Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan qishash, yang jumlahnya sangat banyak. Tentang jenis–jenis jarimah ta’zir ini Ibn Taimiyah mengemukakan :
Perbuatan–perbuatan yang tidak terkena hukuman had dan tidak pula kifarat, seperti mencium anak–anak dengan syahwat, mencium wanita lain yang
bukan istri, tidur satu ranjang tanpa persetubuhan, atau memakan barang yang tidak halal seperti darah dan bangkai...
Maka semuanya itu dikenakan hukuman ta’zir sebagai pembalasan dan pengajaran, dengan kadar hukuman yang ditetapkan oleh penguasa.
Tujuan diberikannya hak penentuan jarimah–jarimah ta’zir dan hukumannya kepada penguasa adalah agar mereka dapat mengatur masyarakat dan memelihara
kepentingan–kepentingannya, serta bisa menghadapi dengan sebaik–baiknya setiap keadaan yang bersifat mendadak.
Jarimah ta’zir disamping ada yang diserahkan penentuannya sepenuhnya kepada ulil amri, juga memang ada yang sudah ditetapkan oleh syara’, seperti riba
dan suap. Disamping itu juga termaksud kedalam kelompok ini, jarimah–jarimah yang sebenarnya sudah ditetapkan hukumannya oleh syara’ hudud akan tetapi
syarat–syarat untuk dilaksanakannya hukuman tersebut belum terpenuhi. Misalnya, pencurian yang tidak sampai selesai atau barang–barang yang dicuri kurang dari
nishab pencurian, yaitu seperempat dinar.
4. Pengertian Qanun
Istilah Qanun sudah digunakan sejak lama sekali dalam bahasa atau budaya Melayu. Kitab “Undang-Undang Melaka” yang disusun pada abad ke lima belas atau
keenambelas Masehi telah menggunakan istilah ini. Menurut Liaw Yock Fang, istilah
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
ini dalam budaya melayu digunakan semakna dengan adat dan biasanya dipakai untuk membedakan antara hukum yang tertera dalam adat dengan hukum yang tertera dalam
kitab fiqih. Kuat dugaan istilah qanun ini masuk dalam budaya melayu dan bahasa arab
karena mulai digunakan bersamaan dengan kehadiran agama Islam dan penggunaan bahasa Arab Melayu di Nusantara. Bermanfaat disebutkan dalam literatur Barat pun
istilah ini sudah lama digunakan, diantaranya menunjuk kepada hukum Kristen canon law yang sudah ada sejak sebelum zaman Islam.
Dalam bahasa Aceh istilah ini relatif populer dan tetap digunakan di tengah masyarakat, karena salah satu pepatah adat yang menjelaskan hubungan adat dan
syariat yang tetap hidup dan bahkan sangat sering dikutip menggunakan istilah ini. Dalam literatur Melayu Aceh pun qanun sudah digunakan sejak lama, dan diartikan
sebagai aturan yang berasal dari hukum Islam yang telah menjadi adat. Salah satu naskah tersebut berjudul Qanun Syara’ Kerajaan Aceh yang ditulis oleh Tengku di
Mulek pada tahun 1257 H atas perintah Sultan Alauddin Mansyur Syah yang wafat pada tahun 1870 M. Naskah pendek hanya beberapa halaman ini berbicara beberapa
aspek di bidang hukum tata negara, pembagian kekuasaan, badan peradilan dan kewenangan mengadili, fungsi kepolisian dan kejaksaan, serta aturan protokoler
dalam berbagai upacara kenegaraan. Dapat disimpulkan bahwa dalam arti sempit, qanun merupakan suatu aturan
yang dipertahankan dan diperlakukan oleh seorang Sultan dalam wilayah kekuasaannya yang bersumber pada hukum Islam. Sedangklan dalam arti luas, qanun
sama dengan istilah hukum atau adat. Didalam perkembangannya boleh juga disebutkan bahwa qanun merupakan suatu istilah untuk menjelaskan aturan yang
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
berlaku ditengah masyarakat yang merupakan penyesuaian dengan kondisi setempat atau penjelasan lebih lanjut atas ketentuan didalam fiqih yang ditetapkan oleh Sultan.
Sekarang ini, qanun digunakan sebagai istilah untuk “Peraturan Daerah plus” atau lebih tepatnya Peraturan Daerah yang menjadi peraturan pelaksana langsung
untuk Undang-Undang dalam rangka otonomi khusus di Propinsi NAD
10
Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksana Undang-Undang di wilayah Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus. . Hal ini
ditegaskan dalam pasal 1 angka 8 “ketentuan umum” dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2001. dalam Undang-Undang ini qanun dirumuskan sebagai:
11
Sejak dimulainya penyelenggaraan otonomi khusus berdasarkan UU No.18 Tahun 2001, sudah banyak qanun yang disahkan. menurut sumber dari sekretariat
DPRD Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sampai Agustus 2004 telah dihasilkan 49 qanun yang mengatur berbagai materi untuk merealisasikan kewenangan khusus
yang diserahkan Pemerintah kepada Pemerintah Propinsi NAD termaksud pelaksanaan Syariat Islam
12
a. Peraturan pelaksanaan untuk penyelenggaraan otonomi khusus yang
berkaitan dengan kewenangan pemerintah pusat akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pernyataan ini secara jelas memberikan arah bahkan
. Dari ketentuan diatas dapat ditarik empat kesimpulan:
10
. Al-yasa Abubakar Marah Halim, Hukum Pidana Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,Banda Aceh,Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,halaman 6 s.d 7
11
. Himpunan Undang – Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah Qanun, Instruksi Gubernur,Edaran Gubernur, Berkaitan Pelaksanaan Syari’at Islam, edisi V, Banda Aceh, Dinas Syariat
Islam Provinsi NAD,2006, halaman 19.
