Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam

(1)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

EFEKTIFITAS PENERAPAN SANKSI PIDANA CAMBUK TERHADAP PELANGGARAN QANUN DI BIDANG SYARIAT ISLAM

DI WILAYAH HUKUM KOTA MADYA BANDA ACEH PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM.

S K R I P S I

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

FERDIANSYAH NIM : 030200051

Departemen Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(2)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

EFEKTIFITAS PENERAPAN SANKSI PIDANA CAMBUK TERHADAP PELANGGARAN QANUN DI BIDANG SYARIAT ISLAM

DI WILAYAH HUKUM KOTA MADYA BANDA ACEH PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

S K R I P S I

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

FERDIANSYAH NIM : 030200051

Ketua Departemen Hukum Pidana

Abul Khair S.H., M. Hum NIP: 131 842 854

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Madiasa Ablisar, S.H., M.S M. Eka Putra, S.H., M.Hum NIP : 131 570 461 NIP : 132 208 327

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(3)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

ABSTRAKSI

*) Madiasa Ablisar, S.H., M.S **) M. Eka Putra, S.H., M.Hum ***) Ferdiansyah

Syariat Islam di Aceh pada pelaksanaannya selain mengatur tentang aqidah dan ibadah juga mengatur tentang jinayah atau pidana, untuk saat ini dalam hal pelaksanaan hukum

jinayah belum semua diatur dalam qanun–qanun yang telah di bentuk oleh DPRD NAD, saat

ini baru bebarapa pidana tertentu yang diatur dalam qanun tersebut, diantaranya khalwat (mesum), khamar (meminum minuman keras), maisir (judi) dan pencurian. Untuk tindak pidana seperti ini terdakwa dijatuhi sanksi pidana cambuk dimuka umum. Adapun yang menjadi pertanyaan, apa yang menjadi kelebihan dari sanksi pidana cambuk itu sendiri dibandingkan dengan sanksi pidana penjara atau sanksi pidana denda atau sanksi pidana yang lainnya, dan sejauh mana efektifitas sanksi pidana cambuk ini dalam penekanan pelanggaran qanun dibidang syariat Islam yang terjadi di wilayah hukum kota Madya Banda Aceh Propinsi NAD, untuk menjawab hal tersebut maka dari itu saya mengangkat judul “EFEKTIFITAS PENERAPAN SANKSI PIDANA CAMBUK TERHADAP PELANGGARAN QANUN DI BIDANG SYARIAT ISLAM DI WILAYAH HUKUM KOTA MADYA BANDA ACEH PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM .“

Yang menjadi permasalahan pada skripsi ini adalah bagaimanakan pengaturan perbuatan pidana dan hukumannya didalam qanun Propinsi NAD, bagaimanakah pengaturan sanksi pidana cambuk didalam fikh jinayah dan qanun Propinsi NAD dan sejauh mana penerapan sanksi pidana cambuk dapat menekan tingkat pelanggaran qanun dibidang Syariat Islam di wilayah hukum kota madya Banda Aceh.

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan tindak pidana dan hukumannya dalam Qanun Propinsi NAD dan untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukuman cambuk menurut fikh jinayah dan Qanun Provinsi NAD serta untuk mengetahui bagaimanakah efektifitas penerapan sanksi pidana cambuk dalam menekan tingkat pelanggaran qanun di bidang syariat Islam menurut Qanun Propinsi NAD di wilayah hukum Kota Madya Banda Aceh. Metode penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah untuk melihat yang berkaitan dengan permasalahan nomor satu dan dua sedangkan pendekatan yuridis empiris adalah untuk melihat penerapan pelaksanaan syariat islam dilapangan untuk menjawab permasalahan pada nomor tiga.

Berdasarkan uraian yang telah dibahas pada bab–bab sebelumnya dapat diberikan kesimpulan bahwa tujuan penerapan Syariat Islam dan penerapan sanksi pidana cambuk adalah untuk memberikan pencerahan dan kesadaran bagi masyarakat dan untuk memberikan kesadaran dan rasa malu untuk mengulangi perbuatannya lagi serta menjadi peringatan bagi masyarakat agar tidak melakukan pelanggaran Syariat Islam dan tidak menimbulkan dampak negatif bagi keluarganya. Serta untuk menciptakan masyarakat yang bermoral dan berjiwa Islam yang berakhlak mulia. Kesimpulan dari pada hasil penelitian menunjukan setelah diterapkannya sanksi pidana cambuk menunjukakan adanya penurunan terhadap pelanggaran qanun dibidang Syariat Islam di kota Banda Aceh, maka dapat di simpulkan bahwa pelaksanaan Syariat Islam selama ini di kota Banda Aceh dalam kurun waktu dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2007 sudah cukup efektif dalam menekan tingkat pelanggaran qanun di bidang syariat Islam dan menata kehidupan secara Islami dikota Banda Aceh, akan tetapi karena pelaksanaan syariat Islam di Kota Banda Aceh ini masih baru, maka masih belum dapat untuk mencapai seperti apa yang diinginkan oleh pemerintah dan masyarakat Banda Aceh yang telah dituangkan dalan qanun–qanun Syariat Islam Propinsi NAD, maka dari itu masih banyak lagi yang harus dibenahi dan disempurnakan dalam pelaksanaan Syariat Islam ini baik itu dalam bentuk qanun–qanun yang telah dibentuk oleh pemerintah Propinsi NAD, maupun dalam pelaksanaannya dilapangan.


(4)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……… i

HALAMAN PERSEMBAHAN……… ii

KATA PENGANTAR………... iii

ABSTRAKSI ………. iv

DAFTAR ISI ………. v

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang……… 1

B. Permasalahan………. 4

C. Tujuan Penulisan.………..………. 4

D. Keaslian Penulisan ………. 4

E. Tinjauan Kepustakaan………... 5

1. Pengertian Dan Tujuan Pidana Secara Umum & Dalam Islam 5 2. Pengertian Fiqh Jinayah ... 11

3. Ruang Lingkup Fiqh Jinayah ...……….. 12

4. Pengertian Qanun ...……. 17

F. Metode Penelitian……… 22

G. Sistematika Penulisan……….. 25

BAB II : PELANGGARAN QANUN DAN HUKUMANNYA DALAM QANUN PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM A. Pelanggaran Qanun Di Bidang Khalwat (Mesum )... 27


(5)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

B. Pelanggaran Qanun Di Bidang Maisir ( Perjudian )... 33 C. Pelanggaran Qanun Di Bidang Khamar ( Minuman Keras ).. 39

BAB III : PENERAPAN SANKSI PIDANA CAMBUK MENURUT QANUN PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

A. Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Menurut Fiqh Jinayah... 48 B. Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Menurut Qanun

Provinsi NAD... 51 C. Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap pelaku

Pelanggaran Qanun Yang Beragama Non Muslim... 58

BAB IV : EFEKTIFITAS PENERAPAN SANKSI PIDANA CAMBUK TERHADAP PELANGGARAN QANUN DI BIDANG SYARIAT ISLAM DI WILAYAH HUKUM KOTA MADYA BANDA ACEH PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

A. Tujuan Penerapan sanksi pidana Cambuk Terhadap

Pelaku Pelanggaran Qanun di Bidang Syariat Islam... 73 B. Tingkat Tindak Pidana Perjudian dan Perjinahan

Sebelum Penerapan Qanun Di Bidang Syariat Islam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Di Kota Madya

Banda Aceh... 75 C. Tingkat Pelanggaran Qanun Di Wilayah Hukum Kota

Madya Banda Aceh Setelah Penerapan Qanun Di Bidang Syariat Islam Propinsi Nanggroe Aceh darussalam

Dari Tahun 2005 Sampai Dengan 2007... 83 D. Bagaimanakah Efektifitas Penerapan sanksi pidana

Cambuk Dalam Menekan Tingkat Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum


(6)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

Kota Madya Banda Aceh... 89

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan……… 98

B. Saran……….. 101


(7)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang.

Konflik dan pertentangan yang berlarut larut, seakan–akan tak putus–putusnya terjadi di Aceh yang disusul dengan tragedi demi tragedi. Sejak kemerdekaan tahun 1945, seperti dielaborasi Nazarrudin Syamsudin dalam kata “pengantarnya”nya yang mencatat tujuh perkembangan peradaban Aceh yang mengarah pada “penghancuran kebudayaan”. Setelah merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI yang dijalankan secara monumental oleh masyarakat Aceh tahun 1945, segera disusul oleh perang

Cumbok tahun 1946 takala konflik fisik dan revolusi sosial berlangsung antara kaum uleebalang dan ulama, kemudian disusul dengan pristiwa DI/ TII sejak tahun 1953

sampai awal tahun 1960. Kemudian terjadi pemberontakan PKI dalam gerakan 30 september 1965. Demikian empat tahap pertama, tiga tahap selanjutnya justru terjadi pada masa orde baru.1

Dengan istilah penghancuran kebudayaan terkesan ada subyek atau faktor di luar saja yang aktif, tapi masyarakat Aceh sendiri harus melakukan introspeksi atas ketahanan dirinya. Perbaikan nasib tidak mungkin hanya diharapkan dari belas

Seandainya tulisan Nazarrudin Syamsudin tersebut diterbitkan beberapa bulan kemudian (masih dalam tahun 2003), ia pasti akan memasukan lagi tahap penghancuran kebudayaan paling akhir di Aceh, yaitu penerapan keadaan Darurat Mililiter di Aceh sejak 19 Mei 2003.

