Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap pelaku Pelanggaran

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 f. Pencambukan akan dihentikan sementara kalau menyebabkan luka mengeluarkan darah atau diminta oleh dokter atas pertimbangan medis, atau terhukum melarikan diri; g. Pencambukan akan dilanjutkan setelah terhukum dinyatakan sehat atau setelah terhukum menyerahkan diri atau dapat ditangkap; h. Terhukum diberikan salinan berita acara sebagai bukti telah menjalankan hukuman.

C. Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap pelaku Pelanggaran

Qanun Yang Beragama Non Muslim. Isu akhlakuk karimah dalam penegakkan Syari’ah Islam tentu bukan tanpa alasan sosiologis yang kuat. Dalam sebuah negara yang terdiri dari berbagai suku, ras, dan agama seperti Indonesia, penegakan sebuah aturan agama tertentu sebagai dasar resmi untuk menjalankan kebijakan politik, hukum, dan sosial sehari-hari, tidak bisa langsung diterima begitu saja. Bahkan, hal itu berlawanan dengan prinsip demokrasi yang menjamin persamaan hukum dan hak bagi semua warga negara. 39 39 . Ahmad Fuad Fanani, makalah Jihad Memperjuangkan Penerapan Syari’at Islam: Pandangan Tokoh-tokoh Pesantren di Jawa Barat. Halaman 9 s.d 10. Salah satu titik kekhawatiran beberapa pihak bila Syari’at Islam ini benar– benar di jalankan sepenuhnya di Aceh adalah posisi kaum minoritas non-muslim. Bagaimanakah kedudukan mereka dalam konstelasi Syari’at Islam sesungguhnya? Benarkah mereka menjadi warga kelas dua yang diwajibkan membayar pajak kepala, bagaimanakah sebenarnya hak dan kewajiban mereka. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Tak dapat disangkal pertanyaan–pertanyaan semacam ini, untuk sebagiannya dipicu oleh semacam stereotype tentang Islam yang kejam, keras bahkan barangkali diasosiasikan kepada terorisme perang. Selanjutnya, jika Syari’at Islam berlaku di Aceh akankah perlakuan–perlakuan semacam itu juga terjadi, mungkin prasangka ini menjadi bertambah dengan menyaksikan apa yang terjadi di Afganistan yang kini dikuasai oleh kaum Thaliban. Bagaimana Dunia tersentak ketika pada bulan Maret 2001 yang lalu rezim Thaliban menghancurkan patung–patung dan kuil Hindu bersejarah yang dianggap sebagai Pusaka Dunia. Tak kurang dari UNESCO yang mengeluarkan seruan agar prenghancuran patung itu dihentikan, tetapi rezim Thaliban tetap saja meneruskan rencananya. Terakhir tersiar berita kecil dari CNN tanggal 22 Mei 2001 pukul 16.00 WIB Rezim Thaliban mengumumkan rencananya untuk mewajibkan penganut Agama Hindu disana agar memakai pakaian khusus sebagai tanda kaum minoritas non-muslim. Hal ini mengingatkan kita pada praktik beberapa khalifah Abbasiyah pada abad pertengahan dahulu kala. Kini jika di Aceh diberlakukan Syari’at Islam secara menyeluruh akankah praktik serupa terulang lagi disini. Lalu apakah praktik seperti kaum Thaliban itu memang berasal dari norma Syari’at Islam, persoalan inilah yang perlu kita pelajari dengan seksama dalam kajian berikut. Kaum Minoritas Non Muslim dalam literatur klasik sering disebut ahl al- dzimmah atau ahl al- mu’anadah dan sering disingkat saja dengan sebutan kaum Dzimmi. Yang dimaksud dengan istilah ini ialah semua orang yang bukan muslim yang tetap patuh dan setia terhadap aturan–aturan dalam Negara Islam dimana merekan tinggal, tanpa melihat dari mana asal mereka dan dimana mereka dilahirkan. Terhadap