Pengaturan dan Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika di Indonesia

gejala normatif yang diperhatikan ai aspek secara mendalam dan terinte nnya. asyarakat Indonesia yang sejahtera tersebut perlu peningkatan secara terus me t yang sangat merugikan perorangan maupun masyara dapat dianalisis dari berbag gral antara aspek yang satu dengan yang lai

BAB II NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA

A. Pengaturan dan Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika di Indonesia

Pembangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, tertib dan damai berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan m nerus usahausaha di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan termasuk ketersediaan narkotika sebagai obat, disamping untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Meskipun narkotika sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan, namun apabila disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran narkotika secara gelap akan menimbulkan akiba kat khususnya generasi muda, bahkan dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008 Peningkatan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sangat diperlukan, karena k ilakukan dengan menggu ejahatan narkotika pada umumnya tidak dilakukan oleh perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisasi secara mantap, rapih, dan sangat rahasia. Bahwa itu, kejahatan narkotika yang bersifat transnasional d nakan modus operandi dan teknologi canggih, termasuk pengamanan hasil- hasil kejahatan narkotika. Perkemb angan kualitas kejahatan narkotika tersebut sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan umat manusia. Untuk lebih meningkatkan pengendalian dan pengawasan serta meningkatkan upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, diperlukan pengaturan dalam bentuk undang-undang baru yang berasaskan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, manfaat, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam perikehidupan, hukum, serta ilmu pengetahuan dan teknologi, dan dengan mengingat ketentuan baru dalam Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika Tahun 1988 yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika. Dengan demikian, undang-undang narkotika yang baru diharapkan lebih efektif mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, termasuk untuk Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008 menghindarkan wilayah Negara Republik Indonesia dijadikan ajang transito maupun sasaran peredaran gelap narkotika. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, dipandang perlu memperbaharui Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika dengan membentuk undang-undang baru. Undang-undang baru tentang Narkotika mempunyai cakupan yang lebih luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun ancaman pidana yang diperberat. Cakupan yang lebih luas tersebut, selain didasarkan pada faktorfaktor di atas juga karena perkembangan kebutuhan dan kenyataan bahwa nilai dan norma dalam ketentuan yang berlaku tidak memadai lagi sebagai gunaan narkotika, perlu ditetapk sarana efektif untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Beberapa materi baru antara lain mencakup pengaturan mengenai penggolongan narkotika, pengadaan narkotika, label dan publikasi, peran serta masyarakat, pemusnahan narkotika sebelum putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, perpanjangan jangka waktu penangkapan, penyadapan telepon, teknik penyidikan penyerahan yang diawasi dan pembelian terselubung, dan permufakatan jahat untuk melakukan penyalahgunaan narkotika. Dalam rangka memberi efek psikologis kepada masyarakat agar tidak melakukan penyalah an ancaman pidana yang lebih berat, minimum dan maksimum, mengingat tingkat bahaya yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sangat mengancam ketahanan keamanan nasional. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008 Untuk lebih menjamin efektifitas pelaksanaan pengendalian dan pengawasan serta pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, perlu diadakan sebuah badan koordinasi tingkat nasional di bidang narkotika dengan tetap m Narkot dikategorikan sebagai kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 79 sampai dengan emperhatikan secara sungguh-sungguh berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait antara lain Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana, Kesehatan, Kepolisian, Kepabeanan, Psikotropika, dan Pertahanan Keamanan. Saat ini payung hukum yang ada sebagai bagian dalam penegakan hukum ika dan Psikotropika adalah Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika yang mana Undang-Undang ini terdiri dari 104 Pasal. Selain itu juga Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika disahkan untuk dapat menambah dan memperkuat penegakan hukum Narkotika dan Psikotropika tersebut. Rumusan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika tidak mengatur bahwa tindak pidana yang diaturnya adalah tindakan yang Pasal 100. Akan tetapi tidak perlu disangsikan lagi bahwa tindak pidana di dalam Undang-undang tersebut merupakan kejahatan. 40 Alasannya, kalau narkotika hanya 40 Lihat, Chairul Huda, Op.cit, hlm. 25, bahwa pengertian tindak pidana hanya berisi tentang karakteristik perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, pemahaman mengenai pengertian tindak pidana ini penting bukan saja untuk kepentingan akademis, tetapi juga dalam rangka pembangunan kesadaran hukum masyarakat. Bagaimana mungkin masyarakat dapat berbuat sesuai yang diharapkan oleh hukum pidana, jika pedoman bertingkah laku itu tidak dipahami. Oleh karena itu, yang penting bukan hanya apa yang masyarakat ketahui mengenai tindak pidana, tetapi apa yang seharusnya mereka ketahui. Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia tidak ditemukan defenisi tindak pidana. Pengertian tindak pidana yang dipahami selama ini merupakan kreasi teoritis para ahli hukum. Para ahli hukum pidana umumnya masih memasukkan kesalahan sebagai bagian dari Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008 untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan di luar kepentingan-kepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan. Undang-Undang Narkotika yang mengatur tentang ketentuan pidana dalam BAB XII dapat i sebagai berikut: 41 rkotika. kotika. ang menyangkut keterangan palsu dalam kasus narkotika. . Kejahatan yang menyangkut penyimpangan fungsi; lembaga dalam kasus nar pokoknya. Ancaman pidananya hanya dapat dikenakan apabila ahat sasi. dikelompokkan dari segi bentuk perbuatannya menjad a. Kejahatan yang menyangkut produksi narkotika. b. Kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika. c. Kejahatan yang menyangkut pengangkutan dan transit na d. Kejahatan yang menyangkut penguasaan narkotika. e. Kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan narkotika. f. Kejahatan yang menyangkut tidak melaporkan pecandu nar g. Kejahatan yang menyangkut label dan publikasi