F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1.
Kerangka Teori
Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada berbagai bidang ilmu lainnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono
Soekanto bahwa perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.
17
Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis. Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau
proses tententu terjadi.
18
Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam
kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.
19
Teori diartikan sebagai ungkapan mengenai kausal yang logis diantara perubahan variable dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai
kerangka fikir frame of thinking dalam memahami serta menangani permasalahan yang timbul didalam bidang tersebut.
20
17
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986, hal. 6.
18
Ibid, hal.122.
19
Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, Andi, Yogyakarta, 2006, hal. 6.
20
Bintaro Tjokroamidjojo dan Mustofa Adidjoyo, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, CV. Haji Mas Agung, Jakarta, 1988, hal. 12.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Burhan Ashshofa suatu teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis
dengan cara merumuskan konsep.
21
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahanpetunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.
22
Teori yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah teori dari Roscoe Pound yaitu “law as a tool of
social engineering” hukum sebagai alat atau sarana rekayasapembaharuan sosial, yang menyatakan hukum harus dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan
yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial.
23
Menurutnya hukum sebagai suatu unsur dalam hidup masyarakat harus memajukan kepentingan umum,
artinya hukum harus dilahirkan dari konstruksi hukum masyarakat yang dilegalisasi oleh penguasa.
24
Dan harus berasal dari konkretisasi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Menurut Pound hukum itu ditandai sebagai suatu teknik rekayasa sosial
social engineering di dalam suatu masyarakat politik yakni negara. Tujuannya ialah untuk sebaik-baiknya mengimbangi kebutuhan-kebutuhan sosial dan individual yang
satu dengan yang lain. Cita-cita keadilan yang hidup dalam hati rakyat dan yang ditujui oleh pemerintah merupakan simbol dari harmonisasi yang tidak memihak
21
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal. 19.
22
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 35.
23
Imran Nating, Hukum Kodrat, Postivisme, Utilitarianisme, Mahzab Sejarah,
www.filsafathukumuntar.multiply.com, diakses 23 Maret 2010.
24
Mulhadi, Relevansi Teori Sociological Jurisprudence dalam Upaya Pembaharuan Hukum di Indonesia, Medan, 2005, hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
antara kepentingan-kepentingan individual yang satu terhadap yang lain.
25
Idealnya keadilan ini didukung oleh paksaan, dan paksaan disini digunakan oleh Negara demi
kontrol sosial yaitu untuk menjamin keamanan sosial, dan memajukan kepentingan umum sebaik-baiknya.
Rosce Pound merupakan salah satu penganut mazhab sociological jurisprudence yang menyatakan hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan
hukum yang hidup di dalam masyarakat.
26
Berarti bahwa hukum itu mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Teori ini mengetengahkan tentang
pentingnya Living Law-hukum yang hidup di dalam masyarakat. Dari pandangan Pound ini dapat disimpulkan bahwa unsur normatif ratio dan empirik pengalaman
dalam suatu peraturan hukum harus ada. Kedua-duanya adalah sama perlunya. Artinya, hukum yang pada dasarnya berasal dari gejala-gejala atau nilai-nilai dalam
masyarakat sebagai suatu pengalaman, kemudian dikonkretisasi menjadi norma- norma hukum melalui tangan-tangan para ahli hukum sebagai hasil kerjanya ratio,
yang seterusnya di legalisasi atau diberlakukan sebagai hukum oleh negara.
27
Di Indonesia sendiri teori ini dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja. Menurut pendapat Mochtar Kusumaatmadja, konsepsi hukum sebagai “sarana”
pembaharuan masyarakat Indonesia lebih luas jangkauan dan ruang lingkupnya daripada di Amerika Serikat tempat kelahirannya. Alasannya oleh karena lebih
25
Ibid, hal. 10.
26
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, cetakan ke X, Bandung, 2007, hal. 66
27
Mulhadi, Op.cit., hal. 11
Universitas Sumatera Utara
menonjolnya perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum di Indonesia walau yurisprudensi memegang peranan pula.
28
Disamping disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia, konsepsi tersebut dikaitkan pula dengan filsafat
budaya dari Northrop dan policyoriented dari Laswell dan Mc Dougal.
29
Menurut Mochtar Kusumaatmadja hukum yang digunakan sebagai sarana pembaharuan itu
dapat berupa undang-undang atau yurisprudensi atau kombinasi keduanya. Sama hal nya dengan pilihan penyelesaian masalah dalam pegadaian bila
debitur melakukan wanprestasi pada umumnya lebih banyak melaluli parate eksekusi gadai karena dianggap prosesnya lebih cepat dan mudah. Seiring berjalannya waktu
dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat Pegadaiaan juga tampil lebih modern dengan berbagai macam produk dan layanan, yang mengemas pemberian pinjaman
dalam bentuk gadai dengan kemasan dan kesan yang berbeda namun tetap berpijak pada dasar hukum gadai yang terdapat dalam KUHPerdata untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat. Hal tersebut dapat dilakukan asalkan tidak bertentangan dengan kaedah peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan prestasinya dengan baik, seperti misalnya pemberi gadai tidak membayar pokok pinjaman dan sewa modalnya, maka
lembaga pegadaian dapat memberikan somasi kepada pemberi gadai agar dapat melaksankan prestasinya sesuai dengan yang dijanjikan. Apabila somasi itu telah
dilakukan selama 3 tiga kali dan tidak dihiraukan, maka lembaga pegadaian dapat
28
Ibid, hal. 79.
29
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
melakukan pelelangan terhadap benda gadai. Sedangkan dalam prakteknya, penerima gadai tidak memberikan teguran kepada debitur yang lalai melaksanakan
kewajibannya. Ketentuan ini hanya terhadap benda gadai yang nilainya sangat kecil, tetapi jika uang gadainya besar, maka terhadap debitur yang lalai, pihak penerima
gadai memberikan somasi kepada debitur. Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1155 dan Pasal 1156 KUHPerdata, pelaksanaan eksekusi atas barang gadai, telah
ditentukan secara limitatif dan imperatif dengan cara dan bentuk tertentu. Pada kenyataannya tidak sama halnya dengan penyelesaian dalam jaminan
fidusia, hipotik, dan hak tanggungan, dalam jaminan gadai jika debitur wanprestasi, kreditur lebih suka melakukan penyelesaian dengan cara parate eksekusi bukan
melalui pengadilan. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa hukum mengikuti perkembangan
masyarakat, apa yang telah menjadi kebiasaan bagi masyarakat dan dianggap baik bagi masyarakat akhirnya timbul menjadi sebuah hukum dalam masyarakat itu
sendiri. Tidak bisa dipungkiri hukum dibuat sebagai alat untuk mengatur masyarakat, namun kebutuhan masyarakat terhadap hukum itu sendiri juga tidak dapat diabaikan
begitu saja. Oleh karena itu hukum harus bisa mengakomodasi keinginan dan kebutuhan masyarakat terutama golongan ekonomi lemah, yang selama ini sering
terabaikan.
Universitas Sumatera Utara
2. Konsepsi