kelompok warga Negara ini ajaran Islam memberikan jaminan untuk Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 melindungi mereka dalam kehidupan mereka, dalam kebudayaan, kekayaan serta kepercayaan dan kehormatan mereka Al-mauddudi, 1967: 269. Kata al-dzimmah berarti keamanan, perjanjian, dan jaminan. Mereka disebut demikian karena memiliki jaminan perjanjian al-ahd dari Allah dan Rasulnya serta dari jamaah kaum muslimin untuk hidup aman dan tenteram dibawah perlindungan Islam serta dalam lingkungan masyarakat Islam. Jadi, mereka berada dalam jaminan keamanan kaum muslimin untuk hidup berdasarkan ‘aqd dzimmah. Dengan ‘aqd ini mereka memperoleh hak–hak serta kewajiban–kewajiban yang sama dengan warga Negara lainnya Al-Qardhawi, t.th: 19. Atas dasar itu, kaum minoritas non-muslim termaksud ahl dar al-islam warga Negara Islam dan menurut Yusuf Al-qardhawi, berlaku untuk selama–lamanya serta mengandung ketentuan membolehkan orang– orang non muslim yang bersangkutan tetap dalam Agama mereka. Selain itu, mereka juga berhak menikmati perlindungan dan perhatian dari jamaah kaum muslimin, dengan syarat mereka membayar jizyah serta berpegang pada ketentuan hukum setempat dalam hal–hal yang tidak berhubungan langsung dengan masalah–masalah agama. Hal ini pada prinsipnya juga setara dengan kaum muslimin sendiri. Kaum dzimmi berhak mendapat perlindungan , berkewajiban membayar jizyah. Kaum muslimin juga berhak mendapat perlindungan, namun wajib membayar zakat. Pendapat al-Qardhawi, aqd al dzimmah berlaku selama – lamanya, kiranya harus ditambahkan dengan catatan bahwa ikatan yang terjadi haruslah berdasarkan kesepakatan dan kerelaan masing–masing. Sebab aqd al dzimmah tidaklah dapat dipaksa bahwa ia untuk selama–lamanya harus menetap diwilayah Islam, jika suatu saat ia memutuskan untuk memilih tempat lain. 40 40 . Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh Problem, Solusi dan Implementasi ,Op.cit, halaman 58 s.d 60 Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Selain itu dari kalangan Pesantren di Jawa Barat juga memberikan benerapa pendapat dan tanggapan mengenai posisi kaum minoritas non-muslim dalam penerapan Syari’at Islam ini diantaranya: Siti Asadiyah—seorang guru senior pada Pesantren Darussalam Ciamis— misalnya, bependapat bahwa non Muslim tidak perlu khawatir dengan penegakan Syari’at Islam secara formal sebagai undang-undang negara. Karena, mereka pasti akan dilindungi eksistensi dan keberadaannya. “Ya pasti dilindungi. Ini kan sudah ada sejarahnya, sejak zaman Rasul sampai sahabat. Ketika itu Muslim yang nomor satu dan non-Muslim takluk, dan mereka itu memberikan upeti kepada umat Islam” ujarnya. Bila kita lihat pernyataan itu, secara tersurat jelas bahwa umat non-Muslim akan dilindungi, namun dengan syarat mereka memberikan upeti kepada umat Islam. Dari pernyataan itu, secara tidak langsung juga ditegaskan bahwa posisi umat non- Muslim sebagai warga negara kelas dua adalah hal yang sangat mungkin dan wajar dalam penegakan Syari’at Islam. Mengamini pendapat di atas, Asep Suja’i Farid dari Pesantren Cintawana, Tasikmalaya menyatakan bahwa justru dengan Syari’at Islam umat non-Muslim akan lebih terlindungi. Hal itu sudah dicontohkan Rasulullah ketika di Madinah. Saat itu, menurutnya, umat non-Muslim lebih terjamin untuk melakukan perdagangan, praktik keagamaan, kegiatan sosial-politik, serta urusan kehidupan