narkotika. h. Kejahatan yang menyangkut jalannya peradilan narkotika. i. Kejahatan yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan narkotika. j. Kejahatan y k kotika. Bahwa itu, Undang-Undang Narkotika mengenai adanya ancaman pidana minimal, hal tersebut dimaksudkan untuk pemberatan hukuman saja, bukan untuk dikenakan perbuatan tindak pidananya: 42 a. Didahului dengan pemufakatan j b. Dilakukan secara terorgani ahli hukum pidana Belanda tersebut pandangan-pandangannya mewarnai pendapat para ahli hukum pidana Belanda dan Indonesia saat ini. Lihat juga, S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di mengatakan bahwa strafbaarfeit itu adalah kelakukan yang diancam dengan pidana, bersifat melawan pengertian tindak pidana. Demikian pula dengan apa yang didefenisikan Simons dan Van Hamel. Dua Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni AHAEM-PTHAEM, 1986, hlm. 205 bahwa Simons hukum dan berhubung dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. Sedangkan Van Hamel mengatakan bahwa strafbaarfeit itu adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. 41 Lihat, Gatot Suparmono, Hukum Narkoba di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2001, hlm.193-194. 42 Ibid. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008 c. Dilakukan oleh korporasi. Ketentuan tindak pidana di bidang psikotropika diatur dalam BAB XIV Pasal 59 sampai dengan Pasal 72 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997. Perbuatan yang diancam dengan hukuman pidana diatur dalam Pasal 59 sampai dengan Pasal 66, dan seluruh tnya tersebut, pengaruhnya sangat merugikan bagi b nya merupakan delik kejahatan. Tindak pidana di bidang psikotropika antara lain berupa perbuatan-perbuatan seperti memproduksi atau mengedarkan secara gelap, maupun penyalahgunaan psikotropika yang merupakan perbuatan yang merugikan masyarakat dan negara. Memproduksi dan mengedarkan secara liar psikotropika dengan tujuan dikonsumsi masyarakat luas akan berakibat timbulnya ketergantungan bahkan menimbulkan penyakit karena tanpa diawasi dan tidak disesuaikan dengan pengawasan penggunaan Narkoba. Peredaran gelap dan penyalahgunaan Narkoba secara luas dapat berdampak pada keresahan dan ketidaktentraman masyarakat. Bahwa itu pelaku peredaran gelap akan memanfaatkan kondisi ini untuk mengambil keuntungan dari transaksi Narkoba. Akan tetapi karena transaksinya gelap tidak ada penarikan pajaknya, sehingga negara dirugikan. Di situlah letak persoalannya mengapa tindak pidana di bidang psikotropika digolongkan sebagai delik kejahatan. Bahwa itu jika dilihat dari akibat-akiba angsa dan negara. Dapat menggoyahkan ketahanan nasional, karena itu terhadap pelakunya diancam dengan pidana yang tinggi dan berat, yaitu maksimal Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008 pidana mati dan ditambah pidana denda paling banyak Rp. 5 Milyar Pasal 59 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997. 43 Dari seluruh tindak pidana yang diatur di dalam Undang-undang psikotropika jika dilihat dari segi bentuk perbuatannya dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, yang antara lain sebagai berikut: 1. Kejahatan yang menyangkut produksi psikotropika; 2. Kejahatan yang menyangkut peredaran psikotropika; 3. Kejahatan yang menyangkut ekspor dan impor psikotropika, 4. Kejahatan yang menyangkut penguasaan psikotropika; 5. Kejahatan yang menyangkut penggunaan psikotropika; 6. Kejahatan yang menyangkut pengobatan dan rehabilitasi psikotr nurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkot opika; 7. Kejahatan yang menyangkut label dan iklan psikotropika; 8. Kejahatan yang menyangkut transito psikotropika; 9. Kejahatan yang menyangkut pelaporan kejahatan di bidang psikotropika; 10. Kejahatan yang menyangkut sanksi dalam perkara psikotropika; 11. Kejahatan yang menyangkut pemusnahan psikotropika. 44 Sanksi pidana yang dapat dijatuhkan dari kejahatan dalam penyalahgunaan narkotika dan psikotropika berdasarkan ketentuan peraturan di Indonesia, dalam hal ini adalah ketentuan me ika, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dapat berupa sanksi pidana penjara dan sanksi pidana denda. Untuk menanggulangi bahaya penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, Barda Nawawi di dalam kebijakan yang 43 Ibid, hlm. 65. 44 Ibid, hlm. 66. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008 tertuang dalam kedua Undang-Undang tersebut telah mengidentifikasikannya secara umum sebagai berikut: 45 Undang-undang tentang Narkotika mengkualifikasi sanksi pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 500. 000. 000,00 terhadap pelaku yang tanpa hak dan melawan hukum melakukan perbuatan menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai narkotika golongan I dalam bentuk tanaman; atau memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan atau menguasai narkotika golongan I bukan tanaman. 46 Apabila tindak pidana tersebut didahului dengan pemufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 dua tahun dan paling lama 12 dua belas tahun dan denda paling sedikit Rp. 25.000.000,- Dua puluh lima juta rupiah dan denda paling banyak Rp. 750.000.000,- Tujuh ratus lima puluh juta rupiah. Sedangkan tindak pidana yang dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tiga tahun dan paling lama 15 lima belas tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- seratus juta rupiah denda paling banyak Rp. 2.500.000.000,- Dua milyar lima ratus juta Rupiah dan apabila tindak pidana dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- lima milyar Rupiah. Pasal 79 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 menegaskan bahwa terhadap pelaku yang tanpa hak dan melawan hukum memiliki, menyimpan untuk dimiliki dan untuk persediaan, atau menguasai narkotika golongan II, dipidana dengan pidana 45 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Penanggulangan Narkoba Dengan Hukum Pidana, Makalah pada Seminar di Fakultas Hukum, Universitas Gunung Djati, Cirebon, tanggal 19 Mei 2000. 46 Pasal 78 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008 penjara paling lama 7 tujuh tahun dan denda paling banyak Rp. 250.000.000,- Dua ratus lima puluh juta rupiah. dan memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan atau menguasai narkotika golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,- Seratus juta rupiah. Apabila tindak pidana ini didahului dengan pemufakatan jahat dipidan a dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp. 400.000.000,- Empat ratus juta rupiah. Terhadap tindak pidana menguasai narkotika golongan III yang didahului dengan pemufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7tujuh tahun dan denda paling banyak Rp. 150.000.000,- Seratus lima puluh juta rupiah. Hal ini tentunya berbeda dengan tindak pidana yang dilakukan secara terorganisir dan dilakukan oleh organisasi. 