Latar Belakang. Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Konflik dan pertentangan yang berlarut larut, seakan–akan tak putus–putusnya terjadi di Aceh yang disusul dengan tragedi demi tragedi. Sejak kemerdekaan tahun 1945, seperti dielaborasi Nazarrudin Syamsudin dalam kata “pengantarnya”nya yang mencatat tujuh perkembangan peradaban Aceh yang mengarah pada “penghancuran kebudayaan”. Setelah merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI yang dijalankan secara monumental oleh masyarakat Aceh tahun 1945, segera disusul oleh perang Cumbok tahun 1946 takala konflik fisik dan revolusi sosial berlangsung antara kaum uleebalang dan ulama, kemudian disusul dengan pristiwa DI TII sejak tahun 1953 sampai awal tahun 1960. Kemudian terjadi pemberontakan PKI dalam gerakan 30 september 1965. Demikian empat tahap pertama, tiga tahap selanjutnya justru terjadi pada masa orde baru. 1 Dengan istilah penghancuran kebudayaan terkesan ada subyek atau faktor di luar saja yang aktif, tapi masyarakat Aceh sendiri harus melakukan introspeksi atas ketahanan dirinya. Perbaikan nasib tidak mungkin hanya diharapkan dari belas Seandainya tulisan Nazarrudin Syamsudin tersebut diterbitkan beberapa bulan kemudian masih dalam tahun 2003, ia pasti akan memasukan lagi tahap penghancuran kebudayaan paling akhir di Aceh, yaitu penerapan keadaan Darurat Mililiter di Aceh sejak 19 Mei 2003. 1 Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh Problem, Solusi dan Implementasi, Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, Jakarta: Ar-Raniry Press, 2003, halaman 11. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 kasihan orang luar, kita sendiri harus bekerja keras memperbaiki diri. Harus diakui berbagai ikhtiar telah dilakukan untuk mencoba menyelesaikan permasalahan yang berlarut–larut itu. Upaya paling akhir yang dilakukan oleh pemerintah pusat adalah menawarkan otonomi khusus untuk daerah Aceh melalui Undang–Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh dan Undang–Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam NAD. Ada beberapa konsesi yang signifikan terhadap masyarakat Aceh disini. Salah satunya adalah peluang untuk melaksanakan Syariat Islam di Aceh meskipun tetap dalam kerangka hukum Nasional Indonesia. Peluang ini telah dicoba diaktualisasikan oleh masyarakat Aceh melalui PEMDA dan DPRDnya. Pemerintah Daerah melalui Gubernur dalam sebuah Upacara di Lapangan Blang Padang Banda Aceh telah mendeklarasikan pemberlakuan Syariat Islam secara kaffah di Aceh pada tanggal 1 Muharram 1423 H yang lalu. Gubernur Aceh telah membentuk Dinas Syariat Islam tingkat Propinsi yang diikuti Kabupaten–Kabupaten nantinya. DPRD Aceh telah pula mengeluarkan beberapa Perda dan beberapa Qanun sebagai landasan hukum pelaksanaannya. Mahkamah Agung pun turut mengambil peran dengan membentuk Mahkamah Syariah pada tanggal 1 Muharram 1424 H yang lalu sebagai ganti Pengadilan Agama. Akan tetapi solusi yang ditawarkan melalui upaya revitalisasi Syariat Islam di Aceh ini juga mengandung problema tersendiri secara teknis, yuridis maupun aplikasinya dilapangan. 2 Syariat Islam di Aceh pada pelaksanaannya selain mengatur tentang aqidah dan ibadah juga mengatur tentang jinayah atau pidana, untuk saat ini dalam hal pelaksanaan hukum jinayah belum semua diatur dalam qanun–qanun yang telah di 2 Ibid halaman 12. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 bentuk oleh DPRD NAD, saat ini baru bebarapa pidana tertentu yang diatur dalam qanun tersebut, diantaranya khalwat mesum, khamar meminum minuman keras, maisir judi dan pencurian. Untuk tindak pidana seperti ini selain dijatuhi sanksi pidana penjara dan denda, terdakwa juga dijatuhi sanksi pidana cambuk dimuka umum. Adapun yang menjadi pertanyaan, apa yang menjadi kelebihan dari sanksi pidana cambuk itu sendiri dibandingkan dengan sanksi pidana penjara atau sanksi pidana denda atau sanksi pidana yang lainnya yang selama ini telah di terapkan dalam KUHP Indonesia, dan bagaimana efektifitas sanksi pidana cambuk ini dalam penekanan pelanggaran qanun dibidang Syariat Islam yang terjadi di wilayah hukum kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sebagai prodak baru pada sistem hukum pidana Indonesia mampukah sanksi pidana cambuk membawa pembaharuaan pada dunia peradilan indonesia, Akan tetapi dengan penerapan Syariat Islam secara kaffah di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, muncul ketakutan dan kekhawatiran dari pihak-pihak tertentu, baik yang berasal dari luar kaum muslimin atau dari kaum muslimin sendiri. Ketakutan atau fobia terhadap Syariat Islam adalah hal yang terlalu dibesar-besarkan. Syariat Islam sama sekali tidak bertujuan untuk menyiksa manusia, bahkan menurut Islam binatang dan lingkungan pun tidak boleh di dzalimi. Tujuan Syariat Islam adalah untuk memelihara hak-hak manusia dan memberikan mereka perlindungan serta keselamatan atau kedamaian. Karena itu merasa takut terhadap Syariat Islam, apa lagi memusuhinya adalah sikap atau tindakan yang tidak beralasan. Meskipun dengan demikian ketentuan-ketentuan normatif semacam ini tentu saja harus diwujudkan dalam aktualisasinya dan ini tentu saja merupakan salah satu pekerjaan rumah umat Islam untuk membuktikan nya dalam kenyataan. Ferdiansyah : Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU Repository © 2009 Kekerasan dan penyelewengan hukum memang pernah terjadi dalam sejarah Islam, tetapi itu juga pernah terjadi dalam agama dan komunitas manapun di dunia ini, termaksud Yahudi, Kristen dan Barat. Demikian juga sebaliknya, sejarah menjadi saksi atas kesuksesan Syariat Islam menciptakan masyarakat yang makmur serta sejahtera serta penegakan hukum yang adil secara mengagumkan. Oleh karena itu, jika kita mau bersikap objektif, dan terbuka maka jangan hanya sisi gelap sejarah Islam yang dilihat, tetapi juga sisi cemerlangnya, agar tidak terjadinya salah paham bahkan timbulnya pemikiran yang menyimpang terhadap Syariat Islam, terutama terhadap penerapan sanki pidana cambuk. untuk menjawab hal tersebut maka dari itu penulis merasa perlu untuk mengangkat judul “EFEKTIFITAS PENERAPAN SANKSI PIDANA CAMBUK TERHADAP PELANGGARAN QANUN DI BIDANG SYARIAT ISLAM DI WILAYAH HUKUM KOTA MADYA BANDA ACEH PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM .“

B. Permasalahan.