lainnya. Ketakutan umat non-Muslim di Indonesia, menurutnya, dikarenakan sikap yang apriori terlebih dahulu tanpa melihat sejarah Nabi. Hal itu ditambah lagi oleh sikap sebagian tokoh umat Islam sendiri yang tidak berusaha memperjuangkan Piagam Jakarta secara sungguh- sungguh. “Kalau melihat pengalaman itu, mereka malah bisa lebih terlindungi, karena ada contoh yang Rasulullah telah laksanakan di Madinah. Lebih terjaminlah. Kalau ada Piagam Jakarta, insya allah Syari’at Islam kini sudah berjalan di seluruh Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 indonesia. Minimal Jawa dan Sumatera. Karena yang bagian timur kan mayoritas waktu itu orang kafir” paparnya tentang masalah ini. Soal kemungkinan terjadinya pengkelasan kewarganegaraan juga dinyatakan M. Mufti dari Pesantren Baiturrahman, Bandung. Dia berpendapat, kalau dilihat dari sudut pandang teori negara, kemungkinan itu sangat ada. Sebab, ketika suatu negara dibangun berdasarkan hukum agama tertentu, tentu warga negara yang menganut agama yang sama dengan negara yang akan lebih terjamin hak-haknya, begitu juga sebaliknya. Bahkan, seharusnya aturan itu juga bisa diterapkan ke umat agama lain yang tinggal di negara itu. Namun, lain halnya dengan pendapat Latif Awaluddin dari pesantren Persis Pajagalan, Bandung. Dia menyatakan bahwa aturan hukum dan kehidupan sehari-hari dalam penerapan Syari’at Islam tidak diwajibkan bagi umat non-Muslim. Meski umat Islam diwajibkan menutup aurat, untuk warga non-Muslim tidak harus, bahkan dia tidak harus shalat. Dan pendapat yang sama juga dikemukan Ustadz Syamsuddin dari Pesantren Darul Muttaqin, Cirebon. Menurutnya, dalam konteks Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, dan agama, pemaksaan penerapan Syari’at Islam kepada non-Muslim tidak bisa dibenarkan. “Islam ini bukan suatu paksaan, kita tidak bisa memaksakan Islam kepada orang-orang yang memang belum ada petunjuk dari Allah. Artinya kita mau mendakwahi kayak apapun dan memaksakan, malah kita nanti dipermasalahkan. Jadi barang siapa yang sudah mengerti dan memahami marilah kita sama-sama jalan, kalau itu belum ya masing-masing saja” katanya memberikan argumen soal larangan pemaksaan itu. Dengan demikian, meski orang- orang Kristen, Budha, dan agama lainnya itu sebagai orang kafir umat Islam tidak dibenarkan memerangi mereka. Lebih jauh, Ustadz Syamsuddin berkata: Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Hari ini kitab mereka orang Kristen dan sebagainya kan bikinan baru. Dan kita memahami Nabi yang terahir kita Nabi Muhammad, berarti Islam itu yang dibawa dan mestinya semua manusia kembalinya pada Islam dan bukan pada agama lainnya. Kita anggap mereka ini tidak menuhankan pada Allah, berarti orang kafir. Tetapi apakah kita harus memerangi mereka? Tidak. Kita ini Islam, damai, tapi diarahkan ke Islam dan tanpa paksaan dan kita tidak sepakat dengan kekerasan. Bahkan, kita ajarkan kepada anak-anak bahwa Islam ini bukan kekerasan tapi kita damai, baik, santun kepada siapa saja kepada semua orang yang tinggal disekitar kita”. Lain lagi dengan Mastuhi Abdul Ghafur dari Pesantren Baiturrahman, Bandung. Menurutnya, kalau Syari’at Islam sudah ditegakkan dan ditetapkan secara formal sebagai undang-undang daerah seperti di Aceh, maka non-Muslim harus mengikuti aturan itu. Hanya saja, untuk daerah lain perlu diuji coba sejauhmana penerimaan masyarakat terhadap