12
. Al-yasa Abubakar Marah Halim, Hukum Pidana Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Opcit, halaman 7.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
keyakinan bahwa untuk melaksanakan Otonomi Khusus perlu kepada peraturan pelaksanaan pada tingkat pusat, dalam hal ini peraturan
pemerintah. Kelihatannya pembuat Undang-Undang sejak awal sudah yakin bahwa otonomi khusus tidak akan dapat dijalankan sekiranya
peraturan pelaksananya hanya di buat di Aceh melalui qanun Propinsi. Karena hal tersebut, perlu di ulangi kembali, kehadiran Peraturan
Pemerintah amat sangat diperlukan. b.
Undang-Undang telah menetapkan Qanun Propinsi sebagai peraturan pelaksana untuk penyelenggaraan otonomi khusus yang menjadi
kewenagan Pemerintah Propinsi. Dalam pembuatan qanun ini, Pemerintah Propinsi tidak perlu menunggu peraturan pemerintah atau peraturan
lainnya dari Pemerintah pusat. Sedangkan dalam kutipan dari “penjelasan umum” di atas tadi, telah disebutkan bahwa Qanun adalah peraturan
daerah untuk melaksanakan otonomi khusus yang dapat mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain dengan
mengikuti asas lex specialis derogat lex generalis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa qanun adalah peraturan daerah yang setingkat dengan
Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan otonomi khusus di Aceh, atau paling kurang merupakan Peraturan Daerah “plus” karena dapat
melaksanakan Undang-Undang secara langsung dan juga karena merupakan Peraturan Daerah yang dapat mengenyampingkan peraturan
lain berdasar asas “peraturan khusus dapat mengenyampingkan peraturan umum”.
c. Qanun Propinsi yang dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 di atas
dinyatakan sebagai Peraturan Daerah untuk melaksanakan otonomi khusus
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
dalam pasal yang telah dikutip diatas secara tegas disebutkan sebagai Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dari penyebutan ini dan dari
fungsi yang diberikan kepada qanun, yaitu untuk melaksanakan otonomi khusus, maka qanun itu selayaknya hanya ada ditingkat propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, karena peraturan pada tingkat Propinsilah yang merupakan peraturan pelaksana dan penjelasan untuk Undang-Undang.
Sekiranya jalan pikiran ini diterima, maka penggunaan istilah ini oleh Kabupaten dan Kota dalam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk
produk daerah yang mereka buat menggunakan istilah qanun Kabupaten dan Kota, barangkali perlu penelitian dan pengkajian yang lebih dalam.
Lepas dari diskusi diatas, kuat dugaan untuk menghindarkan keraguan dan silang pendapat, Gubernur telah mengeluarkan keputusan No. 09 Tahun
2003 tanggal 03 April 2003 yang menyatakan bahwa semua peraturan daerah di Kabupaten Kota setelah kehadiran Undang-Undang No. 18
Tahun 2001 ini diberi nama Qanun Kabupaten atau Kota. Ketentuan ini dikuatkan lagi dalam Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 02
Tahun 2003 tentang Sususnan, Kedudukan dan kewenangan Kabupaten Kota dalam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang disahkan pada 15
Juli 2003, dalam pasal 1angka 8 secara jelas menyebutkan adanya istilah Qanun Kabupaten Kota. Lengkap isi pasal 1 angka 8 tersebut penulis
kutipkan sebagai berikut: Qanun Kabupaten atau Kota adalah Peraturan Daerah Kabupaten
atau Kota yang ditetapkan oleh Bupati atau Wali Kota dengan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten atau
Kota.
Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.
USU Repository © 2009
d. Berhubung Syariat Islam yang akan ditegakkan di Aceh bersifat kaffah,
sedang aparat penegak hukum semisal Hakim, Jaksa, Polisi, dan Pengacara yang menguasai Syariat Islam secara baik sempurna relatif sedikit sekali,
maka Syariat Islam yang akan dilaksanakan di Aceh akan dituangkan kedalam bentuk qanun terlebih dahulu. Dengan kata lain hukum positif
yang akan dilaksanakan di Aceh baik yang materil maupun yang formil terlebih dahulu akan dirumuskan dan dituangkan kedalam bentuk Qanun
Propinsi. Ketentuan ini telah dinyatakan dalam Qanun Nomor 10 Tahun 2002 yang berbunyi:
Pasal 53: Hukum materil yang akan digunakan dalam menyelesaikan perkara sebagaimana tersebut pada pasal 49
adalah yang bersumber dari atau sesuai dengan Syariat Islam yang akan diatur dengan Qanun. Pasal 54: Hukum formil yang
akan digunakan Mahkamah adalah yang bersumber dari atau sesuai dengan Syariat Islam yang akan diatur dalam Qanun.
F. Metode Penelitian a. Pendekatan Masalah
penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Penelitian yuridis normatif juga dinamakan penelitian hukum normatif atau
juga penelitian hukum doktrinal. Menurut soejono soekanto sebagaimana yang dikemukakan oleh Burhan
Ashshofa, bentuk penelitian normatif doktrinal ini dapat berupa:
1 Inventarisasi hukum positif;