1

Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh Problem, Solusi dan

Implementasi, Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, (Jakarta: Ar-Raniry


(8)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

kasihan orang luar, kita sendiri harus bekerja keras memperbaiki diri. Harus diakui berbagai ikhtiar telah dilakukan untuk mencoba menyelesaikan permasalahan yang berlarut–larut itu. Upaya paling akhir yang dilakukan oleh pemerintah pusat adalah menawarkan otonomi khusus untuk daerah Aceh melalui Undang–Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh dan Undang–Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

Ada beberapa konsesi yang signifikan terhadap masyarakat Aceh disini. Salah satunya adalah peluang untuk melaksanakan Syariat Islam di Aceh meskipun tetap dalam kerangka hukum Nasional Indonesia. Peluang ini telah dicoba diaktualisasikan oleh masyarakat Aceh melalui PEMDA dan DPRDnya. Pemerintah Daerah melalui Gubernur dalam sebuah Upacara di Lapangan Blang Padang Banda Aceh telah mendeklarasikan pemberlakuan Syariat Islam secara kaffah di Aceh pada tanggal 1

Muharram 1423 H yang lalu. Gubernur Aceh telah membentuk Dinas Syariat Islam

tingkat Propinsi yang diikuti Kabupaten–Kabupaten nantinya. DPRD Aceh telah pula mengeluarkan beberapa Perda dan beberapa Qanun sebagai landasan hukum pelaksanaannya.

Mahkamah Agung pun turut mengambil peran dengan membentuk Mahkamah Syariah pada tanggal 1 Muharram 1424 H yang lalu sebagai ganti Pengadilan Agama. Akan tetapi solusi yang ditawarkan melalui upaya revitalisasi Syariat Islam di Aceh ini juga mengandung problema tersendiri secara teknis, yuridis maupun aplikasinya dilapangan.2

Syariat Islam di Aceh pada pelaksanaannya selain mengatur tentang aqidah dan ibadah juga mengatur tentang jinayah atau pidana, untuk saat ini dalam hal pelaksanaan hukum jinayah belum semua diatur dalam qanun–qanun yang telah di

2


(9)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

bentuk oleh DPRD NAD, saat ini baru bebarapa pidana tertentu yang diatur dalam qanun tersebut, diantaranya khalwat (mesum), khamar (meminum minuman keras),

maisir (judi) dan pencurian. Untuk tindak pidana seperti ini selain dijatuhi sanksi

pidana penjara dan denda, terdakwa juga dijatuhi sanksi pidana cambuk dimuka umum. Adapun yang menjadi pertanyaan, apa yang menjadi kelebihan dari sanksi pidana cambuk itu sendiri dibandingkan dengan sanksi pidana penjara atau sanksi pidana denda atau sanksi pidana yang lainnya yang selama ini telah di terapkan dalam KUHP Indonesia, dan bagaimana efektifitas sanksi pidana cambuk ini dalam penekanan pelanggaran qanun dibidang Syariat Islam yang terjadi di wilayah hukum kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sebagai prodak baru pada sistem hukum pidana Indonesia mampukah sanksi pidana cambuk membawa pembaharuaan pada dunia peradilan indonesia, Akan tetapi dengan penerapan Syariat Islam secara kaffah di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, muncul ketakutan dan kekhawatiran dari pihak-pihak tertentu, baik yang berasal dari luar kaum muslimin atau dari kaum muslimin sendiri. Ketakutan atau fobia terhadap Syariat Islam adalah hal yang terlalu dibesar-besarkan. Syariat Islam sama sekali tidak bertujuan untuk menyiksa manusia, bahkan menurut Islam binatang dan lingkungan pun tidak boleh di dzalimi. Tujuan Syariat Islam adalah untuk memelihara hak-hak manusia dan memberikan mereka perlindungan serta keselamatan atau kedamaian. Karena itu merasa takut terhadap Syariat Islam, apa lagi memusuhinya adalah sikap atau tindakan yang tidak beralasan. Meskipun dengan demikian ketentuan-ketentuan normatif semacam ini tentu saja harus diwujudkan dalam aktualisasinya dan ini tentu saja merupakan salah satu pekerjaan rumah umat Islam untuk membuktikan nya dalam kenyataan.


(10)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

Kekerasan dan penyelewengan hukum memang pernah terjadi dalam sejarah Islam, tetapi itu juga pernah terjadi dalam agama dan komunitas manapun di dunia ini, termaksud Yahudi, Kristen dan Barat. Demikian juga sebaliknya, sejarah menjadi saksi atas kesuksesan Syariat Islam menciptakan masyarakat yang makmur serta sejahtera serta penegakan hukum yang adil secara mengagumkan. Oleh karena itu, jika kita mau bersikap objektif, dan terbuka maka jangan hanya sisi gelap sejarah Islam yang dilihat, tetapi juga sisi cemerlangnya, agar tidak terjadinya salah paham bahkan timbulnya pemikiran yang menyimpang terhadap Syariat Islam, terutama terhadap penerapan sanki pidana cambuk.

untuk menjawab hal tersebut maka dari itu penulis merasa perlu untuk mengangkat judul “EFEKTIFITAS PENERAPAN SANKSI PIDANA CAMBUK TERHADAP PELANGGARAN QANUN DI BIDANG SYARIAT ISLAM DI WILAYAH HUKUM KOTA MADYA BANDA ACEH PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM .“

B. Permasalahan.

Berdasarkan pada uraian dan latar belakang diatas maka yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah :

1. Bagaimanakah pengaturan perbuatan pidana dan hukumannya di dalam Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam?

2. Bagaimanakah pengaturan sanksi pidana cambuk menurut Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam?

3. Bagaimanakah efektifitas penerapan sanksi pidana cambuk terhadap pelanggaran qanun di bidang syariat Islam di kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam?


(11)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009 C . Tujuan Penulisan.

Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini antara lain :

1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan tindak pidana dan hukumannya dalam Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam; dan

2. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan sanksi pidana cambuk menurut Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam; serta

3. Untuk mengetahui bagaimanakah efektifitas penerapan sanksi pidana cambuk terhadap pelanggaran qanun di bidang Syariat Islam menurut Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

D . Keaslian Penulisan.

Adapun judul dalam penelitian ini adalah EFEKTIFITAS PENERAPAN SANKSI PIDANA CAMBUK TERHADAP PELANGGARAN QANUN DI BIDANG SYARIAT ISLAM DI WILAYAH HUKUM KOTA MADYA BANDA ACEH PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM “. Sehubungan dengan keaslian judul ini penulis telah melakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, untuk mencari dan membuktikan bahwasannya judul Skripsi tersebut di atas belum pernah ada, dan apabila di kemudian hari ternyata terdapat judul Skripsi yang sama, maka hal itu menjadi tanggung jawab saya sendiri. Oleh karena itu, penulis menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya penulis dan belum pernah ada sebelumnya skripsi seperti ini.

E. Tinjauan Kepustakaan


(12)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

Defenisi hukum pidana menurut ilmu pengetahuan, dapat diadakan beberapa

penggolongan pendapat (Bambang Poernomo) yaitu: 1. Hukum Pidana adalah hukum sanksi

Defenisi ini diberikan berdasarkan ciri hukum pidana yang membedakan dengan lapangan hukum lain yaitu bahwa hukum pidana sebenarnya tidak mengadakan norma tersendiri melainkan melainkan sudah terletak pada lapangan hukum yang lain, dan sanksi hukum pidana diadakan untuk menguatkan ditatanya norma–norma tersebut.

2. Hukum pidana adalah keseluruhan aturan–aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan–perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya.

3. Huku m pidana dalam arti:

a. Objektif (jus poenale) meliput i:

(1). Perintah dan larangan yang pelanggarannya diancam dengan sanksi pidana oleh badan yang berhak;

(2). Ketentuan–ketentuan yang mengatur upaya yang dapat dipergunakan, apabila norma itu dilanggar, yang dinamakan hukum penintentiare;

(3) Aturan–aturan yang menentukan kapan dan dimana berlakunya norma–norma tersebut diatas.

b. Subjektif (jus puniendi), yaitu:

Hak negara menurut hukum untuk menuntut pelanggar delik dan untuk menjatuhkan serta melaksanakan pidana.


(13)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

a. Hukum pidana materil yang menunjuk pada perbuatan pidana

(strsfbare feiten) dan yang oleh sebab perbuatan itu dapat dipidana,

dimana perbuatan pidana itu mempunyai dua bagian yaitu:

(1). Bagian objektif merupakan suatu perbuatan atau natalen yang bertentangan dengan hukum positif, melawan hukum, yang menyebabkan tuntutan hukum dengan ancaman pidana atas pelanggaranya:

(2). Bagian subjektif yaitu mengenai kesalahan, yang menunjuk kepada sipembuat (dader) untuk dipertanggung jawabkan menurut hukum.

b. Hukum pidana formil yang mengatur cara hukum pidana material dapat dilaksanakan.

5. Hukum pidana diberikan arti bekerjanya sebagai:

a. peraturan hukum, objektif (jus poenale) yang dibagi menjadi:

(1). Hukum pidana materil yaitu tentang peraturan tentang syarat – syarat bilamanakah suatu itu dapat dipidana.

(2). Hukum pidana formil, yaitu hukum acara pidananya.

b. Hukum subjektif (juspuniendi) yaitu meliputi hukum dalam memberikan ancaman pidana, menetapkan pidana dan melaksanakan pidana, yang hanya dapat dibebankan kepada negara dan pejabat untuk itu.

c. Hukum pidana umum (alogemene strafrecht) yaitu hukum pidana yang berlaku bagi semua orang dan hukum pidana khusus (bijondere


(14)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

strafrecht) yaitu dalam bentuknya sebagai jus speciale seperti hukum

pidana militer.3

a. Harus mampu mencegah seseorang dari berbuat maksiat. Atau menurut Ibnu Hammam dalam fathul qadir bahwa hukuman itu untuk mencegah sebelum terjadinya perbuatan (prefentif) dan menjerakan setelah terjadinya perbuatan (repsesif).

Hukum pidana secara umum berfungsi mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Tujuan pokok hukum pidana yang hendak dicapai adalah pencegahan yang ditujukan kepada khalayak ramai, kepada semua orang agar tidak melakukan pelanggaran terhadap ketertiban masyarakat. Beberapa sarjana juga berpendapat bahwa teori pembalasan merupakan dasar dan pembenaran pidana, tetapi dengan menjatuhkan pidana pembalasan itu, apa yang dapat dicapai pemerintah dengan pembalasan itu.