Syari’at Islam secara formal dalam Undang-Undang. Jika di daerah yang penduduknya mayoritas beragama Islam, maka mau tidak mau masyarakatnya mengatakan bisa saja terjadi. Namun, untuk konteks keseluruhan negara Indonesia, dikhawatirkan penerapan aturan ke non-Muslim akan menyebabkan perang agama. Lebih tegasnya dia berujar: “Kalau itu sudah masuk dalam Undang-Undang daerah artinya sudah diberlakukan seperti itu. Kalau daerah lain ya silahkan saja. Pokoknya kalau awalnya diletakkan ini seperti itu akan kokoh. Tapi kalau Undang-Undang resminya sudah berjalan begini bisa perang agama, dunia akan bertindak bahkan akan digencet Indonesia kalau non-muslim dipaksa ikut aturan muslim. Maksudnya di Indonesia dipusat, kalau didaerah awalnya begitu karena mayoritas muslim maka mereka mau tidak mau mereka msyarakatnya mengatakan bisa saja terjadi”. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Meski demikian, dia menambahkan, jika suatu saat nanti Indonesia berhasil menerapkan Syari’at Islam dalam Undang-Undang dan sudah ditetapkan, maka seluruh warganya—Muslim dan non-Muslim—wajib mengikutinya. Seperti di Malaysia dan Arab Saudi yang sudah memberlakukan hukum Islam, warga non- Muslim mau tidak mau memang mengikutinya. Menurutnya, kesalahan negara Indonesia adalah kenapa dahulu saat kemerdekaan Syari’at Islam tidak diberlakukan dan ditetapkan sebagai aturan negara. Jika pada masa itu berhasil, aturan itu pasti akan diterima tidak hanya oleh warga Muslim saja tapi juga oleh semua warga negara lainnya. Pendapat serupa dikemukakan Asep Ahmad Mausul Affandi dari Pesantren Miftahul Huda, Tasikmalaya. Menurutnya, kita tidak bisa mengubah keyakinan orang, karena sebagi pengikut Nabi terakhir sudah semestinya mengikuti Nabi yang tidak suka memaksakan kehendak pada orang lain. Dia mencontohkan, meski Abu Thalib tiap hari bergaul dan hidup dengan Nabi Muhammad yang dibimbing dengan wahyu dan dibekali dengan mukjizat, sampai akhir hidupnya ia tetap kafir. Menurutnya, itu adalah fakta sejarah yang harus diterima. Meski demikian, dia percaya bahwa Syari’at Islam sebetulnya bisa ditegakkan sebagai aturan di negeri ini, termasuk untuk warga non-Muslim. Demikianlah, bila melihat berbagai pendapat di atas, sangat wajar jika banyak non-Muslim khawatir akan posisi mereka jika Syari’at Islam diterapkan. Menurut Saiful Mujani, sejauh aspirasi politik Syari’ah ini terbatas pada kelompok-kelompok di masyarakat, bukan sebagai bagian dari kebijakan publik, maka perbedaan pemahaman itu relatif masih bisa diakomodasi asal tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku umum. Namun, jika sudah menjadi keputusan publik, lewat lembaga- lembaga negara, maka akan mengikat semua warga negara, baik Muslim maupun non- Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Muslim. Dan kalau ini terjadi, demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang berfungsi mewadahi pluralisme primordial, termasuk perbedaan pemahaman tentang Syari’ah, mulai terancam eksistensinya. 