWT dalam al-Qur’an dan Nabi
Muhammad Saw dalam Hadis. Begitu pula dengan pelaksanaa akad, tujuan akad, maupun objek akad tidak boleh bertentangan dengan
syariah. Jika terdapat hal yang bertentangan dengan syariah di dalam akad tersebut maka akan mengakibatkan akad tersebut tidak sah.
c. Mempunyai akibat hukum terhadap objeknya
Dalam sebuah akad akan menimbulkan akibat hukum terhadap objek hukum yang diperjanjikan oleh para pihak dan memberikan konsekwensi
hak dan kewajiban yang mengikat para pihak.
15
4. Rukun dan Syarat Akad
Dalam ajaran Islam untuk sahnya suatu akad perjajian, maka syarat dan rukun akad tersebut harus dipenuhi. Secara bahasa, rukun adalah “yang
harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan”
16
sedangkan syarat adalah “ketentuan peraturan, petunjuk yang harus di indahkan dan dilakukan.”
17
14
Nasrun Harun, fiqih Muamalah, h. 98
15
Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam, h. 48
16
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 966
17
Ibid,. h.1114.
24
Dalam Syariah, rukun dan syarat sama-sama menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi. Secara defenisi, rukun adalah “suatu unsur yang merupakan
bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu”.
Defenisi syarat adalah “sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i
dan ia berada di luar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada.
18
Menurut ulama Ushul Fiqih, perbedaan antara rukun dan syarat adalah dimana rukun termasuk didalam hukum itu
sendiri, sedangkan syarat berada diluar hukum itu sendiri. Sebagai contoh rukuk dan sujud dalam shalat, ia merupakan rukun shalat dan merupakan
bagian dari shalat itu sendir. Jika rukuk dan sujud tidak ada di dalam shalat tersebut, maka shalat itu batal, tidak sah. Syarat shalat salah satunya adalah
wudu. Wudu merupakan bagian diluar shalat, tetapi dengan tidak adanaya wudhu, shalat menjadi tidak sah.
a. Rukun Akad
Dalam penentuan rukun akad terdapat perbedaan dikalangan ulama, Mazhab Hanafi berpendapat, bahwa rukun akad itu hanya satu
yaitu sighah al-aqd, sedangkan pihak-pihak yang berakad dan objek akad,
18
Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam, h. 50.
25
tidak termasuk rukun akad, tetapi syarat akad.
19
Bagi mazhab Hanafi yang dimaksud rukun akad adalah unsur-unsur pokok yang membentuk akad.
Akad sendiri adalah pertemuan kehendak para pihak dan kehendak itu diungkapkan melalui pernyataan kehendak yang berupa ucapan atau
bentuk ungkapan lain dari masing-masing pihak. Oleh karena itu, unsur pokok yang membentuk akad itu hanyalah pernyataan kehendak masing-
masing pihak berupa ijab dan kabul. Adapun para pihak dan objek akad adalah unsur luar, tidak merupakan esensi akad, dan karena itu bukan
rukun akad. Namun mazhab ini mengakui bahwa unsur para pihak dan objek itu harus ada untuk terbentuknya akad. Tetapi unsur-unsur itu
berada diluar akad, sehingga tidak dinamakan rukun. Menurut jumhur fukaha, rukun akad terdiri dari 3 yaitu: pernyataan
untuk mengikatkan diri sighah al-aqd, pihak-pihak yang berakad dan objek akad.
Sedangkan menurut ahli-ahli hukum Islam kontemporer, rukun yang membentuk akad itu ada empat, yaitu:
1. Para pihak yang membuat akad al-‘aqidan 2. Pernyataan kehendak para pihak shigatul-‘aqd
3. Objek akad mahallul-‘aqd, dan
19
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, h.104.
26
4. Tujuan akad maudhu’ al-aqd
20
Untuk terbentuknya suatu akad, maka unsur-unsur yang disebutkan diatas harus terpenuhi. Sighah al-aqd merupakan rukun akad yang
terpenting, karena melalui Sighah inilah diketahui maksud setiap pihak yang melakukan akad transaksi. Sighah al-aqd dinyatakan melalui ijab
dan kabul akad.
21
b. Syarat Akad
Ulama fikih menetapkan beberapa syarat umum yang harus dipenuhi oleh suatu akad. Di samaping itu, setiap akad juga memiliki
syarat-syarat khusus. Akad jual beli memiliki syarat-syarat tersendiri, begitu juga akad yang lainnya. Namun, penulis akan mengkaji syarat
umum yang terdapat dalam akad. Dari masing-masing rukun akad diatas terdapat syarat-syarat yang
harus terpenuhi sehingga rukun akad tersebut dapat berfungsi membentuk akad. Tanpa adanya syarat-syarat yang dimaksud maka rukun akan tidak dapat
berfungsi dalam membentuk akad. Adapun syarat dari rukun-rukun tersebut adalah:
1 Syarat bagi para pihak al-‘aqidain
20
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, h.96.
21
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi, h. 104
27
Para pihak harus memenuhi syarat yaitu telah dipandang mampu bertindak menurut hukum mukallaf dan telah cakap hukum.