Hukuman diterapkan -meskipun tidak disenangi- demi mencapai kemaslahatan bagi individu dan masyarakat.

Dengan demikian hukuman yang baik adalah:

b. Batas tertinggi dan terendah suatu hukuman sangat tergantung kepada

kebutuhan kemaslahatan masyarakat, apa bila kemaslahatan

menghendaki beratnya hukuman, maka hukuman diperberat. Demikian pula sebaliknya, bila kebutuhan kemaslahatan masyarakat mengkehendaki ringannya hukuman, maka hukumannya diperingan. c. Memberikan hukuman kepada orang yang melakukan kejahatan itu

bukan berarti membalas dendam, melainkan sesungguhnya untuk

3

. Alvi syahrin, Ilmu Hukum Pidana Dan Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana (suatu


(15)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

kemaslahatannya, seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyah bahwa hukuman itu disyariatkan oleh Allah SWT bagi hambanya dan sebagai cerminan dari keinginan Allah untuk ihsan kepada hambanya. Oleh karena itu, sepantasnyalah bagi orang yang memberikan hukuman kepada orang lain atas kesalahannya harus bermaksud melakukan

ihsan dan memberi rahmat kepadanya, seperti seorang bapak yang

memberikan pelajaran kepada anaknya.

d. Hukuman adalah upaya terakhir dalam menjaga seseorang supaya tidak jatuh kedalam suatu maksiat. Sebab dalam konsep Islam seorang akan terjaga dari berbuat jahat apabila:

1. Memiliki iman yang kokoh seperti yang dikatakan dalam hadist nabi:

“Seseorang tidak akan melakukan zina ketika ia beriman”. (HR.

Muslim).

Hal ini berkaitan dengan kebersihan jiwa.

2. Berahklak mulia, seperti jujur terhadap dirinya dan orang lain, atau merasa malu bila melakukan maksiat, atau selalu berbuat baik dan menghindari berbuat jahat.

3. Dengan adanya sanksi duniawi diharapkan mampu menjaga

seseorang dari terjatuh kedalam tindak pidana. Disamping itu harus diusahakan menghilangkan faktor–faktor penyebab terjadinya kejahatan dalam masyarakat berdasarkan konsep sadz

al-dzariah (upaya menutup jalan dari terjadinya kejahatan).4

4

. H.A. Djajuli, Fiqh Jinayah (Upaya menanggulangi kejahatan dalam Islam), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000,halaman 26 s.d 27


(16)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

Menurut hasil penelitian dari para ahli hukum Islam, tujuan Allah SWT membentuk hukum Islam ialah untuk kemaslahatan umat manusia, baik didunia maupun di akhirat. Tujuan dimaksud hendak dicapai melalui taklif. Taklif itu baru dapat dilaksanakan apabila memahami sumber hukum Islam, kemudian tujuan itu tidak akan tercapai kecuali dengan keluarnya seseorang dari perbudakan hawa nafsunya, menjadi hamba Allah dalam artian tunduk kepada ketentuannya.(Abu Ishak asy-Syatibi,t.t.:5)

Banyak ayat Al-quran yang menunjukan bahwa kedatangan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan umat manusia, di antaranya surah Al-Anbiyaa’(21) ayat 107.

Dan tidaklah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.5

Untuk mewujudkan kemaslahatan dimaksud, ada lima hal pokok yang harus diwujudkan dan dipelihara, yaitu terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Lima masalah pokok ini wajib dipelihara oleh setiap manusia. Untuk itulah didatangkan hukum Islam/ taklif yaitu perintah untuk berbuat, larangan untuk berbuat dan keizinan untuk berbuat yang harus dipatuhi oleh setiap mukallaf. Masing–masing lima pokok dimaksud dalam mewujudkan dan memeliharanya dikategorikan kepada klasifikasi menurut tingkat prioritasnya, yaitu kebutuhan dharuriyat, kebutuhan

hajiyat, dan kebutuhan tahsiniat. Ketiga urutan prioritas kebutuhan tersebut harus

terwujud dan terpelihara.

Ayat tersebut secara umum menunjukan bahwa hukum Islam membawa rahmat bagi kehidupan manusia. Dikatakan rahmat apabila mendatangkan maslahat bagi kehidupan, baik didunia maupun diakhirat.

5


(17)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

Memelihara kebutuhan dharuriyat dimaksud agar perwujudan dan perlindungan atas lima pokok yang telah diuraikan yaitu agama, jiwa, akal, harta dan keturunan dapat terpelihara dalam batas jangan sampai terancam eksistensinya. Memelihara kebutuhan hajiyat dimaksud agar perwujudan dan perlindungan hal–hal yang diperlukan dalam kelestarian lima pokok diatas dapat terpenuhi, tetapi dibawah batas kepentingan dharuriyat. Tidak terpeliharanya kebutuhan ini, tidak akan membawa terancamnya eksistensi lima pokok diatas, tetapi membawa kepada kesempitan dan kepicikan, baik dalam usaha mewujudkan maupun dalam pelaksanaannya, sedangka kepicikan dan kesempitan itu dalam ajaran Islam perlu disingkirkan.6

6

. Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia, ( sinar grafika,jakarta, 2006), halaman 17 s.d 18.

2. Pengertian Fiqh Jinayah

Fiqh Jinayah terdiri dari dua kata, yaitu fiqh dan jinayah. Pengertian fiqih

secara bahasa berasal dari lafal, faqiha, yafqahu fiqhan, yang berarti mengerti, paham. Pengertian fiqh secara istilah yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Kallaf adalah sebagai berikut.

Fiqh adalah ilmu tentang hukum – hukum syara’ praktis yang diambil dari dalil–dalil yang terperinci. Atau fiqh adalah himpunan hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang diambil dari dalil – dalil terperinci.

Adapun jinayah menurut bahasa adalah:

Nama bagi hasil perbuatan seseorang yang buruk dan apa yang diusahakan.

Pengertian Jinayah secara istilah fuqaha sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah adalah:


(18)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik

perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnya.

Dalam konteks ini jinayah sama dengan jarimah. Pengertian jarimah sebagai mana dikemukakan oleh Imam Al Mawardi adalah sebagai berikut.

Jarimah adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir.

Apabila kedua kata tersebut digabungkan maka pengertian fiqh jinayah itu adalah ilmu tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah) dan hukumannya yang diambil dari dalil–dalil yang terperinci.

Pengertian fiqh jinayah tersebut diatas sejalan dengan pengertian hukum pidana menurut hukum positif. Mustafa Abdullah dan Ruben Ahmad mengemukakan bahwa hukum pidana adalah delik yang diancam dengan hukuman pidana. Atau dengan kata lain hukum pidana itu adalah serangkaian peraturan yang mengatur masalah tindak pidana dan hukumannya.7

a. Jarimah Hudud

3. Ruang Lingkup Fiqh Jinayah

Berbicara mengenai ruang lingkup Fiqh Jinayah sebenarnya sangat luas cakupannya akan tetapi, secara garis besar kita dapat membaginya kedalam tiga bagian yaitu :

7

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Jakarta, Sinar Grafika, 2004 ), halaman 1.


(19)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had.

Pengertian hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara’ dan menjadi hak Allah (hak masyarakat).

Dengan demikian ciri khas dari jarimah hudud itu adalah sebagai berikut: 1. Hukuman tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukumannya telah ditentukan

oleh syara’ dan tidak ada batas maksimal dan minimal.

2. Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata–mata, atau kalau ada hak manusia disamping hak Allah, maka hak Allah yang lebih menonjol. Pengertian hak Allah sebagaimana dikemukakan oleh Mahmud Syaltut adalah sebagai berikut.

Hak Allah adalah suatu hak yang manfaatnya kembali kepada masyarakat dan tidak tertentu bagi seseorang.

Dalam hubungannya dengan hukuman had maka pengertian hak Allah disini adalah bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan oleh perseorangan (orang yang menjadi korban atau keluarganya) atau oleh masyarakat yang diwakili oleh negara.8

1. Jarimah Zina.

Para ulama sepakat bahwa yang termaksud katagori dalam jarimah hudud ada tujuh, yaitu:.

2. Jarimah Qazdaf (menuduh orang berbuat zina)

3. Jarimah Syurbul khamar (meminum minuman yang memabukkan) 4. Jarimah Pencurian

5. Jarimah Hirabah 6. Jarimah Riddah

7. Jarimah Al Bagyu (pemberontakan)9

8

. Ibid , Ahmad Wardi Muchlis, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fikih

Jinayah),halaman 17 s.d. 18.

9

. Makhrus Munajat, Dekonnstruksi Hukum Pidana Islam, (Jogjakarta, Logung Pustaka, 2004), halaman 12.


(20)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

Dalam jarimah zina, syurbul khamar, hirabah, riddah, dan pemberontakan yang dilanggar adalah hak Allah semata–mata. Sedangkan dalam jarimah pencurian dan qadzaf (penuduhan zina) yang disinggung disamping hak Allah, juga terdapat hak manusia (individu), akan tetapi hak Allah lebih menonjol.

b. Jarimah Qishash dan Diat

Jarimah Qishash dan Diat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qishash atau diat. Baik qishash atau diat keduanya adalah hukuman yang telah

ditentukan oleh syara’. Perbedaannya dengan hukuman had adalah bahwa had adalah merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan qishash dan diat adalah hak manusia (individu). Adapun yang dimaksud dengan hak manusia sebagai mana dikemukakan oleh Mahmud Syaltut adalah sebagai berikut.

Hak manusia adalah suatu hak yang manfaatnya kembali kepada orang tertentu.

Dalam hubungannya dengan hukuman qishas dan diat maka pengertian hak manusia disini adalah bahwa hukuman tersebut bisa dihapuskan atau dimaafkan oleh korban atau keluarganya.