41 41 . Ahmad Fuad Fanani, Makalah Jihad Memperjuangkan Penerapan Syari’at Islam: Pandangan Tokoh-tokoh Pesantren di Jawa Barat. Halaman 10 s.d 13. Selain itu dalam penerapan Syari’at Islam kaum minoritas non-muslim memiliki hak–hak, yaitu dasar yang pertama–tama dalam perlakuan terhadap kaum minoritas non-muslim dalam sebuah dar al-Islam ialah bahwa mereka memiliki hak–hak yang sama dan seimbang sebagaimana yang dimiliki kaum muslimin, kecuali dalam beberapa hal tertentu. Sebaliknya, mereka juga dibebani kewajiban–kewajiban yang sama seperti yang dibebankan atas kaum muslimin kecuali dalam beberapa hal tertentu. Hak–hak ahl al-dzimmah yang pertama–tama adalah hak menikmati perlindungan negara dan masyarakat Islam. Perlindungan itu meliputi perlindungan terhadap segala macam kezaliman, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri. Dengan begitu, mereka benar–benar menikmati rasa aman dan tentram. Mengenai perlindungan terhadap gangguan yang berasal dari luar negeri, kaum dzimmi memiliki hak yang sama seperti yang dimiliki kaum muslimin. Menjadi kewajiban pemerintah Islam untuk mewujudkan perlindungan semacam itu dengan kekuasaan yang dimilikinya. Hal itu berlaku selama mereka masih berdiam dalam dar al-Islam bukannya dalam dar ar-harb Mengenai perlindungan dari kezaliman yang berasal dari dalam negeri, ajaran Islam mengingatkan kaum muslimin agar jangan sekali–kali melanggar hak kaum ahl al – dzimmah baik dengan tindakan maupun dengan ucapan. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Dalam sebuah perjanjian antara Nabi Muhammad SAW dengan kaum Nasrani Bani Najran, yakni kaum ahl al-dzimmah yang pertama–tama membayar jizyah dalam sejarah Islam, yang antara lain ditetapkan: “tidak diperkenankan menghukum seseorang dari mereka karena kesalahan orang lain.” Mengenai keharusan memberikan perlindungan kepada kaum ahl al-dzimmah ini terdapat banyak sekali hadist dan atsar perkataan sahabat yang memberikan arahan sikap kaum muslimin. Diantaranya sabda Rasulullah SAW: “barang siapa menganiaya seorang dzimmi atau mengurangi hak–haknya atau memberikan beban yang melampauin batas kekuatannya, atau mengambil sesuatu darinya tanpa kerelaan hatinya, akulah yang menjadi penuntutnya pada hari kiamat” Riwayat Abu daud. 42 Sayyid muhammad Rasyid Ridha, dengan mengutip riwayat Ibnu Jarrir dari Ibnu Abbas RA menyebutkan bahwa ayat diatas diturunkan dalam hubungannya dengan seorang anshar dari bani salim bin ‘auf yang dipanggil dengan nama al- hushain. Lelaki ini mempunyai dua orang putra yang beragama nasrani sedangkan ia sendiri telah memeluk Islam. Lalu ia menghadap Nabi Muhammad SAW dan Selain itu diantara hak kaum minoritas non-muslim yang dilindungi ialah kebebasan beragama dan beribadah. Sebab didalam Al-quran secara tegas disebutkan bahwa setiap orang berhak memeluk Agama dan kepercayaannya masing–masing. Seorang dzimmi tidak boleh dipaksa untuk berpindah keagama Islam dengan cara apapun juga. Inti ajaran ini terlihat jelas dalam sebuah ayat dalam al-quran: Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah al-baqarah: 256. 42 . Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh problem, solusi dan implementasi , Op.cit, halaman 60 s.d 61. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 bertanya: “bolehkah saya memaksa keduanya yang terus dalam agama nasrani dan enggan memeluk islam?”pada saat itulah turun ayat diatas yang melarang seseorang memaksa orang lain, walau anaknya sekalipun, untuk masuk kedalam agama Islam. 