22
Para pihak subjek hukum dapat berupa individu atau berupa badan hukum.
Sebagai Subjek hukum perorangan lebih rinci dapat kita kemukakan syarat-syarat berikut:
a Aqil berakal
Orang yang bertransaksi haruslah berakal sehat, bukan orang gila, terganggu akalnya, ataupun kurang akalnya karena masih dibawah
umur, sehingga dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya. b
Tamyiz dapat membedakan Orang yang bertransaksi haruslah dalam keadaan dapat membedakan
yang baik dan yang buruk, sebagai pertanda kesadarannya sewaktu bertransaksi.
c Mukhtar bebas dari paksaan
Syarat ini didasakan pada QS. an-Nisaa : 29 dan hadis Nabi Muhammad SAW yang mengemukakan an-taradhin rela-sama
rela. Dengan demikian para pihak yang harus bebas dalam bertransaksi,
lepas dari tekanan dan paksaan. 2
Syarat bagi pernyataan kehendak para pihak shigatul-‘aqd
22
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam jilid.1 Jakarta:Ichtiar Baru van Hoeve,1996 h. 65.
28
Para ulama fiqih mensyaratkan tiga hal dalam melakukan ijab dan kabul agar memiliki akibat hukum, yaitu sebagai berikut:
23
a Jala’ul ma’na, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu
jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki; b
Tawaquf yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan kabul; dan c
Jazmul iradatain, yaitu antara ijab dan kabul menunjukkan kehendak para pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa.
Ijab dan kabul dapat dalam bentuk perkataan, isyarat, perbuatan, dan tulisan. Semua bentuk ijab dan kabul tersebut memiliki kekuatan
hukum yang sama. 3
Syarat bagi objek akad mahallul-‘aqd Mahallu-‘aqd
adalah sesuatu yang dijadikan objek dari suatu akad, dan terhadap objek tersebut akan terkena akibat hukum yang ditimbulkan
dari transaksi tersebut. Bentuk objek dapat berupa barang, seperti, mobil, rumah, maupun benda-benda yang tidak berwujud, sperti manfaat. Dalam
hal ini terdapat pula syarat sehingga objek tersebut dianggap sah, yakni sebagai berikut:
a Objek perikatan telah ada ketika akad dilangsungkan, oleh karena itu
perikatan yang objeknya tidak ada adalah batal, seperti menjual hewan yang masih di dalam perut induknya. Alasannya ialah, sebab hukum
dan akibat akad tidak mungkin bergantung terhadap sesuatu yang
23
Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam,h.63
29
belum ada. Namun hal ini terdapat pengecualian dalam akad tertentu, seperti salam, ishtisna, dan musyaqah.
b Objek perikatan harus dibenarkan oleh syariah. Pada dasarnya benda-
benda yang menjadi objek akad haruslah memikili manfaat dan nilai bagi manusia, jika objek tersebut bertentangan dengan syariah maka
akad tersebut batal, misalnya objek tersebut harus suci, atau meskipun terkena najis dapat dibersihkan kembali. Oleh sebab itu, akad tidak sah
bila diberlakukan terhadap objek yang najis secara dzati.
24
c Objek akad harus jelas dan dikenali. Suatu benda yang menjadi objek
akad haruslah jelas segala sesuatunya, hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya kesalah pahaman para pihak yang dapat
menimbulkan sengketa. Jika objek tersebut berupa jasa maka harus jelas sejauh mana kemampuan, keterampilan dan kepandaian pihak
yang memiliki keahlian tersebut. Agar masing-masing pihak memahaminya.
25
d Objek dapat diserah terimakan. Benda yang menjadi objek perikatan
harus dapat diserah terimakan pada saat akad terjadi atau pada waktu yang disepakati. Tidak sah menjual barang yang tidak ada, atau ada
tetapi tidak bisa diserahterimakan. Karena yang demikian itu termasuk
24
Salah ash-Shawi dan Abdullah al-Mushlih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam Jakarta: Darul Haq, 2004, h.27-28.
25
Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam, h.61.
30
gharar, dan itu dilarang.
26
Jika objek berupa manfaat, maka pihak yang memiliki kewajiban harus melaksanakan jasa yang manfaatnya
dapat dirasakan oleh pihak yang lainnya, sesuai kesepakatan. 4
Syarat bagi tujuan akad maudhu’ al-aqd Maudhu’ al-Aqd
adalah tujuan dan hukum suatu akad disyariatkan untuk tujuan tersebut. Dalam hukum Islam, tujuan akad ditentukan oleh
Allah SWT dalam al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW dalam Hadis.
27
Selama tujuan akad tersebut tidak bertentangan dengan syariah maka akad tersebut dianggap sah.
Ahmad Azhar Basyir menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu tujuan akad dipandang sah dan mempunyai akibat
hukum, yaitu sebagai berikut:
28
a Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yang bersangkutan tanpa akad
yang diadakan, b tujuan akad harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad, dan c tujuan akad harus dibenarkan
syariah.
26
Salah as-Shawi, Fikih Ekonomi, h. 28.
27
Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam, h.62
28
Ibid.,62-63.
31
5. Macam-macam Akad