Dengan demikian maka ciri khas dari jarimah qishas dan diat itu adalah

1. Hukumannya sudah tertentu dan terbatas, dalam arti sudah ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas minimal dan maksimal.

2. Hukuman tersebut merupakan hak perseorangan (individu), dalam arti bahwa korban atau keluarganya berhak memberikan pengampunan terhadap pelaku.

Jarimah qishas dan diat ini hanya ada dua macam, yaitu pembunuhan dan penganiayaan namun apabila diperluas maka ada lima macam, yaitu:

1. pembunuhan sengaja


(21)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

3. pembunuhan merupakan karena kesalahan 4. penganiayaan sengaja

5. penganiayaan tidak sengaja.

c. Jarimah Ta’jir

Jarimah Ta’jir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir.

Pengertian ta’zir menurut bahasa ialah ta’dib atau memberi pelajaran. Ta’zir juga diartikan Ar Rad wa Al Man’u, artinya menolak dan mencegah. Akan tetapi menurut istilah, sebagai mana yang dikemukakan oleh Imam Al Mawardi, pengertiannya adalah sebagai berikut.

Ta’zir itu adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh syra’.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa hukuman ta’zir itu adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’, melainkan diserahkan kepada ulil amri, baik penentuannya maupun pelaksanaannya. Dalam menentukan hukuman tersebut, penguasa hanya menetapkan hukumannya secara gelobal saja. Artinya pembuat undang–undang tidak menetapkan hukuman untuk masing–masing jarimah ta’zir, melainkan hanya menetapkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan–ringannya sampai yang seberat–beratnya.

Dengan demikian ciri khas dari jarimah ta’jir itu adalah sebagai berikut: 1. Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas. Artinya hukuman tersebut belum

ditentukan oleh syara’ dan ada batas minimal dan ada maksimal, 2. penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa.

Berbeda dengan jarimah hudud dan qishash maka jarimah ta’zir tidak ditentukan banyaknya. Hal ini karena yang termaksud jarimah ta’zir adalah setiap


(22)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan qishash, yang jumlahnya sangat banyak. Tentang jenis–jenis jarimah ta’zir ini Ibn Taimiyah mengemukakan :

Perbuatan–perbuatan yang tidak terkena hukuman had dan tidak pula kifarat, seperti mencium anak–anak (dengan syahwat), mencium wanita lain yang bukan istri, tidur satu ranjang tanpa persetubuhan, atau memakan barang yang tidak halal seperti darah dan bangkai...

Maka semuanya itu dikenakan hukuman ta’zir sebagai pembalasan dan pengajaran, dengan kadar hukuman yang ditetapkan oleh penguasa.

Tujuan diberikannya hak penentuan jarimah–jarimah ta’zir dan hukumannya kepada penguasa adalah agar mereka dapat mengatur masyarakat dan memelihara kepentingan–kepentingannya, serta bisa menghadapi dengan sebaik–baiknya setiap keadaan yang bersifat mendadak.

Jarimah ta’zir disamping ada yang diserahkan penentuannya sepenuhnya

kepada ulil amri, juga memang ada yang sudah ditetapkan oleh syara’, seperti riba dan suap. Disamping itu juga termaksud kedalam kelompok ini, jarimah–jarimah yang sebenarnya sudah ditetapkan hukumannya oleh syara’ (hudud) akan tetapi syarat–syarat untuk dilaksanakannya hukuman tersebut belum terpenuhi. Misalnya, pencurian yang tidak sampai selesai atau barang–barang yang dicuri kurang dari

nishab pencurian, yaitu seperempat dinar. 4. Pengertian Qanun

Istilah Qanun sudah digunakan sejak lama sekali dalam bahasa atau budaya Melayu. Kitab “Undang-Undang Melaka” yang disusun pada abad ke lima belas atau keenambelas Masehi telah menggunakan istilah ini. Menurut Liaw Yock Fang, istilah


(23)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

ini dalam budaya melayu digunakan semakna dengan adat dan biasanya dipakai untuk membedakan antara hukum yang tertera dalam adat dengan hukum yang tertera dalam kitab fiqih.

Kuat dugaan istilah qanun ini masuk dalam budaya melayu dan bahasa arab karena mulai digunakan bersamaan dengan kehadiran agama Islam dan penggunaan bahasa Arab Melayu di Nusantara. Bermanfaat disebutkan dalam literatur Barat pun istilah ini sudah lama digunakan, diantaranya menunjuk kepada hukum Kristen

(canon law) yang sudah ada sejak sebelum zaman Islam.

Dalam bahasa Aceh istilah ini relatif populer dan tetap digunakan di tengah masyarakat, karena salah satu pepatah adat yang menjelaskan hubungan adat dan syariat yang tetap hidup dan bahkan sangat sering dikutip menggunakan istilah ini. Dalam literatur Melayu Aceh pun qanun sudah digunakan sejak lama, dan diartikan sebagai aturan yang berasal dari hukum Islam yang telah menjadi adat. Salah satu naskah tersebut berjudul Qanun Syara’ Kerajaan Aceh yang ditulis oleh Tengku di Mulek pada tahun 1257 H atas perintah Sultan Alauddin Mansyur Syah yang wafat pada tahun 1870 M. Naskah pendek (hanya beberapa halaman) ini berbicara beberapa aspek di bidang hukum tata negara, pembagian kekuasaan, badan peradilan dan kewenangan mengadili, fungsi kepolisian dan kejaksaan, serta aturan protokoler dalam berbagai upacara kenegaraan.

Dapat disimpulkan bahwa dalam arti sempit, qanun merupakan suatu aturan yang dipertahankan dan diperlakukan oleh seorang Sultan dalam wilayah kekuasaannya yang bersumber pada hukum Islam. Sedangklan dalam arti luas, qanun sama dengan istilah hukum atau adat. Didalam perkembangannya boleh juga disebutkan bahwa qanun merupakan suatu istilah untuk menjelaskan aturan yang


(24)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

berlaku ditengah masyarakat yang merupakan penyesuaian dengan kondisi setempat atau penjelasan lebih lanjut atas ketentuan didalam fiqih yang ditetapkan oleh Sultan.

Sekarang ini, qanun digunakan sebagai istilah untuk “Peraturan Daerah plus” atau lebih tepatnya Peraturan Daerah yang menjadi peraturan pelaksana langsung untuk Undang-Undang (dalam rangka otonomi khusus di Propinsi NAD)10

Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksana Undang-Undang di wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus.

. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1 angka 8 “ketentuan umum” dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2001. dalam Undang-Undang ini qanun dirumuskan sebagai:

11

Sejak dimulainya penyelenggaraan otonomi khusus berdasarkan UU No.18 Tahun 2001, sudah banyak qanun yang disahkan. menurut sumber dari sekretariat DPRD Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sampai Agustus 2004 telah dihasilkan 49 qanun yang mengatur berbagai materi untuk merealisasikan kewenangan khusus yang diserahkan Pemerintah kepada Pemerintah Propinsi NAD termaksud pelaksanaan Syariat Islam12

a. Peraturan pelaksanaan untuk penyelenggaraan otonomi khusus yang berkaitan dengan kewenangan pemerintah (pusat) akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pernyataan ini secara jelas memberikan arah bahkan

.

Dari ketentuan diatas dapat ditarik empat kesimpulan:

10

. Al-yasa Abubakar & Marah Halim, Hukum Pidana Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,Banda Aceh,Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,halaman 6 s.d 7

11

. Himpunan Undang – Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/ Qanun, Instruksi Gubernur,Edaran Gubernur, Berkaitan Pelaksanaan Syari’at Islam, edisi V, (Banda Aceh, Dinas Syariat Islam Provinsi NAD,2006), halaman 19.

12

. Al-yasa Abubakar & Marah Halim, Hukum Pidana Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Opcit, halaman 7.


(25)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

keyakinan bahwa untuk melaksanakan Otonomi Khusus perlu kepada peraturan pelaksanaan pada tingkat pusat, dalam hal ini peraturan pemerintah. Kelihatannya pembuat Undang-Undang sejak awal sudah yakin bahwa otonomi khusus tidak akan dapat dijalankan sekiranya peraturan pelaksananya hanya di buat di Aceh melalui qanun Propinsi. Karena hal tersebut, perlu di ulangi kembali, kehadiran Peraturan Pemerintah amat sangat diperlukan.

b. Undang-Undang telah menetapkan Qanun Propinsi sebagai peraturan pelaksana untuk penyelenggaraan otonomi khusus yang menjadi kewenagan Pemerintah Propinsi. Dalam pembuatan qanun ini, Pemerintah Propinsi tidak perlu menunggu peraturan pemerintah atau peraturan lainnya dari Pemerintah (pusat). Sedangkan dalam kutipan dari “penjelasan umum” di atas tadi, telah disebutkan bahwa Qanun adalah peraturan daerah untuk melaksanakan otonomi khusus yang dapat mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain dengan mengikuti asas lex specialis derogat lex generalis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa qanun adalah peraturan daerah yang setingkat dengan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan otonomi khusus di Aceh, atau paling kurang merupakan Peraturan Daerah “plus” karena dapat melaksanakan Undang-Undang secara langsung dan juga karena merupakan Peraturan Daerah yang dapat mengenyampingkan peraturan lain berdasar asas “peraturan khusus dapat mengenyampingkan peraturan umum”.

c. Qanun Propinsi yang dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 di atas dinyatakan sebagai Peraturan Daerah untuk melaksanakan otonomi khusus


(26)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

dalam pasal yang telah dikutip diatas secara tegas disebutkan sebagai

Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dari penyebutan ini dan dari

fungsi yang diberikan kepada qanun, yaitu untuk melaksanakan otonomi khusus, maka qanun itu selayaknya hanya ada ditingkat propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, karena peraturan pada tingkat Propinsilah yang merupakan peraturan pelaksana dan penjelasan untuk Undang-Undang. Sekiranya jalan pikiran ini diterima, maka penggunaan istilah ini oleh Kabupaten dan Kota dalam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk produk daerah yang mereka buat (menggunakan istilah qanun Kabupaten dan Kota), barangkali perlu penelitian dan pengkajian yang lebih dalam. Lepas dari diskusi diatas, kuat dugaan untuk menghindarkan keraguan dan silang pendapat, Gubernur telah mengeluarkan keputusan No. 09 Tahun 2003 tanggal 03 April 2003 yang menyatakan bahwa semua peraturan daerah di Kabupaten/ Kota setelah kehadiran Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 ini diberi nama Qanun Kabupaten atau Kota. Ketentuan ini dikuatkan lagi dalam Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 02

Tahun 2003 tentang Sususnan, Kedudukan dan kewenangan Kabupaten/ Kota dalam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang disahkan pada 15

Juli 2003, dalam pasal 1angka 8 secara jelas menyebutkan adanya istilah Qanun Kabupaten/ Kota. Lengkap isi pasal 1 angka 8 tersebut penulis kutipkan sebagai berikut:

Qanun Kabupaten atau Kota adalah Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota yang ditetapkan oleh Bupati atau Wali Kota dengan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten atau Kota.


