Bimbingan Orang Tua terhadap Anak

ia jangkau arti dan hakekatnya, maksimal yang ia ketahui bahwa Dia berada di luar jangkauannya. Muhammad Syah, 1992:171. 29 Berdasarkan paparan pengertian ibadah di atas, dapat disimpulkan bahwa ibadah adalah pemujaan, penyembahan serta ketaatan seorang hamba kepada Tuhannya yang dilakukan sesuai dengan perintah Tuhannya dengan ikhlas dan merendahkan diri serendah-rendahnya. Dalam kaitan dengan maksud dan tujuan pensyariatannya, ulama fiqih membagi ibadah kepada tiga macam, yaitu: 1. Ibadah Mahdah adalah ibadah yang mengandung hubungan dengan Allah swt semata-mata, yakni hubungan vertikal. Ibadah ini hanya sebatas pada ibadah-ibadah khusus. Ciri- ciri ibadah mahdah adalah semua ketentuan dan aturan pelaksanaannya telah ditetapkan secara rinci melalui penjelasan-penjelasan AlQur ’an hadits. Ibadah mahdah dilakukan semata- mata bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. 2. Ibadah ghair mahdah ialah ibadah yang tidak hanya sekedar menyangkut hubungan dengan Allah swt, tetapi juga berkaitan dengan sesama makhluk habl min Allah wa habl mi an-nas, disamping hubungan vertikal juga ada hubungan horizontal. Hubungan sesama makhluk ini tidak hanya terbatas pada hubungan antar manusia, tetapi juga hubungan manusia dengan lingkungannya, seperti ayat yang artinya : dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Allah memperbaikinya…Q.S. 7 :56 3. Ibadah zi al-wajhain adalah ibadah yang memiliki dua sifat sekaligus, yaitu mahdah dan ghair mahdah. Maksudnya adalah sebagian dari maksud dan tujuan pensyariatannya dapat diketahui dan sebagian lainnya tidak dapat diketahui, seperti nikah dan idah. 30 Menurut Ahmad Thib Raya , secara garis besar ibadah dibagi menjadi dua macam: 1. Ibadah Khassah khusus atau ibadah mahdah ibadah yang ketentuannya pasti, yakni ibadah yang ketentuan dan pelaksanaannya telah ditetapkan 29 HM Abduh Al Manar dan H. M. Saefuddaulah, Ibadah dan Syari’ah, Jakarta: PT Pamator, 1999, cet. 1, h. 81. 30 Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 1999, cet. III, h. 593-594. oleh nash dan merupakan ibadah kepada Allah swt, seperti shalat, puasa, zakat dan haji. 2. Ibadah ‟ammah umum, yakni semua perbuatan yang mendatangkan kebaikan dan dilaksanakan dengan niat yang ikhlas karena Allah swt, seperti minum, makan, dan bekerja mencari nafkah. 31 Pada suatu risalahnya, Al-Ghazali sebagaimana yang telah dikutip oleh Lahmudin Nsution dikatakan bahwa hakikat ibadah ialah mengikuti mutaba‟ah Nabi saw pada semua perintah dan larangannya. Sesuatu yang bentuknya seperti ibadah, tetapi diperbuat tanpa perintah, tidaklah disebut sebagai ibadah. Shalat dan puasa sekalipun, hanya menjadi ibadah bila dilaksanakan sesuai dengan petunjuk syara’. 32 Hasbi Ash Shiddiqi seperti yang dikutip oleh Zurinal Z dan Aminudin menyatakan hakikat ibadah adalah ketundukan yang timbul dari hati yang merasakan cinta terhadap Tuhan yang disembah dan merasakan kebesaran-Nya, berkeyakinan bahwa bagi alam ini ada penguasanya yang tidak dapat diketahui akal hakekatnya. Ash Shiddiq, 2000:8. 33 Dari beberapa pendapat di atas, jelaslah bahwa hakikat ibadah ialah ketundukan yang timbul dari hati seorang hamba untuk mengikuti perintah dari Tuhannya dan menjauhi larangannya, karena yakin bahwa segala sesuatu yang diperbuat akan mendapat balasan. Ibadah kepada Allah sangat dibutuhkan, karena manusia pada dasarnya adalah lemah. Sebagaimana jasad manusia yang membutuhkan makanan, tanpa adanya makanan maka jasad manusia tidak berdaya, demikian pula ruh yang ada dalam diri manusia memerlukan energi positif yang bisa didapat dari beribadah.

2. Syarat-syarat Ibadah

Syarat memiliki arti janji, segala sesuatu yang perlu atau harus ada, dan ketentuan yang harus dilakukan. 34 Oleh karena itu, suatu perbuatan akan diterima 31 Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk Beluk …, h. 142. 32 Lahmuddin Nasution, FIQIH 1, tt.p.: t.p. t.t, h. 5. 33 Zurinal Z dan Aminuddin, Fiqih Ibadah, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, h. 31. 34 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, cet. 2, h. 878