47 Selanjutnya menyangkut memproduksi, mengolah, mengekstraksi, merakit, atau menyediakan narkotika, sebagaimana dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 adalah memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, atau penjara paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.0000.000,- Satu milyar rupiah. Apabila pelaku yang melakukan perbuatan 47 Lihat Pasal 79 ayat 2 dan ayat 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 bahwa: Ayat 2. Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: a. Ayat 1 huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 dua belas tahun dan banyak Rp. 2.000.000.000,- Dua milyar juta rupiah. b. ayat 1 huruf b dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun dan banyak Rp. 400.000.000,- Empat ratus juta rupiah. Ayat 4. Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: ayat 1 huruf a dilakukan oleh organisasi, dipidana denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,- Tiga milyar rupiah. ayat 1 huruf a dilakukan oleh organisasi, dipidana denda paling banyak Rp. 1.000 000.000,- Satu milyar rupiah. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008 berupa memproduksi, mengolah, mengekstraksi, merakit, atau menyediakan narkotika golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 lima belas tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,- Lima ratus juta rupiah sedangkan memproduksi, mengol ongan III, dipidana dengan pidan 200.000.000, hukum me dan oleh Undang-Und ah, mengekstraksi, merakit, atau menyediakan narkotika gol a penjara paling lama 7 tujun tahun dan denda paling banyak Rp. - Dua ratus juta rupiah. Terhadap pelaku yang tanpa hak dan melawan lakukan perbuatan dengan pemufakatan jahat, dilakukan secara terorganisir korporasi telah dirumuskan oleh Pasal 80 ayat 2, ayat 3 dan ayat 4 ang Nomor 22 Tahun 1997 yang berbunyi sebagai berikut: Ayat 2. Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: a. ayat 1 huruf a didahului dengan pemufakatan jahat, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 20 Dua puluh tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- Dua ratus juta rupiah, dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,- Dua milyar rupiah. b. ayat 1 huruf b didahului dengan pemufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 delapan belas tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.G00.000,- Satu milyar rupiah; c. ayat 1 huruf c didahului dengan pemufakatan jahat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp. 400.000.000,- Empat ratus juta rupiah; Ayat 3. Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: a. ayat 1 huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 lima tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling sedikit Rp. 500.000.000,- Lima ratus juta rupiah dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- Lima milyar rupiah; b. ayat 1 huruf b dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 dua puluh tahun dan banyak Rp. 3.000.000.000,- Tiga milyar rupiah. c. ayat 1 huruf c dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 lima belas tahun dan banyak Rp. 2.000.000.000,- Dua milyar rupiah. Ayat 4. Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008 a. ayat 1 huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 7.000.000.000,- Tujuh milyar rupiah; b. ayat 1 huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Pp. 4.000.000.000,- Empat milyar rupiah; c. ayat 1 huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,- Tiga milyar Rupiah; Menyangkut ketentuan tentang mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, membeli, menyerahkan, menerima menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika tanpa hak dan melawan hukum, diatur pada Pasal 82 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dengan ketentuan terhadap narkotika golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau penjara paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000 r Satu milyar rupiah. Terhadap narkotika golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 lima belas tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,- Lima ratus juta rupiah sedangkan terhadap narkotika golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- Tiga ratus juta rupiah. Apabila tindak pidana ini dilakukan dengan didahului pemufakatan jahat terhadap narkotika golongan I maka sanksi pidananya adalah dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan pidana penjara paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- Dua ratus juta rupiah,dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,- Dua milyar rupiah. Terhadap narkotika golongan II dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 delapan belas tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- Dua milyar rupiah. Sedangkan terhadap narkotika golongan III maka dipidana dengan pidana Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008 penjara paling lama 12 dua belas tahun dan denda paling banyak Rp. 750.000.000,- Empat ratus juta Rupiah. Sanksi pidana ini tentunya sangat berbeda dengan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dan terorganisir. 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 mengatur mengenai perbuatan menggunakan, memproduksi, mengedarkan, mengimpor, memiliki, menyimpan, membawa, mengangkut, mengekspor, mencantumkan label dan mengiklankan psikotropika yang bertentangan dengan ketentuan UU diancam sanksi pidana pidana paling singkat 4 empat tahun paling lama 15 lima belas tahun dan denda paling sedikit Rp. 150.000.000,-Seratus lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp. 750.000.000,- Tujuh ratus juta rupiah. Adapun perbuatan dimaksud secara rinci dapat dideskripsikan sebagai berikut: 49 1. Menggunakan psikotropika golongan I tanpa izin dan pengawasan. Lihat, Pasal 82 ayat 3 dan ayat 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 sebagai berikut: 48 Ayat 3. Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: a. ayat 1 huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 lima tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling sedikit Rp. 500.000.000,- Lima ratus juta rupiah dan denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,- Tiga milyar rupiah; b. ayat 1 huruf b dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 dua puluh tahun dan banyak Rp. 4.000.000.000,- Empat milyar rupiah. c. ayat 1 huruf c dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 lima belas tahun dan banyak Rp. 2.000.000.000,- dua milyar rupiah. Ayat 4. Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: a. ayat 1 huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 7.000.000.000,- Tujuh milyar rupiah; b. ayat 1 huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,- Empat milyar rupiah; c. ayat 1 huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,- Tiga milyar rupiah; 49 Lihat, Pasal 59 sd Pasal 63 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008 2. Mengedarkan Psikotropika golongan I 3. Mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan 4. Secara tanpa hak memiliki, menyimpan, danatau membawa psikotropika golongan I Apabila tindak pidana psikotropika dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau penjara paling singkat 5 lima tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan denda sebesar Rp. 750.000.000,- Tujuh ratus lima puluh juta rupiah dan jika tindak pidana ini dilakukan secara oleh korporasi, maka bahwa pidananya pelaku tidak pidana kepada korporasi dikenakan denda sebesar Rp. 5.000.000.000,- Lima milyar rupiah. Sedangkan menyangkut perbuatan menghalangi upaya pengobatanperawatan penderita dan menyelenggarakan fasilitas rehabilitasi tanpa izin dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 satu tahun danatau denda paling banyak Rp. 20.000.000,- Dua puluh juta rupiah. 50 Menyangkut perbuatan tidak melaporkan adanya penyalahgunaanpemilikan psikotropika secara tidak sah, sebagaimana dalam Pasal 65 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 sebagai berikut: “Barang siapa tidak melaporkan adanya penyalahgunaan danatau pemilikan psikotropika secara tidak sah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 54 ayat 2, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 satu tahun danatau 50 Lihat, Pasal 64 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa: 1 Barang siapa: a. menghalang-halangi penderita sindroma ketergantungan untuk menjalani pengobatan danatau perawatan pada fasilitas rehabilitasi, sebagaimana dimaksud dalam 39 ayat 2, atau b. menyelenggarakan fasilitas rehabilitasi yang tidak memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat 3, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 satu tahun danatau denda paling banyak Rp. 20.000.000,- Dua puluh juta rupiah. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008 pidana denda paling banyak Rp. 20.000.000,- Dua puluh juta rupiah.” Terhadap pengungkapan identitas pelapor dalam perkara psikotropika, telah diatur pada Pasal 66 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 bahwa ”Saksi dan orang lain yang bersangkutan dalam perkara psikotropika yang sedang dalam pemeriksaan di sidang yang menyebut nama, alamat atau hal-hal yang dapat terungkapnya identitas pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat 1, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 satu tahun”. Penerapan sanksi pidana terhadap perbuatan tanpa hak dan melawan hukum melakukan tindak pidana psikotropika tentunya berbeda dengan perbuatan yang dilakukan berdasarkan permufakatan jahat berupa bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu, menyuruh turut melakukan, menganjurkan atau mengorganisasikan suatu tindak pidana maka pelaku tindak pidana ditambah sepertiga pidana yang berlaku untuk tindak pidana tersebut. 51 Sedangkan dalam menggunakan anak belum 18 tahun dalam melakukan tindak pidana psikotropika, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 telah melarangnya, hal ini diatur pada Pasal 72 sebagai berikut: “Jika tindak pidana psikotropika dilakukan dengan menggunakan anak yang belum berumur 18 delapan belas tahun dan belum menikah atau orang dibawah pengampunan atau ketika melakukan tindak pidana belum lewat dua tahun sejak selesai menjalani seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, ancaman pidana ditambah sepertiga pidana yang berlaku untuk tindak pidana tersebut”. 51 Lihat, Pasal 71 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008 Selanjutnya, dalam hal subjek tindak pidana yang dapat dipidana menurut kedua Undang-undang di atas dapat berupa orang perorangan maupun korporasi. Namun disamping itu ada pula subjek yang bersifat khusus, yaitu pimpinan rumah sakitPuskesmasBalai Pengobatan, Apotek, Dokter, Pimpinan Lembaga Ilmu Pengetahuan, Pimpinan Pabrik Obat, dan Pimpinan Pedagang besar farmasi, sebagaimana Pasal 99 UU Narkotika dan Pasal 60 ayat 4 dan 5 UU Psikoropika. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika menegaskan bahwa pada dasarnya pengadaan narkotika dan psikotropika secara legal sudah menjadi kebijakan Negara, sebab narkotika dan psikotropika pada kenyataannya sangat diperlukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan oleh karenanya ketersediaannya harus tetap terjamin. Dengan demikian, sepanjang pengadaan dan peredarannya secara legal menyebabkan Negara bertanggung jawab atas segala dampak negatif yang ditimbulkannya. Namun bagi para pelaku peredaran gelap harus tetap menjadi perhatian yang serius dalam penanggulangannya. Hal ini telah tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, kedua perangkat undang-undang ini lazim dikategorikan sebagai kriminalisasi Narkoba. 52 52 Sudarto, Loc.cit, menyatakan bahwa mengenai masalah kriminalisasi harus memperhatikan penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur secara merata baik materil dan seprituil berdasarkan Pancasila, sehubungan dengan ini maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi keselamatan dan pengayoman masyarakat, perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugiaan materiil Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008 Undang-Undang Psikotropika dan Undang-Undang Narkotika menyebutkan betapa pentingnya pengadaan narkotika dan psikotropika untuk kepentingan pelayanan kesehatan danatau pengembangan ilmu pengetahuan serta mengakui betapa pentingnya untuk mengupayakan pencegahan dan penanggulangan narkotika dan psikotropika. Konsideran menimbang di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menyatakan bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat namun di sisi lain tetap melakukan tindakan pencegahan dan pemberantasan terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. spritual atas warga masyarakat, penggunaan hukum pidana harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas overbelasting. Lihat, juga Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan cet kedua, memfungsikan instruen hukum pidana dan kebijakan kriminalisasi. Melalui instrumen hukum, perilaku yang melanggar hukum dapat ditanggulangi secara preventif maupun refresif. Selanjutnya, menurut untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan dan melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” karena orang membuat kejahatan melainkan “ne peccetur” supaya orang dan atau Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm. 2, bahwa Antisipasi atas kejahatan tersebut diantaranya dengan Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit, hlm. 16, bahwa menurut teori relatif, mempidana bukanlah orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Dasar jangan melakukan kejahatan. Sedangkan Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986, hlm. 36 berpendapat bahwa, masalah kriminalisasi yang harus diperhatikan adalah tujuan hukum pidana, penetapan perbuatan yang tidak dikehendaki, perbandingan antara sarana serta hasil dan kemampuan badan penegak hukum. Sebagai bagian integral dari keseluruhan politik kriminal yang merupakan bagian dari politik sosial maka kriminalisasi oleh pembuat undang-undang berarti harus memperhatikan kemampuan dari badan penegak hukum lainnya yang terlibat dalam pelaksanaan politik kriminal itu. Artinya kriminalisasi jangan menyebabkan kelampauan beban tugas dari aparat- aparat penegak hukum. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008 Narkoba di satu sisi dapat dijadikan sebagai obat atau bahan yang sangat bermanfaat di bidang pengobatan, namun di sisi lain Narkoba dapat menyebabkan keterga ndang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Pasal ntungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan. Pasal 3 Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1997 menyebutkan bahwa pengaturan narkotika bertujuan untuk menjamin ketersediaan untuk kepentingan pelayanan kesehatan danatau pengembangan ilmu pengetahuan, mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika serta memberantas peredaran gelap narkotika. Hal serupa juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, bahwa konsideran menimbang undang-undang tersebut menyatakan bahwa untuk mewujudkan pembangunan nasional perlu dilakukan upaya secara berkelanjutan di segala bidang, antara lain pembangunan kesejahteraan rakyat termasuk kesehatan dengan memberikan perhatian terhadap pelayanan kesehatan. Dalam hal ini ketersediaan dan pencegahan penyalahgunaan obar serta pemberantasan peredaran gelap, khususnya psikotropika. Kebijaksanaan untuk memberi perhatian yang sama antara ketersediaan psikotropika dan pencegahan peredaran gelap danatau penyalahgunaannya juga tercermin dalam perumusan norma pada beberapa pasal Undang-U 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika telah menyebutkan bahwa tujuan pengaturan di bidang psikotropika adalah untuk menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008 pengetahuan, mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika serta memberantas peredaran gelap psikotropika. Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa Negara sangat sadar betul menyangkut masalah kejahatan narkotika dan psikotropika adalah merupakan masalah global karena mengingat sifat kesehatan ini adalah transnasional dan berdimensi internasional. Oleh karena itu dalam menanggulangi masalah ini Negara memiliki kebijakan penyelesaian memerlukan keterlibatan dunia internasional. Masalah narkotika dan psikotropika bukanlah masalah baru sebab masalah ini sesungguhnya sudah ada sejak lama dan dilakukan umat manusia di seluruh belahan dunia bahkan telah menjadi budaya. Penggunaan narkotika dan psikotropika pada setiap acara pesta sudah merupakan hal yang biasa. Penggunaan morfin dan kokain merupakan gambaran sehari-hari di Eropa maupun di Amerika utara pada akhir abad kesembilan belas. 53 Demikian pula penggunaan narkotika dan psikotropika tidak hanya terjadi di kota-kota besar di dunia seperti New York akan tertapi hal serupa juga biasa dilakukan di pedesaan kota India, Cina dan masyarakat Asia tenggara dimana menggunakan kokain merupakan hal biasa. 54 Kesemua tadi menunjukkan bahwa masalah tersebut merupakan masalah global yang menimpa hampir seluruh belahan dunia, sebab masalah ini tidak hanya dialami oleh neegara-negara maju, akan 53 http:www.google.com, diakses tanggal 22 Mei 2008. 54 http:www.yahoo.com, diakses tanggal 23 Mei 2008. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008 tetapi juga menjadi masasalah Negara-negara berkembang dan Negara miskin. Pendeknya bahwa masalah narkotika dan pasikotropika sudah menjadi masalah global umat manusia di dunia. Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia sudah muncul sejak tahun 1968. Meluasnya jalur peredaran narkoba di dunia juga tidak terlepas dari dampak globalisasi yang memicu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang transportasi dan komunikasi yang menjadikan dunia tanpa batas, sehingga memudahkan terjadinya penyelundupan ke negara lain termasuk Indonesia. Demikian juga letak geografis Indonesia yang sangat strategis merupakan daya tarik tersendiri bagi sindikat Narkoba untuk menembangkan jalur peredarannya, sehingga mengubah posisi Indonesia yang pada awalnya hanya sebagai tempat transit namun kemudian berkembang menjadi salah satu daerah tujuan peredaran. Bahkan dewasa ini sudah mampu memproduksi, meracik, atau mengolah sendiri. Dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang transportasi dan komunikasi sebagai dampak dari globalisasi, telah mendorong meningkatkan teknik dan taktik serta proses penyebaran penyalahgunaan narkoba di Indonesia, sehingga korban dan pelaku penyalahgunaan narkoba telah berkembang hampir ke seluruh lapisan masyarakat. Dampak penyalahgunaan narkoba bukan hanya berpengaruh terhadap kesehatan fisik dan psikis dari individu pengguna saja, tetapi telah berkembang menjadi ancaman terhadap ketahanan nasional. Masyarakat dunia Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008 khususnya bangsa Indonesia, saat ini sedang dihadapkan pada keadaan yang sangat mengkhawatirkan akibat semakin maraknya penggunaan narkoba, kekhawatiran ini semaki an pemerintah dengan melibatkan unsur m n dipertajam akibat meluasnya peredaran narkoba di kalangan generasi muda. Selain itu Indonesia yang beberapa waktu lalu menjadi tempat transit dan pasar bagi peredaran narkoba, saat ini sudah berkembang menjadi produsen narkoba. 55 Penyalahgunaan narkoba di Indonesia akhir-akhir ini telah menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya. Pernyataan perang terhadap narkoba telah diupayak asyarakat, perangkat hukum telah dibuat untuk menangkap para pelaku, baik pemakai, pengedar dan juga pengguna narkoba. Namun belum memperoleh hasil yang maksimal sesuai dengan harapan masyarakat. Dilihat dari pendekatan moral, penyalahgunaan dan pengedar gelap Narkoba merupakan perbuatan yang buruk dan dianggap oleh masyarakat sebagai perbuatan tercela moralitasnya. Sementara dilihat dari sudut pandangan medis, seseorang yang mengkonsumsi narkotika danatau psikotropika yang bukan atas anjuran untuk keperluan terapi dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun mental yang ditandai adanya perubahan perubahan prilaku seperti menjadi agresif, depresi, cemas, apatis, paranoid dan ketergantungan. Bahkan berdasarkan penelitian WHO yang dilakukan di salah satu rumah sakit pemerintah di Jakarta menunjukkan bahwa pelaku 55 www.legalitas.org, diakses tanggal 24 Mei 2008. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008 penyalahgunaan narkotika atau psikotropika di kalangan pejankis bahasa komunitas pemakai-pen dengan menggunakan jarum suntik berisiko tinggi untuk terkena penyakit HIVAIDS dan Hepatesis C. Hasil penelitian tersebut menunjukkan hampir 60 dari jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit itu telah positif terkena virus yang mematikan ini. 56 Yang tidak kalah buruknya akibat yang ditimbulkan dari pemaka ian narkotika ataupun psikotropika bagi pemakainya dalam waktu lama munculya sifat-sifat yang buruk dan sangat dominan seperti “licik, manipulatif, pembohong dan jahat”. 