(27)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

d. Berhubung Syariat Islam yang akan ditegakkan di Aceh bersifat kaffah, sedang aparat penegak hukum semisal Hakim, Jaksa, Polisi, dan Pengacara yang menguasai Syariat Islam secara baik (sempurna) relatif sedikit sekali, maka Syariat Islam yang akan dilaksanakan di Aceh akan dituangkan kedalam bentuk qanun terlebih dahulu. Dengan kata lain hukum positif yang akan dilaksanakan di Aceh baik yang materil maupun yang formil terlebih dahulu akan dirumuskan dan dituangkan kedalam bentuk Qanun Propinsi. Ketentuan ini telah dinyatakan dalam Qanun Nomor 10 Tahun 2002 yang berbunyi:

Pasal 53: Hukum materil yang akan digunakan dalam menyelesaikan perkara sebagaimana tersebut pada pasal 49 adalah yang bersumber dari atau sesuai dengan Syariat Islam yang akan diatur dengan Qanun. Pasal 54: Hukum formil yang akan digunakan Mahkamah adalah yang bersumber dari atau sesuai dengan Syariat Islam yang akan diatur dalam Qanun.

F. Metode Penelitian

a. Pendekatan Masalah

penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Penelitian yuridis normatif juga dinamakan penelitian hukum normatif atau juga penelitian hukum doktrinal.

Menurut soejono soekanto sebagaimana yang dikemukakan oleh Burhan Ashshofa, bentuk penelitian normatif (doktrinal) ini dapat berupa:


(28)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

(2) Penemuan Asas hukum;

(3) Penemuan Asas Hukum in concreto; (4) Perbandingan Hukum

(5) Sejarah Hukum13

Pada penelitian ini, khususnya yang berkaitan dengan permasalahan nomor satu dan dua digunakan pendekatan yuridis normatif (doctrinal). Pendekatan yuridis empiris adalah untuk melihat penerapan syariat Islam dilapangan yang dalam penelitian ini, digunakan untuk menjawab permasalahan pada nomor ketiga untuk mengetahui sejauh mana efektifitas penerapan sanksi pidana cambuk terhadap pelaku pelanggaran qanun di bidang Syariat Islam di Kota Madya Banda Aceh. Namun dalam hal penelitian ini tetap menggunakan data sekunder.

b. Sumber dan Pengumpulan data

Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data skunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari studi lapangan yaitu terdiri dari POLISI, JAKSA, WILAYATUL HISBAH, MAHKAMAH SYARIAH, dan DINAS SYARIAT ISLAM. Data skunder diperoleh melalui studi kepustakaan.

Studi kepustakaan ini dilakukan untuk mendapatkan atau mencari konsepsi– konsepsi, teori–teori, asas–asas, doktrin–doktrin, dan temuan–temuan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan. studi lapangan dilakukan melalui wawancaara mendalam (in-depth interview) dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) kepada responden, yaitu terdiri dari:

a. Kepolisian, Poltabes Banda Aceh. b. Mahkamah Syariah Banda Aceh. c. Dinas Syariat Islam Propinsi NAD.

13


(29)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

d. Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh. e. Kejaksaan Negeri Kota Banda Aceh. f. Wilayatul Hisbah Kota Banda Aceh.

Metode ini dilakukan untuk memperoleh data tentang permasalahan– permasalahan yang akan diangkat dalam penulisan skripsi ini. Studi lapangan ini dilakukan di wilayah hukum kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh darussalam, karena mengingat kota Banda Aceh merupakan ibu kota dari Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang mana ibu kota propinsi ini merupakan acuan dan pusat dari pada pelaksanaan syariat Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

c. Metode Analisis data

Data yang diperoleh melalui studi pustaka dan wawancara dikumpulkan, dan urutannya, lalu diorganisasikan dalam satu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Data ini akan dianalisis secara kualitatif yang akan diuraikan secara deskritif, yaitu pendapat responden dan nara sumber diteliti dan dipelajari secara menyeluruh. Berdasarkan penelitian tersebut metode kualitatif bertujuan untuk menginterprestasikan secara kualitatif tentang pendapat atau tanggapan responden dan nara sumber, kemudian mendeskripsikannya secara lengkap dan mendetail aspek– aspek tertentu yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang selanjutnya dianalisis untuk mengungkapkan kebenaran dan memahami kebenaran tersebut.14

Sistematika penulisan skripsi ini di bagi dalam beberapa tahapan yang disebut dengan Bab, dimana masing-masing bab diuraikan masalahnya tersendiri, namun

G. Sistematika Penulisan

14

. Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Jakarta (1982): Ghalia Indonesia, halaman 93.


(30)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

masih dalam konteks yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Secara sistematis penulisan ini menempatkan materi pembahasan keseluruhannya ke dalam 5 (lima) bab yang terperinci sebagai berikut:

BAB I : Berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar yang di

dalamnya terurai mengenai latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah kemudian dilanjutkan dengan keaslian penulisan, tujuan penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, yang kemudian diakhiri dengan sistematika penulisan. BAB II : Merupakan bab yang membahas tentang pengaturan tindak pidana

dan hukumannya dalam qanun Provinsi NAD.

BAB III : Merupakan bab yang membahas tentang penerapan sanksi pidana cambuk menurut fikh jinayah,penerapan sanksi pidana cambuk menurut qanun propinsi NAD.

BAB IV : Merupakan bab yang membahas tentang penerapan sanksi pidana cambuk, tingkat tindak pidana perjudian dan asusila sebelum penerapan Syariat Islam di propinsi NAD, tingkat pelanggaran qanun setelah penerapan qanun di bidang Syariat Islam propinsi NAD,dan efektifitas penerapan sanksi pidana cambuk terhadap pelanggaran qanun propinsi NAD di bidang Syariat Islam.

BAB V : Bab ini berisikan kesimpulan dari bab-bab yang telah di bahas sebelumnya dan saran-saran.


(31)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

BAB II

PERBUATAN PIDANA DAN HUKUMANNYA DALAM QANUN PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

A. Perbuatan Jinayah di Bidang Khalwat (mesum)

Menurut bahasa, istilah Khalwat berasak dari Khulwah dari akar kata khala yang berarti “sunyi” atau “sepi”. Sedangkan menurut istilah, khalwat adalah keadaan seorang yang menyendiri dan jauh dari pendangan orang lain. Dalam pemakaiannya, istilah ini berkonotasi ganda, positif dan negatif. dalam makna positif, khalwat adalah menarik diri dari keramaian dan menyepi untuk mendekatkan kepada Allah. Sedangkan dalam arti negatif, khalwat berarti perbuatan berdua–duaan di tempat yang sunyi atau terhindar dari pandangan orang lain antara seorang pria dan seorang wanita yang bukan muhrim dan tidak terikat perkawinan. Makna khalwat yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah makna yang kedua.15

Islam telah mengatur etika pergaulan muda mudi dengan baik. Cinta dan kasih sayang laki–laki dan perempuan adalah fitrah manusia yang merupakan karunia Allah. Untuk menghalalkan hubungan laki – laki dan perempuan, Islam menyediakan

15

. Al Yasa’ Abubakar & Sulaiman M. Hasan, Perbuatan Pidana Dan Hukumannya Dalam


(32)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

lembaga perkawinan. Tujuan utama agar hubungan laki – laki dan perempuan diikat dengan tali perkawinan adalah untuk menjaga dan memurnikan garis keturunan (nasab) dari anak yang lahir dari hubungan suami isteri. Kejelasan ini penting untuk melindungi masa depan anak yang dilahirkan tersebut.

Larang khalwat adalah pencegahan dini bagi perbuatan zina. Larangan ini berbeda dengan beberapa jarimah lain yang langsung kepada zat perbuatan itu sendiri, seperti larangan mencuri, minum khamar dan maisir. Larangan zina justru dimulai dari tindakan–tindakan yang mengarah kepada zina. Hal ini mengindikasikan betapa Islam sangat memperhatikan kemurnian nasab seorang anak manusia.

Dalam beberapa hadist, Nabi menunjukan batas–batas pergaulan antara laki– laki dan perempuan yang bukan muhrimnya, seperti:

1. Nabi melarang seorang perempuan berhubungan dengan laki–laki yang bukan muhrimnya tanpa ditemani oleh muhrim si wanita.

2. Nabi melarang khalwat dengan wanita yang sudah dipinang, meski Islam membolehkan laki-laki memandang perempuan yang dipinangnya untuk meyakinkan dan memantapkan hatinya.