43 43 . Ibid, halaman 63. Selain hak–hak kaum minoritas non-muslim juga memiliki kewajiban– kewajiban yang harus ditaati dan dipatuhi dan satu–satunya perlakuan yang berbeda terhadap kaum ahl al-dzimmi dari pada kaum muslimin pada umumnya, ialah dalam kewajiban mereka membayar jizyah. Namun penelitian lebih mendalam memperlihatkan bahwa kewajiban membayar jizyah ini hanyalah merupakan istilah yang berbeda untuk kewajiban yang setingkat bagi kaum muslimin dengan nama zakat. Bahkan dari segi jumlah, pungutan zakat bagi kaum muslimin selalu lebih besar dari pada pungutan jizyah bagi kaum non-muslim. Meskipun demikian masalah jizyah dan perlakuan terhadap kaum minoritas non-muslim ini oleh beberapa penulis sering diambil sebagai suatu titik untuk menyerang konsep keadilan dan persamaan dalam Islam terhadap rakyatnya. Hal ini misalnya tercermin dalam tulisan Majid Khadduri yang menyatakan bahwa pungutan jizyah terhadap kaum non-muslim merupakan suatu bentuk hukuman dari kaum muslimin terhadap kaum non-muslim. Memang mengenai jizyah ini telah timbul banyak salah paham, tidak hanya oleh penulis–penulis non-muslim tetapi juga oleh sebagian penulis dari kalangan muslim sendiri. Bahkan ada yang sampai pada kesimpulan bahwa hanya kaum muslimin sajalah yang menikmati status kewarga negaraan penuh, oleh karena adanya jizyah ini. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Salah paham yang banyak terjadi itu pertama–tama mungkin banyak berpangkal dari kekeliruan penapsiran sebagian orang dalam memahami satu–satunya ayat Al-quran yang bebicara tentang jizyah, yakni surat at-taubah: 29: Perangilah orang–orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula pada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-nya dan tidak beragama dengan agama yang benar Agama Allah , yaitu orang – orang yang diberikan al-kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. Akhir ayat diatas wa hum shaghirun sering diartikan secara keliru oleh sebagian orang dengan menganggapnya sebagai dasar pembolehan untuk memperlakukan kaum non-muslim yang membayar jizyah secara merendahkan dan menghina. Penafsiran semacam ini misalnya dilakukan oleh al-raghib al-ashfani , yang mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan frasa yang tersebut diatas ialah kaum pembayar jizyah itu rela menempati kedudukan yang hina al-radhi ‘ala al- manzilah al-daniyyah. Dalam komentarnya, sayyid muhammad rasyid ridha juga menyatakan memang ada sebagian mufassir yang mengartikan bagian ayat ini dengan pengertian yang jauh dari keadilan dan rahmat ajaran Islam. Pengertian yang sebenarnya disini seperti dikemukakan rasyid ridha, ialah bahwa kaum non-muslim yang membayar jizyah itu tunduk kepada ketentuan hukum dan pemerintahan Islam, dalam hal warga non-muslim itu berkedudukan sebagai minoritas. Jadi, dengan singkat dapat dikatakan bahwa pemberian jizyah itu dilakukan dibawah sistem hukum dan pemerintahan Islam, suatu hal yang wajar saja oleh karena jizyah itu sendiri berasal dari tatanan hukum Islam , tegasnya ayat di atas Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 dimaksudkan untuk mengacu kepada sistem, bukan menunjukan pada cara bagaimana jizyah itu dipungut dari kaum non-muslim. 