56 Ibid, bahwa Narkoba narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya atau dengan kata lain NAPZA merupakan masalah global yang dapat merusak dan mengancam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Maraknya distribusi dan konsumsi narkoba menjadikan Indonesia semakin terpuruk. Apalagi peningkatan kasus narkoba ini berimbas pada menyebarnya HIVAIDS. Penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif atau biasa disebut narkoba seolah-olah tidak bisa lepas dari HIVAIDS. Itu salah satu akibat dari penyalahgunaan narkoba, belum akibat yang lainnya, seperti ketagihan, keracunan, dan ketergantungan baik mental maupun fisik, yang pada akhirnya menyebabkan kematian. Perkembangan perederan gelap narkoba pada saat ini sudah sampai pada tingkat yang sangat memprihatinkan. Berdasarkan data yang ada pada Badan Narkotika Nasional BNN, tercatat bahwa masalah penyalahgunaan narkoba di tanah air telah merambah sebagian besar kelompok usia produktif yakni yang masih berstatus pelajar atau mahasiswa. Narkoba bukan saja problem bagi anak-anak dari keluarga broken home, namun kini sudah merambah pada semua elemen masyarakat, bahkan digunakan pula oleh anak-anak yang berasal dari keluarga harmonis dan mampu. Penyebabnya bukan lagi sebagai akibat pelarian dari masalah, melainkan justru cenderung sebagai media rekreasi atau hiburan yang dianggap sebagai lambang kemajuan dalam pergaulan. Realitas tersebut patut menjadi perhatian kita semua. Permasalahan penyalahgunaan dan perederan gelap narkoba adalah berlakunya hukum pasar yang ironisnya barang yang diperjualbelikan adalah barang haram yang bersifat merusak hidup pembelipenggunanyal. Hal ini terkait dengan permintaan demand di mana semakin besar demand, maka akan meningkatkan pasokan narkoba baik berupa produksi maupun perdagangan atau peredaran gelap narkoba. Dalam RPJM disebutkan bahwa peredaran dan penyalahgunaan narkoba merupakan ancaman serius bagi kelangsungan hidup bangsa. Sebagian besar yaitu sekitar 90 persen dari 2 dua juta pecandu narkoba adalah generasi muda. Dampak dari masalah peredaran dan penyalahgunaan narkoba mencakup dimensi kesehatan baik jasmani dan mental, dimensi ekonomi dengan meningkatnya biaya kesehatan, dimensi sosial dengan meningkatnya gangguan keamanan dan ketertiban, serta dimensi kultural dengan rusaknya tatanan perikaku dan norma masyarakat secara keseluruhan. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008 Dalam kondisi pelaku danatau pemakai narkotika atau psikotropika yang demikian untuk mengembalikan kepada keadaan semula harus dilakukan terapi dan rehabibilitasi baik medis maupun sosial dalam jangka waktu lama yang tingkat keberhasilannya sangat kecil. Dalam perspektif hukum, peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika jelas merupakan perbuatan illegal yang diancam dengan pidana. 57 Sementara itu dari perspektif kesehatan masyarakat, bahwa peredaran gelap narkotika dan psikotropika membawa konsekuensi sosial dengan terjangkit dan menjalarnya berbagai penyakit masyarakat seperti timbulnya kriminilitas, perjudian serta kegiatan lain yang meresahkan. Upaya pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba telah banyak dilakukan, baik oleh pemerintah dan instansi terkait maupun potensi masyarakat atau LSM serta organisasi kemasyarakatan yang 57 Lihat, George P. Fletcher, Rethinking Criminal Law, Oxford: Oxford University Press, 2000, hlm. 455 dalam Chairul Huda, Op.cit, hlm. 15, menyatakan bahwa “we distinguish berween characteristics of teh act wrongful, criminal and characteristic of actor insane, infant”. Dalam konteks ini perlu dibedakan antara karakteristik perbuatan yang dijadikan tindak pidana dan karakteristik orang yang melakukannya. Karakteristis orang yang melakukan tindak pidana berhubungan dengan penentuan dapat dipertanggungjawabkannya yang bersangkutan. Dikatakan dengan hal diatas, maka mestinya antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana bukan hanya dibedakan, tetapi lebih jauh lagi harus dapat dipisahkan. Selain itu, argumentasi di atas juag diperkuat dengan tinjauan secara filosofis bahwa aturan hukum mengenai tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana memiliki perbedaan fungsi, dengan demikian aturan mengenai tindak pidana mestinya sebatas menentukan tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan. Aturan hukum mengenai tindak pidana berfungsinya sebagai pembeda antara perbuatan yang terlarang dalam hukum pidana dan perbuatan-perbuatan yang dilarang dan karenanya tidak boleh dilakukan. Dengan kata lain, “the rules which tell all of us what we can and cannot do”. Lihat, juga Andi Hamzah, Asas- Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hlm. 90 bahwa Pasal 1 Ayat 1 KUH Pidana menghendaki penentuan tindak pidana hanyalah berdasar suatu ketentuan peraturan perundang- undangan, sekalipun dalam rancangan KUH Pidana prinsip ini sedikit banyak disimpangi, tetapi penentuan tindak pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan masih merupakan inti ketentuan tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan nullum crimen sine lege dan nulla poena sine lege merupakan prinsip utama dari asas legalitas sehingga penyimpangannya sejauh mungkin dihindari. Suatu tindak pidana karenanya berisi tentang rumusan tentang perbuatan yang dilarang dan ancaman pidana terhadap orang yang melanggar larangan tersebut. Keduanya, yaitu rumusan tentang dilarangnya suatu perbuatan dan ancaman pidana bagi pembuatnya, tunduk kepada asas legalitas. Artinya, keduanya mesti ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008 bergerak dan peduli terhadap ancaman bahaya Narkoba. Indonesia dewasa ini telah mengarah kepada negara produsen dan pengekspor narkoba bukan lagi daerah yang dijadik an penyalahgunaan Narkoba dan peredaran perundang-undangan. eraturan perundang- at hukum berupa peraturan un 1997 tentang Narkotika serta Protokol yang Mengubahnya n an sebagai transit peredaran gelap Narkoba dan konsumen penyalahgunaan Narkoba. Untuk itu, pencegahan secara komprehensif dan integral perlu dilakukan dengan melakukan koordinasi antar instansi pemerintah dan pengerahan tokoh masyarakat yang dilaksanakan secara terpadu dan bersinergi secara berkelanjutan sustainable. Pencegahan dan pemberantas gelap Narkoba mengharuskan untuk dibentuknya peraturan Indonesia telah mengaturnya di dalam beberapa perangkat p undangan maupun perundang-undangan uang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkoba, adapun perangk perundang-undangan sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 22 Tah 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 be 4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Konvensi o Psychotropic Substances 1971 Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008 5. Un 7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 688MenkesPerVII1997 tentang Peredaran Psikotropika Meskipun Narkoba sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan, pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, namun apabila disalahgunakan atau tidak sesuai dengan standar pengobatan medis terlebih jika disertai dengan peredaran narkotika dan psikotropika secara gelap akan menimbulkan akibat sangat merugikan perorangan maupun masyarakat khususnya generasi muda, bahkan dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional. Perlu diwaspadai bahwa karakteristik peredaran gelap narkotika dan psikotropika terkadang dilakukan oleh pelalu kejahatan dengan cara terorganisir sangat rapi namun terputus-putus tidak terstruktur, hal ini dimaksudkan untuk menghilangkah jejak sehingga berdasarkan karakteristik ini maka kejahatan dang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan peredaran gelap Narkoba merupakan white collar crime. 