3. Nabi melarang seorang laki–laki masuk kerumah wanita yang tidak bersama muhrimnya atau orang lainnya.

4. Nabi melarang wanita bepergian tanpa ditemani muhrimnya.

Akan tetapi nilai–nilai etika yang ditawarkan Islam tersebut, dizaman modern ini mendapatkan tantangan yang serius dari budaya sekuler, yang serba permisif yang pada umumnya datang dari barat. Budaya sekuler adalah budaya yang lahir dari aliran filsafat sekulerisme yang memisahkan nilai–nilai agama dengan nilai–nilai duniawi. Menurut aliran ini, agama tidak boleh dicampuradukan dengan urusan dunia. Manusia


(33)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

bebas sebebas–bebasnya menentukan urusan dunianya. Termaksud dalam hal hubungan laki–laki dan perempuan.

Dalam budaya masyarakat barat, hubungan antara laki–laki dan perempuan tidak mesti diikat dengan tali perkawinan. Seorang laki–laki dan perempuan dapat hidup bersama tanpa ikatan perkawinan, bahkan sampai siperempuan melahirkan anak. Akibat dari cara berpikir seperti ini, maka dibarat berkembang berbagai macam pemikiran yang mendukung kebebasan sebagaimana digambarkan diatas. Gerakan emansipasi wanita adalah salah satu hasil dari cara berpikir ini.

Meski budaya barat nyata–nyata bertentangan dengan budaya Islam, tetapi dalam kenyataan, budaya barat ini berkembang dengan baik di negara–negara timur yang pada umumnya religius, tak terkecuali dunia Islam, perkembangan budaya barat di dunia Islam juga dipengaruhi oleh sistem politik, kepengikutan itu juga akhirnya merembes ke wilayah–wilayah lain, seperti wilayah Sosial, Budaya, Hukum, dan sebagainya. Dalam budaya hukum, khususnya yang diterapkan di Indonesia, menganut sepenuhnya sistem hukum barat yang melegalkan pergaulan bebas yang disebut Islam sebagai perzinahan. Akibatnya, dalam bidang budaya, masyarakat Indonesia modren, juga akrab dengan produk budaya–budaya barat yang mendukung pergaulan bebas seperti pacaran (dating), tunangan, freesex, summon liven (kumpul kebo), dan sebagainya.16

Khalwat menurut Qanun No. 14 tahun 2004 Bab I Pasal I point 20 adalah “Khalwat/ mesum adalah perbuatan bersunyi–sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan”.17

16

. Al-yasa Abubakar & Marah Halim, Hukum Pidana Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,Banda Aceh,Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,halaman 80 s.d 82.

17

. Himpunan Undang – Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/ Qanun, Instruksi

Gubernur,Edaran Gubernur, Berkaitan Pelaksanaan Syari’at Islam, edisi V, (Banda Aceh, Dinas Syariat Islam Provinsi NAD,2006), halaman 226.


(34)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

Khalwat dilarang dalam Islam karena perbuatan ini bisa menjerumuskan orang

kepada zina, yakni hubungan intim di luar perkawinan yang sah. Larangan mendekati zina terdapat dalam surat Al-Isra’ayat 32:

Dan janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji dan seburuk-buruknya cara.18

Adapun yang dimaksud perempuan yang mendatangkan syahwat adalah manusia yang hidup dan berkelamin perempuan, baik masih kecil maupun sudah Sedangkan menurut para ulama nenberikan pengertian zina dengan susunan kalimat yang berbeda–beda, namun pada prinsipnya sama. Salah satu pengertian yang diberikan ialah:

“(zina ialah) memasukan alat kelamin laki–laki kedalam alat kelamin perempuan (dalam persetubuhab) yang haram menurut zat perbuatannya, bukan karena subhat dan perempuan tersebut mendatangkan syahwat”.

Persetubuhan yang haram menurut zat perbuatannya yang dimaksud dalam pengertian diatas adalah bercampur dengan perempuan yang bukan isterinya dan bukan pula budaknya. Dengan demikian persetubuhan antara suami isteri, tidak termaksud zina, walaupun dilakukan pada waktu yang diharamkan, seperti dalam keadaan haid, pada siang hari bulan puasa, atau sedang ihram. Dalam waktu tersebut persetubuhan antara suami isteri hukumnya adalah haram, tetapi disini bukan lantaran zat perbuatannya, melainkan karena ada sebab lain. Oleh karena itu tidak termaksud dalam kategori zina, walaupun pelakunya berdosa.

18


(35)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

dewasa. Dengan demikian tidak termaksud kategori zina, persetubuhan dengan mayat atau dengan binatang, walaupun hukumnya tetap haram.19

(6) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4, diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa dicambuk paling banyak 9 (sembilan) kali Dalam pelaksanaan Syariat Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, masalah khalwat di atur dalam Qanun Nomor 14 Tahun 2003 yang di atur bersamaan dengan Qanun Khamar (minuman keras dan sejenisnya) dan Maisir (perjudian). Adapun ketentuan – ketentuan materil tentang larangan khalwat yang diatur dalam Qanun No. 14 Tahun 2003 adalah sebagai berikut:

Pasal 4

Khalwat/ mesum hukumnya haram.

Pasal 5

Setiap orang dilarang melakukan khalwat/ mesum. Pasal 6

Setiap orang atau kelompok masyarakat atau aparatur pemerintahan dan badan usaha dilarang memberikan fasilitas kemudahan dan/atau melindungi orang yang melakukan

khalwat/mesum.

Pasal 7

Setiap orang, baik sendiri maupun kelompok berkewajiban mencegah terjadinya perbuatan khalwat/ mesum.

Adapun ancaman hukuman terhadap pelanggaran Qanun ini adalah sebagai berikut :

Pasal 22:

19

. M. Amrullah, Pelajaran Fiqih Madrasah Aliyah Kelas II, Caturwulan 1,2,3, (Bandung, CV,Armico, 1995), halaman 152.


(36)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

dan paling sedikit 3 (tiga) kali dan/atau denda paling banyak Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupuah), paling sedikit Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah).

(7) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagai mana dimaksud dalam pasal 5 diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa kurungan.

(1) Paling lama 6 (enam) bulan, paling singkat 2 (dua) bulan dan/ atau denda paling banyak Rp. 15. 000.000,- (lima belas juta rupiah), paling sedikit Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah).

(2) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan 6 adalah jarimah ta’zir.

Penjelasan Pasal 22 Ayat (1 dan 2)

Yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang islam yang berada di Nanggroe Aceh Darussalam.

Pasal 24

Pengulangan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaiman dimaksud dalam pasal 22,

‘uqubat dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari ‘uqubat maksimal.

Pasal 25

Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan 6:

a. apabila dilakukan oleh badan hukum/ badan usaha , maka ‘ukubatnya dijatuhkan kepada penanggung jawab.

b. apabila ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain sanksi ‘uqubat sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 22 ayat (1) dan (2), dapat juga dikenakan ‘uqubat administratif dengan mencabut dan membatalkan izin usaha yang telah diberikan.


(37)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

Dari penjelasan di atas, maka unsur–unsur pidana dari tindak pidana khalwat, selain yang termaksud unsur pidana yang berlaku umum dalam pidana Islam di atas adanya nash yang melarang, melakukan sesuatu yang dilarang (perbuatan melawan hukum, dan pelakunya mukalaf), maka terdapat pula unsur -unsur yang khusus terdapat pada jarimah khalwat, yaitu:

1. perbuatan bersunyi – sunyi;

2. dilakukan oleh pria dan wanita yang bukan muhrim;20

Maisir berasal dari kata yasara atau yusr yang artinya mudah, atau dari kata yasar yang berarti kekayaan. Maisir atau perjudian adalah suatu bentuk permainan

yang mengandung unsur taruhan dan orang yang menang dalam permainan itu berhak mendapatkan taruhan tersebut. Seperti halnya khamar, maka maisir juga merupakan suatu budaya jelek peradaban manusia sejak dulu. Jika khamar adalah minuman yang bertujuan bersenang – senang, maka maisir adalah permainan yang sesungguhya juga bertujuan mendapat kesenangan dan keuntungan tanpa bersusah payah.

B. Perbuatan Jinayah di Bidang Maisir (Perjudian)

21

“Kegiatan dan/ atau perbuatan yang bersifat taruhan antara dua pihak yang menang mendapatkan bayaran”

Menurut pasal I Bab I Qanun Nomor 13 Tahun 2003, Maisir (Perjudian) adalah:

22

1. Secara Ekonomis, Maisir dapat mengakibatkan kemiskinan, sebab jarang terjadi seseorang terus–terusan menang, yang paling banyak justru kekalahan.

Maisir dilarang oleh Islam karena beberapa alasan:

20

. Al Yasa’ Abubakar & Sulaiman M. Hasan, Perbuatan Pidana Dan Hukumannya Dalam

Qanun Provinsi NAD, Halaman 47 s.d 51.

21

. Ibid, Al Yasa’ Abubakar & Sulaiman M. Hasan, Perbuatan Pidana Dan Hukumannya Dalam Qanun Provinsi NAD, Halaman 40.


(38)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

2. Secara Psikologis, sebagai mana disebut dalam Al-quran, perjudian bisa menumbuhkan permusuhan, kebencian, sikap ria, takabbur, sombong , dan sebagainya dipihak yang menang. Pihak yang kalah dapat terkena stress, depresi bahkan bunuh diri. Hal ini sesuai dengan pernyataan dalam Al-Quran surat al-maidah ayat 91:

Sesungguhnya syaitan itu hendak bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).23

3. Secara Sosiologis, perjudian dapat merusak sendi–sendi kekeluargaan yang merupakan inti masyarakat. Perjudian dapat menyebabkan masalah sosial seperti perceraian, pertengkaran bahkan bisa mengarah ke tindak kriminal seperti pembunuhan dan sebagainya.

Dalam pelaksanaan Syariat Islam di NAD, masalah Maisir diatur dengan Qanun Propinsi NAD Nomor 13 tahun 2003. Qanun ini disahkan bersamaan dengan Qanun tentang khamar (minuman keras dan sejenisnya) dan Qanun tentang Khalwat (mesum). Adapun ketentuan - ketentuan materil tentang larangan Maisir tersebut adalah sebagai berikut:24

Pasal 6 Pasal 4

Maisir hukumnya haram.