44 Seperti halnya yang terjadi pada beberapa kasus Maisir perjudian dan Khalwat mesum yang terjadi di kota Madya Banda Aceh, yang mana bebarapa Sementara itu dalam pelaksanaan Syariat Islam di Propinsi NAD sendiri, sampai saat ini belum ada peraturan–peraturan daerah atau Qanun–qanun di bidang Syariat Islam yang dibuat secara terperinci untuk mengatur tentang posisi, hak dan kewajiban kaum minoritas non-muslim di propinsi NAD. Sejak pemberlakuan Syariat Islam di NAD hingga saat ini Syariat Islam hanya diberlakukan terhadap kaum muslimin saja, setiap pelanggaran Syariat Islam yang terjadi dan dilakukan oleh kaum muslimin oleh pihak penyidik kepolisian berkas perkara dilimpahkan kepada Kejaksaan Negeri untuk diproses dan kemudian dilanjutkan kepada Mahkamah Syariah untuk diadili dan dijatuhi hukuman. Sedangkan bagi pelaku pelanggaran Syariat Islam yang beragama non-muslim oleh pihak penyidik Kepolisian berkas perkara diserahkan kepada kejaksaan Negeri untuk diproses dan kemudian dilanjutkan kepada Pengadilan Negeri untuk diadili dan dijatuhkan hukuman. Bagi pelaku pelanggaran Syariat Islam yang beragama Islam dipergunakan Qanun di bidang Syariat Islam yang berlaku di Propinsi NAD, sedangkan bagi pelaku pelanggaran yang beragama non-muslim masih tetap mempergunakan Kitab Undang – undang Hukum Pidana Nasional Indonesia, dan bagi pelaku pelanggaran Syariat Islam yang beragama non-muslim tidak diberlakukan sanksi pidana cambuk akan tetapi masih mempergunakan sanksi pidana penjara, kurungan atau denda yang berlaku didalam KUHP Indonesia. 44 . Ibid halaman 67 s.d 68. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 diantara pelakunya beragama non-muslim, bagi pelaku pelanggaran yang beragama Islam diberlakukan Qanun No. 13 tahun 2003 tentang perbuatan pidana di bidang Maisir perjudian, sedangkan bagi pelaku pelanggaran yang beragama non-muslim diberlakukan Kitab Undang – undang Hukum Pidana. Akan tetapi seiring perkembangannya saat ini, dalam pelaksanaan Syariat Islam di Provinsi NAD, bagi pelaku pelanggaran Syariat Islam yang beragama non- muslim menurut keterangan dari Humas Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh Wirzaini Usman, S.H dikenal adanya penundukan sukarela, bagi pelaku pelanggaran Syariat Islam yang beragama non-muslim diberikan hak untuk memilih hukum mana yang akan diberlakukan atas dirinya, apakah Qanun Syariat Islam Provinsi NAD, atau Kitab Undang–undang Hukum Pidana, apakah sanksi pidana cambuk atau sanksi pidana kurungan yang akan di kenakan terhadap dirinya. 45 Seperti tertulis dengan jelas dalam Undang–undang nomor 18 Tahun 2001, Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam hanya berlaku kepada orang yang beragama Islam. Dengan demikian, orang yang tidak beragama Islam tidak akan dipaksa untuk mengikuti hukum atau peraturan yang didasarkan kepada Syariat Islam tersebut. Sebelum kehadiran Undang–Undang nomor 44 Tahun 1999,di Aceh disahkan Perda nomor 5 Tahun 2000, yang dalam pasal 2 ayat 2-nya menyatakan bahwa agama selain Islam diakui keberadaannya di Aceh, begitu juga para pemeluknya dihormati dan dilindungi keberadaannya serta diberi kebebasan untuk beribadat melaksanakan ajaran dan kewajiban agamanya. 46 45 . Keterangan dari hasil wawancara dengan Humas Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh, Wirzaini Usman S.H. 46 . Al - Yasa Abubakar, Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan,Banda Aceh, 2006, Dinas Syariat Islam Proninsi Nanggroe Aceh Darussalam,Op.cit, halaman 139 s.d 140. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 BAB IV EFEKTIFITAS PENERAPAN SANKSI PIDANA CAMBUK TERHADAP PELANGGARAN QANUN DI BIDANG SYARIAT ISLAM DI WILAYAH HUKUM KOTA MADYA BANDA ACEH PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

E. Tujuan Penerapan sanksi pidana Cambuk Terhadap Pelaku Pelanggaran