58 Oleh karena itu 58 Suherland dalam Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering Untuk Memberantas Kejahatan Di Bidang Kehutanan, Disampaikan Pada Seminar, Pemberantasan Kejahatan Hutan Melalui Penerapan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang diselenggarakan atas kerjasama Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan Pusat Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008 peningkatan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika sangat diperlukan karena kejahatan narkotika pada umumnya tidak dilakukan oleh orang perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisir secara rapi dan sangat rahasia. Dalam beberapa langkah i p orban puan sumberdaya manusia, arana; g n partisipasi seb narkoba di seluruh Indonesia; h sialisasi anti narkoba; i. ma rangka peningkatan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya pemberantasan penyalahgunaan Narkoba maka pemerintah telah menetapkan kebijakan strategis di dalam matriks program pembangunan tahun 2007 sebaga beriku : t 59 1. Program Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gela Narkoba Kegiatan-kegiatan pokok: b. Peningkatan kualitas penegakan hukum di bidang narkoba; c. Peningkatan pendayagunaan potensi dan kemampuan masyarakat; d. Peningkatan pelayanan terapi dan rehabilitasi kepada penyalahguna k narkoba; e. Peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi; f. Upaya dukungan koordinasi, kualitas kemam administrasi, anggaran, sarana dan pras . Pembangunan sistem dan model perencanaan dan pengembanga pemuda dalam pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan Narkoba agai pedoman penanganan . Penyelenggaraan kampanye nasional dan so Pengembangan penyidikan dan penegakan hukum di bidang obat dan kanan. Pelapor collar crime a person respectability and high school status in the course of his occupation”. Kejahatan kerah putih ini sudah pada taraf trnasnasional, tidak lagi mengenal batas-batas wilayah negara sehingga mengharuskan bagi negara berkembang untuk menggunakan perangkat hukum yang tersedia untuk memberantas pelaku kejahatan. dan Analisis Transaksi Keuangan PPATK, Medan, tanggal 6 Mei 2004, bahwa konsep white adalah suatu “crime committed by 59 http:www.yahoo.com, Matriks Program Pembangunan Tahun 2007, diakses pada tanggal 24 Mei, 2008. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008 2. Prog Narkoba iatan pokok: a. 2. telijen narkoba, kultivasi gelap ganja, dan pemutusan jaringan 3. n pemberantasan narkoba; n kejahatan an zat akanan; 8. elabuhan laut; i bidang obat dan 12 enegakan hukum; b 1. ensi dan kemampuan masyarakat; 3. del perencanaan dan pengembangan h anye nasional dan sosialisasi anti narkoba; c. ial kepada 2. nakorban narkoba; arana pelayanan bidang terapi rangka d. Keg Peredaran Gelap Narkoba ram Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap yang meliputi kegiatan-keg Penegakan Hukum dibidang Narkoba 1. Peningkatan kualitas penegakan hukum di bidang narkoba; Operasi in peredaran gelap narkoba Operasi ruti 4. Penyidikan, penuntutan, pemberantasan terhadap pelanggara dan penanganan perkara perdatatun; 6. Perketatan pengawasan narkotika, psikotropika, prekursor, d adiktifrokok; serta pengawasan pengamanan pangan dan bahan m 7. Peningkatan pemutusan jaringan peredaran gelap narkoba serta penindakan kultivasi ganja. Peningkatan penindakan terhadap penyelundup narkoba di pelabuhan udara dan p 9. Pengedalian dan pengawasan jalur resmi narkoba; 10.Penyitaan, penyimpanan dan pemusnahan barang sitaan penyalahgunaan narkoba; 11.Pengembangan penyidikan dan penegakan hukum d makanan; .Peningkatan sarana dan prasarana bidang p . Pencegahan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba Peningkatan pendayagunaan pot 2. Pembinaan dan pengembangan pengabdian kepada masyarakat; Pembangunan sistem dan mo partisipasi pemuda dalam pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba sebagai pedoman penanganan narkoba di seluru Indonesia; 4. Penyelenggaraan kamp 5. Peningkatan pelaksanaan penyuluhan dan advokasi di bidang pencegahan dan pemberantasan penyalagunaan dan peredaran gelap narkoba. Terapi dan Rehabilitasi Korban Penyalahgunaan Narkoba 1. Peningkatan pelayanan terapi, rehabilitasi dan perlindungan sos penyalahgunakorban narkoba dan napza; Penyusunan standarisasi pelayanan terapi dan rehabilitasi kepada penyalahgu 3. Pembangunanpeningkatan sarana dan pras dan rehabilitasi korban narkoba; 4. Peningkatan pendayagunaan peran serta masyarakat dalam pelayanan terapi dan rehabilitasi kepada penyalahgunakorban narkoba. iatan Penelitian dan Pengembangan Informatika Penyalahgunaan dan Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008 1. Peningkatan komunikasi informasi dan edukasi, penelitian dan pengembangan pelayana n terapi dan rehabilitasi korban narkoba; na dan prasarana Penelitian dan atika dalam rangka BNN sebagai pusat pengetahuan, pusat sistem pendukung dan pusat pertukaran informasi; e. Kegiatan Penguatan Kelembagaan anti narkoba 2. Peningkatan kerjasama, koordinasi rencana dan program, anggaran, sarana n kualitas kemampuan sumber daya manusia; dan sarana pendukungnya. kerjasama dan publikasi peraturan perundang-undangan; Berdasarkan matrik pembangunan nasional tahun 2007 di atas telah menetapkan beberapa kebijakan di bidang terapi dan rehabilitasi korban penyalahgunaan Narkoba sebagai berikut: 60 a. Peningkatan pelayanan terapi, rehabilitasi dan perlindungan sosial kepada penyalahgunakorban narkoba dan napza; b. Penyusunan standarisasi pelayanan terapi dan rehabilitasi kepada penyalahgunakorban narkoba; 2. Peningkatan penelitian dan pengembangan dibidang P4GN; 3. Peningkatan pembangunan sara 4. Pengembangan dan Teknologi Inform 5. Upaya pemetaan kultivasi gelap narkoba; 1. Penguatan kelembagaan peran serta masyarakat dibidang P4GN dan prasarana, administrasi da 3. Penguatan institusi BNN melalui pengembangan sumber daya manusia BNN 4. Pembinaan, perencanaan, harmonisasi, 5. Penyelenggaraan kerjasama luar negeri; c. Pembangunanpeningkatan sarana dan prasarana pelayanan bidang terapi dan rehabilitasi korban narkoba; 60 Ibid. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008 d. Peningkatan pendayagunaan peran serta masyarakat dalam rangka pelayanan terapi dan rehabilitasi kepada penyalahgunakorban narkoba. Selanjutnya, Konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika menyatakan bahwa penyalahgunaan psikotropika dapat merugikan kehidupan manusia dan kehidupan bangsa yang pada gilirannya dapat mengancam ketahanan nasional dengan demikian masalah narkotika dan psikotropika adalah merupakan masalah nasional. Hal ini dapat diartikan bahwa masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika bukan semata-mata menjadi masalah dalam negeri suatu Negara melainkan telah menjadi masalah yang melintas batas antar Negara atau berdimensi internasional secara terorganisir. 61 Sehingga dalam upaya penanggulangan terhadap kejahatan ini harus dilakukan secara bersama antara pemerintah, lembaga swasta, segenap unsur masyarakat bahkan kerjasama lintas negara. Instrumen internasional yang memuat kebijakan mengenai narkotika dan psikotropika seperti hanya konvensi-konvensi harus diperhatikan. Indonesia telah 61 Lihat, Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: BP. Universitas Diponegoro, 2002, hlm, 190-192 bahwa elemen Internasional lainnya terdiri dari atas ancaman baik langsung maupun tidak langsung terhadap kedamaian dunia dan menimbulkan perasaan terguncang terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Merujuk Konvensi PBB tentang kejahatan transnasional yang terorganisir, di Palermo Tahun 2000 telah memberikan karakteristik tentang kejahatan transnasional sebagai berikut: a. Dilakukan lebih dari satu negara. b. Dilakukan di suatu negara tetapi bagian substansi dari persiapan, perencanaan, petunjuk atau pengendaliannya dilakukan di negara lain. c. Dilakukan di sebuah negara tetpai melibatkan organisasi kejahatan yang terikat dalam tindak kejahatan lebih dari satu negara. d. Dilakukan di suatu negara, tetapi menimbulkan efek substansial bagi negara-negara lain. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008 meratifikasi beberapa kesepakatan internasioal termasuk yang diratifikasi belakangan adalah “The United Nations Convention Againts Illict Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1998” dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 dan pengaturan psikotropika berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 yang bertujuan untuk menjamin ketersediaan guna kepentingan kesehatan dal ilmu pengetahuan, mencegah penyalahgunaan psikotropika serta pemberantasan peradaran gelap psikotropika. Penyelenggaraan konferensi tentang psikotropika pertama kali dilaksanakan oleh The United Nations Conference for the Adoption of Protocol on Pscyhotropic Substances mulai tanggal 11 Januari-21 Februari di Wina, Australia telah pentingnya penanggulangan terhadap penyalahgunn dan peredaran gelap narkotika dan psi menghasilkan Convention Psyhotropic Substances 1971. Materi muatan konvensi tersebut berdasarkan pada resolusi The United Nations Economic and Social Council Nomor 1474 XLVIII tanggal 24 Maret 1970 merupakan aturan-aturan untuk disepakati menjadi kebiasaan internasional sehingga harus dipatuhi oleh semua negara. 62 Baik konvensi maupun undang-undang kesemuanya menekankan begitu kotropika untuk dilakukan secara bersama-sama. Dari segi kebijakan berarti bahwa masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika dijadikan masalah internasional sehingga kerjasama internasional perlu terus dikembangkan, kerjasama tersebut bukan saja antar Negara 62 Siswanto Sunarso, Op.cit, hlm. 1. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008 melainkan kerjasama antara negara-negara dengan organisasi-organisasi internasional yang bergerak menangani masalah ini. 63 Konsekuensi dijadikannya masalah tersebut menjadi masalah internasional adalah apabila penanggulangan terhadap penyalahgunaan narkotika dan psikotropika dilakukan dengan terpadu yang dimulai dari penyelidikan penyalahgunaan narkoba oleh institusi Polri, 64 hal ini dilihat dari sifatnya bahwa penyalahgunaan narkotika dan psikotropika adalah sebagai kejahatan internasional, maka menyebabkan di dalam penanggulangannyapun harus memberdayakan hukum pidana internasional. Selanjutnya, Pasal 64 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentag Narkotika dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika sebagai payung hukum umbrella provision penegakan hukum tindak pidana penyalahgunaan Narkoba yang telah menempatkan perkara narkotika dan Ibid, hlm. 52 bahwa dalam konteks hubungan hukum Internasional secara subtansial telah mengatur beberapa hal, yakni: penggunaan dan peredaran psikotropika. b. Lebih menjamin kemungkinan penyelenggaraan kerja sama dengan negara-negara lain dalam psikotropika. pencegahan dan perlindungan kepentingan masyarakat umum, terutama generasi muda terhadap akibat buruk yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan psikotropika. 63 a. Merupakan perangkat hukum Internasional yang mengatur kerjasama Internasional tentang pengawasan peredaran psikotropika dan usaha-usaha penanggulangan atas penyalahgunaan c. Dari aspek kepentingan dalam negeri, Indonesia dapat lebih mengonsolidasikan upaya d. Disamping itu, tindakan tersebut akan memperkuat dasar-dasar tindakan Indonesia dalam melakukan pengaturan yang komprehensif mengenai peredaran psikotropika di dalam negeri. e. Dengan demikian, penegakan hukum terhadap tindak pidana penyalahgunaan psikotropika akan lebih dapat dimantapkan. 64 Dalam penjelasan Pasal 15 ayat 2 huruf j undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian telah menyebutkan bahwa kepolisian negara berwenang untuk mengadakan hubungan kerjasama dengan International Criminal Police Organization ICPO-Interpol dan Asianapol, dalam hal ini Polri berfungsi sebagai National Central Bureau ICPO-Interpol Indonesia. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008 psikotropika termasuk perkara yang harus didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna penyelesaian secepatnya. Ini artinya bahwa semua sangat tergantung pada peran aparat penegak hukum khususnya Hakim sebagai lembaga yudikatif, sehingga meskipun ketentuan undang-undang tentang perkara narkotika dan psikotropik harus didahulukan namun demikian keputusan akhir apakah perkara itu akan didahulukan atau tidak sangat tergantung pada pertimbangan yang dia ra terhadap korban n psikotropika semestinya digunakan dengan melihat berat ringannya tingkat pelanggaran. Hal ini meskipun “penyalahgunaan” juga merupakan suatu tindak pidana namun demikian pemidanaan bukanlah merupakan satu-satunya yang digunakan untuk menanggulangi. pok Risiko Tinggi lompok Risiko Tinggi adalah orang yang belum menjadi pemakai atau terlibat d Potential User calon pemakai, golongan mbil oleh Hakim. Untuk itu diharapkan penjatuhan hukuman terhadap pelaku peredaran gelap narkotika dan psikotropika oleh Hakim diarahkan untuk mengadakan penegakan hukum secara tegas dan konsisten. Sementa penyalahgunaan narkotika da Deteksi dini penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika bukanlah hal yang mudah,tapi sangat penting artinya untuk mencegah berlanjutnya masalah tersebut. Beberapa keadaan yang patut dikenali atau diwaspadai adalah :

1. Kelom