Pasal 5

Setiap orang dilarang melakukan perbuatan Maisir.

23

. Al – Quran Surat Al-Maidah Ayat 91

24

. Al Yasa’ Abubakar & Sulaiman M. Hasan, Perbuatan Pidana Dan Hukumannya Dalam


(39)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

(1) Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha dilarang menyelenggarakan dan/ atau memberikan fasilitas kepada orang yang akan melakukan perbuatan

Maisir;

(2) Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha dilarang menjadi pelindung terhadap perbuatan Maisir.

Pasal 7

Instalasi pemerintah dilarang memberi izin usaha penyelenggaraan Maisir.

Penjelasan Pasal 7

Yang dimaksud dengan izin usaha termaksud izin untuk menyelenggarakan keramaian, pameran, pertunjukan dan lain – lain.

Pasal 8

Setiap orang atau kelompok atau Institusi masyarakat berkewajiban mencegah terjadinya perbuatan Maisir.25

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagai mana dimaksud dalam pasal 5, diancam dengan ‘uqubat cambuk didepan umum paling banyak 12 (dua belas) dan paling sedikit 6 (enam) kali.

Adapun yang menjadi ancaman pidana terhadap perbuatan Maisir adalah sebagai berikut:

Pasal 23

(2) Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha Non-instansi pemerintah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan 7, diancam dengan:

25

. Himpunan Undang – undang, keputusan presiden, peraturan daerah/ Qanun, instruksi presiden, edaran gubernur, berkaitan pelaksanaan syariat Islam, Dinas Syariat Islam Provinsi NAD,2006, halaman 207.Op. Cit


(40)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

(1) ‘uqubat atau denda paling banyak Rp. 35.000.000,-(tiga puluh lima

juta rupiah), paling sedikit Rp. 15.000.000,-(lima belas juta rupiah). (2) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5,6,

dan 7 adalah jarimah ta’jir.

Penjelasan Pasal 23 Ayat 1

Yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang Islam.

Ayat 2

Yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang yang berada di Nanggroe Aceh Darussalam.

Pasal 26

Pengulangan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, 6, dan 7 ‘uqubatnya dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari ‘uqubat maksimal.

Pasal 27

Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6:

a. apabila dilakukan oleh badan hukum / usaha, maka ‘uqubatnya dijatuhkan kepada penanggung jawab.

b. Apabila ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain sanksi


(41)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

dikenakan ‘uqubat administratif dengan mencabut dan membatalkan izin usaha yang telah diberikan.26

Qanun ini mendefenisikan Maisir sebagai ”kegiatan dan/ atau perbuatan yang bersifat taruhan antara dua belah pihak atau lebih dimana pihak yang menang mendapatkan bayaran.”27

1. Perbuatan bertaruh untuk mendapatkan keuntungan;

Dari defenisi ini, unsur–unsur perbuatan pidana, selain unsur–unsur yang berlaku umum (ada nash yang melarangnya, melakuakan perbuatan yang dilarang/ melawan hukum, dan pelakunya mukallaf), yang disematkan kepada

Maisir sehingga layak disebut sebagai perbuatan pidana, ada unsur lainnya yaitu:

2. Dilakukan dua pihak atau lebih;

Perbuatan bertaruh adalah unsur utama dari judi. Unsur ini memiliki cakupan yang sangat luas, sebab semua jenis kegiatan yang mempertaruhkan apa saja demi memperoleh keuntungan dapat dijerat dengan ketentuan ini. Selain dengan jenis–jenis lain yang dikemukakan di atas, maka jenis–jenis lain pun sepanjang mengandung unsur bertaruh dapat dimasukan kedalam kategori judi.

Unsur kedua dari judi dalam defenisi diatas adalah dilakukan oleh dua pihak atau lebih. Dalam praktiknya, memamg ada judi yang dilakukan dua pihak saja dan ada juga yang lebih dari dua pihak. Dalam permainan kartu joker misalnya, yang dapat terlibat bisa lebih dari dua orang, dimana satu orang akan keluar sebagai pemenang. Selain itu, judi yang dilakukan oleh lebih dari dua pihak adalah permainan judi dengan memakai bandar. Cara seperti ini seperti yang dilakukan dikasino–kasino.

26

.Ibid. Himpunan Undang – undang, keputusan presiden, peraturan daerah/ Qanun, instruksi presiden, edaran gubernur, berkaitan pelaksanaan syariat Islam, Dinas Syariat Islam Provinsi NAD,2006, halaman 211.

27

. Qanun Provinsi NAD Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (perjudian), Bab I, Pasal 1 angka 20.


(42)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

Dalam hal ini, meski para penjudi duduk berhadap–hadapan, yang menjadi lawan sesungguhnya adalah bandar judinya.

Berbeda dengan khamar yang tergolong jarimah hudud, yaitu perbuatan pidana yang sudah ditetapkan jumlah hukumannya oleh nash, maka Maisir tergolong

jarimah ta’jir, sebab ketentuan hukumnya tidak ditetapkan oleh nash, karena itu, ia

diserahkan kepada ketentuan Pemerintah.

C. Pelanggaran Qanun Di Bidang Khamar ( Minuman Keras Dan Sejenisnnya)

Secara lughawi (bahasa), istilah khamar berasal dari kata al-khamr, yang artinya menutupi, khamar adalah sejenis minuman yang memabukan (menutupi kesehatan akal).

Khamar menurut Qanun no. 12 Tahun 2003 Bab I pasal I adalah “ minuman

yang memabukkan apabila dikonsumsi dapat menyebabkan terganggu kesehatan, kesadaran dan daya fikir.

Karena salah satu maqashid syari’ah adalah menjaga akal , maka syariat Islam sangat tegas melarangnya. Larangan khamar terdapat secara sharih dalam Al-quran dan hadist.

Diantaranya yaitu terdapat dalam Al-quran surat al-maidah (5):90:

Hai orang–orang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi, berkurban untuk berhala, mengundi nasib dengan anak panah, itu adalah perbuatan keji, termaksud perbuatan setan, maka jauhilah agar kamu mendapat keberuntungan.


(43)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

Hadist shahih yang memperkuat larangan ini ada beberapa, diantaranya hadist yang dikeluarkan Imam Bukhari dalam kitab Al Asyrubah.

Setiap minuman yang memabukan adalah haram. ( H.R Imam Malik bersumber dari

’Aisyah r.a )

Akal adalah unsur terpenting yang terdapat dalam tubuh manusia. Ia adalah daya atau kekuatan yang dianugrahkan oleh Allah SWT kepada manusia sebagai alat berfikir dan alat untuk mempertimbangkan baik buruknya sesuatu; dan ia adalah salah satu dari dua potensi yang diberikan kepada manusia selain nafsu. Keduanya akal dan nafsu adalah potensi ruhaniah yang bersumber dari Allah yang di tempatkan kedalam jasmani manusia. Akal pula yang membedakan manusia dengan hewan. Karena itu, menjaga kesehatan akal menjadi kebutuhan dharuri (mutlak) bagi manusia.

Para ahli fiqh berbeda pola dalam mendefenisikan khamar. Menurut Imam Hanafi, khamar khusus kepada minuman yang terbuat dari benda–benda yang disebutkan dalam hadist nabi seperti anggur, kurma, gandum, madu dan beberapa yang lain. Menurutnya khamar dan memabukan itu sesuatu yang berbeda. Jadi, benda lain yang diminum, walaupun memabukan, menurut Imam Hanafi tidak termaksud

khamar dan tidak haram, sebaliknya tiga Imam yang lain, Imam Malik, Syafi’I, dan

Hambali, menyatakan bahwa setiap minuman yang memabukan adalah haram tanpa terkecuali. Pendapat yang mayoritas diikuti dunia Islam adalah pendapat yang kedua ini.

Perbedaan dalam mendefenisikan khamar adalah perbedaan dalam melihat

‘illat hukumnya. ‘Illat adalah unsur utama yang dijadikan patokan dalam menetapkan

hukum sesuatu. Menurut Imam Hanafi, ‘illatnya adalah jenis bahan bakunya, yaitu anggur. Sedangkan bagi Imam Malik, Syafi’I, dan Hambali, ‘illat hukumnya adalah


(44)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

sifat memabukan dari suatu minuman, karena itu jika ‘illat ini yang dipegang, maka semua jenis minuman yang memabukkan termaksud khamar dan haram hukumnya.

Tampaknya memang pendapat terakhirnlah yang paling banyak dianut dalam dunia Islam, sebab dizaman modern ini, jenis – jenis minuman yang memabukan berbagai macam model dan jenisnya. Ia juga dapat diolah dari berbagai macam bahan baku selain yang disebutkan nabi. Bahkan dengan kemajuan teknologi, benda yang memabukan bukan lagi berupa minuman, tetapi bisa dalam bentuk dihisap, disuntik, dimakan, dan sebagainya yang membuat pelakunya lebih mabuk dari pada mengkonsumsi benda memabukan dalam bentuk minuman. Bentuk terakhir saat ini populer dengan istilah Narkoba (narkotika dan obat–obatan terlarang). Yang termaksud obat-obat terlarang adalah heroin, kokain, shabu, putau dan sebagainya, yang pada umumnya benda–benda tersebut digunakan untuk kebutuhan farmasi dan kebutuhan medis.

Islam melarang khamar karena efek negatifnya yang multi-aspek, seperti aspek sosial, budaya, ekonomi, hukum, psikis dan lain–lain. Secara sosial, budaya minum–minuman keras dapat melahirkan prilaku–prilaku yang kasar dan anti sosial; secara budaya, dalam masyarakat akan tumbuh menjadi masyarakat yang tidak kreatif, produktif, inovatif, dan sebagainya, sebab budaya mabuk menyebabkan orang malas, boros, dan lainnya.

Secara Ekonomi, budaya minum–minuman keras menggrogoti pendapatan dan pengeluaran, sebab anggaran belanja yang seharusnya dipergunakan untuk hal–hal yang bermanfaat telah terkuras untuk membeli khamar, secara hukum, jika budaya

khamar subur dimasyarakat, maka berbagai kasus kriminalitas kelas berat dapat

terjadi seperti pembunuhan, pemerkosaaan, perkelahian, penganiayaan, dan sebagainya, yang ujung–ujungnya menjadi urusan aparat penegak hukum. Dan secara


(45)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

psikis, banyak pemabuk yang ketagihan akan prustasi, depresi dan gejala mental lainnya akibat kebiasaan buruknya bertentangan dengan norma–norma sosial.28

(1) Setiap orang atau badan hukum/ badan usaha dilarang memproduksi, menyediakan, menjual, memasukan, mengedarkan, mengangkut, menimbun, memperdagangkan,menghadiahkan, dan mempromosikan minuman khamar dan sejenisnya;

Dalam pelaksanaan Syariat Islam di NAD, masalah khamar diatur dalam Qanun Propinsi nomor 12 tahun 2003. qanun ini disahkan bersamaan dengan qanun tentang Maisir (perjudian) dan qanun tentang khalwat (mesum). Adapun ketentuan– ketentuan materil tentang larangan khamar tersebut adalah sebagai berikut:

Pasal 4

Minuman khamar dan sejenisnya hukumnya haram. Pasal 5

Setiap orang dilarang mengkonsumsi minuman khamar dan sejenisnya. Pasal 6

(2) Setiap orang atau badan hukum dilarang turut serta/ membantu memproduksi, menyediakan, menjual, memasukan, mengedarkan, mengangkut, menyimpan, menimbun, memperdagangkan, dan memproduksi minuman khamar dan sejenisnya.

Pasal 7

28

. Al Yasa’ Abubakar, Marah Halim, Hukum Pidana Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam, (Banda Aceh, Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2006), halaman


(46)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

Larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 berlaku juga bagi badan hukum dan atau badan usaha yang dimodali atau mempekerjakan tenaga asing.

Pasal 8

Instansi yang berwenang menerbitkan usaha hotel, penginapan, losmen, wisma, bar, restoran, warung kopi, rumah makan, kedai, kios dan tempat–tempat lain, dilarang melegalisasikan penyediaan minuman khamar dan sejenisnya.

Pasal 9

Setiap orang/ institusi masyarakat berkewajiban mencegah perbuatan minuman

khamar dan sejenisnya.

Adapun ancaman hukuman terhadap pelanggar Qanun ini adalah sebagai berikut:

Pasal 26

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, diancam dengan ‘uqubat hudud 40 (empat puluh) kali cambuk.

(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 sampai pasal 8 diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa kurungan paling lama 1 (satu) tahun, paling sedikit 3 (tiga) bulan dan/ atau denda paling banyak Rp. 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah), paling sedikit Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah).

(3) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 adalah

jarimah hudud.

(4) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 sampai pasal 8 adalah jarimah ta’zir.

Penjelasan pasal 26 Ayat (1)


(1)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

pemikiran dan peran serta dari pada masyarakat dan tokoh–tokoh masyarakat Kota Banda Aceh sendiri secara luas.

2. Selain dari pada pembentukan sarana dan prasarana serta pengawasan terhadap masyarakat dalam rangka pelaksanaan Syariat Islam di NAD, sangatlah perlu untuk memberikan pemahaman dan pengetahuan kepada masyarakat tentang pentingnya penerapan Syariat dalam kehidupan mereka sehari–hari, agar timbul kesadaran dalam diri setiap masyarakat Aceh untuk menjalankan dan mengamalkan ajaran Islam secara kaffah.

3. Karena masih minimnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang Syariat Islam, maka sangat dibutuhkan tenaga–tenaga penyuluh untuk memberikan penyuluhan tentang pelaksanaan Syariat Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

4. Selain dari pada pembentukan kesadaran didalam diri tiap masyarakat, untuk melaksanakan Syariat Islam diperlukan jaga adanya sistem dan pelaksanaan sistem yang kuat dan kokoh untuk melaksanakan dan mengawasi jalannya Syariat Islam secara kaffah di Propinsi NAD.

5. Perlu dengan segera dibentuknya kitab undang–undang hukum acara pidana bagi pelaksanaan Syariat Islam di NAD, khususnya dibidang jinayah (pidana), agar tidak terjadinya tumpang tindih antara peraturan pidana yang telah dibentuk dengan hukum acaranya sendiri yang sampai saat ini masih menggunakan kitab undang–undang hukum acara pidana nasional.

6. Perlu dengan segeranya dibentuk peraturan–peraturan lain yang belum ada dan penyempurnaan kembali qanun–qanun yang telah ada untuk tercapainya penerapan Syariat Islam secara kaffah di Kota Banda Aceh khususnya dan di Propinsi NAD pada umumnya.


(2)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

7. Serta perlunya penegakan Syariat didalam pelaksanaan Syariat Islam di NAD, karena adanya unsur ketidakadilan dan kesamarataan. Hal ini dapat dilihat pada pasal–pasal yang mengatur uqubat cambuk yaitu penggunaan kata di

hukum cambuk dan atau denda. Hal ini menunjukan berarti penegakan Syariat

Islam hanya dirasakan oleh pelaku pelanggarsn qanun tingkat rendah (rakyat jelata), sedangkan para pelaku pelanggaran qanun tingkat tinggi dapat memilih dan atau menentukan hukuman apa yang dijatuhkan bagi mereka, seperti hanya hukuman denda.


(3)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

DAFTAR PUSTAKA I. BUKU

Departemen Agama RI, Al-Jumanatul ‘Ali, Al-Quran dan Terjemahannya, Jakarta, Perbit J-ART, 2005.

Soesilo R, Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP), Bogor, Politeia, 1980. Munajat Makhrus, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Jogjakarta, Logung Pustaka,

2004.

Muhammad Ali Rusdji, Revitalisasi Syari’at Islam Di Aceh Problem, Solusi, Dan

Implementasi, menuju pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalan. Banda Aceh, Logos Wacana Ilmu, 2003.

Mubarok Jaih, Faizal Enceng Arif, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas – asas Hukum Pidana

Islam), Bandung, Pustaka Bani Quraisy,2004

Santoso Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam, Penegakan Syariat dalam wacana

dan Agenda, Jakarta, Gema Insani,2003

Amrullah Mohammad, Pelajaran Fiqih Madrasah Aliyah Kelas II, Bandung, Armica, 1995.

Muslich Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), Jakarta,Sinar Grafika 2004.

Abubakar Al Yasa’, Syari’at Islam di Provinsi Namggroe Aceh Darussalam

Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, Banda Aceh, Dinas

Syariat Islam Proninsi NAD. 2005.

Abubakar Al Yasa’, Sulaiman M. Hasan, Perbuatan Pidana Dan Hukumannya Dalam

Qanun Provinsi NAD, Banda Aceh, Dinas Syariat Islam Povinsi NAD,2006.

Abubakar Al Yasa’, Halim Marah, Hukum Pidana Islam di Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam, Banda Aceh, Dinas Syariat Islam Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam, 2006.

Syahrin Alvi, Ilmu Hukum Pidana Dan Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana


(4)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

Abubakar Al Yasa’, Sekilas Syariat Islam Di Aceh, Banda Aceh, Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Ali Zainuddin, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum Islam Indanesia), Jakarta, Sinar Grafika, 2006.

Rosyadi Rahmat & Ahmad Rais M., Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektih Tata

Hukum Indonesia, Bogor, Ghalia Indonesia, 2006.

Suma Amin M, Pidana Islam Di Indonesia Peluang, Prospek dan Tantangan, Pejaten Barat, Pustaka Firdaus, 2001.

Djazuli A, Fiqh Jinayah ( Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), Jakarta,

Raja Grafindo Persada, 2000.

Makarao Taufik M, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Jokjakarta, Kreasi Wacana, 2005.

Prasetyo Teguh, Politik Hukum PIdana, Kajian Kebijakan Kriminalisasi, Jokjakarta, Pustaka Pelajar, 2005.

Abubakar Al Yasa’, Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam (Pendukung qanun

Pelaksanaan Syariat Islam), Banda Aceh, Dinas syariat Islam Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam, 2005.

Mulyadi, Dasar – Dasar Penulisan Ilmiah, Medan, USU Press, 2004.

Santoso Topo, Menggagas Hukum Pidana Islam (Penerapan Syariat Islam dalam

konteks moderenitas), Bandung, Asy Syaamil, 2000.

Ramulyo Idris, Asas – Asas Hukum Islam, sejarah timbul dan berkembangnya

kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Islam Indonesia,

Jakarta, Sinar Grafika, 1995.

II. MAKALAH DAN UNDANG – UNDANG 1. MAKALAH

Ahmad Fuad Fanani, Jihad Memperjuangkan Penerapan Syari’at

Islam:Pandangan Tokoh-tokoh Pesantren di Jawa Barat.

Teguh Darmawanto, “ Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelaku Pelanggaran Syariat

Islam Di Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah Nanggroe Aceh Darussalam” (Skripsi yang diterbitkan Fakultas Hukum


(5)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

2. UNDANG – UNDANG

Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Himpunan Undang –

Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah / qanun, Instruksi Gubernur, Edaran Gubernur, Berkaitan Pelaksanaan Syariat Islam, Banda Aceh, , 2006

Undang – Undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam.

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar Dan sejenisnya.

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Maisir (perjudian).

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (mesum).

Peraturan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Petunjuk teknis pelaksanaan Uqubat Cambuk.

Instruksi Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No 04/INSTR/2002 Tentang Larangan Judi (Maisir), Buntut, Taruhan dan Sejenisnya Yang Mengandung Unsur – Unsuar Perjudian Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.


(6)

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

USU Repository © 2009

Instruksi Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No 05/INSTR/2002 Tentang Tata Pergaulan/ Khalwat Antara Pria dan Wanita Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Surat Edaran Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 536/20976 Tentang Larangan Minuman Beralkohol (khamar).